Ribuan detak jarum jam telah terlewat. Satu purnama sudah usai tanpa dering ponsel dari Gilang. Rayuan gombal melalui pesan yang membuat Sedayu menaruh hati padanya terhenti tanpa jejak. Usai sudah sebuah hubungan yang baru saja bertunas. Tunas itu mati sebelum berkembang karena terinjak oleh sesuatu yang tidak dipahami.
Lelah hati dan pikirannya. Ia hanya gadis yang menaruh harap. Bersimpuh hanya pada Sang Kuasa. Air mata menetes entah sudah berapa mili liter. Berbagai tanya masih menggelayut. Tidak ada jawaban. Bahkan Bintang pun tidak ingin menemuinya. Remaja itu memilih berlari menjauh ketika tidak sengaja mereka bertemu di supermarket.
Nestapa memang jika hati masih berharap cinta pada manusia. Selalu kecewa yang ia terima. Tiba-tiba saja ia teringat Ari. Kenapa begitu mudah Gilang mengalihkan dunianya. Namun, setelah hatinya terikat, laki-laki itu begitu mudah melemparnya kepada luka yang parah.
"Mbake, masa mau diam-diam terus. Katanya mau kerja, mau buat toko roti. Mana? Sekarang malah asyik meratapi om-om enggak berperasaan itu."
Hana kesal. Majikannya masih saja menangis. Padahal sudah satu bulan berlalu. Remaja yang memiliki sifat sangat dewasa itu sungguh tidak menerima majikannya dibuang tanpa penjelasan.
Senyuman tipis terukir manis di bibir Sedayu. Melihat wajah kesal yang ditampilkan Hana membuatnya tersadar. Tidak seharusnya ia berdiam diri dan meratapi sesuatu yang telah terjadi. Semestinya ia bergerak, agar luka tidak betah menghuni hati.
"Makasih, Hana. Kamu setia banget, deh. Besok temani aku ke Brebes, ya."
"Ngapain? Enggak nyari om gila itu di sana, kan?"
Bantal melayang di wajah Hana. Diikuti kekehan Sedayu yang membuat Hana bahagia. Majikannya sudah ceria kembali. Meski waktu yang dibutuhkan begitu lambat. Tidak masalah. Bukankah pelan-pelan yang penting bisa move on? Daripada pura-pura bahagia lebih awal, nyatanya masih menyimpan kenangan masa lalu. Itu menyedihkan.
Ketika hari berganti, Sedayu benar-benar mengajak Hana ke Brebes. Remaja itu tidak mengerti dan tidak tahu majikannya hendak menemui siapa. Sudah sekian menit mereka tiba, tetapi Sedayu hanya berdiri memandang sebuah rumah dari kejauhan.
"Mbake, sebenarnya mau ketemu siapa?"
Bukan jawaban yang diterima, melainkan helaan napas terdengar jelas. Setelah berkali-kali menarik napas, ia turun dari motor lalu melangkah pelan tanpa mengajak Hana.
"Mama!" panggilnya saat melihat perempuan paruh baya di depan rumah yang sedari tadi dipandangi.
"Sedayu! Ya Allah!"
Rindu yang menjamah hati selama ini terbayar oleh kehangatan pelukan. Isakan haru terdengar dan kegembiraan menggema dalam hati.
"Kiapa se datang kamari?"
"Emang Dayu enggak boleh ketemu Mama lagi, ya?"
"Tentu saja boleh. Tapi, bagemana deng papa?"
"Enggak apa-apa, Ma. Papa udah izinin aku ke sini."
Kehangatan dalam kebersamaan mereka terjalin kembali. Percakapan demi percakapan tidak sekali pun menyinggung kejadian mengerikan saat itu. Seolah sengaja tidak mengingat hal-hal buruk yang sudah terjadi.
Sedayu sengaja bertahan hingga sore menjelang. Ari pulang dari kantor. Laki-laki itu terperangah saat melihat sahabat yang sudah ia sakiti. Entah malu atau takut, ia tidak mampu mengucapkan satu kata pun. Bahkan kakinya tidak sanggup beranjak, berdiri kaku di ambang pintu.
"Hai, Ri!" sapanya lembut. Tidak lupa menyuguhkan senyuman manis untuk menyambut kedatangan sahabatnya. Ia menepuk sofa kosong di samping. "Duduk sini!"
Ari melangkah gontai. Diam-diam ia melirik mama-papanya yang sudah duduk di depan Sedayu. Entah apa maksud kedatangan Sedayu ke rumah ini.
"Karena Ari sudah pulang, Dayu mau bilang tujuan datang ke sini." Gadis itu memperbaiki rambut keriting yang dibiarkan terurai. Sejak ucapan Gilang yang memuji cantik dengan tampilan seperti itu, ia jarang mengikat rambut. "Dayu mau hari ini kalian pulang ke Tegal. Dayu enggak akan pergi dari sini sampai kalian mau ikut."
Ari dan papanya saling tatap. Dua laki-laki itu terdiam. Berbeda dengan Tanta Mardiyah. Ia justru berbinar. Kemudian berdiri.
"Kalau kamong bardua seng mau, biar beta sandiri yang pulang. Ayo, Dayu. Bantu mama basiap-siap."
~••0••~
"Maaf."
Itu kata pertama yang diucapkan Ari sejak pertemuan mereka sore kemarin. Saat tiba di rumah, laki-laki itu memilih mengurung diri di kamar. Beberapa tetangga yang datang menyambut kepulangan mereka membuatnya semakin merasa bersalah. Pagi ini, ketika melihat Sedayu menyiram bunga, ia hampiri.
"Enggak usah dibicarakan lagi, Ri." Sedayu mengarahkan selang air ke arahnya, mencoba mengalirkan suasana. Ari menyilangkan tangan, menghalau air. Tetap saja basah. "Kamu belum mandi, kan?"
"Sembarangan nih, Bekicot!" Ia merampas selang dan balas menyiram gadis itu. Keduanya tertawa lepas. Beban kesalahan yang terpendam selama ini menguap, menghadirkan kelegaan yang luar biasa.
"Balik sana! Emang enggak kerja?"
"Kerja. Tapi, nanti malam kita ke bioskop, ya?"
Sedayu terdiam. Matanya berkedip-kedip. Meski tidak ingin mengingat kejadian buruk saat itu, nyatanya ia memang masih menyimpan ketakutan. Memaafkan memang mudah, tetapi melupakan atau menaruh kepercayaan kembali itu butuh waktu. Bahkan mungkin saja kesempatan mengembalikan dua hal tersebut tidak ada lagi.
"Kalau enggak mau, enggak apa-apa, kok." Ari memahami keraguan sahabatnya. Ia yakin, Sedayu pasti masih takut jalan berdua dengannya. "Aku salin dulu. Mau kerja."
"Boleh, tapi bareng Hana."
Ari tersenyum dan mengangguk. Maka, di sinilah mereka. Berempat dengan Iyan. Entah selera gombalnya sudah menguap ke mana. Laki-laki itu hanya diam sepanjang kebersamaan mereka di Cinepolis Pacific Mall Tegal.
"Mas Iyan sakit gigi, ya?" tanya Hana ketika mereka menunggu Ari membeli tiket. "Dari tadi enggak ngomong."
"Mau gimana lagi, Dek. Aku e biasanya merayu Sedayu, tapi dia sudah punya calon suami. Lagian, aku enggak mau ditonjok om botak itu."
"Om botak? Yang pukul aku waktu itu? Emang dia siapa, Yu?" Ari yang sudah kembali dari antrean ikut penasaran. Sejak kejadian malam itu, Iyan atau teman-temannya yang lain tidak pernah membahas Sedayu di grup. Padahal selama ini, grup menjadi ajang debat dan tantangan siapa yang bakal mendapatkan Sedayu atau cewek lainnya lebih dulu.
"Filmnya dah mau mulai. Ayo, masuk!"
Bukannya menjawab, Sedayu berdiri dan mengambil tiket di tangan Ari. Tanpa menunggu tanggapan yang lain, ia melangkah duluan.
"Enggak usah bahas om itu, ya," ujar Hana ketika Sedayu sudah jauh. "Kalian enggak tahu, kan? Satu minggu kemarin Mbak Dayu masuk rumah sakit. Dia jatuh waktu kami jalan-jalan ke Bukit Rangkok. Sejak kecelakaan itu, Om Gilang menghilang. Mbak Dayu datang ke warung pun enggak mau ditemui."
"Sebentar! Om Gilang itu si botak? Apa hubungannya dengan Sedayu?"
"Mereka sudah mau menikah, Ri."
Ari tercengang. Ia benar-benar tidak tahu berita apa pun tentang Sedayu sejak pindah ke Brebes. Rasa cemburu sedikit menyentil hati. Betapa mudah Sedayu melupakan dirinya. Agak kecewa karena ia dipanggil pulang ke Tegal demi sebuah pelarian. Gadis itu mengingatnya lagi setelah kehilangan sang calon suami. Tadinya ia berharap Sedayu tidak ingin kehilangannya.
Tawa halus tergumam dari mulutnya. Mungkin ini akibat sikap pengecutnya. Ari menggeleng. Semua sudah terjadi. Sekarang Sedayu butuh dukungan. Sekiranya ia bisa menghapus kesalahan yang pernah dilakukan dengan selalu ada untuk Sedayu.
Saat dalam bioskop, ia tidak memperhatikan film. Wajah Sedayu mengalihkan segalanya. Bahkan kepalanya dipukul Iyan pun ia tidak peduli.
"Semoga aku bisa menghadirkan cinta di hatimu untukku kembali." Ia bergumam pelan.
"Kamu ngomong apa, Ri?" tanya Sedayu.
"Kamu cantik."
Sedayu tertawa lepas. Baru kali ini ia mendapat pujian seindah itu dari bibir Ari.