Sejak turun dari mobil, tasnya dibawa Hana. Ponsel dan dompet tidak dalam genggamannya. Padahal itu merupakan barang wajib yang harus ada saat tidak tahu jalan seperti sekarang.
Sedayu menghela napas. Ia masih duduk bersila di tengah hamparan padang ilalang. Berharap Gilang atau siapa saja menemukan keberadaannya. Ia mendongak, memandang awan-awan berarak beriringan. Sebagian yang terpisah dan gumpalan, akan terpencar lalu menghilang diterbangkan angin.
"Awan, boleh enggak aku titip salam di balik gumpalanmu? Sampaikan pada laki-laki berkepala botak yang ada di sekitar sini. Katakan, bahwa aku menanti jemputan cinta darinya. Aku enggak butuh kata maaf. Sebab enggak ada kesalahan apa pun di antara kami."
Sedayu tersenyum dalam kesendirian. Ia merasa memiliki teman meski hanya berbentuk awan. Kadang kala, manusia memang tidak butuh curahan hati pada sesama. Pada benda mati seperti buku diari pun cukup menenangkan.
"Dayu!"
Senyumannya semakin merekah saat mendengar suara Gilang. Ia berdiri hendak menyahut, tetapi timbul sebuah ide gila yang membuatnya urung bersuara. Ia merangkak di antara semak-semak, lalu menyembunyikan badan di balik batu besar. Ingin mengerjai Gilang. Nanti setelah Gilang bersama para pemandu itu menjauh, barulah ia mengikuti dari belakang. Itu rencana yang tersusun rapi dalam pikirannya.
"Aku yakin dia ada sekitar sini. Wangi parfumnya masih terasa."
Sedayu ternganga. Sungguh tidak mengira Gilang mengenali wangi tubuhnya. Ia menggigit ujung kuku jari telunjuknya. Sembari menghela napas, ia ukir senyuman indah dan merasakan sensasi aneh menggetarkan dadanya. Sungguh, ia bahagia mendapati Gilang seperhatian itu padanya.
Ia sandarkan kepala di batu. Matanya terpejam. Ia mengajak pikiran melayang, melukis pelangi masa depan dalam angan. Menikah dengan Gilang, hidup bahagia bersama anak-anak. Angan-angan itu membuai. Ia tertidur dengan senyuman tersungging karena hatinya sedang berbunga-bunga.
Suara mendesis membangunkan tidur nyenyaknya. Ia duduk tegak sembari merenggangkan otot-otot yang kaku saat tertidur. Ia menggosok mata, lalu perlahan-lahan dibuka. Seketika melebar mata yang tadinya sipit. Gelap telah mengelilingi tempatnya berpijak.
Gemuruh di d**a bertalu ketika suara mendesis semakin jelas terdengar. Ia melirik kanan kiri meski tidak melihat apa pun karena hari telah berselimut gelap. Ia menggigit bibir, lalu berdiri dan berlari kencang. Entah, ia tidak tahu berlari ke mana. Dalam pikirannya hanya menjauh dari bahaya.
Dalam kegelapan, ia terus berlari. Ketika menabrak pohon atau tersandung batu, ia hanya mengadu sesaat kemudian berlari lagi. Darah mengucur dari kening tak lagi dipedulikan. Samar-samar ia mendengar namanya dipanggil. Suaranya semakin menjauh.
Ia terus berlari. Perih di kaki tidak terasa sakit. Sebab rasa takut lebih mendominasi pikirannya saat ini. Ia tersandung, lalu terjatuh lagi. Kali ini tubuhnya terguling-guling. Kemudian terhenti saat menabrak pohon besar. Kepalanya terbentur batu yang ada dekat pohon tersebut.
Darah mengucur dari kepala. Matanya berkunang-kunang, tetapi ia sempat menyentuh kepala. Tangannya basah dan bau darah terendus indra penciumannya. Air matanya menetes. Wajah sang papa terbayang. Ia merasa belum memberikan kebahagiaan pada laki-laki paruh baya itu. Meski sebenarnya sebagai orang tua bijak, Pak Sandi tidak menuntut balas jasa. Melihat anaknya hidup bahagia itu sudah cukup baginya. Terbayang pula wajah keluarga Ari. Semenjak kejadian itu mereka belum bertemu lagi. Ia ingin mengucapkan terima kasih karena sudah menjaganya selama ini.
"Tuhan! Inikah batasku di dunia?" Lirih ia bergumam. Perlahan matanya terpejam. Sebelum kesadarannya menghilang, ia mendengar teriakan samar-samar dari arah yang jauh.
"Mbak Dayu!"
~oOo~
Kepala terbalut perban. Tangan diinfus. Selang oksigen terpasang. Baju pasien membungkus tubuh. Jari diapit alat pendeteksi jantung. Begitulah tampilan Sedayu ketika ia membuka mata. Ia memperhatikan sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ia sendirian dalam ruangan yang tertutup gorden. Suara monitor menemani kesendiriannya.
Ia ingin bangun, tetapi sakit di kepala menyerang ketika bergerak. Ia hanya bisa memiringkan badan sembari menahan nyeri, lalu berusaha menekan tombol pemanggil perawat.
"Nona Dayu sudah sadar?"
Seorang perempuan berpakaian dokter tersenyum hangat saat memasuki ruang perawatan. Perawat di sampingnya pun berbinar.
"Kepalaku nyeri, Dok."
"Itu hal yang wajar, Sayang. Kepalamu habis dijahit. Butuh dua sampai empat minggu masa penyembuhannya. Rajin konsumsi obat, insya Allah cepat sembuh. Saya akan panggilkan papamu ke sini." Dokter beralih ke arah perawat, lalu meminta melayani kebutuhan Sedayu. Dokter pun berderap keluar.
Sekian menit berlalu, gorden tersibak. Papanya muncul dengan wajah berbinar, tetapi berlinang air mata. Seperti itulah papanya. Suka duka yang dialami Sedayu, akan selalu direspons dengan air mata.
"Maafin Dayu, Pa."
"Tidak usah minta maaf. Yang penting sekarang kamu baik-baik saja."
"Siapa yang antar aku ke sini, Pa?"
Papanya gelagapan. Sedayu memperhatikan laki-laki paruh baya itu menghela napas. Seolah menyimpan sebuah beban.
"Orang desa yang menemukanmu dan langsung dibawa ke rumah sakit."
"Om Gilang?"
"Papa tidak tahu, Dayu."
Mata Sedayu menyipit. Ia mencari kebohongan yang terucap. Jawaban macam apa itu. Seharusnya papa marah, kan kalau Om Gilang lepas tanggung jawab, pikir Sedayu. Namun, ia tidak ingin bertanya lagi pada papanya. Yakin sekali jika ia tidak akan mendapat jawaban yang memuaskan.
Hari-hari berlalu dalam masa perawatan, Gilang atau Bintang tidak tampak sama sekali. Sedayu benar-benar gelisah. Mungkinkah Gilang dilarang datang setelah kecelakaan ini. Apa mungkin papanya setega itu? Sedayu memukul-mukul kening saat berbagai tanya kembali melintas.
"Ada apa? Kenapa kepalanya dipukul-pukul? Masih sakit?"
Dokter cantik yang menanganinya selama ini tiba-tiba masuk. Sama seperti hari-hari sebelumnya, senyuman manis selalu terukir ketika berbicara dengan pasien.
"Dok, selama aku dirawat, apa ada laki-laki berkepala botak datang menjenguk?"
"Saya pernah melihat sekali, tapi dia enggak masuk. Cuma berdiri di depan pintu dan mengintip ke dalam. Beberapa perawat juga pernah melihatnya beberapa kali. Saat ditanya, dia malah pergi. Dia siapa?"
Sedayu tidak menjawab. Pikirannya telah dipenuhi berbagai tanya. Kenapa Gilang tidak menemuinya? Saat Sedayu mencoba menghubungi, nomornya tidak dapat dihubungi.
Satu minggu masa perawatan, Sedayu diizinkan pulang. Ketika melihat Hana, ia mencecarnya dengan berbagai tanya.
"Aku enggak tahu, Mbak. Wong Om Gilang enggak muncul lagi, kok."
"Enggak muncul?"
"Yo, menghilang dari peradaran to, Mbake. Udahlah, Mbake. Ora usah pedulikan om-om itu. Aku ora sudi mbake dibentak-bentak maning."
Sedayu terdiam. Sakit hati karena dibentak saat itu tidak terasa lagi. Kini, ia hanya kebingungan kenapa Gilang tidak ingin menemuinya lagi.
"Hana, apa Papa melarang Om Gilang menemuiku?"
"Enggak, Mbake. Enggak usah banyak tanya. Mending sekarang istirahat. Kepalanya ntar sakit kalau banyak mikir."
Sedayu masuk ke kamar. Ia mengambil kalung dalam tas. Kalung pemberian Gilang saat di bukit. Kalung itu mungkin dilepaskan perawat. Ia menghadap cermin, memakai kembali kalung berliontin nama DAYUnG tersebut. Meski hati perih dan banyak tanya memenuhi pikiran, Sedayu menyunggingkan senyuman saat memperhatikan kalung indah itu.
Lima hari berlalu, Sedayu pergi tanpa pamit pada Hana. Ia ingin menemui Gilang di warung. Kalau pamit, gadis itu melapor pada Pak Sandi.
"Mbak, Om Gilang-nya ada?" tanyanya pada seorang karyawan. Hanya gelengan kepala yang ia terima sebagai jawaban. Tidak ingin putus asa, ia bertanya lagi pada karyawan yang lain. Namun, jawabannya sama saja.
"Mbake, kami sibuk ngurus pelanggan. Mending sekarang keluar kalau datang ke warung bukan untuk makan." Seorang karyawan mencecarnya saat ia bertanya lagi dan lagi. Ia hanya bisa menarik napas dan melangkah keluar dengan rasa kecewa menyelimut hati.
Sementara di bagian dalam warung, Gilang terduduk membisu. Tangannya memijat kepala. Wajah Sedayu menghantui pikirannya.
"Kasihan Mbak Dayu, Pa," ujar Bintang yang berdiri di pinggir jendela.
"Akan lebih baik baginya jika papa tidak mendekatinya, Bin."
"Pa, kejadian ini enggak ada hubungannya dengan masa lalu. Ini kecelakaan biasa."
Gilang tidak menjawab. Bintang geram dibuatnya. Susah sekali membuat papanya yakin kalau kecelakaan yang menimpa Sedayu tidak berkaitan dengan masa lalu sang papa.