Secret

1193 Words
Akad nikah sederhana terlaksana satu minggu kemudian. Di rumah Sedayu. Tanpa pesta. Hanya dihadiri beberapa tetangga. Keluarga dari pihak Gilang hanya Bintang seorang. Saksi dari pihak laki-laki itu dua orang karyawannya. Hal yang menciptakan beragam tanya dalam benak Pak Sandi. Memang, dokter paruh baya itu tahu kalau Gilang pendatang dari Jakarta. Akan tetapi, tidak adakah tetangga atau keluarga mantan istrinya diberitahu. "Gilang, apa kamu tidak mengabari tetangga atau kerabat mantan istrimu?" tanya Pak sandi ketika rumah mulai sepi. Para tetangga telah kembali ke rumah masing-masing. Tersisa keluarga Tanta Mardiyah. Si Hana di ruang tengah sedang menggoda Ari. Sahabat Sedayu itu merajuk. Tidak terima gadis pujaannya menikah dengan laki-laki yang umurnya berbeda jauh. Mendengar pertanyaan Pak Sandi, Gilang menghela napas. Ia memang sengaja tidak mengabari tetangga tentang pernikahannya. Khawatir kalau salah seorang tetangga mulutnya tidak bisa dijaga. Ia tidak ingin neneknya Bintang mengetahui pernikahan ini. Tidak. Bukan maksudnya menyembunyikan status Sedayu di depan nenek tua itu. Ia hanya tidak ingin sang nenek merusak acara pernikahannya. "Maaf, Pa. Saya tidak sempat." Sedayu mengernyit. Perempuan itu duduk di samping Gilang. Padahal ia sangat lapar. Namun, papanya meminta waktu sebentar untuk memberi sedikit wejangan. Tidak menyangka kalau papanya malah menanyakan hal yang ia pertanyakan dalam diam. "Bukan tidak sempat, Gilang. Kamu memang sengaja. Dunia semakin canggih. Pengumuman bisa dengan sekali pencet. Semua informasi akan tersebar luas." Bintang berhenti memainkan ponselnya. Ia melirik Gilang yang tertunduk diam. Remaja itu tahu keresahan sang papa. Memang tidak mudah meminta restu nenek. Jadi, ia mendukung sikap papanya yang memilih nikah tanpa restu nenek. Toh, bukan sebuah kewajiban. Mamanya telah lama meninggal. Sebagai laki-laki, papanya harus sudah menikah sejak dulu. Hanya karena tidak ingin nenek mengamuk, papa selalu mengalah. "Papa mau kasih kejutan. Kan, selama ini papa dikenal anti perempuan. Seru nanti kalau tiba-tiba papa mengabarkan sudah menikah. Gadis dan janda di kompleks perumahan kami bakal berteriak enggak terima. Iya kan, Pa?" Gilang tertawa pelan. Saking pelannya hanya bibirnya tertarik ke samping. Namun, Pak Sandi merasa tidak puas. Laki-laki paruh baya itu meyakini ada sesuatu yang dirahasiakan Gilang dan Bintang. Tarikan napas Pak Sandi terdengar jelas. Ia melirik Sedayu yang pipinya bersemu merah. Matanya pun berbinar ceria. Pak Sandi menyadari kesalahan. Tidak seharusnya ia menginterogasi Gilang saat ini. Itu bakal merusak kebahagiaan sang putri. Nanti saja jika keadaan telah memungkinkan. Atau, ia akan berbicara berdua saja dengan Gilang. Ya, itu ide yang jauh lebih baik. Ketika papanya pamit ke dalam, Sedayu pun ikut berdiri. Ia masuk ke kamar tanpa mengajak Gilang. Ingin melepas kebaya yang sedari pagi melekat di tubuh. Perutnya sudah keroncongan. Setelah ini ia ingin makan yang banyak. Namun, sebelum kebaya dilepas, sepasang tangan kekar melingkar di perutnya. "Lepasin, Om. Aku mau makan. Lapar." Gilang melepas pelukan, lalu mencubit gemas kedua pipi istri mudanya. "Sampai kapan kamu panggil om terus?" Sedayu menyengir. Gigi ginsulnya terlihat jelas. Entahlah, rasanya tidak cocok jika ia memanggil Gilang dengan sapaan mas. Ia berpikir, mungkin akan lebih baik jika memanggil papa, mengikuti panggilan Bintang. Kelak, anak-anak yang lahir dari rahimnya pun bakal memanggil papa. Jadi, tidak salah jika dibiasakan sejak sekarang. Ia manggut-manggut membuat Gilang memandang bingung ke arahnya. Detik-detik selanjutnya Gilang menunduk, hendak memberikan ciuman. Dalam hitungan detik, Sedayu menghindar dan bibir Gilang mencium cermin lemari. Tawa perempuan berambut keriting itu membahana sembari berlari keluar. *** Orang tua mana pun selalu ingin mendampingi anak-anak. Namun, ketika anak telah menikah dan memilih menjalani hidupnya sendiri, orang tua dengan rela hati mencoba lapang melepaskan kepergian anaknya. Seperti Pak Sandi yang menahan air mata kala mengizinkan Sedayu tinggal di rumah Gilang. Tidak ingin hidup sendiri, laki-laki paruh baya itu mendatangi rumah Hana. Dua adik Hana diboyong tinggal di rumahnya. Sedayu pun lega. Ia tidak perlu cemas meninggalkan papanya sendiri. Sudah seminggu berlalu, ia harus mengurus toko rotinya. Beberapa tetangga sering bertanya pada Bintang, siapa sosok perempuan yang tinggal di rumahnya. Saat Bintang menjawab status Sedayu, mata mereka membelalak. Seolah pernikahan Gilang adalah sebuah kemustahilan. Pukul lima sore, Gilang menjemput Sedayu di toko roti. Binar bahagia masih terpancar dari wajah keduanya. Namun, rona ceria di wajah Gilang mendadak berubah saat melihat neneknya Bintang berdiri di depan rumah. Sedayu memperhatikan wajah suaminya yang mendadak pucat. Apalagi saat Gilang keluar dari mobil tanpa mengajaknya. Beragam tanya memenuhi pikiran. Ia masih bergeming, duduk diam dalam mobil sembari memperhatikan Gilang menghampiri seorang nenek. Siapa pun yang melihat wajah sang nenek, pasti menyimpulkan ada kemarahan besar yang ditahannya. Meski hatinya diliputi kecemasan, Gilang tetap menunduk hormat sambil menyalami tangan sang mertua. "Masuk, Ma. Saya jelasin." Tanpa kata perempuan tua itu mengikuti langkah Gilang. "Saya yakin Mama sudah tahu. Maafkan saya karena menikah tanpa izin. Percayalah, Diani tetap perempuan yang tersimpan dalam hati saya." Bukan cacian atau teriakan seperti biasa, melainkan tangisan memilukan. Memang tidak mudah bagi seorang ibu kehilangan anaknya. Meski telah bertahun-tahun, Diani tetap dianggap masih hidup. "Jangan nangis, Ma." Mata Gilang pun berkaca-kaca. Wajah mendiang istri terlukis jelas dalam ingatan. Sebuah rasa yang disebut sesal menggelinding bebas dalam benak. Perpisahannya dengan sang istri menyisakan penyesalan yang tidak mungkin dapat dilupakan. Kesalahan yang diperbuat saat detik-detik malaikat maut datang menjemput Diani teramat mengenaskan. "Nganti kapan pun inyong ra sudi." Gilang hanya mampu menarik napas. Ia menyandarkan punggung sembari memperhatikan mertuanya yang mulai berdiri. Dengan linangan air mata, perempuan tua itu melangkah tanpa kata pamit. Sedayu masih berdiri di teras. Ia tersenyum pelan meski wajah perempuan tua di hadapannya tidak bersahabat. Detik selanjutnya mata Sedayu melebar mendengar suara bisikan sang nenek. Ia berlari masuk, mencari keberadaan Gilang. "Pa, itu neneknya Bintang, ya?" Gilang mengangguk tanpa melihat wajah istrinya. Ia yakin bakal diinterogasi. Ia tidak suka membahas hal tersebut. "Neneknya Bintang enggak suka sama aku, ya?" "Tolong buatkan aku kopi." Sedayu mengepalkan tangan. Ia sudah memahami kebiasaan Gilang. Kalau tidak ingin membahas atau membalas tanya suatu hal, laki-laki itu akan mengalihkan pembicaraan. Kesal melambung dalam benaknya. Ia melipatkan dua tangan di d**a, lalu pipinya digembungkan. Tidak ingin mematuhi permintaan Gilang. Ia yakin, keinginan minum kopi itu hanya kebohongan untuk menutupi pembahasan tentang si nenek. "Enggak usah ngambek gitu." Gilang mencubit pipi istrinya. "Daripada bahas neneknya Bintang, bagaimana kalau kita buat cucu baru buatnya." "Ih, nyebelin banget, sih!" Gilang mengangkat tubuh kecil sang istri, dibawa masuk ke kamar. Tidak peduli perempuan itu menarik-narik rambutnya karena kesal. Ia harus membuat Sedayu melupakan tentang kedatangan neneknya Bintang. Kenikmatan menyelimuti hati dan pikirannya. Seperti harapan Gilang, istrinya menutup seluruh tubuh dengan selimut setelah sesi percintaan keduanya selesai. Gilang tertawa pelan sembari melepaskan topi kupluk yang sedari tadi menutupi kepala botaknya. Sebenarnya ia risi, tetapi demi kenyamanan sang istri, ia rela menahan gerah di kepala. Dering ponsel memaksa Sedayu menyikap selimut. Namun, saat melihat kepala Gilang tidak ditutupi topi, ia kembali membungkus seluruh tubuh dengan selimut. "Ambilkan HP-ku!" serunya tanpa membuka selimut. Gilang memberikan ponsel, lalu beranjak ke kamar mandi. Mendengar pintu kamar mandi ditutup, Sedayu pun menyikap selimut, lalu mengangkat panggilan. Hana memanggil. "Mbak Dayu, tokonya terbakar." Isakan Hana tidak lagi ia dengar. Ponsel telah terjatuh dari genggaman. Matanya melebar sempurna. Gemuruh dalam d**a semakin tak keruan. Ingatannya kembali berputar pada beberapa menit yang lalu. "Kowe aja ngarep uripne bakal adem ayem. Mlebu omah iki, tegese kowe siyap mati." Itu perkataan sang nenek yang seketika membuat Sedayu merinding.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD