CHAPTER DUA

2128 Words
            Ketiganya berseru saat melihat Made mendekat lalu melempar tasnya ke atas meja. Mereka bertiga terkikik melihat wajah Made yang kusut masai. Wina yang pertama kali tertawa secara terang- terangan melihat mata sahabatnya yang membengkak.              "Lo nyatronin haji Ardhana sampai jam berapa, Mad?" tanya Wina. Made menatap ketiga temannya dengan sinis. Memang, meski Made mengeluh seperti apapun, toh, semalam selepas dari rumah Wina, laki- laki itu meluncur ke rumah orangtua Lala hanya untuk melihat Lala dan Aris tengah menatap pion- pion catur di depannya. Wajah Lala tampak masam sementara wajah Aris tampak muram.              "Gue cuma berdoa semoga kuping gue nggak bermasalah gara- gara dengar ocehan Haji Ardhana sepanjang malam." Kata Made sambil mengusap- usap kedua telinganya.              "Sorry ya, Mad. Abis masnya lagi dinas diluar kota. Haji Ardhana gue temenin main catur malah ngomel gara- gara gue asal- asalan mindahin pionnya. Lo kan tahu, gue mana bisa main catur." Kata Lala sambil tersenyum manis.              "Ndak apa- apa, Mad, itung- itung nyari pahala." Celetuk Elisa.              "Pahala... pahala... Lo pacaran sana sama Fabian, itung- itung nyari pahala karena bahagiain anak orang." Kata Made dengan nada ketus. Wina dan Lala mengulum senyum sementara Elisa berdecak kesal.              "Ndak usah bawa- bawa Fabian deh. Aku ndak suka." Keluh Elisa sambil membuka buku mata kuliahnya. Berusah melepas pembicaraan mengenai laki- laki itu.              "Lihatlah, karena cinta bisa mengubah segalanya. Cinta bisa mengubah si Putri Solo yang tadinya lemah lembut menjadi nenek lampir seperti Wina." Kata Lala dengan nada dramatis.              "Ndak usah ngomongin cinta. Aku sama sekali ndak cinta sama dia." Kata Elisa sambil mendongak dan menatap temannya satu per satu.              "Ingat- ingat kisah cinta Lala sama masnya, El. Mana tahu tar lo juga cinta sama Fabian." Kata Made yang langsung disambut anggukan oleh Lala dan Wina.              Elisa menatap sahabatnya satu persatu lalu berujar, "Lala sama masnya itu beda. Masnya jelas dari keluarga baik- baik. Jelas bibit, bebet, bobotnya. Lah, si tato Pikachu itu? Ndak jelas latar belakang keluarganya." Terang Elisa.              "Jelas kok. Gue kenal semua keluarganya." Kata wina. "bapaknya namanya Faris, dulu sih dia kerja di sebuah akuntan publik. Ibunya, Nina, ibu rumah tangga yang super duper bawel, kakak pertamanya Rara, kakak keduanya Riri, nah Fabian anak ketiga. Keluarga mereka harmonis kok, dan cukup terpandang juga." Jelas wina.              "Itu kan dulu, siapa yang tahu gimana keluarganya sekarang? Nggak ada keluarga baik- baik saja yang menghasilkan anak seorang DJ yang ngeganja, perokok, pemabuk dan bertato." Terang Elisa.              Ketiga temannya menggeleng. Tak percaya Elisa akan berpikir sejauh itu.              "Ck... teman kita yang satu ini benar- benar ya. Dosa lho, El, suudzon sama orang." Kata Lala.              "Tahu nih, parnonya kebangetan banget." Timpa wina.              "Namanya juga anak muda, nggak ada yang salah dengan mabuk kok." Kata Made, "maksud gue, nggak ada salahnya sekali- kali minum alkohol." Lanjutnya.              "Bener kata Made. Perokok juga, jaman sekarang jangankan cowok, cewek juga banyak yang ngerokok." Tambah Wina yang langsung mendapat tatapan penuh selidik dari Lala dan Elisa.              "Lo pernah ngerokok, Na?" tanya Lala, "ngaku lo."              Wina berdehem lalu mengangguk. Tatapan Elisa dan Lala kini beralih pada Made.              "Kamu pernah minum alkohol, Mad?" kali ini Elisa bertanya dengan tatapan menyelidik.              Made menghela napas lalu mengangguk. Elisa dan Lala berdecak untuk alasan yang berbeda.              "Astagfirullah." Seru Elisa.              "Hebat. Jadi selama ini gue kuno banget dong, ya. Ngerokok nggak pernah, minum alkohol apalagi." Kata Lala sambil menggeleng tak percaya.              "Bukan lo yang kuno, tapi Haji Ardhana yang kayak manusia purba." Kata Wina.              Jika merokok dan minum minuman beralkohol termasuk hal biasa bagi Lala, ini tidak berlaku untuk Elisa. Gadis itu memasukkan kedua hal itu sebagai kejahatan besar. Karena itu, dia langsung memberikan ceramah panjang lebar pada Wina dan Made atas sesuatu yang baginya tergolong kejahatan.              Hanya Lala yang lolos dari ceramah kali ini karena ia sama polosnya dengan Elisa. Alhasil, ia hanya menonton kedua temannya dicecar dan dijelaskan mengenai dampak buruk rokok dan alkohol, tema yang mereka sudah dapat saat sekolah pastinya.              "Itu dulu, El. Waktu gue SMA. Itu juga cuma coba- coba. Nggak sampai kecanduan." bela Wina.              "Aku belum selesai bicara." Kata Elisa telak, membuat Wina langsung mengatupkan mulutnya rapat- rapat.              "Ya Tuhan, gue punya dosa apa sih. Belum cukup apa semalaman dengerin ocehan Haji Ardhana." Keluh Made sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.    ***                Perempuan muda itu turun dari tangga dan masuk ke ruang makan, melihat asisten rumah tangganya yang tengah mengupas buah di meja makan.              "Bian belum ke sini- sini, mbak?" tanya gadis itu sambil menyeruput teh hangat yang sudah tersaji di atas meja.              "Belum neng Riri." Wanita itu bisa melihat gadis di depannya berdecak sambil mengulurkan tangan untuk mengambil potongan buah yang sudah dikupasnya.              "Tumben tuh anak, sudah beberapa bulan ini nggak minta jatah buat nambahin uang kosan." Katanya sambil mengunyah.              "Mungkin mas Bian sudah banyak duit, neng." Kata perempuan yang kerap dipanggil mbak Iin, asisten rumah tangga yang sudah mengabdi dengan keluarganya lebih dari sepuluh tahun.              "Banyak duit juga percuma, mbak. Tahu sendiri dia borosnya kayak apa. Tiap malam hobinya dugem mulu." Sahut Riri sambil kembali mengambil potongan buah di depannya. Gadis itu menggeleng mengingat kebiasaan- kebiasaan buruk adik laki- lakinya.              "Coba di bilangin atuh, neng. Gimana kalau ibu sama bapak tahu."              "Jangankan mami sama papi, kalau sampai Rara tahu, aku bisa digantung di pohon jamblang." Kata gadis itu dengan nada kesal. Pasalnya, bukan sekali dua kali ia menceramahi adik bungsunya untuk meninggalkan kehidupannya yang berantakan. Tapi, laki- laki itu sepertinya sudah kebal dan menganggap semua ocehannya hanya angin lalu. Laki- laki itu hanya menjanjikan bahwa suatu saat ia pasti akan berubah.              Fabian : Teh, ada di rumah nggak?              Pandangan Riri beralih pada benda pipih yang berdenting di sebelahnya. "Panjang umur banget ini anak, baru juga di omongin, sudah ngechat aja."              Riri : Sekarang ada, lima belas menit lagi nggak ada.              Fabian : Yaudah, Bian ke sananya nanti aja kalau teteh udah nggak ada. :D              Gadis itu berdecak lagi. Ia tahu, pertemuannya dengan laki-laki itu tak pernah berjalan normal. Mungkin Fabian sudah mulai bosan diberondong puluhan pertanyaan tiap pulang ke rumahnya.               Riri : Terserah. Nggak ke sini juga nggak apa- apa. Teteh juga sudah hampir lupa sama muka kamu. Kalau ketemu di jalan juga teteh belum tentu ngenalin kamu.              Fabian : Ngambek, sabtu Bian nginep di rumah deh. Kita ngegame sampai pagi.              Fabian : Oke, sist?              Riri : Ditunggu, Gan!!!              Riri menyadari bahwa keputusan Fabian untuk tinggal sendiri membuat rumah itu sepi. Gadis itu cukup dekat dengan Fabian dibanding dengan kakak perempuannya, Rara. Baginya, Rara terlalu kaku dan perfectsionis. Itulah sebabnya sejak kecil, dirinya lebih suka main bersama Fabian daripada kakak perempuannya.              Ngegame sampai pagi adalah kegiatan yang biasa ia habiskan bersama adik laki-lakinya sebelum laki-laki itu memilih untuk tinggal sendiri tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya dan Rara. Ia menyimpan rapat rahasia itu karena adiknya bersikeras ingin mandiri dan ia tidak bisa membayangkan jika keluarganya tahu bahwa selama ini Fabian hanya datang sesekali ke rumah itu. Belum lagi fakta- fakta hidup laki-laki itu yang berantakan. Ia sadar, ia tak seharusnya melepaskan adik laki- lakinya meskipun ia sudah dewasa. Baginya, Fabian masih adik kecilnya, karena tidak ada laki- laki dewasa yang saat ditanya ingi jadi apa, menjawab "Ingin jadi Ultraman." Sungguh, laki- laki itu kadang membuatnya kesal setengah mati.    ***                Fabian mengembuskan asap rokok dari mulutnya. Suara bising dan bau alkohol menguar di sekelilingnya. Ia menatap Loreng yang tengah melayani beberapa pengunjung di depannya.              "Minum nggak, bro?" tanya laki- laki yang rambutnya sedikit ikal itu. Fabian menggeleng lalu kembali menghisap batang yang terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya. Ia menatap sekeliling, suasana yang sudah tak asing lagi buatnya karena ia kerap menghabiskan malamnya di tempat itu meskipun tak berkerja setiap hari.              "Tadi Anggi nyariin lo." Loreng menaruh kedua sikunya di atas meja bar dan menatap Fabian lekat- lekat.              "Ngapain?" tanyanya dengan nada tak acuh.              "Lo sudah punya gebetan baru, ya? Tumben cuek banget sama Anggi?" tanya Loreng, masih menatap Fabian yang mengembuskan asap rokok tepat ke wajahnya.              "Sudah. Yang ini serius banget." Fabian menaruh putung rokok di asbak yang tersedia di atas meja.              "Serius?" tanyanya dengan nada tak percaya. Pasalnya, ia tahu sekali sepak terjang percintaan laki- laki di depannya. Fabian bukan tipe laki- laki yang akan serius pada perempuan. Laki- laki itu lebih suka menjalani hubungan tanpa status atau mungkin pacaran yang jangka waktunya tak lebih dari tiga bulan.              "Ini prospek banget buat dijadiin istri. Tajir melintir, cantik meskipun agak kuno." Katanya dengan nada berbisik tepat ke telinga Loreng.              "Kuno?"              "Antik. Lo tahu kan barang antik aja harganya mahal. Yang ini antik versi manusia."              "Masih perawan?"              "Masih lah. Gue aja nggak yakin dia udah pernah pacaran. Di gandeng tangannya aja marah- marahnya sudah kayak dilecehkan."              "Yakin lo?"              "Yakin." Kata Fabian penuh percaya diri.              "Maksud gue, yakin dia mau sama manusia macam lo?"    ***                Elisa melirik sekeliling. Menatap satu persatu anak yang ada di sekitaran sekolah itu. Setelah lima belas menit tak menemukan Ervan. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi satu nomor.              "Waalaikumsalam, kamu di mana, Van? Mbak udah di depan sekolahanmu, nih." Katanya, tak lama ia terkejut, "di rumah Fabian? Ngapain kamu di sana? Kirimin alamatnya, mbak jemput sekarang." Katanya dengan nada tergesa. Setelah membalas salam Ervan, ia mematikan panggilan dan menatap benda pipih dalam genggamannya. Menunggu pesan.              Setelah mendapatkan pesan dari Ervan, ia langsung menyuruh supirnya menuju tujuan. Hari ini, Ervan pulang cepat karena para guru sedang rapat, sehingga supirnya yang sedang dalam perjalanan mengantar Elisa mengambil barang pesanan Widya terpaksa mengantar gadis itu dulu.              Berkali- kali, gadis itu menyuruh supirnya untuk lebih cepat. Ia tidak mau terjadi apa- apa pada Ervan. Tidak ada yang tahu apa yang akan diajarkan Fabian pada Ervan. Ia tidak mau sepupunya mengikuti ajaran sesat Fabian.    ***                Laki- laki itu mengerang di sofa saat mendengar pintu rumahnya di ketuk. Ia bersumpah akan menendang tulang selangka Loreng kalau laki- laki itu yang berada di depan pintunya. Mengabaikan suara itu, Fabian menutup telinganya dengan bantal sofa. Tapi nyatanya orang di depan tak mau menyerah. Suara ketukan itu masih terus berbunyi dan membuyarkan mimpi- mimpinya.              "Nggak ada orang." Teriak Fabian, masih memejamkan matanya. Ketukan itu kembali mendengar. Ia terduduk di sofa lalu mengacak- acak rambutnya lalu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Dengan langkah gontai, ia mendekat ke arah pintu dan membukanya. Ia terperajat saat menyadari bukan Loreng yang mengetuk pintu rumahnya pagi itu.              "Ervan?" katanya dengan nada bingung.              "Mas Fabian mau pergi ke mana?" tanya anak itu sambil menatap Fabian dari atas sampai bawah. Tapi, tatapannya terpaku pada wajah Fabian yang masih kusut. "Eh, mas Fabian baru bangun tidur?" tanyanya saat melihat laki- laki di depannya mengucak- ucek matanya untuk kembali memastikan bahwa yang berdiri di depannya benar- benar Ervan.              "Iya, baru bangun." Jawabnya dengan nada malu. Sekali lagi, Ervan menatap Fabian dari atas sampai bawah dengan heran.              "Mas tidur masih pakai jaket, jam tangan sama sepatu?" tanyanya.              Fabian menggaruk- garuk kepalanya yang tidak gatal lalu merangkul pundak Ervan. "Sudah masuk, yuk." Katanya, "kok kamu bisa ada di sini?" tanyanya saat mereka duduk di ruang tamu.              Mengidahkan pertanyaan Fabian, Ervan malah sibuk memerhatikan sekeliling, menyadari bahwa ruangan itu benar- benar berantakan. Asbak dan abu- abu rokok berceceran di bawah meja, jaket tersampir asal di sofa, kaset DVD berantakan di bawah meja televisi, sepatu dan kaos kaki terserak di pojok ruangan, komik- komik tersebar di berbagai sudut.              "Maaf rumah mas berantakan, ya." Kata Fabian sambil mengambil dua buah kaleng soda dari kantong plastik yang ada di samping sofa.              "Ini mah bukan berantakan, tapi sudah kayak kapal pecah, mas." Jawab Ervan terang- terangan, membuat Fabian terkekeh.              "Namanya juga rumah cowok." Belanya.              "Aku juga cowok. Tapi kamarnya nggak pernah sampai kayak gini." Jawab Ervan.              "Mas kan bukan cowok biasa, Van."    ***                Elisa membuka jendela mobilnya. Matanya menatap bangunan di sampingnya. Bangunan menyerupai kos- kosan bertingkat yang dilindungi sebuah gerbang besar berwarna hitam.              "Benar itu rumahnya, Pak?" tanya gadis itu pada pak Wiryo.              "Iya, Mbak, itu nomornya benar. Tinggal cari aja yang nomor 45D." jawab laki- laki itu. Ragu, Elisa turun dari mobil dan menatap sebuah mobil dan dua buah motor yang baru saja keluar dari gerbang hitam itu. Ia mendekat ke gerbang itu dan langsung menatap rumah yang berjejer rapi dan saling berhadapan. Ia mendekat ke salah satu rumah dan melihat nomor yang terlihat di depan pintunya. 45A, ia maju lagi hingga benar- benar berdiri di depan pintu bernomor 45D. Ia mendekati pintu lalu memberanikan diri mengetuknya pelan. Tak lama, pintu itu terbuka dan menunjukkan sosok yang sudah tak asing lagi buatnya.              "Ajeng?" kata Fabian dengan nada heran. Tidak menjawab, Elisa memilih melongok ke belakang tubuh Fabian dan melihat Ervan sedang fokus pada stik game dan layar televisi di depannya.              "Ervan, ayo pulang." Kata Elisa dengan nada agak keras. Ervan menoleh.              "Masuk dulu, mbak, nanggung nih." Katanya sambil kembali fokus ke layar datar di depannya.              Fabian tersenyum lalu memiringkan tubuhnya, membiarkan gadis itu melangkah memasuki ruangan itu.              "Astagfirullah... ini rumah apa kandang ayam?"    To Be Continue 29 November 2020
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD