NYSA. 3 ARYAN

1050 Words
Selesai makan. "Saya sudah selesai, Mbak." "Baik, Nyonya." "Nama Mbak siapa?" Si pelayan menegakkan tubuhnya, lalu menunjuk tulisan nama yang tersulam di seragam warna biru muda yang ia kenakan. "Tutik, Nyonya." "Temani saya melihat-lihat halaman ya, Mbak." "Baik, Nyonya. Saya bereskan ini dulu." "Iya, saya tunggu di depan ya." "Baik, Nyonya." Nysa bangkit dari duduknya, ia melangkah menuju pintu depan. Tapi, langkahnya terhenti di ruangan tengah. Ada foto besar tergantung di dinding. Satu foto adalah gambar seorang pria tua yang duduk di kursi. Seorang wanita tua duduk di sebelahnya, dan seorang pria berdiri di belakang mereka. Satu bingkai foto lain, berisi foto pernikahan. Sepasang pengantin duduk bersisian di atas kursi, seorang pria duduk di depan mereka. Kedua pria itu sama, namun dengan wanita yang berbeda. Satu foto lagi, berisi tiga orang pria. Dua pria diyakini Nysa adalah pria yang sama di foto sebelumnya, wajah mereka sangat mirip, meski terlihat lebih tua dari difoto yang lain. Sedang pria yang lebih muda, memiliki garis wajah berbeda. Mirip aktor India, garis wajah yang mirip dengan wanita yang memakai baju pengantin. "Nyonya ...." Tutik berdiri di samping Nysa. "Itu gambar siapa, Mbak?" Nysa menunjuk foto pertama yang ia lihat. "Itu Tuan besar dengan kedua orang tuanya." "Tuan besar ... Tuan Hanan?" "Iya." "Yang itu, apa itu istri Tuan Hanan, dan itu putra beliau?" Nysa menunjuk foto kedua, dan ketiga. "Bukan, itu foto pernikahan Ayah Tuan besar, dengan Nyonya Devi. Ibu Tuan besar meninggal. Kemudian, Ayah Tuan besar menikah dengan Nyonya Devi, yang usianya jauh lebih muda. Beliau keturunan India." "Oooh ... di mana sekarang orang tua Tuan Hanan, Mbak?" "Mereka sudah meninggal. Ayah Tuan Hanan meninggal sepuluh tahun lalu. Sedang Nyonya Devi meninggal tujuh tahun lalu." "Lalu pria yang itu, siapa?" Nysa menunjuk pria di foto ketiga. "Itu, Tuan Muda, namanya Tuan Aryan. Adik Tuan besar dari Nyonya Devi." "Oooh ... adik Tuan Hanan. Tinggal di sini juga?" "Tidak tinggal di sini, Tuan Muda punya rumah sendiri." "Sudah menikah?" "Pernah menikah." "Pernah, maksudnya?" "Maaf, Nyonya, saya tidak berani banyak bicara. Sebaiknya Nyonya bertanya pada Bu Andin saja." Tutik jadi salah tingkah, dirinya sadar sudah terlalu banyak bicara. Nysa jadi merasa tidak enak dibuatnya. "Maaf, Mbak. Saya terlalu banyak bertanya. Ayo, temani saya melihat-lihat halaman." "Silakan, Mbak." Nysa melangkah di depan, Tutik di belakangnya. "Sini, Mbak. Jalannya di samping saya." Nysa menarik lengan Tutik agar berjalan di sampingnya. Mereka sudah berada di samping rumah bagian depan. Banyak tanaman buah di dalam pot. "Siapa yang menanam?" "Tukang kebun, Mang Aidil, Nyonya.' "Atas permintaan Tuan Hanan ya?" "Bukan, permintaan Tuan Muda." "Ooh ... Tuan Aryan yang ganteng itu suka tanaman ya?" "Iya." "Orangnya sebaik Tuan Hanan tidak, Mbak?" "Iya." "Tuan Hanan itu terkenal baik sekali di kampung saya. Pabrik roti beliau dibangun di kampung saya. Menampung banyak tenaga kerja. Kalau di rumah, beliau baik juga tidak, Mbak?" "Iya, baik, Nyonya." "Kita duduk yuk, Mbak." Nysa duduk di kursi yang ada di taman itu. "Sini duduk!" Nysa menepuk tempat di sebelahnya. "Tidak, Nyonya, saya di sini saja," kepala Tutik menggeleng. "Biasa saja, Mbak. Saya tidak enak kalau Mbak terlalu hormat sama saya. Saya ini orang kampung, cuma tamat SMA. Buruh pabrik roti milik Tuan Hanan. Saya hanya beruntung ... eh, menurut Mbak, saya beruntung tidak, dilamar Tuan Hanan?" Nysa menatap Tutik yang menundukkan pandangannya. "Tentu saja sangat beruntung, Nyonya." "Hmmm ... apa nanti, ada orang yang menilai saya mau menerima Tuan Hanan, karena hartanya ya? Tapi, saya ada di sini, memang karena uang beliau sih. Tidak salah kalau orang menilai saya begitu." Tutik diam saja, mendengar ucapan Nysa. Nysa bercerita banyak hal pada Tutik. Tentang kampungnya, tentang keluarganya, tentang pabrik roti tempatnya bekerja. Tutik hanya mendengarkan, sambil sesekali menjawab pertanyaan Nysa. * Pagi ini, Nysa dipanggil Tutik untuk sarapan. Tutik ia suruh turun ke lantai bawah lebih dulu. Nysa ke luar kamar, pintu kamar di sebelah terbuka. Nysa terpaku di tempat ia berdiri. Wajah tampan pria di hadapannya membuat ia tak bisa mengalihkan tatapan. Mata Nysa mengerjap, disapu dengan tatapan matanya, sosok yang berdiri tegap di hadapannya. Pria itu mengikuti arah pandangan Nysa. "Ada apa?" Nysa tidak menjawab, ia terlalu terpesona. "Hey!" Pria itu menjentikkan jari di depan wajah Nysa. "Eh ... copot!" "Kamu Nysa?" "Bapak tahu nama saya?" Mata Nysa yang menatap pria di depannya melebar. "Kenapa kamu menatap saya begitu?" "Bapak ganteng sekali. Lebih ganteng daripada yang ada di foto.' "Memangnya di kampung tidak ada pria ganteng?" Aryan menekankan kata kampung, dalam ucapannya. Sehingga terdengar nada sinis. Tanpa menunggu jawaban Nysa, Aryan menuju tangga. Nysa membuntuti langkah Aryan. "Di kampung banyak juga pria ganteng, tapi tidak ada yang seganteng Bapak." "Kamu orang yang sangat jujur ya?" "Jujur itu harus, di manapun kita berada, kejujuran harus dijunjung tinggi." "Setelah sarapan, ganti pakaianmu, kita harus fitting baju pengantin." "Kita? Fitting baju pengantin? Maksudnya saya harus mencoba baju pengantin, perginya dengan Bapak?" "Iya!" "Kenapa dengan Bapak? Bukannya nanti saya nikahnya dengan Tuan Hanan. Upppsss!" Nysa menubruk punggung Aryan yang berhenti tiba-tiba. Aryan memutar tubuhnya. "Maaf ...." Nysa mundur selangkah, dibungkukkan sedikit tubuhnya. "Jadi, kamu berpikir, kalau yang akan menikah denganmu, adalah Mas Hanan?" Nysa mengangkat kepalanya yang menunduk. "Iya, beliau yang melamar saya. Beliau yang membayar semua hutang keluarga saya. Tentu saja beliau yang akan menjadi suami saya, bukan?" "Kamu tidak keberatan menikah dengan pria setua dia?" Mata Aryan menyipit, ditatap lekat wajah Nysa. Wajah standar kampung, menurut pemikiran Aryan. "Saya tidak punya pilihan yang lebih baik. Pilihannya hanya dua, menikah dengan Tuan Dony si rentenir, atau dengan Tuan Hanan, bos pabrik roti. Kalau saya menikah dengan Tuan Dony, saya jadi istri kesekian, anak saya nanti makan dari uang haram. Kalau saya nikah dengan Tuan Hanan, saya ...." "Cukup! Sakit telinga saya mendengar suaramu. Persis suara kaleng rombeng!" Aryan memutar tubuhnya, lalu melanjutkan langkah menuju ruang makan. Ternyata, di ruang makan sudah ada Tuan Hanan, dan Andin. "Selamat pagi," Nysa membungkukkan sedikit tubuhnya. Ucapan, dan cara yang ia pelajari dari novel, saat menyapa orang di pagi hari. "Selamat pagi, Nysa. Bagaimana tidurmu, nyenyak?" Andin tersenyum pada Nysa. "Sangat nyenyak. Kasurnya empuk, gulingnya enak buat dipeluk. Kamarnya adem. Maklum, Bu. Selama ini saya tidur pakai kasur tipis yang digelar di lantai, pakai kipas angin yang baling-balingnya sudah bunyi. Jadi ...." "Stop! Tidak usah diteruskan. Cepat sarapan, kita harus pergi!" Aryan mengangkat satu telapak tangannya, semua mata tertuju ke arahnya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD