Bab 4 : Jejak Darah di Antara Akar

4431 Words
Pagi menyingsing dengan cahaya redup yang menyusup melalui kanopi hutan yang semakin lebat, tapi udara tetap berat oleh bau lembab tanah dan sesuatu yang lebih busuk—bau darah kering dari luka Fahri yang belum sembuh sempurna. Kelompok itu bergerak pelan menyusuri sungai kecil yang airnya keruh, harapannya menemukan sumber air bersih atau tanda peradaban. Rizal memimpin di depan, matanya tak lepas dari Rangga yang berjalan di tengah barisan, sementara kecurigaan masih menggerogoti pikirannya seperti akar yang merayap di bawah tanah. “Kita harus hemat air,” kata Rizal tegas, menghentikan langkahnya di tepi sungai. Ia membungkuk, mencicipi air dengan hati-hati. “Ini aman, tapi jangan boros. Fahri, kamu minum dulu. Lukamu butuh cairan.” Fahri, yang dibantu Sari, mengangguk lemah sambil memegang lengan yang dibalut kain kotor. “Terima kasih, Riz. Tapi jangan khawatir, aku masih kuat jalan. Malam tadi mimpi buruk lagi... sosok hitam itu, kayaknya semakin dekat.” Suaranya serak, membuat yang lain saling pandang gelisah. Amira mendekati Rangga, berpura-pura santai sambil mengisi botolnya. “Rangga, kamu bilang kamu bertahan sendiri, berapa hari? Pasti susah ya, sendirian di hutan begini. Apa yang paling bikin takut waktu itu?” Ia tersenyum tipis, mencoba menyelidiki seperti instruksi Rizal, tapi Rangga hanya mengangkat bahu. “Takut? Biasa aja. Aku biasa latihan survival di hutan lain. Yang penting tetap tenang,” jawab Rangga singkat, matanya menyapu ke belakang kelompok seolah mendengar sesuatu. “Eh, dengar itu? Suara aneh lagi.” Semua membeku. Dari balik pepohonan di seberang sungai, gemerisik daun terdengar keras, diikuti suara ranting patah yang bergema seperti langkah kaki berat. Sari menarik senjatanya, napasnya tersengal. “Itu... makhluk kemarin? Atau suku primitif lagi?” “Tenang, jangan panik,” Rizal berbisik, memberi isyarat agar semua merunduk di balik semak. “Fahri, kamu dan Sari mundur dulu. Amira, awasi Rangga. Kita lihat apa itu.” Ia mengarahkan senapannya, jantungnya berdegup kencang. Mereka mengintip pelan. Di tepi sungai, jejak kaki aneh terlihat di lumpur basah—bukan kaki manusia biasa, tapi lebih besar dengan cakar yang dalam menusuk tanah. Darah segar menetes di antara jejak itu, membentuk pola yang seperti simbol ritual kuno. Fauzan, yang selama ini diam, bergumam, “Ini bukan binatang biasa. Lihat simbolnya... mirip yang di pondok tua kemarin.” Rangga tiba-tiba bergerak maju sedikit, mengamati jejak itu dari dekat. “Ini jejak harimau besar, tapi... ada yang aneh. Lukanya bukan dari cakar. Kayaknya ada yang lain di sini.” Suaranya tenang, tapi Rizal memperhatikan tangannya yang sedikit gemetar—tanda curiga baru. “Rangga, mundur! Jangan dekat-dekat!” seru Amira, menarik lengannya. Tapi terlambat. Dari balik semak tebal, suara geraman rendah menggelegar, dan seekor makhluk raksasa muncul sekilas—tubuh berbulu hitam pekat, mata merah menyala seperti bara, dan mulut berlumur darah. Ia mengaum, suara yang mengguncang pepohonan hingga daun beterbangan. Kelompok itu mundur tergesa, menembakkan peluru peringatan ke udara. Makhluk itu menghilang secepat kilat, tapi jejak darahnya tertinggal lebih banyak, mengarah ke gua kecil di lereng bukit. “Kita ikuti?” tanya Sari, suaranya bergetar. “Tidak sekarang. Terlalu berisiko,” jawab Rizal cepat, napasnya ngos-ngosan. “Kita cari tempat aman dulu. Rangga, kamu yakin ini cuma harimau?” Ia menatap sosok itu tajam, mencari celah. Rangga menggeleng pelan. “Bukan harimau biasa. Ini... sesuatu yang dilindungi hutan. Kita harus hati-hati, atau kita jadi mangsanya selanjutnya.” Mereka melanjutkan perjalanan dengan ketegangan baru, hutan seolah hidup dan bernapas mengikuti mereka. Di kejauhan, suara seruling bambu samar terdengar lagi, bercampur raungan samar yang membuat bulu kuduk merinding. Fahri bergumam pelan pada Sari, “Aku ngerasa kita lagi dikejar bukan cuma binatang... tapi sesuatu yang lebih buruk.” Saat matahari naik lebih tinggi, mereka menemukan pohon besar dengan rongga alami untuk berlindung. Di sana, Rizal mengumpulkan yang dekat dengannya. “Amira, apa yang kau dapat dari Rangga tadi?” “Dia pintar menghindar pertanyaan. Tapi dia tahu banyak soal hutan ini, seperti pernah ke sini sebelumnya,” bisik Amira. Fahri menambahkan, “Aku lihat dia pegang sesuatu di saku—kayak liontin aneh. Bukan peralatan standar kita.” Rizal mengangguk. “Terus amati. Kita nggak bisa percaya begitu aja.” Malam mulai turun lagi, dan hutan membawa rahasia baru: darah di jejak itu ternyata manusia, dan suara seruling semakin dekat. Apakah Rangga tahu lebih banyak? Atau dia kuncinya untuk bertahan? Kelompok itu duduk mengelilingi api kecil, dialog mereka penuh kecurigaan terselubung, sementara bayang-bayang kanopi menari-nari seperti ancaman yang siap menerkam kapan saja. *** Mereka baru saja meninggalkan pohon berongga yang jadi tempat berlindung sementara ketika konflik eksternal meledak tanpa peringatan. Hutan yang tadinya hanya bergumam dengan suara angin kini berubah menjadi medan perang hidup. Dari balik kabut pagi yang tebal, suara teriakan kasar dalam bahasa asing bergema—bukan bisikan misterius lagi, tapi jeritan perang dari sekelompok suku primitif bertopeng tulang manusia, membawa tombak berujung racun dan busur panah yang siap dilepaskan. Mereka muncul seperti hantu dari semak tebal, mata liar penuh dendam, seolah jejak darah tadi adalah umpan yang sengaja mereka tinggalkan untuk memancing mangsa. “Musuh! Suku itu datang lagi!” teriak Rizal, langsung mengangkat senapan SS1-nya dan menembakkan tembakan peringatan ke udara. Peluru menderu, tapi suku itu tak bergeming—malah semakin mendekat dengan formasi teratur, melemparkan tombak yang nyaris mengenai bahu Fauzan. Ketegangan meledak; kelompok itu berlarian mencari perlindungan di balik batu besar dan akar pohon raksasa, napas tersengal di tengah deru hujan deras yang tiba-tiba mengguyur, membuat tanah licin dan penglihatan kabur. Fahri, yang masih lemah, tersandung dan jatuh ke lumpur. “Aku... aku nggak bisa lari cepat! Tinggalkan aku kalau perlu!” serunya panik, tapi Sari langsung menariknya berdiri sambil menembak balik. “Diam, Fahri! Kita nggak akan ninggalin siapa-siapa!” balas Sari, suaranya pecah oleh adrenalin. Sebuah panah menyusup melewati mereka, menggores lengan Sari hingga darah mengalir deras, menambah kekacauan. Di tengah kekacauan, Rangga bertindak cepat—ia melempar granat asap dari perlengkapannya yang misterius, menciptakan awan putih tebal yang membingungkan penyerang. “Ke sungai! Lari sekarang!” perintahnya tegas, suaranya menonjol di antara jeritan. Rizal meliriknya sekilas, campur antara syukur dan curiga lebih dalam. “Bagus, Rangga! Tapi jangan jauh dari kami!” balas Rizal sambil menutupi mundurnya Amira, yang hampir terkena tombak lagi. Mereka berlari menyusuri tepi sungai yang deras, air cokelat berlumpur menyembur ke wajah mereka. Suku itu mengejar tanpa lelah, melempar senjata dan meneriakkan mantra ritual yang mengerikan, suara mereka bergema seperti kutukan kuno. Fauzan tersandung akar, jatuh ke air dangkal. “Mereka terlalu banyak! Kita nggak bisa lawan terus!” teriaknya sambil bangkit, senjatanya basah dan macet sementara. “Pegang senjata cadangan! Kita harus cari ketinggian!” jawab Rizal, menarik Fauzan sambil menembak balik. Sebuah tombak mengenai pohon di depan mereka, pecahan kayu beterbangan. Amira berteriak, “Rizal, lihat! Mereka pakai topeng dari tengkorak—ini bukan serangan biasa, kayak ritual perburuan!” Ketakutan campur amarah membuat gerakan mereka semakin panik; hutan seolah ikut menyerang dengan ranting yang mencambuk kulit dan lumpur yang menjerat kaki. Rangga, yang berlari di belakang, tiba-tiba berhenti dan menembakkan semburan peluru ke arah pengejar. “Aku tutupin kalian! Lari ke bukit sana!” katanya, tapi suaranya terdengar terlalu tenang untuk situasi maut ini. Sari, yang membawa Fahri, berbisik pada Rizal saat mereka naik lereng curam, “Dia terlalu jago... seperti tahu gerakan mereka. Apa dia pernah hadapi ini sebelumnya?” Akhirnya, mereka mencapai ceruk gua kecil di puncak bukit, tersengal dan basah kuyup. Suku itu berhenti di bawah, mengaum marah tapi tak naik—mungkin karena medan terjal atau sesuatu yang lebih mistis. Rizal menghitung napasnya, memeriksa luka Sari. “Kita selamat... untuk sekarang. Tapi mereka bakal balik. Periksa senjata semua orang. Amira, kau baik-baik aja?” Amira mengangguk, tapi matanya penuh ketakutan. “Mereka kayak tahu kita lewat sini. Jejak darah tadi... pasti umpan mereka. Kita harus cari jalan keluar sebelum malam.” Fahri meringis kesakitan, “Dan Rangga... dia selamatkan kita tadi. Tapi Riz, matanya waktu nembak... dingin banget.” Rizal mengangguk, menyimpan kecurigaannya rapat. Konflik eksternal ini tak hanya menguji fisik mereka, tapi juga memperlebar retak kepercayaan internal. Hujan reda, tapi raungan samar dari bawah gua mengingatkan: perburuan baru saja dimulai. Di kejauhan, suara seruling bambu bercampur jeritan, menjanjikan malam yang lebih mencekam. *** Setelah serangan suku primitif mereda, kelompok itu baru saja menarik napas lega di ceruk gua ketika ancaman alam konkret menghantam tanpa ampun: longsor lumpur akibat hujan deras sebelumnya. Lereng bukit yang licin tiba-tiba bergemuruh, tanah basah bercampur batu dan akar pohon raksasa meluncur deras dari atas, menghalangi jalan mereka ke sungai. Debu dan lumpur beterbangan, menutupi penglihatan dan membuat napas tersengal. Gua yang tadinya aman kini jadi jebakan—pintu masuk setengah tertimbun, hanya menyisakan celah sempit untuk bernapas. “Longsor! Semua mundur ke dalam gua!” teriak Rizal, mendorong Amira dan Sari agar tak tertimpa batu besar yang berguling. Fauzan nyaris terkubur, tapi Rangga menariknya tepat waktu. “Pegang dinding! Jangan gerak sembarangan!” perintah Rangga, suaranya tenang tapi tegas di tengah gemuruh yang menggetarkan gua seperti gempa. Fahri meringkuk di pojok, luka lengannya berdarah lagi karena getaran. “Ini... ini akhirnya? Kita terkubur hidup-hidup?!” suaranya pecah, tapi Sari memeluknya erat. “Tenang, Fahri. Kita cari jalan keluar. Lihat, ada terowongan di belakang!” Ia menunjuk celah gelap yang samar-samar terlihat di ujung gua, bau lembab dan busuk menyengat hidung mereka. Setelah longsor berhenti, mereka merangkak melalui terowongan sempit itu, lumpur menempel di baju dan senjata, menghambat pergerakan. Udara semakin pengap, dan suara tetesan air bergema seperti detak jam kematian. “Ini banjir bandang kecil dari hutan atas,” gumam Rizal sambil menyeka lumpur dari matanya. “Kita nggak bisa balik lewat sini. Harus cari jalan lain, tapi longsor ini nutup semua rute aman.” Beberapa jam kemudian, setelah melewati terowongan yang melelahkan, mereka keluar di tepi hutan yang lebih terbuka—tepat di pinggir desa kecil tersembunyi, rumah-rumah bambu reyot dengan asap tipis mengepul dari atap daun nipah. Harapan muncul: mungkin warga desa bisa bantu. Rizal memimpin mendekat hati-hati, tangan terangkat menunjukkan niat damai. Seorang pria tua bertubuh kurus dengan wajah penuh keriput keluar dari gubuk terdekat, memegang parang tapi tak mengacungkannya. “Kami dari pesawat yang jatuh. Tolong bantu kami, kami butuh obat dan makanan. Ada yang terluka parah,” kata Rizal sopan, menunjuk Fahri yang dibopong Sari. Pria tua itu—Pak Karto, seperti yang tertulis di papan nama usang—menatap mereka lama, matanya penuh trauma yang terbaca jelas. Ia menggeleng pelan. “Kalian orang luar. Pergi aja. Hutan ini kutukan. Kami nggak mau ikut campur lagi.” Amira maju, suaranya lembut. “Pak, tolong... kami nggak punya siapa-siapa lagi. Fahri bisa mati kalau nggak dirawat. Kami bisa bayar atau bantu kerja apa saja.” Pak Karto tertawa getir, tatapannya kosong seolah mengenang mimpi buruk. “Bayar? Dulu orang seperti kalian datang minta tolong. Tentara muda, sama kayak kalian. Mereka bilang cari latihan, tapi hutan ambil nyawa mereka. Suku liar bunuh separuh, makhluk hitam ambil sisanya. Anakku... hilang waktu coba bantu mereka. Trauma itu nggak ilang, Neng. Kami tutup desa ini bertahun-tahun. Nggak ada bantuan, nggak ada makanan buat orang asing.” Fauzan kesal, maju selangkah. “Pak, kami nggak bohong! Lihat luka kami—ini dari suku yang menyerang tadi. Kalau nggak bantu, kami mati di sini!” Warga lain mulai berkumpul, seorang ibu tua berbisik pada Pak Karto, “Jangan, Pak. Mereka bawa sial. Dulu juga gitu, pesawat jatuh, orang hilang, hutan marah.” Suasana tegang; parang-parang mulai diacungkan pelan, bukan ancaman langsung tapi peringatan jelas. Rangga berbisik pada Rizal, “Mereka takut beneran. Trauma masa lalu bikin mereka menutup diri. Kita mundur pelan.” Rizal mengangguk, tapi tak mau menyerah. “Pak Karto, kami paham trauma kalian. Tapi anakmu pasti nggak mau kamu biarin orang mati sia-sia. Setidaknya beri tahu jalan keluar dari hutan ini. Kami janji nggak akan ganggu lagi.” Pak Karto ragu, matanya basah. “Jalan keluar? Lewat gua setan di timur, tapi longsor menutupnya sekarang. Suku liar berjaga disana. Kalian sendirian aja yang selamat. Pergi sebelum kami usir paksa.” Ia berbalik, warga bubar pelan, meninggalkan kelompok itu dengan hati hancur dan perut lapar. Kembali ke hutan, Sari merawat luka Fahri dengan daun herbal seadanya. “Mereka trauma berat, Riz. Kayak cerita hantu masa lalu. Kita sendirian lagi sekarang.” Fahri menggumam lemah, “Longsor tadi... ditambah ini. Kita dikutuk ya?” Rangga menyela, “Bukan dikutuk. Hutan tropis begini—hujan deras bikin longsor, sungai banjir, kabut menutupi jalan. Kita harus cari rute tinggi, hindari lembah. Aku tahu jalur lama, tapi berisiko.” Rizal menatapnya curiga, tapi ketegangan eksternal memaksa kerjasama. “Baik. Kita ikut. Tapi awasi cuaca—hujan lagi, longsor kedua bisa bunuh kita semua.” Malam tiba dengan angin kencang dan raungan samar dari kejauhan, mengingatkan bahwa alam dan trauma manusia jadi musuh baru yang tak kalah mematikan. *** Setelah konfrontasi sengit dengan Pak Karto dan warga desa yang menolak bantuan karena trauma masa lalu, kelompok itu terpaksa mundur ke hutan yang semakin gelap menjelang malam. Hujan deras kembali mengguyur tanpa ampun—ancaman alam tropis Indonesia yang konkret dan mematikan: banjir bandang dari longsor sebelumnya membengkakkan sungai kecil menjadi arus deras berlumpur cokelat, membawa batang pohon, batu besar, dan lumpur kental yang menjerat kaki mereka. Longsor kedua bergemuruh dari lereng atas, tanah basah runtuh seperti air terjun lumpur, menghancurkan jalan setapak dan memaksa mereka memutar ke lembah berbatu yang licin. Kabut tebal menyelimuti segalanya, mengaburkan pandangan hingga hanya beberapa meter, sementara serangga haus darah seperti lalat pasir dan nyamuk malaria menyerbu kulit mereka yang tergores dan terluka, menambah siksaan fisik. Rizal memimpin dengan susah payah, menarik tali dari pohon untuk menjaga barisan tetap bersama di tengah arus air yang mencapai lutut. “Pegang erat! Jangan lepas! Sungai ini banjir bandang—satu salah langkah, kita terseret!” teriaknya, suaranya nyaris tenggelam oleh deru air dan angin kencang yang merobek dedaunan. Fahri, yang kondisinya memburuk karena infeksi luka, terseret arus dan jatuh ke lumpur. Sari berjuang menariknya, bajunya basah kuyup. “Fahri! Bangun! Riz, bantu! Dia nggak kuat!” jerit Sari panik, air banjir menyembur ke wajahnya. Rangga maju cepat, mengikat tali di pinggang Fahri dan menariknya ke tepi yang relatif aman di balik batu besar. “Dia demam tinggi. Infeksi parah dari gigitan kemarin. Kita harus cari tempat kering dulu!” katanya tegas, tapi Fauzan langsung menyela dengan nada curiga. “Kok kamu tahu banyak banget soal infeksi hutan? Kamu dokter sekarang? Atau ini bagian dari rencanamu, Rangga? Dari awal kamu muncul, masalah bertambah—suku asing menyerang, longsor, sekarang banjir!” bentak Fauzan, matanya menyala amarah di tengah hujan deras. Konflik internal meledak; kecurigaan Rizal terhadap Rangga kini merembet ke seluruh kelompok, memperlemah persatuan di saat paling kritis. Rizal menghentikan langkahnya, memarahi Fauzan sambil memegang bahu Fahri. “Cukup, Fau! Kita lagi dikejar banjir dan longsor—bukan waktunya ribut! Amira, bantu Sari mengangkat Fahri. Rangga, kamu pimpin didepan kalau tahu rute kering!” Amira, yang selama ini diam mengamati, bergumam pelan pada Sari sambil mengikat balutan Fahri lebih erat. “Fauzan bener juga... Rangga terlalu tenang. Tapi kalau kita ribut sekarang, banjir ini akan membunuh kita semua. Lihat longsor kedua tadi—jalan desa tertutup total.” Mereka bergerak lagi, tapi kabut tebal membuat navigasi sulit. Serangga menyerang tanpa henti; Sari mengusap lengan Fahri yang bengkak penuh gigitan. “Ini nyamuk malaria! Fahri mulai halusinasi—dia bilang ada suara anak kecil lagi!” keluh Sari, suaranya gemetar. Fahri mengigau lemah, “Jangan... suku... mereka datang... Rangga... kenapa kamu bau darah...” Konflik memuncak saat mereka terjebak di lembah sempit. Fauzan menghadang Rangga, mendorong bahunya dengan kasar. “Ngaku aja, Rangga! Kamu bagian dari suku itu, kan? Kenapa kamu selamatkan kami tadi kalau bukan buat menipu? Liontin di sakumu—itu simbol suku primitif! Rizal, dia musuh!” Rangga menepis tangan Fauzan dingin, matanya tajam. “Kamu gila karena lapar dan takut, Fauzan. Liontin ini? Peninggalan kakekku—penjaga hutan. Aku selamatkan kalian berkali-kali. Kalau musuh, kalian udah mati ditangan gua!” Rizal mendorong mereka berpisah, tapi suaranya penuh ketegangan. “Diam kalian! Dengar itu—raungan suku lagi, campur banjir! Kita harus naiki bukit ini, hindari lembah. Sari, angkat Fahri. Amira, tutup bagian belakang kelompok. Rangga, kalau kamu bohong soal rute, kita semua mati!” Amira menarik napas dalam, berbisik pada Rizal. “Riz, konflik ini bikin kita lemah. Fauzan hampir memukul Rangga tadi. Tapi banjir makin deras—air naik cepat, longsor menutup di belakang. Kita terjebak kalau nggak cepat.” Mereka mendaki bukit curam yang licin, akar pohon jadi pegangan tapi sering patah. Hujan tak reda, petir menyambar pepohonan hingga api kecil menyala sebentar sebelum padam oleh air. Fahri pingsan di punggung Sari, napasnya tersengal. “Dia nggak tahan lama... infeksi plus hipotermia,” gumam Sari. Di puncak bukit kecil, mereka ambruk ke tanah berlumut relatif kering, napas ngos-ngosan. Fauzan masih merengut menatap Rangga. “Ini belum selesai. Kalau Fahri mati, kamu tanggung jawab.” Rangga menggeleng, membuka ranselnya dan keluarkan ramuan herbal misterius. “Minumkan ini ke Fahri. Dari akar jahe liar dan kunyit hutan—anti infeksi. Kalau nggak percaya, biarin dia mati.” Rizal merebut ramuan itu, tatapannya campur ragu. “Kita pakai... tapi kami tetap mengawasi kamu terus. Banjir ini hambatan alam terburuk—sungai jadi sungai raksasa sekarang. Besok cari rute tinggi, hindari lembah.” Malam tiba dengan angin ribut dan raungan samar suku dari bawah lembah yang banjir. Konflik internal retakkan kelompok, sementara alam tropis—hujan deras, banjir bandang, longsor, kabut, dan serangga—menjadi musuh tak terlihat yang tak kenal lelah. Fahri mengigau dalam demam, “Hutan... makan kita... satu-satu...” *** Di puncak bukit kecil yang basah oleh hujan sisa banjir bandang, kelompok itu meringkuk di bawah kanopi pohon rindang yang bocor, api unggun kecil nyaris padam karena angin ribut. Udara malam dingin menusuk tulang, bercampur bau lumpur dan infeksi dari luka Fahri yang semakin membengkak. Konflik internal yang selama ini tersimpan akhirnya meledak terbuka, memecah kelompok menjadi faksi-faksi kecil di tengah ancaman alam yang masih mengintai—sungai banjir bergemuruh di bawah lembah, longsor kecil sesekali bergemuruh dari lereng atas, dan kabut tebal menutupi rute apa pun yang mungkin dianggap aman. Kecurigaan terhadap Rangga menjadi pemicu utama, tapi motifnya beragam: ketakutan akan mati kelaparan, rasa iri pada ketenangannya, dan paranoia yang lahir dari hari-hari tanpa harapan. Fauzan bangkit tiba-tiba, wajahnya merah padam oleh amarah dan lapar yang menggerogoti. Ia menunjuk Rangga yang duduk tenang di pojok, mengasah pisau belatinya dengan gerakan ritmis seolah dunia tak runtuh. “Cukup sudah! Kamu pikir kami buta, Rangga? Kamu muncul entah dari mana, selamatkan kami pas suku asing menyerang, kasih ramuan ajaib buat Fahri—semua terlalu pas! Motifmu apa? Mau ambil alih kelompok? Atau kamu mata-mata suku primitif, menunggu kami lemah baru serang dari dalam?!” Suaranya menggelegar, menarik perhatian semua orang. Rangga tak bergeming, matanya tetap dingin menatap api unggun, pisau terus diasah pelan. “Kamu lapar dan takut, Fauzan. Itu bikin otakmu panas. Aku selamatkan kalian berkali-kali. Mau menuduh? Silakan. Tapi jangan salahkan aku kalau besok kamu mati karena ribut sendiri.” Sari, yang merawat Fahri dengan ramuan Rangga, ikut tersulut. Motifnya jelas: keselamatan Fahri, satu-satunya orang dekatnya yang tersisa. “Fauzan bener! Fahri hampir mati, tapi setelah minum ramuanmu, demamnya turun sedikit. Tapi liontin di sakumu—aku lihat simbolnya mirip ukiran di pondok tua! Kamu tahu hutan ini lebih dari kami semua. Motifmu bantu kami cuma buat nutupin apa? Trauma desa tadi... kamu kayaknya tahu cerita anak Pak Karto hilang!” Amira mencoba meredakan, tapi suaranya goyah—motifnya adalah menjaga persatuan, tapi kecurigaan Rizal sudah merasukinya. “Sari, tunggu. Rangga membantu kami melewati banjir tadi. Tapi... iya, dia terlalu tenang. Riz, katakan sesuatu! Kita nggak bisa kayak gini—longsor lagi, suku datang, kita ribut sendiri!” Rizal berdiri, wajahnya tegang, memegang senjatanya erat. Motifnya sebagai pemimpin: lindungi kelompok dari pengkhianat potensial, tapi jangan sampai pecah sebelum lawan masalah eksternal. “Duduk semua! Fauzan, Sari—kalian takut Fahri mati, aku paham. Tapi tuduhan tanpa bukti bikin kita lemah. Rangga, jawab langsung: liontin itu apa? Dan kenapa kamu tahu rute hutan lebih baik dari kami?” Rangga berhenti mengasah pisau, tatapannya tetap dingin seperti es, tak ada emosi berlebih. Ia angkat liontin tulang aneh dari sakunya, memutarnya pelan di jari. “Ini peninggalan kakekku, penjaga hutan di desa terpencil dekat sini. Simbolnya? Tanda pelindung roh hutan—bukan suku liar. Aku tahu rute karena saat kecil sudah diajarin survival di sini, bukan latihan militer formal kayak kalian. Motifku? Bertahan hidup, sama kayak kalian. Kalau pengkhianat, ngapain aku bagi ramuan? Biarin Fahri mati aja?” Fauzan tak puas, maju mendekat hingga d**a mereka hampir bersentuhan. “Bohong! Kamu dingin banget—suku asing menyerang, banjir, longsor, kamu cuma bilang ‘tenang’. Kayak lagi main game! Motifmu pasti ambil senjata kami, pimpin sendiri pas kami mati satu-satu. Rizal, ikat dia sekarang! Aku nggak percaya lagi!” Sari bangkit mendukung Fauzan, matanya basah campur marah. “Iya, Riz! Fahri bilang dalam halusinasi dia lihat Rangga bau darah. Motifnya jelas—dia bagian dari kutukan hutan ini!” Kelompok terbelah: Fauzan dan Sari vs Rangga, Amira di tengah ragu, Fahri mengigau tak sadar. Rizal mengangkat tangan, suaranya menggelegar. “Cukup! Ikat Rangga kalau mau, tapi besok pagi. Sekarang istirahat—dengar itu? Banjir naik lagi, longsor bergemuruh. Kalau ribut terus, suku primitif datang kita udah pecah duluan!” Rangga tersenyum tipis, dingin seperti biasa, kembali asah pisaunya. “Silakan ikat. Tapi ingat, tanpa aku, lembah tengkorak besok akan membunuh kalian semua.” Malam berlalu tegang, bisik-bisik Fauzan dan Sari bergema di tenda darurat dari daun. Amira berbisik pada Rizal, “Motif Fauzan lapar dan panik, Sari takut kehilangan Fahri. Tapi Rangga... dinginnya bikin merinding. Kita pilih mana?” Rizal menggeleng, dengar raungan suku samar dari lembah banjir. “Besok putuskan. Alam dulu yang bunuh kita kalau nggak solid.” Konflik internal ini retakkan ikatan mereka, motif bertabrakan seperti akar pohon saling jerat: survival egois vs persaudaraan, ketakutan vs logika. Rangga tetap tenang, tapi matanya menyiratkan rahasia yang makin dalam. *** Malam di puncak bukit terasa seperti neraka dingin, angin ribut menerpa tenda darurat dari daun nipah yang robek-robek, sementara banjir bandang di lembah bawah bergemuruh seperti raungan binatang raksasa. Api unggun nyaris padam, hanya menyisakan bara merah yang menari-nari menerangi wajah-wajah lelah dan tegang dari 15 anggota kelompok yang selamat dari kecelakaan pesawat—sekarang terbelah oleh konflik internal yang membara. Aliansi tersembunyi mulai terbentuk: Faksi Rizal (pemimpin tegas, didukung Amira si pengamat halus dan Dito si teknisi radio yang setia tapi pesimis); Faksi Fauzan (pemberontak panas, didukung Sari si pelindung Fahri, Bima si petarung impulsif, dan Lina si medis amatir yang frustrasi karena obat habis); Faksi Pendukung Rangga (Tono si navigator pendiam, Maya si pemburu yang praktis, dan Hasan si senior yang diam tapi curiga); serta netral seperti Andi si pemuda pemalu dan Reza si analis yang ragu-ragu. Motif bertabrakan: survival kolektif vs egois, ketakutan mati vs ambisi pimpin, dan paranoia terhadap Rangga yang tetap dingin seperti patung batu. Konflik meledak saat Fauzan bangkit lagi, suaranya menggelegar melewati deru angin. “Lihat ini, Rizal! 15 orang selamat dari pesawat neraka itu, tapi sekarang kita ribut gara-gara si misterius ini! Rangga, motifmu apa? Kamu bantu kami lewat banjir, kasih ramuan buat Fahri—tapi liontin tulang suku liar di sakumu? Kamu mata-mata, kan? Mau kami lemah baru ambil alih senjata dan kabur sendiri!” Sari langsung berdiri mendukung, matanya basah tapi marah, memeluk Fahri yang mengigau demam. “Benar, Fau! Fahri hampir mati, tapi ramuanmu bikin dia stabil—terlalu pas! Bima, Lina—kalian lihat kan? Dia tahu hutan ini kayak rumah sendiri. Motifnya jelas: bagi kami dulu, bunuh satu-satu nanti!” Bima, petarung berotot yang luka di kakinya dari longsor, mengacungkan parangnya. “Iya! Aku setuju Fauzan. Kita ikat dia sekarang! Lina, kamu medis—ramuan itu aman nggak? Atau racun?” Lina, gadis kurus dengan tangan gemetar memeriksa balutan Fahri, mengangguk ragu. “Aman... buat sekarang. Tapi motif Rangga? Dia dingin banget, kayak nggak takut mati. Kita 15 orang, tapi kalau dia pengkhianat, kita mati semua!” Rangga tetap duduk tenang di pojok, mengasah pisau belatinya ritmis, tatapannya dingin ke bara api seolah tak mendengar badai emosi. “Tuduh terus. Aku tunggu bukti. Motifku? Hidup. Sama kayak kalian.” Rizal berdiri, suaranya menggelegar memotong kekacauan, didukung Amira dan Dito yang mengangguk tegas. “Cukup! Kita bukan binatang—kita tentara muda! Faksi Fauzan, kalian takut mati dan lapar, motifnya lindungi Fahri dan ambil alih kalau aku gagal mimpin. Tapi ribut sekarang, suku primitif datang kita hancur! Amira, Dito—kita dukung investigasi halus, bukan kekerasan.” Amira menyela halus, matanya menyapu semua. “Fauzan, Sari—paham kalian panik soal Fahri. Tapi Tono dan Maya mendukung Rangga karena dia selamatkan mereka dari longsor. Hasan bilang liontin itu pelindung, bukan kutukan. Andi dan Reza netral—mereka takut memecah kelompok. Kita 15 orang: jangan bagi jadi fraksi!” Tono, navigator pendiam dengan peta usang di tangan, angkat bicara pelan mendukung Rangga. “Dia menunjuk rute kering tadi. Tanpa dia, banjir meneelan kita. Motif Fauzan? Iri dia, padahal kita semua gemetar.” Maya, pemburu tangguh dengan busur darurat, menambahkan tajam. “Benar. Hasan setuju—dia senior, tahu survival. Kalau Rangga musuh, kenapa membagi ramuan? Fraksi Fauzan cuma mau mimpin sendiri!” Hasan, senior berjanggut dengan luka perang, mengangguk diam dari bayangan. “Dinginnya Rangga... itu kekuatan, bukan motif jahat.” Andi, pemuda pemalu yang menggigit jari karena gelisah, bergumam netral. “Aku... takut aja. Kalau ribut, kita mati semua. Reza, kamu gimana?” Reza, analis kurus dengan kacamata retak, menghela napas. “Netral. Motif semua survival. Tapi bukti dulu, jangan asal tuduh.” Fauzan tertawa sinis, didukung Bima yang maju mengancam. “Lihat! Faksi Rangga udah bentuk—5 orang buat dukung dia! Rizal, kamu lembek! Sari, Lina—ikat dia malam ini! Fahri bilang dalam mimpi dia bau darah!” Sari menangis marah. “Iya! Motifku melindungi Fahri—satu-satunya keluarga di sini! Kalau Rangga membunuh dia, aku bunuh balik!” Rizal mendorong Fauzan mundur, senjatanya siap. “Duduk! Faksi Fauzan 4 orang: panik dan lapar. Faksiku melindungi semuanya. Rangga tetap bebas malam ini—awasi ketat. Dengar banjir naik lagi? Longsor kedua besok—kalau pecah sekarang, kita akan jadi 15 mayat!” Rangga tersenyum tipis dingin, kembali asah pisaunya. “Pilih aja. Aku tunggu.” Malam berlalu dengan bisik-bisik faksi: Fauzan-Sari-Bima-Lina merencanakan untuk mengikat Rangga; Rizal-Amira-Dito menyusun strategi investigasi; Tono-Maya-Hasan menjaga Rangga diam-diam; Andi-Reza mencoba mediasi. Konflik internal jelas: fraksi takut vs tenang, ego vs persatuan, dengan motif survival yang saling tuduh atas nama pengkhianatan. Hutan bergemuruh, suku raung samar—15 jiwa tergantung tali yang rapuh akan kepercayaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD