Malam itu di puncak bukit yang terasa semakin mencekam, tiupan angin dingin menyusup melalui sela-sela daun besar di hutan tropis. Kelompok itu, yang kini tersisa lima belas jiwa, menghadapi perpecahan yang sangat dalam. Selain Rizal, Rangga, Amira, Sari, Fauzan, dan Fahri, masih ada anggota lain yang memiliki peran penting dan konflik yang tak kalah rumit.
Ada Dito, teknisi radio yang pandai namun pesimistis, yang seringkali duduk terpisah dari yang lainnya, merajut gelisah di benaknya, bertanya-tanya apakah bantuan dari luar akan datang sebelum mereka semua kalah oleh hutan. Lina, gadis medis amatir yang gigih, berusaha membantu merawat luka dengan seadanya tapi mulai putus asa karena perlengkapan medis sudah habis. Bima, pria berotot dengan semangat pemberontak, mengikuti Fauzan dalam keraguannya terhadap Rangga. Ada juga Tono, navigator pendiam yang kerap mengamati dengan matanya yang tajam tapi enggan untuk bicara banyak; Maya, pemburu tangguh yang terkenal praktis, memilih diam dan menilai setiap situasi dari sudut pandang bertahan hidup. Hasan, tentara berpengalaman, memberikan ketenangan dan pengamatan yang hampir seperti bayangan. Andi, pemuda pemalu yang seringkali menjadi penengah, dan Reza, sang analis yang selalu ragu terhadap analisanya, selalu mempertimbangkan semua sisi sebelum mengambil sikap.
Saat api unggun mulai menyala kecil, ketegangan tak mampu disembunyikan lagi. Fauzan meninggikan suaranya, membawa isu yang sudah lama membara. “Kita harus jujur di sini, siapa sebenarnya Rangga? Dia terlalu dingin, terlalu sempurna untuk jadi bagian dari kita. Ada sesuatu yang disembunyikan. Kita diburu suku liar, longsor, dan ujian alam lain, tapi dia tetap tenang. Apa dia agen suku itu? Atau musuh yang bersembunyi?”
Rangga membalas dengan dingin, “Aku hanya bertahan hidup. Kalian yang panik dan saling menuduh. Ketakutan akan membunuh kalian, bukan aku.” Suaranya itu seperti angin yang memotong malam, tanpa emosi tapi menusuk.
Sari berdiri membela, “Fauzan, kami lihat Rangga menyelamatkan kami beberapa kali, termasuk ramuan yang membuat Fahri stabil. Tapi aku juga bingung dengan dia. Bukti kita tak cukup. Kita harus fokus untuk bertahan hidup, bukan saling menuduh.”
Dito duduk sambil memainkan radio tua, suaranya berat, “Aku mencoba mengirim sinyal tadi siang. Jawabannya masih nihil. Di luar sana, tidak ada yang tahu kita masih hidup. Kita tak boleh terpecah, masing-masing harus menjaga perasaan satu sama lain.”
Lina menyela, “Tapi bagaimana mungkin kita saling menjaga perasaan kalau ada pengkhianat? Kita butuh kejelasan, bukan keraguan dan kecurigaan tanpa ujung.”
Bima yang membentuk aliansi dengan Fauzan, menambahkan, “Setuju. Rangga harus dipantau dengan ketat, kalau dia memang benar musuh, kita harus siap.”
Amira mencoba menjembatani, “Biarkan mereka bicara. Tapi ingat, malam ini kita masih satu kesatuan. Kalau kita terpecah, hutan ini akan membakar kita semua.”
Hasan, tetap tangguh, menenangkan, “Kita bertahan karena solidaritas, bukan karena ketegangan. Besok pagi, kita harus menentukan langkah. Tapi malam ini, waspadai ancaman yang datang dari luar dan dalam.”
Andi dan Reza setuju dengan Hasan, berusaha untuk menjadi penengah yang menyejukkan. Mereka mengingatkan, “Kadang yang tampak dingin seperti Rangga, bukan musuh sesungguhnya karena dia orang yang kuat untuk mengendalikan diri di tengah kekacauan.”
Fahri yang terbaring lemah hanya bisa mendengar, matanya setengah terbuka namun telah penuh dengan keletihan. Suaranya pelan, “Kalau kita terus bertikai, kita akan mati semua... Lihat hutan ini. Pilihan kita cuma satu—bersatu atau hilang.”
Malam itu, kelompok terbagi menjadi faksi-faksi yang tak terlihat tapi terasa kuat. Aliansi Fauzan-Bima-Sari-Lina yang sudah menaruh curiga menentang Rangga-Tono-Maya-Hasan dan dukungan pasif dari Rizal-Amira-Dito-Andi-Reza yang belajar untuk menjaga keseimbangan.
Di balik dinginnya malam dan suara alam yang mengancam, mereka tahu pertarungan terbesar bukan hanya dengan hutan, tapi satu sama lain. Semuanya menunggu pagi untuk menentukan nasib kelompok, di mana kepercayaan adalah taruhan terbesar dan pengkhianatan bisa datang dari tempat terdekat.
***
Fajar menyingsing dengan cahaya merah darah yang menyusup melalui kabut tebal di puncak bukit, menerangi wajah-wajah lelah dari 15 anggota kelompok yang selamat dari neraka saat pesawat latih mereka jatuh. Banjir bandang di lembah bagian bawah pun mulai surut, meninggalkan lumpur kental dan jejak akar pohon yang tercabut seperti tangan raksasa mencakar tanah. Udara pagi nan lembab menusuk paru-paru, bercampur bau tanah yang basah, infeksi luka Fahri, dan ketegangan internal yang tak kunjung reda. Rizal berdiri di tengah lingkaran, memimpin voting darurat dengan suara tegas, tapi faksi-faksi tersembunyi sudah mulai menggerogoti persatuan mereka seperti jamur busuk yang ada di batang pohon yang sudah mati.
“Kita vote sekarang: Rangga ikut atau diikat? Faksi Fauzan bilang ikat—motifnya untuk melindungi Fahri dan mencegah pengkhianatan. Faksiku bilang amati dengan ketat—motifnya untuk melindungi kelompok yang masih utuh. Yang mendukung Rangga: Tono, Maya, Hasan. Netral: Andi, Reza. Mulai vote!” kata Rizal, matanya menyapu semua: Dito si teknisi radio mengangguk setia di sisinya, Lina si medis menggigit bibir penuh keraguan, Bima si petarung menggeram siap untuk bertarung.
Fauzan bangkit pertama dari semua orang yang ada disana, suaranya menggelegar penuh dengan amarah yang lapar. “Ikat dia! Sari, Bima, Lina—kita 4 orang. Motifku? Dia muncul pas kami mulai melemah, memberikan ramuan 'ajaib' yang bikin Fahri stabil tapi mungkin itu adalah racun yang lambat bekerja. Liontin tulang dari suku liar itu buktinya! Kita jangan mau mati konyol gara-gara dinginnya dia!”
Sari mengangguk disertai dengan amarah, memegang tangan Fahri yang masih demam. “Setuju! Fahri bilang mimpi dia bau darah—motifku melindungi satu-satunya saudaraku di sini. Lina, kamu medis kan—ramuan itu aman nggak pastinya?”
Lina menghela napas, tangannya gemetar saat memeriksa denyut Fahri. “Aman untuk sementara... tapi ya, menurutku diikat saja dulu. Motifku: jika obat habis, aku nggak mau ambil risiko infeksi tambahan dari 'penyelamat' misterius itu.”
Bima lalu memukul pohon, otot lengannya seketika menegang. “Ikat! Aku hampir mati terkena longsor gara-gara dia memimpin melalui rute yang aneh. Motif Fauzan bener—dia akan ambil alih pimpinan kalau Rizal gagal!”
Rizal angkat tangan, didukung Amira dan Dito. “Kita amati dengan ketat aja! Amati, Dito—kita 3 orang. Motif: perpecahan sekarang, suku primitif akan membunuh kita sebelum kita sampai di Lembah Tengkorak. Dito, radio-mu menangkap sinyal apa?”
Dito menggeleng kepala, radio retak di tangannya. “Nihil lagi, Riz. Motifku: soliditas. Kalau mengikat Rangga, faksi akan pecah permanen.”
Tono maju dengan tenang, peta usang digenggamnya. “Mendukung Rangga untuk bebas. Motif: dia menunjukkan rute yang kering jauh dari banjir kemarin. Maya, Hasan—kalian setuju kan?”
Maya, pemburu tangguh dengan busur darurat, mengangguk tajam. “Setuju. Motif survival praktis dan efisien—dia membagi ramuan, menyelamatkan kami. Dinginnya dia dengan kekuatan, bukan karena motif jahat.”
Hasan, tentara berjanggut, bicara pelan dari bayangan. “Bebas. Motif aku sudah memiliki pengalaman perang: pengkhianat nggak akan menyelamatkan musuh berkali-kali.”
Andi yang pemalu bergumam, “Netral... motif takut semua jadi ribut. Reza?”
Reza si analis mengangguk ragu. “Netral. Buktiku kurang. Motif logika: vote 6 untuk mengikat, 6 untuk bebas, 2 netral—imbang. Rizal tolong kamu putuskan.”
Rizal menarik napas dalam-dalam, menatap Rangga yang tetap duduk dengan sikap dingin, mengasah pisau dengan alur ritmis. “Kita amati saja, perketat selama 24 jam. Faksi Fauzan kalian jaga dia bergantian. Kita bergerak ke Lembah Tengkorak pagi ini—rute yang sudah kita dapatkan dari Pak Karto itu rute satu-satunya. Siapin senjata kalian, cek luka-luka kalian. Fahri akan dibopong Sari dan Bima.”
Fauzan merengut tapi tetap patuh, tapi bisik-bisik faksi berlanjut saat packing. “Malam ini kita akan ikat dia diam-diam,” bisik Fauzan ke Sari, Bima, Lina. “Motif: Rizal lembek banget.”
Amira berbisik ke Rizal, “Faksi Rangga sangat solid—Tono-Maya-Hasan. Kalo yang netral macam Andi-Reza bisa goyah. Konflik ini sebenarnya bom waktu.”
Mereka mulai menuruni bukit dengan pelan, lumpur longsor menjerat sepatu mereka, kabut tebal membatasi pandang. Dito mencoba radio lagi, “Masih mati... sinyalnya hilang total.” Lina memeriksa Fahri, “Demamnya mulai turun, tapi sangat lemah. Ramuan dari Rangga sangat efektif... aneh.”
Tiba-tiba, ada suara gemerisik keras dari semak—suku primitif muncul lagi, 20 orang memai topeng tengkorak, tombak racun sudah siap dilempar. “Lari! Lembah Tengkorak!” teriak Rizal, melakukan tembakan peringatan. Peluru menderu, tombak membalas menyambar—satu berhasil menggores bahu Tono.
Mereka lari dengan tergesa-gesa ke lembah berbatuan curam, suku masih mengejar dengan raungan ritual. Bima terjatuh karena tersandung batu, tapi Rangga menarik dia dengan cepat. “Makasih... tapi aku tetap mengawasi kamu,” gumam Bima tetap curiga.
Di mulut lembah, ukiran tengkorak raksasa di tebing menyambut mereka, bau darah kering sangat menyengat. Suku tiba-tiba berhenti di pinggir, melempar tombak terakhir yang nyaris saja membunuh Reza. “Mereka takut untuk masuk ke lembah ini,” kata Rangga dingin. “Kutukan untuk mereka.”
Kelompok ambruk di gua yang berada di mulut lembah, napas ngos-ngosan. Fauzan menuduh lagi, “Lihat? Mereka berhenti mengejar kita pas kamu bilang! Motifmu apa, Rangga?!”
Rangga mengangkat bahu dingin. “Survival. Memasuki lembah, atau akan mati di luar.”
Rizal berujar dengan tegas, “Istirahat 30 menit, lalu kita maju. Faksi jaga posisi—konflik akan ditunda sampai aman.” Tapi bisik faksi semakin kencang, di hutan terdengar gemuruh longsor kecil, suku meraung di luar—15 jiwa kini di ambang p*********n internal dan eksternal.
***
Lembah Tengkorak menyambut mereka seperti mulut neraka yang menganga lebar, tebing-tebing yang curam setinggi puluhan meter di kedua sisi dan telah diukir oleh alam dengan bentuk tengkorak raksasa yang menyeramkan—mata kosongnya seperti lubang hitam yang menatap seakan haus darah, gigi-giginya dari akar pohon yang bengkok yang menjulur seperti taring busuk. Udara di dalam lembah pengap dan berbau amis darah kering yang bercampur dengan lumut busuk, kabut tipis menggantung rendah menutupi tanah berbatuan licin yang penuh dengan jebakan di lubang dan terbentuk dari duri alam. Angin menderu pelan membawa bisikan mantra ritual dari suku primitif yang berhenti di pinggiran lembah, raungan mereka masih bergema samar seperti jeritan arwah yang terperangkap. Kelompok 15 orang itu maju pelan di gua yang terletak di mulut lembah, senjata mereka siap, napas tersengal setelah lari dari serangan suku, tapi konflik internal faksi mereka semakin memuncak—seperti bara api yang siap membakar dari dalam.
Rizal memimpin barisan didepan, SS1-nya diarahkan ke depan, suaranya tegas memotong ketegangan. “Tetap rapat! Faksi Fauzan jaga Rangga dengan ketat—Sari, Bima, Lina berjalan di belakang dia. Amira, Dito menutupi bagian sisi. Tono, Maya kalian membaca peta rute—untuk menghindari lubang. Kita cari gua yang aman atau kita jalan keluar lembah ini sebelum malam. Fahri dibopong Reza dan Andi!”
Fauzan, berjalan di belakang Rangga dengan parang teracung, mendengus sinis, faksi curiganya (Sari, Bima, Lina) mengelilingi sosok misterius itu seperti serigala kelaparan. “Jaga jarak, Rangga! Satu gerakan yang salah, aku akan potong lehermu. Motifmu untuk masuk ke lembah ini apa? Suku berhenti mengejar kita pas kamu bilang kutukan—kamu tahu lebih banyak, kan?!”
Rangga tetap dingin, langkahnya stabil di tanah yang licin, pisau belatinya tergantung santai di pinggang. “Motifku survival. Lembah ini tabu buat suku—tengkorak di tebing itu roh leluhur mereka. Kalau kamu ikat aku sekarang, kalian akan mati duluan.”
Sari, membopong Fahri bergantian dengan Reza, menjerit marah sambil merawat luka Fahri yang berdarah lagi. “Diam kamu! Fahri demamnya naik lagi—ramuanmu mungkin aja racun! Bima, Lina—ikat tangannya sekarang! Motif faksi kita adalah melindungi yang lemah, bukan mengikuti pengkhianat!”
Bima maju dengan kasar, parangnya mendekat ke leher Rangga, tapi Tono dari faksi pendukungnya menghadang. “Jangan! Motif kalian itu panik—Rangga sudah menyelamatkan aku dari tombak tadi. Maya, Hasan—siapkan senjata!”
Maya menarik busur daruratnya, panahnya telah siap. “Setuju Tono. Faksi Fauzan cuma lapar dan takut—motif akan ambil alih kepemimpinan kalau Rizal gagal!”
Hasan, tentara berpengalaman di belakang, suaranya pelan tapi menggelegar. “Diam semua. Kalian dengar itu—gemuruh dari tebing. Longsor lagi.”
Dito, teknisi radio di sisi Rizal, mencoba mencari sinyal lagi. “Radio mati total, Riz. Kabut di lembah ini berhasil memblok sinyal. Motif faksiku solid—sudah pecah sekarang, besok kita akan menjadi korban dari suku itu.”
Amira berbisik ke Rizal, “Faksi Rangga solid 3 orang, faksi Fauzan 4, faksimu 3 termasuk aku, yang netral ada Andi-Reza-Fahri. Konflik ini akan membunuh kita sebelum keluar lembah!”
Lina, si medis dari faksi Fauzan, memeriksa Fahri yang mengigau lagi. “Denyutnya melemah... infeksinya cukup parah. Sari, bantu aku untuk membalutnya. Reza, Andi—sampai kapan kalian akan diam, cepat bantu!”
Reza ragu-ragu, tapi dia mulai membopong Fahri sambil menjawab. “Aku netral karena motif logika—bukti dulu baru menuduh. Andi?”
Andi si pemalu menggigil, “Aku... takut. Motif jangan sampai kita mati konyol gara-gara ribut.”
Tiba-tiba, tanah bergoyang—longsor kecil dari tebing bagian kiri, batu dan lumpur longsor deras, memaksa mereka untuk lari ke kanan. Bima tersandung oleh lubang yang tersembunyi, mengakibatkan dia jatuh ke jurang yang sempit dan dipenuh dengan duri. “Aaaargh! Tolong!” jeritnya, darah mulai mengucur dari kaki yang tercabik oleh akar tajam.
Rizal melemparkan tali dari akar pohon. “Pegang! Sari, tarik! Faksi ayo bersatu sekarang—atau Bima akan mati!”
Fauzan ikut menarik tali dengan Sari, tapi dia menuduh Rangga lagi. “Ini salahmu! Kamu memilih rute jebakan!”
Rangga ikut menarik Bima pelan, dingin. “Bukan. Lembah ini hidup—bergerak sendiri. Motifku menyelamatkan lagi.”
Mereka berhasil menyelamatkan Bima, tapi luka parahnya menambah korban potensial. Di gua tengah lembah, ukiran dinding dipenuhi dengan simbol darah untuk ritual, tulang manusia berserakan seperti hiasan. Tono membaca peta usang. “Jalan keluar ke arah timur, tapi melewati ruangan yang penuh dengan tengkorak—tumpukan 50 tengkorak di depannya.”
Maya melirik. “Ada jejak darah segar... Itu artinya baru ada korban.”
Tiba-tiba Fahri bangun sebentar, mengigau. “Pembantaian... suara jeritan... jangan masuk...”
Konflik memuncak saat Fauzan mendorong Rangga ke dinding gua. “Ngaku! Kamu bawa kami ke tempat p*********n suku!” Bima, meski luka, kamu berdiri buat dukung aku. “Ikat dia!”
Rizal memisahkan mereka, menembak ke langit gua. “Cukup! Faksi tutup mulut! Lihat—ada jejak darah manusia ke ruang tengkorak. Kita akan selidiki bersama, atau lembah ini akan jadi tempat p*********n kita sendiri!”
Rangga tersenyum dingin. “Ikut atau mati.”
Mereka maju ke ruang tengkorak, tumpukan 50 tengkorak manusia berserakan, darah segar menetes dari langit-langit gua seperti hujan yang berwarna merah. Jeritan samar bergema dari kegelapan dibagian depan—p*********n baru saja dimulai, faksi internal siap terpecah total di tengah horor lembah yang penuh dengan kutukan.
***
Ruang tengkorak yang berada di perut lembah itu sudah seperti sarang kematian yang hidup, dinding gua yang kasar diukir oleh alam dengan pola alami yang menyerupai wajah-wajah meringis yang dipenuhi dengan gigi taring, tumpukan 50 tengkorak manusia berserakan di lantai yang berlumut seperti permata busuk yang berkilau samar di cahaya obor dari ranting resin. Bau amis darah segar bercampur lumut lapuk dan pembusukan amat sangat menyengat hidung, darah menetes pelan dari celah langit-langit gua seperti hujan berwarna merah dengan ritual kuno, membentuk genangan-genangan kecil yang mencerminkan bayangan mengerikan. Jeritan samar bergema dari kegelapan di depan mereka—bukan suara angin, tapi suara manusia yang tersiksa, diselingi denting logam dan raungan binatang liar yang tak dikenal. Kelompok 15 orang itu membeku di ambang ruang itu, senjata yang mereka pegang gemetar di tangan, faksi internal mereka retak lebih dalam sementara p*********n misterius mengintai seperti bayang-bayang yang bernapas.
Rizal mengangkat tangan memberi isyarat diam, SS1-nya diarahkan ke kegelapan, suaranya berbisik namun tegas. “Jangan bergerak! Dengar jeritan itu—manusia, itu bukan suku. Faksi Fauzan, menjaga Rangga dengan ketat. Amira, Dito—dengan cahaya obor maju pelan. Tono, Maya yang memegang peta—mencari pintu keluar. Sari, Bima membopong Fahri dan Lina memeriksa lukanya. Kita selidiki bareng, atau lembah ini memakan kita hidup-hidup!”
Fauzan, dengan parangnya yang menempel di punggung Rangga, mendesis curiga, faksi curiganya (Sari, Bima, Lina) mengapit sosok dingin itu seperti penjaga mayat hidup. “Selidiki apa? Ini jebakanmu, Rangga! Jeritan dari depan—korban suku primitif lagi dibantai, dan kamu membawa kami ke sini! Motifmu? Bikin kami menjadi korban berikutnya? Bima, ikat tangannya sekarang!”
Rangga tetap tenang, matanya tajam menyapu tumpukan tengkorak, pisau belatinya tergantung santai. “Itu jeritan manusia, itu bukan binatang. Lihat darah segar yang ada di tulang—baru sejam yang lalu. Motifku? Ikut atau mati di mulut lembah. Suku takut untuk datang kesini karena roh leluhur—tapi ada yang lain yang membunuh mereka.”
Sari, merawat Fahri yang mengigau di pojok, menjerit marah sambil membalut luka Bima yang berdarah karena terkena duri. “Diam kamu, pembunuh! Fahri bilang suara jeritan itu kayak mimpi buruknya—p*********n! Lina, cek ramuanmu—ini pasti racun yang lambat bekerja! Motif faksi kita melindungi yang tersisa, bukan mengikuti pengkhianat dingin ini!”
Lina, dengan tangan yang gemetar mengecek denyut Fahri dan Bima, mengangguk tegang. “Fahri keadaan stabil untuk sementara, Bima hanya infeksi ringan. Tapi jeritan itu... manusia kesakitan. Reza, Andi—kalian memihak siapa sekarang, atau kita ikat Rangga dengan paksa!”
Bima, yang kakinya berdarah tapi tetap bisa berdiri gagah, mendorong Rangga ke dinding gua. “Ikat! Motifku membalas longsor dan duri—kamu memilih rute maut!”
Tono dari faksi pendukung Rangga maju dengan cepat, peta usang masih digenggam, busurnya telah siap. “Jangan! Maya, Hasan—jeritan datang dari ruang samping. Pintu keluar ke timur itu artinya lewat sana, tapi sangat berbahaya. Motif kalian panik—Rangga sudah menyelamatkan Bima tadi!”
Maya menarik panah, mata elangnya melihat ada jejak darah. “Setuju. Lihat—itu jejak sepatu bot modern, bukan milik suku. Itu pembunuh manusia, bukan roh. Hasan?”
Hasan, si tentara, bersuara pelan namun menggelegar. “Ikuti jejak. Motif pengalaman: p*********n ritual, tapi sepatu bot? Itu orang luar seperti kita.”
Dito mencoba radionya lagi, suaranya terdengar putus asa. “Sinyal nol, Riz. Kabut lembah masih memblok total. Amira, obornya bawa maju—faksiku solid melindungi semua.”
Amira memegang obor tinggi-tinggi, cahaya redup menerangi tengkorak dengan darah yang menetes. “Riz, faksi Rangga 3, Fauzan 4, faksimu 3, netral 2 lagi—perpecahan yang terjadi sekarang, jeritan itu akan membunuh kita!”
Reza, membopong Fahri secara bergantian, mulai ragu. “Aman menurutku... tapi jejak sepatu bot? Ini jelas bukan suku. Andi, kamu?”
Andi si pemalu menggigit bibir. “Takut... jeritan semakin dekat. Motif jangan sampai mati.”
Rizal maju pelan, mengikuti jejak darah ke ruang samping—suara jeritan semakin jelas: “Tolong! Jangan... aargh!” Di ruangan itu, horor akan terungkap: 5 tentara dari desa (seperti Pak Karto pernah bercerita) terikat di altar batu, luka bacok dan darah yang keluar masih segar, dikelilingi 3 sosok bertopeng dengan parang berdarah—bukan suku primitif, tapi pembunuh misterius dengan memakai sepatu bot modern dan memakai jubah kulit binatang. Mereka menghentikan jeritan, mata putih dan kosong di balik topeng itu menoleh ke kelompok itu.
“Hey pembantai ritual! Kalian suku atau kultus baru?!” teriak Rizal, menembak untuk memberi peringatan. Peluru menderu, pembunuh membalas dengan melempar parang—satu berhasil menggores lengan Dito.
Fauzan mendorong Rangga maju. “Lihat?! Ritual itu seperti yang ada di liontinmu! Bunuh dia!”
Rangga menarik pisau, dengan dingin memotong tali yang mengikat tentara pertama. “Ini bukan suku—kultus pemburu orang luar. Motif mereka: kurban hutan. Membantu atau mati!”
Pembunuh menyerang dengan brutal: parangnya menebas Maya hingga nyaris saja putus tangannya, Bima membalas membacok satu tapi dia terluka di d**a. Tiba-tiba terdengar jeritan dari tentara “Kultus Tengkorak... mereka mengambil jiwa... lari!” Tono menembakkan busur, Lina menjerit sambil memeriksa luka. Rizal memimpin mundur sambil menembak, “Lari ke pintu timur! Faksi bersatu sekarang!”
Rangga menyelamatkan Sari dari parang. “Bilang apa tadi? Motifku survival.”
Mereka kabur ke pintu timur, meninggalkan 2 tentara yang mati, pembunuh meraung dan berjanji akan memberikan kutukan. Di terowongan yang sempit, Lina menjerit, “Bima terluka parah! Faksi Fauzan... kalah satu!”
Fauzan, menarik napas, “Dia menyelamatkan Sari... Rangga... tunggu bukti.” Faksi retak dan mulai rapuh.
Lembah bergemuruh longsor, jeritan bergema—p*********n baru saja dimulai, misteri kultus Tengkorak mengungkap lapisan horor baru, 15 jiwa telah berkurang dibawah tekanan tapi rahasia Rangga semakin dalam.
***
Terowongan yang sempit di balik ruang lembah tengkorak itu yang seperti usus bumi yang bernapas panas, dindingnya licin oleh lumut berlendir dan darah segar yang masih menetes dari celah-celah batu, menciptakan genangan-genangan merah gelap dan tercium bau besi basi bercampur jamur busuk. Cahaya obor dari ranting resin yang dibakar Maya hanya menerangi beberapa meter ke depan, bayang-bayang menari liar di dinding seperti roh-roh yang bangkit dari tumpukan 50 tengkorak yang berada di belakang mereka, gigi-giginya bergemerincing pelan seolah tertawa atas nasib para korban. Raungan pembunuh bertopeng tengkorak dengan memakai sepatu bot modern dan berjubah kulit binatang—kultus misterius yang haus kurban, bukan suku primitif seperti dugaan awal. Kelompok 15 orang lari tergopoh-gopoh di terowongan itu, napas tersengal bercampur jeritan dan ledakan tembakan balasan, luka-luka baru menambah luka mereka ke jejak merah panjang yang tertinggal di belakang. Konflik faksi internal retak tapi sementara terlupakan oleh horor p*********n yang baru saja mereka saksikan, meski tuduhan terhadap Rangga masih menggantung seperti kabut lembah.
Rizal memimpin lari di depan, SS1-nya masih panas karena dia sering menembak balik ke kegelapan, suaranya menggelegar memotong jeritan. “Jangan berhenti! Pintu timur sudah dekat—jejak darah ini menuntun kita untuk keluar dari lembah! Amira, bawa obor maju! Dito, tutup bagian belakang sama Tono! Sari, Bima bopong Fahri—Lina periksa lukanya cepat! Faksi tutup konflik sekarang, atau kultus itu akan memotong kita satu persatu!”
Fauzan, masih memegang parang yang berdarah setelah membacok satu pembunuh, mendorong Rangga dengan kasar sambil lari, faksi curiganya (Sari, Bima, Lina) mengapit sosok dingin itu dengan napas ngos-ngosan. “Ini salahmu, Rangga! Kultus Tengkorak pakai topeng sama dengan liontinmu—motifmu membawa kami ke sarang mereka! Bima, ikat tangannya—motif faksi kita membalas darah Bima dan Fahri!”
Rangga tetap dingin meski berlari dengan kencang, pisau belatinya berkilat dan telah menebas parang pembunuh yang mengejarnya dari belakang, menyelamatkan Lina tepat waktu. “Kultus ini bukan suku—mereka pemburu orang luar kayak kita. Topeng tengkorak ritual mencari kurban untuk dipersembahkan kepada jiwa hutan. Motifku? Menyelamatkan lagi. Kalau pengkhianat, kalian udah mati di altar.”
Sari, membopong Fahri yang pingsan sambil membalut luka Bima yang mengucur dari d**a, menangis marah di sela dia berlari. “Diam, pembunuh! Fahri mengigau soal jeritan ritual—ini pasti rencanamu! Lina, Bima—kalau dia bergerak, potong! Motifku melindungi Fahri sebelum kultus mengambil jiwanya!”
Lina, tangannya dipenuhi darah karena memeriksa luka sambil berlari, menjerit panik. “Bima parah—d**a robek dan dalam, pendarahan hebat! Fahri demam kumat lagi, ramuanmu efektif tapi infeksi bertambah buruk! Reza, Andi—kalian bantu bopong atau kultus akan membunuh kita semua!”
Bima, meringis kesakitan tapi tetap memegang parang dengan erat, mendorong Sari maju. “Aku... kuat! Ikat Rangga nanti—motif membalas darahku dari parang mereka. Tapi... dia selamatkan Lina tadi... sial!”
Tono, si navigator dengan peta basah kuyup, tetap menembakkan busur balik sambil lari, faksi pendukungnya (Maya, Hasan) menutup barisan. “Jangan ikat! Pintu timur 50 meter lagi—ada jejak keluar dari lembah! Maya, Hasan—panah siap! Motif faksi kita survival, bukan menuduh buta!”
Maya, busurnya menembak pembunuh yang muncul dari celah dinding, panahnya berhasil menancap di d**a satu. “Setuju! Lihat sepatu bot mereka—militer atau pemburu bayaran, yang jelas itu bukan suku! Hasan, kamu tentara—apa itu?”
Hasan, menembakkan pistol dengan akurat, suara pelan tapi tegas di tengah kekacauan. “Kultus Tengkorak—aku dengar dari orang desa. Kurban adalah orang luar buat 'membangunkan hutan'. Motif mereka: ritual kekuatan. Kita adalah korban yang sempurna.”
Dito, tutup bagian belakang dengan radio sebagai tameng sementara, tembakan secara liar. “Radio mati total, Riz! Kabut masih memblok! Amira, bawa obor—faksiku solid, tapi faksi Fauzan hampir pecah!”
Amira, membawa obor tinggi menerangi terowongan, melihat pintu cahaya samar. “Riz, 14 orang selamat—Bima kritis! Faksi Rangga 3, Fauzan 4, faksimu 3, netral 2—bersatu atau mati!”
Reza, membopong Fahri secara bergantian dengan Andi, teriak ragu. “Kultus manusia, itu bukan roh! Andi, pilih—membopong atau tertembak!”
Andi si pemalu, menggigit bibir sambil memegang pistol dengan gemetar. “Bantu bopong aja... motif jangan mati sendirian!”
Tiba-tiba, dinding terowongan retak—longsor datang dan gua runtuh, batu besar jatuh, memaksa mereka berbelok. Seorang pembunuh kultus berhasil melompat dari celah, parang berhasil menebas Reza hingga membuat Reza nyaris putus lengannya. Rizal menembak kepala dia, darah langsung muncrat. “Lewat pintu! Lari!”
Mereka akhirnya berhasil keluar melalui pintu timur ke lereng lembah yang terbuka, kabut tipis mulai surut, cahaya fajar bersinar terang benderang. Tapi 3 pembunuh kultus masih mengejar, sambil meraung “Kurban hutan! Jiwa kalian milik Tengkorak!” Parang menderu, satu berhasil menebas kaki Lina—dia terjatuh dan menjerit.
Rangga membalik badan dengan dingin, pisau dia lempar tepat mengenai mata dari satu pembunuh. “Mundur! Pintu lembah tertutup longsor!” Ia menarik Lina, dibalut cepat dengan kain yang ia robek dari pakaiannya.
Fauzan terdiam sejenak, parangnya turun dan jatuh. “Kamu... Menyelamatkan lagi. Lina, kamu baik-baik saja? Motif faksi kita... tunggu bukti dulu.”
Lina meringis, “Hidup... terima kasih Rangga. Bima, bertahan!”
Bima mengangguk lemah, “Dia... bukan musuh. Faksi... bersatu?”
Rizal ambruk di tanah yang sudah aman, menghitung napas. “14 selamat. Kultus Tengkorak—mereka pemburu kita. Faksi tutup—Rangga bebas total. Bergerak ke desa yang aman atau ke gunung bagian timur. Sekarang rawat luka terlebih dahulu!”
Rangga mengangkat bahu dengan dingin, mengasah pisau lagi. “Bilang apa? Survival.”
Mereka istirahat di lereng lembah, jeritan samar bergema datang dari gua yang runtuh, darah ritual kering di baju mereka. Faksi yang retak mulai sembuh sementara, tapi misteri kultus dan liontin Rangga haus akan jawaban—p*********n lembah meninggalkan 2 tentara dari desa yang mati, luka baru, dan rahasia lebih dalam.