CHAPTER TIGA

2584 Words
            Laki- laki berambut ikal itu keluar dari rumahnya, melangkah menuruni tangga dan terkejut melihat pintu rumah Fabian sudah terbuka lebar.              "Ada apa nih rame- rame? Ada operasi tangkap tangan, ya?” katanya sambil menatap Fabian, Ervan dan Elisa secara bergantian.              "Mulut lo minta tabok banget." Sungut Fabian sambil melotot ke arah Loreng yang kini hadir di tengah- tengah mereka.  Loreng menatap seorang gadis yang kini menatapnya dengan tatapan menyelidik. Mata tajam gadis itu menelitinya dari atas sampai bawah. Menelanjanginya tanpa ampun.              "Kamu ini laki- laki apa perempuan?" tanya Elisa pada Loreng yang langsung mengenyit bingung.              "Laki- laki lah." Loreng menjawab cepat.              "Terus, itu kenapa telinga dipakein anting? Kayak perempuan aja." Katanya dengan nada sinis. Matanya kini melirik rambut Loreng yang ikal dan dikat dengan karet.              "Coba buka mulutnya." Perintah Elisa. Loreng menurut dan membuka mulutnya.              "Lidah pakai ditindik segala. Kamu pikir dengan begitu kamu kelihatan keren?" kata Elisa dengan nada mengejek. Fabian menahan geli saat melihat sahabatnya ternganga mendengar pernyataan gadis itu.              Mata Elisa kini terpaku pada sebuah tato tengkorak di lengan kanannya. Mengikuti arah pandang gadis itu, Loreng langsung menutup tatonya dengan sebelah tangannya, takut akan mengundang komentar sinis dari gadis itu lagi.              "Tatomu jeleek." Kata Elisa lalu berbalik. Berjalan menghampiri Ervan dan menarik tangannya untuk keluar dari rumah itu.              "Ajaib." Seru Loreng saat mendapati punggung gadis itu menghilang dari pandangannya sementara Fabian mulai terbahak. "jangan bilang itu cewek yang mau lo prospek buat jadi istri." Laki- laki itu menjatuhkan diri di sofa lalu melihat sahabatnya mengangguk mantap.              "Lo nggak salah, Fa? Itu cewek mulutnya udah kayak cabe sekilo. Pedas banget." Komentar Loreng sambil mengambil remot televisi dan menekan beberapa angka yang tertera di sana.              "Dia cuma kaget lihat orang kaya kita. Hidupnya beda sama hidup kita. Hidup dia semua serba teratur, nggak kayak kita. Makanya dia suka nggak tahan pengin ngomentarin hidup kita yang berbeda sama hidup dia." Jelas Fabian sambil menyeruput minuman kalengnya.              Loreng menggeleng- gelengkan kepalanya tak percaya. Seumur hidup, hanya gadis itu yang berani melontarkan pertanyaan, "kamu ini laki- laki apa perempuan?" sungguh, itu pertanyaan yang benar- benar menjatuhkan harga dirinya, belum lagi komentar tentang lidahnya yang ditindik. Lalu mengejek tato tengkoraknya jelek. Matanya lalu menatap tato di lengannya dengan seksama.              "Kalau tato di lengan gue yang keren ini dia bilang jeleek, apa kabarnya kalau dia tahu tato lo yang cupu itu. Pikachu." Katanya dengan nada mengejek.              "Dia udah tahu." Jawab Fabian yang langsung membuat Loreng menoleh.              "Terus komentarnya apa?"              "Dia bilang gue tetap ganteng mau pakai tato apapun juga." Jawabnya sambil tertawa, membuat Loreng langsung meninju lengan Fabian sambil mendesis kesal.    ***                Elisa merengut sepanjang perjalanan pulang. Ia tak menyangka akan menemui hari ini. Di mana kakinya akan menginjak rumah Fabian yang serupa kandang ayam. Tak hanya penampilan dan kehidupan laki- laki itu yang berantakan, namun rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyamanya pun tak kalah berantakan. Ia tidak sanggup berpikir sudah berapa lama rumah itu tak dibersihkan dan serangga- serangg apa yang sudah berkumpul di kolong- kolong meja rumah itu.              "Kamu ndak ngapa- ngapain kan, Van, di rumah Fabian?" tanya Elisa sambil menoleh ke samping, di mana Ervan terdiam sejak tadi.              "Nggak, mbak, Ervan cuma main PS doang." Jawabnya jujur. Tak sadar, Elisa mengembuskan napas lega lalu terpaku pada jalanan yang tampak lenggang hari ini hingga mobil itu memasuki halaman rumah besarnya.              "Mas Fabian itu lucu, lho, mbak." Kata Ervan saat mereka berjalan bersisian masuk ke dalam rumah.              "Lucu gimana?"              "Masa tidur masih pakai jaket, jam tangan sama sepatu." Jawabnya sambil terkekeh ringan.              "Bukan lucu, itu namanya ndak tahu aturan." Kata Elisa telak. Ervan langsung mengatupkan mulutnya rapat. Elisa naik ke lantai atas sementara ia pergi ke dapur untuk mengambil minum.              Elisa masuk ke kamarnya lalu melirik jam dindingnya. Ia masih punya waktu empat jam sebelum pergi ke kampus untuk satu mata kuliah pengganti minggu lalu. Ia menaruh tasnya di atas meja lalu duduk di kursi. Mengambil modul untuk mata kuliah nanti dan memasukkannya ke dalam tas agar tidak lupa tepat saat ponselnya berdenting.              Wina : Gue kayaknya hari ini nggak ke kampus.              Lala : Kenapa?              Wina : Ibnu tiba- tiba datang ke rumah sama orangtuanya. Tapi, mudah- mudahan aja gue bisa melarikan diri secepatnya.              Made : Syukurlah, siapa lagi cowok yang mau sama nenek lampir sok perfectsionis kayak lo. Sujud syukur dulu sana.              Lala : Lo mau dinikahin paksa, Na?              Wina : Made kalau ketemu, gue kepang ya mulut lo.              Wina : Nggak, La. Cuma kenalan aja, karena gue nggak pernah mau diajak ke rumahnya.              Elisa : Kalau lagi kumpul, jangan main HP, Na. Ndak sopan sama tamu.              Wina mendesis diujung tempatnya. Sahabatnya yang satu ini memang selalu bisa mematikan pembicaraan. Benar saja, sejak pesan yang dikirim Elisa, tak ada lagi yang membalas. Membuat Wina terpaksa memfokuskan pandangan ke Ibnu yang duduk di depannya. Dan kedua orangtua laki- laki itu yang tampak asik mengobrol dengan mamanya.              Ia melirik Ibnu yang sesekali nampak menimpali pembicaraan orangtuanya dan mamanya. Hari ini, penampilan laki- laki itu terlihat lebih santai dari biasanya. Hanya dengan polo shirt warna hitam yang mencetak jelas bentuk tubuhnya yang begitu pas, celana jeans warna abu- abu dan sepatu kets dengan warna serupa dengan kaosnya. Ia tak bisa memungkiri bahwa laki- laki terlihat menarik.              Setelah putaran jam yang baginya terasa sangat- sangat lama. Setelah mereka semua menyelesaikan makan siang dan kembali mengobrol di taman belakang. Pembicaraan mereka seakan tak pernah ada habisnya. Wina dan Ibnu menempati sebuah bangku kayu, berpisah dengan kedua orangtua Ibnu dan Dara.              Wina dan Ibnu tak punya banyak bahan pembicaraan seperti ketiga orangtua itu. Hingga untuk putaran menit- menit pertama mereka lalui dengan keheningan yang memekat.              "Maaf kalau kedatangan kali ini bikin lo kaget." Suara pertama keluar dari mulut Ibnu meskipun tatapannya terfokus ke depan, ke sebuah kolam ikan dengan air mancur di tengahnya.              Dan bagi Wina, laki- laki itu memang penuh kejutan. Di pertemuan pertama, dia bilang kalau mereka di jodohkan, di pertemuan kedua, dia ngajak pacaran dan sekarang, laki- laki itu membawa kedua orangtuanya untuk diperkenalkan padanya. Sejujurnya, ia tak tahu apa yang sebenarnya direncanakan laki- laki itu.              "Gue cuma bingung, apa yang membuat lo menerima perjodohan ini?" Wina menoleh, "lo nggak jeleek-jeleek amat. Kok kayak orang frustrasi sampai mau-maunya dijodohin." Lanjutnya. Wina melihat laki- laki itu tertawa kecil lalu menoleh, membuatnya sadar bahwa laki- laki jauh terlihat tampan jika di lihat dari jarak dekat dan saat tersenyum.              "Nggak ada yang salah dengan perjodohan. Kita mungkin baru bertemu, tapi bagi mama, tante Dara bukan orang baru, begitu juga sebaliknya. Paling nggak, kalau kita cocok, kita udah selangkah lebih maju karena udah dapet restu dari kedua orangtua" Jelasnya, sekali lagi ia tersenyum, "lagipula, perjodohan ini nggak harus berhasil kok. Kita cuma perlu memulai aja. Kalau cocok ya lanjut, kalau nggak, ya sudah."              Tak sadar, Wina mengangguk setuju. Otaknya mencerna kata demi kata yang keluar dari mulut Ibnu dan memang, perjodohan itu tak ada salahnya. Apalagi, kedua orangtua mereka hanya menyuruh mereka mencoba dan menjalani, sebenarnya, tak ada yang dipaksakan di sini.    ***                Jam menunjukkan pukul lima kurang saat dosen keluar dari kelas diikuti oleh mahasiswa dan mahasiswi lainnya. Hanya tingga Lala, Made dan Elisa yang masih bertahan di tempat karena Lala belum selesai mencatat materi di papan tulis.              Sebenarnya, kalau sudah dalam keadaan kepepet gini, Lala biasanya punya jurus jitu, jurus yang juga banyak diterapkan oleh mahasiswa lain. Tinggal ambil ponsel, buka menu kamera dan cekrek. Tulisan dosen di papan tulis akan langsung terabadikan di ponselnya dan bisa ia salin nanti- nanti, kalau tidak lupa.              Tapi karena kebiasaan lupanya menyalin kembali ke buku catatan, Elisa selalu menyuruh Lala mencatat sampai tuntas, seperti sore ini. Gadis itu memang terkadang bisa lebih sadis dari dosennya sendiri.              Lala menekan pulpen ke bukunya saat mencapai kata terakhir, lalu merenggangkan otot tangannya yang terasa pegal.              "Sudah, La?" tanya Elisa.              "Udah, keluar yuk. Cari makan, gue lapar." Keluhnya sambil memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas.              "Perasaan sebelum kelas, kita udah makan deh. Itu perut apa mesin giling sih, La?" kata Made yang sudah berdiri, membuat Lala terkikik geli.              "Yaelah, sambil nunggu gue sama Elisa di jemput. Lo nggak mau kan nganterin kita berdua ke rumah." Katanya saat mereka berjalan beriringan keluar dari kelas.              Lala memesan semangkuk mie ayam jamur sementara Made dan Elisa cukup dengan beberapa camilan kecil yang dimakan berdua.              "Lo belum hamil aja, makan udah kayak orang kesurupan gini. Gimana nanti pas hamil." Komentar Made yang langsung memuat Lala mendelik.              "Bodo amat. Perut kenyang, hati senang, pikiran tenang." Jawabnya. Made mendesis lalu menatap Elisa  yang duduk di depannya.              "Fabian sehat, El?" tanyanya iseng. Lala ikut mendongak lalu tersenyum geli.              "Kenapa nanya sama aku? Memang aku ibunya apa." Jawabnya dengan nada ketus.              Keduanya terkikik geli. Tak ada hiburan paling mengasyikkan selain menggoda Elisa. Gadis itu bisa langsung berubah seratus delapan puluh derajat kalau sudah membicarakan Fabian. Kata- kata lembutnya akan berubah ketus. Tatapan teduhnya akan berubah sinis. Dan wajah putihnya akan memerah kalau ia sudah sampai di puncak rasa kesalnya.              "Aku tadi pagi ke rumah Fabian dan kalian harus lihat seperti apa rumahnya." Dan Elisa menceritakan kejadian tadi pagi. Di mana dalam pandangannya, rumah laki- laki itu tak jauh berbeda dari kandang ayam. Sangat- sangat berantakan dan jorok. Belum lagi temannya yang ternyata sama 'amburadulnya' dengan laki- laki itu.              "Dia itu memang sudah 'habbitnya' seperti itu." Katanya sambil bergidik ngeri.              "Nah, itu tandanya dia cocok sama lo. Kalau lo berjodoh sama dia, rumahnya nggak akan kayak kandang ayam lagi." Kata Made yang langsung disambut anggukan oleh Lala yang masih sibuk mengunyah.              "Fabian memang nggak salah kalau naksir sama lo. Pinter dia itu, sadar dirinya jorok, makanya naksir sama cewek yang super bersih dan teratur kaya lo." Timpa Lala.              "Anugerah buat Fabian, musibah buat lo, El." Kata Made sambil tertawa lepas.    ***                Fabian tidak tahu sejak kapan ia mulai betah berada di rumah Elisa. Rumah besar itu sudah seperti rumah ketiga baginya. Meskipun jadwal mengajar Ervan masih dua jam lagi, laki-laki itu sudah muncul dari sekarang dan kini tengah menikmati kopi hangat dan pisang goreng di depan garasi bersama Pak Wiryo.              "Ajeng pulang jam berapa, pak?" tanyanya sambil mengigit pisang goreng buatan mbok Asih. Juru masak paling handal di rumah itu.              "Katanya sih, jam limaan, mas." Jawab pria paruh baya itu setelah menyesap kopinya hingga tinggal setengah.              "Kalau saya sama Elisa, cocok nggak pak?" Tanya Fabian pada pria paruh baya itu.              "Nggak cocok." Jawab pria itu jujur.              "Kenapa pak?"              "Sebenarnya sih bukannya nggak cocok, mas. Cuma susah." Kata pak Wiryo sementara Fabian melirik penuh keingintahuan, "setahu saya, mbak Ajeng itu udah dijodohkan sama orangtuanya di Solo." Terangnya              "Yang benar, pak?" Tanya Fabian dengan rasa penasaran.              "Iya, saya sih nggak sengaja dengar waktu ngantar Ibu, beliau waktu itu teleponan sama ibunya mbak Elisa." Pria itu menyesap kopinya lalu menatap Fabian yang terlihat bingung. "Lagian, mas, orang- orang kayak mbak Elisa itu nggak mungkin dibiarin cari jodoh sendiri." Katanya lagi, "apalagi adat Jawanya masih kental banget. Bibit, bebet, dan bobotnya harus jelas." Lanjutnya.              Rumah itu memang selalu sepi saat pagi dan siang hari. Suami Widya yang bekerja di Malaysia memang hanya pulang sebulan atau dua bulan sekali, sedangkan Widya sibuk di rumah sebelah, rumah yang difungsikan sebagai usaha salon. Selain membuka salon dan spa yang mengutamakan bahan- bahan alami, Widya juga membuka usaha make up dan membuka sekolah untuk make up khusus adat Jawa.              Setelah mengobrol panjang lebar dengan pak Wiryo dan menghabiskan segelas kopi dan sepiring pisang goreng, Fabian bergegas ke belakang rumah. Ia mendekati gazebo yang ada di sana. Tempat yang mengarah langsung ke kamar Elisa yang tampak kosong, kedua tirainya tertutup rapat. Yang terlihat hanya dua buah kursi dan sebuah meja yang ada di balkon.              Fabian mengambil sebuah bantal yang ada di balkon lalu menaruh kepala di atasnya. Membiarkan angin    berembus dan membelai wajahnya, membuatya mengantuk dan dalam hitungan menit, matanya sudah terpejam dan ia sudah tertidur pulas.    ***                Anak itu masih berseragam saat menaruh tasnya di atas meja belajar lalu menggapai beberapa buku diatas meja dan kembali berlari ke lantai bawah. Kakinya melangkah cepat hanya untuk menemukan Fabian yang tengah tertidur pulas di gazebo rumahnya.              "Mas... mas... bangun, mas." Remaja itu menggoyang-goyangkan lengan Fabian yang justru semakin pulas.              "Mas... bangun." Kali ini, tangannya memencet hidung Fabian hingga laki-laki itu kaget dan membuka mulutnya lebar-lebar untuk menarik napas.              "Ervan." Fabian mengucek-  ucek matanya, melihat Ervan terkikik geli.               Ervan tidak sadar sejak kapan ia mulai menyukai kegiatan lesnya. Sosok Fabian benar-benar mengubah kegiatan yang biasanya membosankan itu menjadi lebih menyenangkan. Tak ada lagi sosok kaku dengan kacamata tebal yang menjelaskan dengan panjang lebar yang justru membuatnya mengantuk. Fabian sosok yang berbeda, pertama kali melihatnya yang berani-beraninya datang ke rumah dengan kaos dengan kemeja terbuka dan jeans robek, ia sudah tahu kalau laki-laki itu berbeda dari guru les biasanya.              Mereka masih sibuk memecahkan soal-soal fisika saat Ervan menyenggol lengan Fabian dengan pensilnya. Fabian menoleh, melihat Ervan melayangkan pandangannya ke balkon kamar Elisa. Laki- laki itu mengikuti arah pandangan Ervan lalu melihat seorang gadis keluar dari kamar dan duduk di kursi balkon dengan segelas minuman di tangan kiri dan sebuah buku di tangan kanan. Gadis itu memusatkan pandangannya ke buku yang sedang di bacanya. Sesekali ia menggapai gelas lalu menyesap minumannya, tak menydari dirinya menjadi pusat perhatian seseorang.              "Mas, naksir ya sama mbak Elisa?" tanya Ervan dengan nada menggoda. Laki- laki tak tahu malu itu mengangguk dengan mantap.              "Cocok nggak kira- kira?" Fabian menyisir rambutnya dengan jari- jari tangannya lalu berkedip pada Ervan yang tertawa ringan              "Cocok, mas. Cocok." Jawab Ervan.              "Beneran?"              "Iya, bener, cocok jadi supirnya mbak Elisa." Remaja itu terpingkal saat melihat perubahan di wajah Fabian.    ***                Fabian menatap punggung Ervan yang sudah menjauh dan masuk ke dalam rumah. Langit sudah memekat saat ia baru saja menyelesaikan tugasnya mengajar. Ia merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku lalu berdiri dan masuk ke dalam rumah. Langkah kaki membawanya menuju dapur, di mana aroma harum tercium dari tempat itu.              "Masak apa, mbok?" tanyanya pada wanita paruh baya bernama Asih.              "Soto nih, mas. Mau? Enak lho." Katanya. Tak perlu diragukan, masakan mbok Asih memang selalu enak. Laki- laki itu mendekati meja bar lalu melihat mbok Asih yang tengah menyiapkan makan malam.              "Kerupuknya ada, Mbok?" tanyanya.              "Ada, lah."              "Yaudah, mau deh." Kata laki- laki itu. Fabian memerhatikan Mbok Asih yang tampak lincah hingga akhirnya samar- samar mendengar derap kaki mendekat. Ia menoleh, lalu menatap mbok Asih yang baru saja menuang kuah dalam mangkuknya. Fabian berdiri lalu mendekati mbok Asih, mengambil mangkuk yang berisi soto yang masih mengepul lalu menyembunyikan diri di bawah meja bar.              "Lho, mas Fabian ngapain?" tanya mbok Asih kebingungan.              "Saya makan di sini aja, mbok." Katanya saat mendengar suara percakapan semakin dekat.              "Lho, kenapa nggak makan malam bareng ibu aja?" tanyanya bingung.              "Nggak mau. Saya di sini aja." Laki- laki itu menaruh jari telunjuknya di bibir. Menyuruh mbok Asih diam saat mendengar suara Widya dan Elisa masuk ke ruang makan.              Fabian makan dengan tenang. Setenang suasana yang juga terjadi di meja makan. Bagi Fabian, makan di kolong meja bar mungkin lebih menyenangkan daripada bergabung dengan Widya dan sederet peraturannya. Setidaknya, ia masih bisa mengunyah dengan mulut terbuka, atau duduk dengan mengangkat satu kakinya, atau makan sambil menggaruk kepalanya dan memasukkan jari kelingkingnya ke lubang hidungnya yang gatal, meskipun sama- sama harus dilakukan tanpa suara.              Fabian menyelesaikan makannya lebih dulu. Setelah sepuluh menit mengutak-atik ponselnya, suara di ruang makan akhirnya pecah. Suara Ervan yang pertama kali terdengar olehnya, lalu dilanjutkan dengan suara Widya dan Elisa. Beberapa detik kemudian, ia mendengar derap langkah menjauh, tepat saat ia mengeluarkan sendawa yang tak bisa ditahannya.              "Siapa itu?" suara Elisa terdengar. Fabian memutar bola matanya lalu menjawab,              "Kucing."    To Be Continue LalunaKia            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD