2. Kalian Sama-Sama Lupa Kalau Sudah Menikah?

1020 Words
MEMANG, Ranu dan Ryn ternyata sama-sama sudah mengalami tekanan batin. Di ruang makan, waktu sedang menyiapkan sarapan, Bu Anindya malah diharuskan untuk mendengarkan raungan mereka. "Duh, ada apa, sih?" Pada waktu keributan tidak terduga terjadi di lantai dua, sebagai ibu dari Ranu, Bu Anindya langsung mendatangi kamar tempat Ranu dan Ryn selalu terlelap bersama selama tiga bulan terakhir untuk mengecek kondisi mereka. Pertama-tama, setelah berdiri di depan sebuah pintu dari kamar berukuran terbesar, Bu Anindya membuat suara ketukan pintu sebelum melantunkan nama depan dari anak beserta menantunya untuk mempertanyakan keadaan mereka. "Ranu, Ryn, kalian baik-baik saja, bukan?" Yang dipanggil langsung menoleh ke arah sumber kedatangan suara. Adanya perasaan familiar terhadap karakter feminin dari suara cempreng tersebut, Ranu tahu-tahu sudah bergumam, "Mama?" "Mama?" Ryn ikutan bergumam sekalian, tetapi menggunakan nada berbeda, bisa dibilang malah terkesan kalau sedang mempertanyakan. Lalu, secara tiba-tiba dan tanpa dapat diduga, pintu kamar mereka dibuka dari luar. Oh, Tuhan. Bagaimana Ranu dan Ryn bisa tidak menyadari kalau pintu kamar mereka tidak terkunci? "Ups!" Melihat ke arah ranjang, Bu Anindya refleks membekap mulutnya dengan menggunakan sebelah telapak tangannya seraya tersenyum penuh makna. Dia tidak mengira, ternyata malah akan memergoki anak dan menantunya waktu mereka sedang memadu kasih. "Lanjutkan. Mama tidak melihat apa pun, kok," ucapnya segera. "Ah. Mama malah merasa bersalah karena sudah mengganggu pasangan baru seperti kalian." Di sini, Bu Anindya telah membuat kesalahan fatal dengan mendatangi kamar anak beserta menantunya sementara mereka berdua sedang asyik romantis-romantisan. "Lain waktu, kalian harus memastikan dahulu bahwa pintu kamar kalian sudah terkunci dengan benar," tuturnya untuk mengingatkan, masih menggoda kedua manusia di atas kasur dengan tersenyum genit. "Wait. Wait," ucap Ranu dengan tatapan entah mengarah ke mana dan tangan kanannya sudah terangkat selama berupaya untuk memutar otaknya. Dia mencoba untuk menelaah kalimat ibunya supaya tidak salah tangkap. Ketika memandang ke arah ambang pintu untuk memerhatikan sosok wanita dengan badan dibalut blouse kuning cerah dan kedua kaki dibungkus celana putih selutut, bibirnya terbuka lagi untuk memastikan sebuah kesimpulan instan di dalam benaknya. "Aku dan Ryn adalah pasangan?" "Pa-" "Pasangan?" Ryn bersuara kemudian. Amatlah tertegun dengan pupil mata dibiarkan melebar. Dia menatap Ranu dan Bu Anindya secara bergantian dengan mulut terbuka. Bu Anindya berdecak pelan. Dia terheran-heran ketika mendapati muka bodoh dari anak beserta menantunya, entah semalam mereka habis makan apa. Anehnya, tiba-tiba mereka bisa mendadak amnesia dalam waktu bersamaan. "Apakah kalian sama-sama lupa kalau sudah menikah?" "What? Menikah?" Ranu dan Ryn berucap secara serentak dan disuarakan dengan lantang, seakan-akan sudah janjian sebelumnya. Masalahnya, mereka berdua memang tidak ingat, bahkan tidak merasa kalau keduanya pernah melangsungkan pernikahan. Menatap Ranu dan Bu Anindya secara bergiliran untuk kedua kalinya, Ryn malah berakhir pingsan. Yang paling panik setelahnya adalah Ranu. Laki-laki itu sudah setengah membungkuk ke arah depan dan menepuk-nepuk kedua pipi kenyal istrinya, bahkan sampai dilakukan berulang-ulang. "Hei." "Bangunlah." Tidak ada respons. "Aku tahu. Kau sedang mengerjaiku." Bu Anindya menggeleng-geleng dan menepuk dahinya dengan pukulan pelan. Dia masih belum terbiasa dengan setiap kejadian absurd antara kedua insan muda di dalam sana. "Ranu. Ranu." Tidak ada iktikad untuk membantu maupun sekadar masuk kamar untuk menyaksikan dari jarak dekat. Bu Anindya enggan beranjak, entah mengapa malah memilih untuk melipat kedua lengannya di depan dadanya. Mungkinkah karena merasa lebih menyenangkan kalau mulai menghakimi anak semata wayangnya dengan memanfaatkan kata-kata menyudutkan? Pastinya, Ranu akan diposisikan bersalah. "Kau, sih." "Lihatlah Ryn. Dia malah pingsan, mungkin karena kau sudah menyiksanya selama semalaman," ucap Bu Anindya masih dengan gaya santainya. Meski Ryn masih tergeletak tidak berdaya, Bu Anindya tetap segan untuk mempraktikkan suatu reaksi menghebohkan. Tidak ada cemas-cemasnya. Memang, Bu Anindya telah berprasangka terlalu baik. Dia yakin benar kalau kondisi menantunya tidak serius-serius amat. Kepala Ranu diputar. Dia sudah sukses menjatuhkan tatapan ke arah kedua kornea mata ibunya selama mengerutkan dahinya dan bertanya, "Maksud Mama?" Bu Anindya menguncupkan kedua tangannya untuk kemudian dipertemukan. Pikiran Ranu langsung bergerak sendiri. Melihat ungkapan tersirat dari isyarat, Ranu segera melontarkan sangkalan, "Tidak, Ma. Aku tidak melakukan apa pun." Alih-alih sebatas menampik pernyataan ibunya, ternyata kalimat sederhananya lumayan cocok untuk disebut sebagai upaya pembelaan. Akan tetapi, sungguh harus disedihkan olehnya karena ibunya tidak mau pro kepadanya. "Alah. Kau tidak usah berlagak polos," ucap Bu Anindya dengan telapak tangan kanan sempat dikibaskan di depan mulut dan sebagian mukanya, sekilas saja. "Mama pernah muda, loh." "Iiih!" "Jika keberadaan mama di sini hanya untuk membuatku pusing, maka ... lebih baik mama keluar saja!" ucap Ranu dengan nada sengit mengingat mimik kesal sudah menghampiri wajah tampannya secara membabi buta. Yah, bagaimana tidak? Dia sedang khawatir begini. Tapi, ibunya malah tidak membantunya sama sekali! "Ciye. Ciye," ucap Bu Anindya seraya menunjuk-nunjuk ke arah muka anak tunggalnya. "Mau berduaan lagi, nih. Mama sampai diusir segala!" "Ma!" Ranu langsung bersuara dengan volume dibesarkan dan kedua kelopak mata dikatupkan. Dia harus mengakui kalau dirinya memang sudah sangat muak dengan gelagat ibunya. Jujur, keinginan untuk meraih sebuah bantal sebelum lantas dilemparkan ke arah wajah ibunya sudah bertumbuh dengan pesat. Jika gelar anak durhaka tidak bersiap untuk menghampiri, maka sudah dilakukannya sejak sekian detik lalu. Jelas, Ranu sedang berusaha keras untuk meredam emosinya. Mendapati ibunya terus berupaya untuk menggodanya hingga sekalian diwujudkan melalui lirikan-lirikan genit, masuk akal apabila dirinya sekarang bisa benar-benar jengkel. "Iya. Iya." Bu Anindya memutuskan untuk meraih gagang pintu di samping kanannya. Akan ditutupnya lagi supaya Ranu bisa bebas untuk berbuat sesuatu kepada Ryn. Anak itu sudah tidak sanggup untuk melanjutkan aktivitas semula karena telanjur kecanduan. Akhirnya. Ranu bisa menghela napas dengan penuh kelegaan. Ibunya sudah berhenti mengusiknya. Artinya, Ranu diperbolehkan untuk membuka kedua kelopak matanya lagi. Yang tidak diduga-duga, sepasang manik matanya malah langsung menangkap bayangan berupa foto pernikahan berukuran A5 dengan latar belakang bernuansa emas bercampur pastel, sedangkan sosok mempelai wanita tampak mengenakan gaun serba putih sehingga bisa terlihat anggun bagaikan putri dari negeri dongeng dan sosok mempelai laki-laki tampak mengenakan tuksedo hitam sehingga bisa terlihat gagah layaknya seorang pangeran. Apakah sengaja dipajang di atas nakas dengan ditemani lampu tidur saja untuk mengingatkan kedua belah pihak bahwa keduanya memang sudah dinyatakan sah sebagai pasangan suami dan istri? Entahlah. Yang masih menjadi kepastian, Ranu belum bisa percaya dengan status mereka berdua hingga memunculkan beragam tanda tanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD