CHAPTER EMPAT

2012 Words
            "Siapa itu?" suara Elisa terdengar. Fabian memutar bola matanya lalu menjawab,              "Kucing."              Elisa mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut dapur yang sudah kosong.              "Kucing?" lirihnya sambil berpikir, kucing apa yang bisa ngomong?              Elisa membalik badan dan melihat Widya dan Ervan sudah berjalan menaiki tangga. Dengan keberanian penuh, ia mengambil centong nasi berbahan kayu dari atas meja lalu mendekat ke sumber suara. Ia melangkah tanpa suara hingga berdiri di depan meja bar.              Di bawah meja bar, Fabian yang sudah tak mendengar apapun akhirnya meyakinkan diri bahwa sudah tidak ada siapa- siapa di ruang itu. Setelah menarik napas, ia perlahan bangkit dari persembunyiannya hanya untuk merasakan sebuah centong diarahkan ke kepalanya dengan begitu keras.              "Dasar maling... maling... maling..." Elisa terus menghujam Fabian yang sudah menutupi kepala sambil menunduk.              "Ampuuunnnn nyaaaaiiiiii..." kata Fabian tak kalah keras. Tapi, Elisa yang sudah geregetan malah semakin menghujam laki- laki itu tanpa ampun sambil terus berteriak, berharap penghuni yang lain datang.              Mencegah keributan yang mungkin sebentar lagi akan terjadi, Fabian terpaksa menurunkan tangannya yang sejak tadi menutupi wajah dan kepalanya. Satu hantaman centong nasi mengenai pelipisnya dan kedua kalinya, centong hanya melayang diudara. Belum sempat mendarat, Elisa sudah terkejut melihat siapa yang sejak tadi dipukulnya.              "Fabian!!!" seru gadis itu.              "Aduh, mimpi apa semalam bisa digaplok sama centong nasi kayak gini." Laki- laki itu berdiri lalu mengusap- usap wajah dan kepalanya yang mulai terasa nyeri.              "Kamu ngapain di sini?" tanya Elisa seraya meminta penjelasan. "kamu mau maling, ya?"              "Maling? Apa yang bisa dimalingin di dapur, Ajeng? Panci sama penggorengannya mbok Asih nggak berharga- berharga banget." Fabian berkacak pinggang sambil menatap tajam ke arah Elisa yang mulai salah tingkah.              "Ya terus, kamu ngapain di sini?"              Belum sempat Fabian menjawab, satpam, supir dan asisten rumah tangga di rumah itu tiba- tiba muncul diambang pintu dengan senjata masing- masing.              "Di mana malingnya, mbak?" tanya Pak Wiryo sambil mengacungkan sebuah kayu di tangannya.              "Ndak ada maling, pak." jawab Elisa. "tadi saya pikir maling, ternyata tikus." lanjut Elisa sambil melirik tajam ke arah Fabian.              Sementara supir dan satpam itu bernapas lega, Mbok Asih justru mati- matian menahan tawanya.              "Tikusnya putih ya, Mbak? Doyan kerupuk lagi." Katanya sambil terkikik geli.    ***                Laki-laki itu memasuki ruangan ingar-bingar itu dan langsung mendekati meja bar. Duduk di kursi sambil menatap sahabatnya yang sedang melayani para pelangg4n. Ia merogoh saku untuk mengeluarkan sekotak rokok dan mengambil satu batangnya. Sebelah tangannya yang lain merogoh saku kemeja dan mengeluarkan pemantik api. Dalam satu gerakan, ujung rokok itu terbakar, dihisapnya rokok itu dalam-dalam dan diembuskannya asap melalui mulutnya.              Ia mengamati Loreng baik- baik hingga akhirnya laki- laki itu menyadari kehadirannya. Loreng menghampirinya dan meletakan segelas minuman di depannya.              "Lo habis berantem sama siapa?" tanya Loreng saat mengamati pelipis Fabian yang membiru di    antara penerangan yang redup. Ia perlu memajukan wajahnya lebih dekat hanya untuk memastikan ada lebam biru di pelipis sahabatnya.              "Berantem sama centong nasi." jawab Fabian asal lalu menyeruput minumannya. Ia melihat alis Loreng terangkat naik karena bingung. Pandangan laki-laki itu lalu teralih ke balik punggung Fabian, di mana seorang gadis sedikit berlari menghampiri mereka.              "Lo ke mana aja? Lama nggak kelihatan." Fabian terkejut merasakan sebuah tangan melingkari bahunya dengan posesif.              "Lepas, Nggi." Perintah Fabian. Gadis itu terkekeh lalu duduk di sebelahnya. Senyumnya mengembang melihat Fabian yang tengah menghisap rokoknya dalam- dalam.              "Jangan dekat- dekat gue, nanti pacar lo ngamuk- ngamuk lagi." Kata Fabian dengan nada sinis. Gadis itu terkekeh pelan lalu menjawab.              "Gue udah putus sama Riko."              "Kenapa? Baguslah, kasihan tuh anak kalau lo porotin terus." kata Fabian secara blak- blakan. Tawa keluar dari mulut Loreng, membuat gadis itu langsung melotot kepadanya.              "Gue nggak morotin dia, kok. Dia aja yang terlalu royal." kata Anggi sambil menatap wajah Fabian. "eh, pelipis lo kenapa? Kok biru gitu?" tanyanya sambil mencoba menyentuh wajah Fabian tapi laki-laki itu buru-buru menghindar.              "Abis beradu sama centong nasi katanya." Loreng menjawab. Anggi menatapnya kebingungan.              Anggi, gadis berperawakan tinggi dengan kaki jenjang itu bukan orang baru dalam hidup Fabian. Mereka bertemu di bar itu, dan sempat menjalin hubungan selama beberapa bulan hingga akhirnya Fabian memilih untuk memutuskan gadis itu. Alasannya hanya satu, biaya pacaran dengan Anggi membutuhkan kantong yang tebal. Gadis itu terbiasa dengan semua hal yang serba mewah. Belum lagi, gadis itu punya kebiasaan dugem, sama sepertinya, hobi merokok dan minum- minum, gadis itu juga punya tato dibagian pusarnya, suka memakai baju yang kekurangan bahan, belahan d**a dan paha mulusnya bisa dilihat dengan bebas oleh siapa saja. Jujur, bukan gadis seperti itu yang dicari Fabian.              "Centong nasi? Maksudnya apa sih?" pandangan Anggi terarah sepenuhnya pada Fabian yang tampak malas.              "Bukan apa-apa. Cuma ada insiden dikit aja tadi." jawab Fabian sekenanya. Ia masih fokus pada lintingan nikotin yang terselip di antara dua jarinya. Loreng sudah pergi dari hadapannya untuk melayani tamu lain. Meninggalkan Fabian dan Anggi berdua.              Suara ingar- bingar masih mendominasi ruangan. Bau rokok dan alkohol menguar di sekelilingnya.              "Lagi?" Anggi mengulurkan sekotak rokok saat melihat Fabian sudah menekan putung rokoknya ke dalam asbak.              "Nggak." jawab laki- laki itu singkat. Menarik kembali uluran tangannya, gadis itu mengambil satu batang dan membakar ujungnya, menghisapnya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya ke arah Fabian, membuat laki-laki itu menoleh. Ia melihat gadis itu tersenyum manja ke arahnya.              "Lo kenapa, sih? Kelihatannya aneh banget." kata Anggi, sekali lagi ia mengembuskan asap rokoknya ke arah Fabian.              "Nggak apa-apa, cuma baru sadar, ngelihat lo kayak ngelihat hidup gue sendiri, berantakan. Pantesan aja itu cewek nolak gue mentah-  mentah."    ***                 Pria paruh baya itu duduk di beranda rumah. Matanya menatap tiap baris koran yang sedang di bacanya. Segelas kopi tersaji di atas meja di sampingnya.              "Assalamualaikum, Pak Haji." Pria itu menurunkan koran yang sedang dibacanya lalu melempar pandangan ke arah gerbang, di mana seorang laki- laki terduduk di atas sebuah motor gede. Tidak memerlukan banyak waktu untuk mengetahui siapa orang yang baru saja menyapanya.              "Ngapain, kamu?" tanyanya. Laki- laki itu membuka helmnya lalu terkekeh ringan.              "Salamnya dijawab dulu atuh, Pak Haji." laki- laki itu sedikit berteriak karena Aris tak juga berdiri dari duduknya.              "Iya...iya... waalaikumsalam. Mau ke mana kamu?" tanyanya lagi.              "Mau ke rumah Lala, Om." jawab Fabian enteng.              "Mau ngapain? Awas ya kamu kalau gangguin rumah tangga anak saya." Sungut Aris, membuat Fabian terkekeh.              "Tenang aja, Om. Kan saya sudah berubah haluan."              "Mendingan kamu cari perempuan lain aja, jangan Elisa. Anak baik- baik jangan kamu rusak." kata Aris dengan nada tajam.              Sebelum perdebatan semakin panjang dan ceramah- ceramah keluar dari mulut Aris, Fabian memilih pamit dan melajutkan perjalanannya ke rumah Lala yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah itu.              Dari luar gerbang, ia bisa melihat mobil Made sudah terparkir di halaman rumah. Setelah memarkirkan motornya, ia menghampiri pintu dan menemukan Wina dan Lala yang sudah berkumpul di ruang tamu.              "Masuk, Fa." Lala mempersilakan Fabian masuk dan duduk di samping Wina. Ia melihat sudah ada beberapa cemilan tersaji di atas meja.              "Ada acara apaan sih ini?" tanya Fabian yang kebingungan karena tiba-tiba diundang ke sana.              "Nggak ada acara apa- apa. Cuma kumpul mingguan aja." jawab Wina. Mereka berempat memang biasanya mengadakan acara berkumpul akhir pekan di salah satu rumah secara bergilir. Acara yang sebenarnya nggak penting- penting banget karena hanya diiisi sama makan, ngegosip, sama main PS.              "Lo diundang karena Elisa nggak bisa datang. Katanya lagi ngurus salon, tante Widya lagi seminar gitu." jelas Lala. "Made sama mas Ilham di dalam, tuh. Lagi main PS."              "Nggak ah, gue di sini aja. Mau ngomongin Elisa."              "Ngomongin Elisa?" ulang Wina dengan dahi berkerut.              "Iya, memang benar ya, Elisa itu sudah di jodohin sama orangtuanya di Solo?" tanya Fabian dengan nada serius.              "Nggak tahu deh gue. Tapi yang jelas, kalau lo memang beneran naksir sama Elisa, mendingan lo mikir- mikir deh. Kriteria Elisa tuh tinggi banget. Elu mah seujung kuku juga nggak ada yang masuk kriterianya dia." jawab Wina.              "Emang dia nggak suka cowok ganteng?"              "Heloow, jaman sekarang nggak butuh ganteng doang." seru Wina yang langsung disambut anggukan oleh Lala.              "Dia nggak suka cowok perokok, bertato, suka minum, suka ngeganja, kerjaannya DJ. Dia suka sama cowok yang alim, rajin sholat, sopan, punya masa depan dan terlahir dari keluarga yang jelas." jelas Lala.              "Keluarga gue jelas kok, iya, kan, Na?" ia melirik Wina yang mengangguk pelan.              "Iya, sih, yang itu gue tahu pasti. Yang nggak gue habis pikir, gimana bisa lo jadi kayak beradalan gini. Jangan- jangan tante Nina sama Om Farish cerai terus lo cari pelarian yak."              "Sembarangan lo kalau ngomong!" serunya pada Wina "Orangtua gue masih baik- baik aja tahu," jawabnya.              Dan obrolan terus berlanjut, Wina dan Lala memberitahu lebih spesifik seperti apa laki- laki yang pantas mendampingi Elisa. Sesuatu yang tak ada dalam diri Fabian sedikitpun.              "Sekarang kalau misanya Bapaknya Elisa nanya 'kamu punya apa sampai berani-beraniya naksir anak saya?' lo mau jawab apa?" kata Lala.              "Saya punya keahlian yang nggak semua orang punya. Saya bisa nyanyi lagu despacito tanpa lihat lirik."    ***                Bagi Made, salah satu kebahagiaannya saat Lala menikah dengan Ilham adalah, intensitas pertemuannya dengan Haji Ardhana berkurang hampir sembilan puluh persen. Jika biasanya ia selalu dimonopoli Aris saat bermain ke rumah gadis itu, kini tak lagi terjadi, bermain PS dengan Ilham jelas lebih menyenangkan dibanding membantu Aris membersihkan akuarium ataupun membersihkan kandang burung peliharaan pria itu.              Mereka berdua masih sibuk dengan stik di tangan masing- masing saat Lala, Wina dan Fabian bergabung bersama mereka.              "Anteng banget ini anak berdua." Kata Fabian lalu memukul pundak Made dengan keras hingga laki- laki itu memekik sakit.              "La, ngapain pada ke sini. Ganggu aja, lagi seru nih. Mas lo payah, kalah mulu." Kata Made yang langsung mendapat pukulan di bahunya.              "Lo pikir ini rumah siapa? Enak banget lo monopoli laki gue." Kata Lala dengan nada sinis.              "Udah lama, Fa?" tanya Ilham setelah menyelesaikan permainan.              "Udah daritadi." Jawab laki-laki itu sambil memerhatikan sekeliling.              "Gimana sama putri Solo? Udah ada kemajuan belum?" Ilham menatap Fabian dan teman-temannya satu persatu.              "Alhamdulillah udah, kemarin abis dipukul pakai centong nasi." jawabnya yang langsung mengundang tawa semua yang ada di sana.              "Dipukul pakai centong nasi? Kok bisa?" Wina tak kuasa menahan tawanya.              "Bisa lah, teman lo kan gitu- gitu sadis juga." Fabian merengut lalu menunjukkan lebam ungu yang sudah mulai menghilang di pelipisnya.              "Kasihan banget sih lo." kata Made.              "Nggak... nggak... gue nggak perlu dikasihanin, gue cuma perlu dibantuin gimana caranya bisa dapetin Ajeng." Fabian melihat keempat orang itu mengangkat kedua tangannya secara bersamaan.              "Hands Up. Gue menyerah." kata Lala.              "Itu permintaan paling sulit untuk diwujudkan." lanjut Wina.              "Gue mending suruh bantuin Haji Ardhana bersihin akuarium daripada suruh bantuin lo dapetin hati Elisa." Ujar Made.              "Udah, cari perempuan lain aja." kata Ilham.    ***              Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Mereka berempat masih mengobrol di ruang televisi dan membahas apapun yang perlu dibahas. Ilham sebagai satu-satunya yang tertua berusaha mati-matian menyelaraskan obrolan dengan sahabat-sahabat Lala yang masih sangat muda.              "La, belum hamil juga? Gimana sih, gue udah sengaja cepat- cepat ngakalin Haji Ardhana biar si mas buru- buru gendong anak." Kata Fabian sambil menyeruput kopi yang baru saja disuguhkan Lala.              "Ini juga lagi usaha tiap hari." Sahut Lala cuek, membuat mata Ilham kontan melebar sementara Wina dan Made tertawa kecil.              "Perlu gue kasih tips, Mas?" Fabian melirik Ilham sambil tertawa. Sebuah bantal sofa mengenai kepalanya.              "Nggak perlu, Masnya udah jago banget tahu." sambar Lala, membuat Ilham lagi- lagi bengong mendengar percakapan kedua anak itu.              "STOP... STOP... udah ya, ganti topik. Kalian nggak risih apa ngomongin hal kayak gini?" Ilham buru- buru menutup pembicaraan sebelum tema yang dibahas semakin melebar.              "Guys, gue duluan ya." Wina menyambar tasnya lalu menaruh dipundak sebelah kanannya.              "Mau ke mana lo? Nggak balik bareng gue?" Tanya Made heran.              "Nggak, gue udah di jemput." Jawab gadis itu sambil berdiri.              "Sama siapa?" tanya Lala penasaran.              "Sama Ibnu." Gadis itu tersenyum malu pada sahabatnya.              "Dih, jilat ludah sendiri." kata Made.              "Bodo amat. Gue bukan satu- satunya orang yang jilat ludah sendiri." Gadis itu melirik Ilham sambil tersenyum lalu memeletkan lidahnya ke arah Made. Setelah punggung Wina menghilang dari padangan, tatapan mereka tertuju pada Ilham yang lagi- lagi terbengong mendengar ucapan sahabat istrinya yang terlampau blak-blakan.              Gue lagi kan yang kena, lirihnya dalam hati.              "Sabar ya, Mas. Teman Lala memang suka kebangetan." Kata Lala sambil mengelus pundak suaminya pelan.    To Be Continue  LalunaKia
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD