Can't Bear

1221 Words
Dua pohon tabebuya di sisi kiri kanan menyambut kedatangan pengunjung toko kue Sedayu. Sudah dua bulan dibuka. Dibantu Ari dan Hana serta beberapa anak tetangga di kompleks perumahannya. Pengunjung lumayan ramai untuk sebuah toko yang baru dibuka. "Bu Bos belum pulang?" Hari telah berselimut gulita. Sinar matahari digantikan oleh cahaya buatan. Jarum jam sudah di angka 20.09. Gadis berambut keriting itu masih duduk merenung. Tatapannya mengarah keluar melalui jendela kaca panjang. Tirainya sengaja tidak ditutup. Ia terperanjat saat ditanya karyawannya. "Duluan saja." Itu karyawan terakhir. Tinggallah Sedayu sendirian. Dua hari ini Hana tidak menemaninya. Remaja itu pulang ke rumah keluarganya karena sang ibu masuk rumah sakit. Ia berdiri dan melangkah ke dapur. Dengan lincah ia menghias kue tart yang sore tadi dibuatkan. Malam ini hatinya sedang gundah setelah membaca postingan Bintang. Remaja itu mengabarkan papanya bertambah usia. Sedayu bertekad malam ini ia adalah orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun. Tidak peduli laki-laki itu mau menemuinya atau tidak. Ketika tart selesai dan dimasukkan ke kotak kue, bel berbunyi. Ia mengernyit. Toko sudah tutup. Biasanya juga sepi jika waktu sudah di angka 19.00. Lalu, siapa gerangan yang datang. Pikiran Sedayu bertanya-tanya. Ia masih bergeming. Cemas menggelayut, menciptakan ritme degupan jantung semakin cepat. "Yu! Kamu enggak apa-apa, kan?" Itu suara Ari. Meski suara laki-laki itu terdengar mengkhawatirkannya, Sedayu tidak dapat mengenyahkan perasaan cemas. Bahkan semakin kentara. Kakinya lemas. Pegangan di pinggiran meja semakin erat. Keringatnya menetes. Selama dua bulan ini, ia dan Ari belum sekali pun jalan atau duduk berduaan. Selalu ada Hana yang setia menemani. Terlalu tegang membuatnya terperanjat saat ponsel di meja berdering. Ia menepuk-nepuk kedua pipi sembari membuang napas. Nama Ari tertera ketika ia melirik layar ponsel. Ia menarik napas dan mencoba berpikir positif. Kakinya mulai bergerak perlahan. Ia pun menarik sebilah pisau. Kalau Ari macam-macam lagi, ia tidak akan segan-segan menusuk perut laki-laki itu. "Kenapa lama sekali bukanya? Kenapa pula jam segini belum pulang? Tadi aku ke rumah. Lihat motormu enggak ada. Aku enggak berani nanya ke Om Sandi,” cerosos Ari ketika pintu terbuka. Sedayu memang sudah meminta izin pada papanya akan menginap di toko. Meski awalnya ditentang, dr. Sandi tetap kalah berdebat dengan anak sendiri. "Aku mau nginap di sini. Kamu kenapa malam-malam nyari aku?" "Aku enggak disuruh masuk, nih?" Ari melirik tangan kanan Sedayu yang disembunyikan di belakang. Ia tahu ada pisau dalam genggaman sahabatnya. Ingin sekali ia mengutuk diri karena melakukan hal buruk malam itu. Sesal menyiksa hati kala melihat sahabatnya menyimpan trauma seperti ini. "Mau ngapain? Aku mau tidur." "Aku enggak percaya, Sedayu. Matamu berbohong. Apa yang kamu rahasiakan?" "Ngaco. Cepatan, pulang sana. Aku mau kunci pintu." "Yakin mau tidur naruh motornya di luar kayak gitu?" "Aku lupa." Sedayu melangkah cepat, hendak memasukkan motor ke garasi kecil di samping tokoh, tetapi langkahnya tertahan. Ari menghentikan gerakan kakinya. "Kamu mau pergi ke mana malam-malam gini? Sampai kapan pun, kamu enggak bakal bisa sembunyikan dariku." Ari melangkah masuk ke dapur. Ia melirik kardus tart lengkap dengan lilin kecil menghias di atasnya. "Aku temani. Jangan pergi sendiri," kata Ari, meski tidak tahu itu kue buat siapa. Namun, ia meyakini bahwa Sedayu akan pergi ke rumah si duda itu. Sedikit makian ia lirihkan dalam hati. Bisa-bisanya cinta Sedayu berpaling secepat itu pada laki-laki lain. Mungkin ia agak memaklumi jika laki-laki yang membuat Sedayu berpaling itu seumuran dengannya. Namun, orang yang memoles hati sahabatnya adalah laki-laki yang sebentar lagi bakal paruh baya. Darah mudanya memberontak. Kenapa keberadaannya terhapus dengan mudah oleh kehadiran si duda tersebut. "Tapi, kamu harus janji. Kamu hanya perlu diam, apa pun yang terjadi nanti." Ari hendak membantah, tetapi diurungkan saat melihat Sedayu sudah berpaling. Maka, di sinilah mereka. Di depan rumah Gilang. Rumah dua lantai bercat putih dan hitam, berdiri berhadapan dengan jalan utama kompleks. Rumah tanpa pagar yang bagian kirinya dihiasi bunga matahari. Sungguh sangat mewah di mata Sedayu. Sekarang pukul 23.58 menurut jam di telepon selulernya. Sedayu menghela napas sembari menyalakan lilin di tart. Ia sunggingkan senyuman, lalu menekan bel. Pintu dibuka setelah tiga kali bel ditekan. Bintang berdiri dengan tatapan terkejut melihat tamu yang ia rindukan. "Mbak Dayu." Senyuman terukir di bibir Bintang. "Sebentar, ya." Remaja itu berlari masuk, memanggil papanya yang sudah terlelap. Bintang menyikap selimut, lalu menepuk pipi Gilang. Ia segera menarik papanya turun dari ranjang meski kesadaran belum pulih sempurna. Bahkan ia tidak peduli kalau papanya hanya mengenakan celana traning panjang. Tubuh yang separuh telanjang itu terlihat kekar dengan perut kotak-kotak dan d**a bidang yang menggiurkan. Refleks Sedayu memejamkan mata. Sebagai perempuan, ia mengakui getaran-getaran yang timbul saat melihat tubuh Gilang. Bentuk tubuh yang sering kali membuat perempuan-perempuan menjerit kagum. Sungguh, ia ingin memandang tubuh sempurna itu. Namun, licin di kepala Gilang membuat Sedayu harus menutup mata. "Aku bukan anak kecil," ujar Gilang sinis saat melihat Sedayu berdiri dengan kue tart di tangan. Detik selanjutnya, kue itu jatuh ke lantai teras. Sedayu tercengang. Ia pandangi kue yang teronggok menyedihkan di lantai. Air matanya menetes. Kue yang ia hias dengan cinta itu tertolak. Gilang benar-benar tidak ingin bersama lagi. "Makasih, Om," ujar Sedayu saat melihat Gilang melangkah menjauh. Gadis itu berdiri. Tangannya bergerak melepas kalung yang setia melingkar di leher. Pun, mengambil telepon seluler dalam tas. "Aku kembalikan ini. Terima kasih sudah mengajariku bagaimana menyembuhkan luka." Ia meletakkannya di depan pintu, lalu berlari menemui Ari yang menunggu di jalan. Ia tumpahan kesedihan di d**a sahabatnya. Memang, nyanyian tentang cinta tidak selamanya menyenangkan. Ada beberapa bait yang terdengar sengau saat didendangkan. Seperti bait yang dilantunkan malam ini. Perih menyiksa hatinya. Sementara di dalam rumah, Bintang meneriaki Gilang. Tidak peduli itu perbuatan tidak sopan atau terlihat kurang ajar. Ia tidak bisa menahan lagi. "Harus ya menyakiti Mbak Dayu kayak tadi. Itu keterlaluan, Pa." "Dia akan bahagia setelah lepas dari kita, Bintang." "Iya. Tentu saja. Tapi, Papa bisa mengakhiri hubungan dengan cara baik-baik. Bukan jadi pecundang. Papa mau ajarin aku kurang ajar, ya?" Gilang bergeming. Ia tidak menyangka anaknya akan semarah ini. "Jangan bicara padaku sebelum papa minta maaf pada Mbak Dayu dan akhiri hubungan dengan cara baik-baik." Bintang masuk ke kamar. Pintunya dibanting kasar. Kecewa benar-benar menguasai hatinya. Sosok ayah yang disegani selama ini berlaku sadis pada perempuan. Gilang mendengkus. Masalah ini akan terus berlanjut jika ia tidak menuruti keinginan Bintang. Laki-laki itu masuk ke kamar, meletakkan telepon seluler dan kalung milik Sedayu di atas nakas. Menit selanjutnya ia melangkah keluar setelah memakai baju dan menyambar kunci mobil. Ketika tiba di teras, ia melihat dua orang di pinggir jalan. Seorang di antaranya perempuan berambut keriting. Ia yakini itu adalah Sedayu. Tadinya ia pikir Sedayu datang bersama Hana. Namun, orang bersama gadis itu sekarang laki-laki. Ia berjalan cepat, menghampiri dua orang yang sedang berpelukan di pinggir jalan. Sedayu ditarik saat Gilang mengenali laki-laki itu. Rahangnya mengeras dengan tatapan tajam yang mengerikan. "Kenapa kamu bersama dia?" Sedayu bergeming dalam dekapan Gilang. Gemuruh di d**a semakin tak keruan. Ia hirup wangi maskulin yang beberapa bulan ini sangat dirindukan. Ari ingin menjawab, tetapi peringatan Sedayu saat ia memaksa antar ke sini membuatnya tetap bungkam. "Jangan tinggalin aku, Om. Aku minta maaf karena hampir membuat Bintang celaka. Itu enggak sengaja, Om. Aku sayang Bintang." Gilang luluh. Ia menunduk, lalu mengecup puncak kepala Sedayu. Berlanjut dengan kecupan demi kecupan pada kening, pipi, telinga, hidung dan bibir. Ari mengumpat. Ia disuguhi pemandangan yang membuat sakit hati. "Ayo kita nikah." Ajakan Gilang pada Sedayu menciptakan kemurkaan mendalam di hati Ari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD