2. Mau Bersenang-senang denganku?

1303 Words
Jarum pendek pada jam tangan Grize sudah menunjuk ke angka 5. Dia membereskan meja kerja dan mematikan komputer. Setelah itu dia pun menyambar tasnya. Suasana di sana sudah sepi. Teman sekantornya sudah pulang, dia memang sedikit lebih terlambat karena ada pekerjaan tambahan. Grize berjalan menuju lift. Dia memencet tombol dan sesaat kemudian pintu lift pun terbuka. "Theo," gumam Grize yang sebenarnya cukup terkejut. Di dalam lift ada pria yang siang ini dia bicarakan dengan Anya, Theo. Umurnya memang sudah matang, maklum, sudah menikah. Usianya 38 tahun lebih 3 bulan. Seorang bos di kantor ini. Namun, pria seperti itu memang lebih menarik, 'kan? Tiba-tiba tangan Grize ditarik masuk ke dalam lift. Dia pun mengangkat kedua alisnya dan menurut masuk. Theo mengurungnya di dinding lift dengan kedua lengannya. "Grize, mau bersenang-senang denganku malam ini?" Grize tersenyum. Diam-diam tangannya meraba tombol lift yang berjarak tidak jauh darinya. Dia memperkirakan tujuan lift bergerak dan setelah yakin dia pun menekannya. “Pak Theo, aku rasa istri Bapak sedang menunggu di rumah." Theo mengangkat dagu Grize. Wajahnya yang biasa saja terlihat begitu dekat di mata Grize. Pria itu berkata, "Ini persoalan gampang. Jadi?" Grize tidak menjawab, hanya menggigit bibir bawahnya dengan pandangan mata yang turun. Hal kecil itu tentunya membuat Theo berpikir, dia terlalu sensual. Pria itu langsung menyambar bibirnya dan melumatnya dengan kasar. Grize tidak begitu menikmatinya. Dia lebih suka bagaimana seseorang yang hampir menabraknya siang ini, menciumnya. Meskipun itu hanya ciuman sekilas, tapi ... entahlah, dia hanya merasa si Theo ini lebih buruk. Tangan Theo bergerak meraba d**a Grize yang sintal. Wanita itu memang memiliki pesona yang akan membuat pria mana pun bertekuk lutut, terutama untuk urusan ranjang. Dia baru saja ingin meremasnya tetapi pintu lift tiba-tiba terbuka. Grize mendorong Theo perlahan. "Sayang sekali waktu Bapak sudah habis," ucapnya pelan. Kemudian dengan santai dia mendorong Theo ke belakang. Dia melenggang keluar dari lift. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Sial!" Theo mengumpat. Dia hanya ingin sekali saja menikmati tubuh Grize tapi ternyata sangat sulit. Maksudnya, Grize memang terlihat murahan tetapi otaknya cukup pintar untuk menolak orang lain. Dan cara menolaknya pun selalu elegan dan berkelas. Grize meludah sebelum masuk ke dalam mobil. Sebenarnya dia tidak keberatan jika seorang pria mengajaknya pergi keluar, jalan-jalan atau kesenangan lainnya yang menghabiskan banyak uang. Namun, dia akan berpikir dua kali jika harus menemaninya di atas ranjang. Oh, tentunya dia bukan wanita bodoh. Dia tidak akan mengorbankan tubuhnya untuk hal semacam itu. Ada batas-batas tertentu yang tidak bisa dia lampaui. Ketika dia menyalakan mesin mobil tiba-tiba ponselnya berdering. Dia segera memeriksa. "Ayah?" Tanpa menunggu lama dia pun segera menjawab panggilan dari papanya. "Halo, Yah." "Apa? Ke apartemen?" Dia tampak terkejut. "Ya, ya. Grizelle tidak pergi ke mana-mana." "Oke." Grize meletakkan ponselnya kembali. Barusan ayahnya berkata jika dia akan berkunjung ke apartemennya bersama dengan istrinya. Tidak tahu mereka ada urusan apa. Tidak seperti biasanya. Grize menginjak gas dan mobil keluar dari basement. Dalam perjalanan dia ingat kalau persediaan makanan di kulkas sudah habis. Jika ibunya tahu pasti dia akan kena semprot. Memang, ibunya itu selalu menyuruhnya untuk makan makanan sehat dan ... yeah, seperti wanita tua pada umumnya. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Makan ini, makan itu, cukup rewel juga. Akhirnya mobil Grize berhenti di depan supermarket. Dia mengambil tas dan berjalan keluar. Dia sudah hafal dengan supermarket ini karena cukup sering berbelanja di sana. Grize mengambil troli dan mulai memasukkan bermacam-macam produk. Mulai dari makanan, sabun dan hal-hal lainnya. Dia memilih shampo yang letaknya di barisan paling ujung. Jadi, dia mau memilih yang mana? Saat dia sedang berpikir tiba-tiba dia merasa tangan seseorang menyusup ke pinggangnya. Dia melirik dan melihat seorang pria yang masih asing berdiri di sebelahnya. Dia yakin belum pernah bertemu orang ini sebelumnya. "Baby, menurutmu ... yang mana yang cocok untukku?" Pria asing itu bertanya sambil menatapnya. Tangan kanannya memegang dua botol shampo khusus untuk pria. Sedangkan tangan kirinya yang ada di pinggang Grize semakin erat menariknya untuk mempersempit jarak mereka. Grize terkekeh. Suara kekehannya saja membuat pria itu terkesan. "Apa kau berketombe? Atau mungkin memiliki masalah kerontokan?" Tangan pria itu turun menuju p****t Grize. Dia meremasnya dengan nakal. "Bagaimana jika berketombe?" Grize memegang tangan pria itu dan menjauhkan dari tubuhnya. "Sayang sekali, aku tidak bermain dengan pria berketombe." Dia mendorong trolinya dengan santai. Pria itu terperangah mendengar jawaban Grize. "Bagaimana jika aku hanya bercanda?" Grize menoleh. Dia hanya menyunggingkan senyum manis sebelum menghilang di belokan rak yang lain. Terlalu banyak pria yang memperlakukannya seperti itu. Jika menanggapinya dengan emosi itu hanya akan membuang tenaganya. Jadi, dia hanya akan merespons dengan santai. Dari kejauhan, seorang pria berwajah dingin melihat apa yang baru saja terjadi. Dia mendengkus dan kembali pada aktifitasnya sendiri. Setelah selesai membayar, Grize pun segera kembali ke apartemen. Dia langsung membereskan barang belanjaan sebelum orang tuanya sampai di sana. Tepat jam setengah tujuh, dia sudah menyelesaikan kegiatannya dan segera pergi membersihkan diri. Ting! Ketika Grize selesai mandi, bel apartemen berbunyi. Pasti itu orang tuanya. Dan benar saja, itu memang mereka. "Grize, ah, bagaimana kabarmu? Ibu sangat merindukanmu, Sayang." Ibu Grize yang bernama Naya, langsung memeluk putrinya. "Kau baru selesai mandi? Atau baru pulang kerja?” Grize mengangguk kemudian membiarkan orang tuanya masuk. Dia sendiri menutup pintu dan masuk mengikuti mereka. Dia bisa melihat ibunya yang langsung berjalan ke dapur, pasti untuk memeriksa isi kulkasnya. "Kau baru berbelanja? Jangan bilang kalau dari kemarin kulkasmu kosong?" Naya bertanya dari dapur. Suaranya terdengar menyelidik. "Tidak juga. Hanya kebetulan," jawab Grize. Dia duduk di dekat papanya. "Ah, Ayah, kau tambah tua saja." Heri, ayah Grize, langsung terkekeh mendengar gurauan putrinya. Memang benar dia sudah tua. "Biar pun sudah tua juga ibumu itu masih suka." "Tentu saja suka, Yah. Bukankah memang biasanya kaum pria yang sering main-main," ucap Grize apa adanya. Itu adalah hasil pengamatannya selama beberapa tahun ini. "Tidak juga, Zell. Buktinya Ayahmu tetap setia." Naya berbicara sekembalinya dari dapur. Dia duduk di sisi lain suaminya sambil memegang dua buah anggur. Yang satu dimakan sendiri sedangkan satunya lagi disuapkan pada suaminya. Sungguh pasangan yang romantis. "Tumben Ayah dan Ibu datang ke sini?" tanya Grize. "Kenapa nada bicaramu ini terdengar seperti tidak rela orang tuamu datang?" gurau Heri. Grize tidak mengatakan apa-apa. Dia menatap ayahnya untuk menunggu penjelasan. Pasti orang tua itu punya maksud tertentu. Dan benar saja. "Ayah punya sesuatu untuk disampaikan.” "Apa itu?" "Apa kau sudah memiliki calon suami?" tanya Heri. Bibir Grize langsung mengerut. "Belum. Grizelle masih muda, Ayah.” "Dua puluh lima tahun masih muda? Itu berarti keputusan kita memang benar, Bu." Heri berkata pada istrinya. Kemudian dia menatap serius pada Grize. "Ayah dan Ibu mau kau cepat menikah." "Apa Ayah sedang bercanda? Menikah? Menikah dengan siapa? Sedangkan kekasih saja Grizelle tidak punya," ucap Grize yang diikuti dengan nada candaan. "Ayah sudah memilihkan calon untukmu, kau hanya perlu menemuinya saja." Heri masih saja memasang wajah serius. Grize menelan ludahnya. "Ayah, ini .... Ibu, tolong katakan pada Ayah. Pernikahan itu bukan untuk gurauan." Dia menatap Naya untuk meminta bantuan darinya. Sayang sekali ibunya itu tidak mengatakan apa-apa. "Ini serius?" Grize bertanya tidak percaya. "Serius," jawab kedua orang tuanya secara bersamaan. Grize segera bangkit. "Kalian ini ... sama sekali tidak lucu." Dia berjalan menuju kamarnya, tetapi sebelum dia masuk, suara papanya membuat kakinya terhenti. "Jangan kau pikir ayahmu ini tidak tahu bagaimana tingkahmu di luar sana, Grize." Grize langsung berbalik menatap Heri. Hatinya merasa masam. Jadi itu adalah alasan kenapa orang tuanya ingin segera menikahkan dia lebih cepat. Mungkin mereka sudah tahu tentang sikapnya yang terlihat seperti w************n. Tetap saja dia tidak suka. Saat ini dia baru 25 tahun. Astaga. Dia masih belum mau menikah. Apalagi dengan calon yang dia tidak tahu siapa namanya, bagaimana rupanya dan bentuknya. Bagaimana jika dia berkumis? Atau memiliki brewok lebat? Atau malah gendut dan buncit? No! Dia bergidik sesaat. Dia selalu memasang standar tinggi untuk seorang pasangan, bagaiman bisa ini malah ada jodoh-jodohan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD