Tidak Mau Berpisah

1206 Words
Seorang gadis menatap kata pertama dalam sebuah kertas bertuliskan “Permohonan Cerai” dengan netra yang pilu. Jangkauannya tak lagi tentang seberapa panjang waktu yang telah ia lewati, tapi tentang seberapa banyak luka yang telah dia tanamkan. Dia melirik ke segala sisi yang dapat dijangkau, tetapi tidak mendapati objek yang ingin ia lihat, juga tidak menemukan apa yang ia cari sejak lama. Tangan kosongnya bergerak cepat meraih pulpen hitam dari atas meja, disaksikan oleh beberapa orang, menunggunya menarik garis untuk menyempurnakan tuntutan. “Dia akan pulang dalam waktu dekat, tetapi tidak untuk menemuimu. Cepatlah tanda tangani surat gugatan itu, maka semuanya akan berlalu dengan mudah.” Seorang pengacara angkuh mendesaknya untuk segera menandatangani apa yang merobek dadanya sempurna.  Dia tidak melakukan apa yang diperintahkan, hingga seorang wanita berpakaian mewah melemparkan tumpukan uang tepat di wajahnya. “Delapan ratus juta! Tanda tangani dan pergi dari hidup putraku.” Lembaran uang seratus ribu melayang sebelum berlabuh pada tubuhnya yang panas demam. Gadis itu menguatkan cengkraman pada pulpen yang sudah ada di tangan, tetapi air matanya jatuh terus menerus bahkan setelah berusaha keras untuk menahan. “Cepatlah! Apa yang kau pikirkan? Bukankah dulu kau yang sudah menyiapkan surat gugatan? Sekarang putraku sudah setuju untuk berpisah denganmu. Kami berbaik hati untuk mengubah statusmu dari penggugat menjadi tergugat agar orang-orang tidak semakin menghinamu, dan tidak memberatkan gadis miskin sepertimu soal uang.” Dia—gadis miskin yang mereka bicarakan—berkali-kali hanya bisa menjatuhkan air mata kesedihan, lalu dengan lirih berkata, “Aku tidak bisa menandatanganinya.” Kalimat ketegasan menampar semua orang yang berkumpul di ruangan. “Aku tidak mau berpisah, aku ingin memperbaiki rumah tanggaku,” sambungnya. Dia menarik kertas dari atas meja, lalu merobek seluruhnya menjadi potongan-potongan tak berharga. Gadis malang yang bodoh menjatuhkan tubuhnya di kaki ibu mertua, memegangnya dengan banjir air mata. “Maafkan aku, Bu.” Ibu mertua tidak mengatakan apa pun juga, selain hentakan kaki setelah menyeka air mata dan keluar dari ruangan. Pengacara menggeleng pelan, mengambil ponsel yang menyala dari atas meja. “Halo, Tuan. Kurasa Anda sudah mendengarnya, bagaimana keputusan Anda?” Gadis itu terkejut, karena sepertinya pengacara berbicara langsung dengan suaminya. Dia yang masih meringkuk di lantai, di hadapan banyak orang terus saja menatap reaksi pengacara, mungkin menunggu jawaban sang suami. “Oh.” Satu kata dari seseorang di balik telepon, gadis itu tahu itu suara suaminya. Panggilan berakhir tanpa penolakan. Itu artinya, untuk saat ini masih ada kesempatan baginya untuk mendapatkan hati sang suami, lagi. Semua orang yang terbakar, dari ruangan keluar dengan wajah kecewa. Gadis lain yang duduk di dalam ruangan bahkan menjatuhkan air mata, lalu keluar tanpa mengeluarkan sepatah kata pun juga. . . Prok Prok Prok Suara tepuk tangan terdengar saat dia keluar dari ruangan, mendapati pria pincang yang renta tersenyum bangga padanya. Pria itu memukul punggungnya dengan rasa bahagia. “Ayah bangga padamu. Ini benar-benar keputusan yang bagus. Kau harus mendapatkan hati suamimu lagi, lalu setelah itu bangunlah rumah tangga yang bahagia. Aku pun jadi tidak perlu repot-repot mencari pekerjaan di usiaku yang sekarang.” Dia meninggalkan putrinya yang malang setelah mengusap rambutnya dan tertawa. Melihat sang ayah yang malah tertawa senang, kakak perempuannya memeluk dan mengusap punggungnya. “Aku menghargai keputusanmu, tapi … tahukah kau saat ini kau dalam masalah besar? Mereka mungkin saja akan mempermainkanmu setelah ini.” . . Mulai hari itu, hingga seterusnya, kabar tentang istri pengusaha kaya raya nomor satu di negara X yang menolak perceraian menggemparkan media sosial. Tagar tentang perselingkuhan istri pengusaha besar dengan seorang dokter magang mulai hangat diperbincangkan, tapi dengan keberanian, gadis itu mencoba menelan mentah-mentah kebencian semua orang pada keputusan luar biasanya.   Semua orang menuduhnya perempuan matre yang menyembunyikan iblis di balik wajah dan mata yang teduh. ** Hari ini lelaki itu pulang dari Amerika, tetapi tidak langsung mendatangi istrinya, dan malah duduk di bar bersama para pengusaha muda dengan embel-embel masalah perusahaan. “Aku benar-benar tidak habis pikir pada wanita kampung tidak tahu diri itu. Gadis tukang selingkuh itu yang dulu menawarkan perceraian, sekarang seenaknya malah membatalkan perceraiannya. Damar, kau masih mau dengan wanita mur*ha* itu?” Hampir seluruh teman-teman Damar menolaknya rujuk dengan Liana. Tak ada jawaban apa pun dari Damar, selain satu teguk minuman beralkohol yang dari tadi menemaninya.  “Damar?” panggil salah seorang dari pengusaha muda yang sedang berkumpul. “Hampir dua tahun lamanya, aku melihatmu hanya minum saja. Padahal di antara kita semua, hanya kau yang paling menjauhi minuman ini sebelumnya. Damar … kau baik-baik saja, kan? Kau harus memikirkan kesehatanmu juga.”  Krang! Damar memecahkan gelas dengan kepalan tangannya, hingga tangannya terluka.  “Bisa kau tutup mulutmu? Siapa yang peduli pada kesehatanku, hm? Kau?” Damar mengeluarkan senyuman mautnya yang terkenal sangat mematikan. “Bukankah seharusnya kalian akan berpesta jika aku mati? Itu artinya kalian tidak perlu repot-repot memikirkan cara untuk menyingkirkan aku dari perusahaanku, kan?” Damar berdiri, meraih jasnya dan pergi meninggalkan para pengusaha muda itu. . . . “Kalau aku jadi dia, aku pasti sudah menendang dan mengusir wanita seperti itu dalam hidupku. Kaya raya, sangat tampan, dikelilingi oleh wanita-wanita cantik. Dia bisa mendapatkan berlian yang jauh lebih indah dari sekedar sampah daur ulang yang tidak ada apa-apanya.”  Mendengar semua itu, salah seorang dari para pemuda yang dari tadi hanya menunduk akhirnya tersenyum. Pemuda itu menuangkan bir mahal ke dalam cangkir mewah mereka. “Kita tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Bukankah semua pria punya kelemahan?” Pemuda itu mengangkat gelasnya. Akhirnya semua mereka saling melempar tawa, setelah saling bersulang. **  Malam ini hujan turun sangat lebat. Devaliana Agatha, gadis sederhana yang biasa disapa Liana, diantar menuju kamar oleh para pelayan. Ini pertama kalinya Liana mendatangi kamar itu atas kemauan dirinya, pertama kali setelah sekian lama tak bertemu dengan sang suami. Kamar itu sama sekali tidak hangat, tidak seperti beberapa tahun yang lalu, mengingat bagaimana Damar membisikkan kebencian padanya beberapa waktu yang lalu. Di tepi ranjang, Liana menitikkan air mata berkali-kali. Di kepalanya kembali terputar malam pertamanya dengan Damar dulu. Dengan pakaian yang ia gunakan saat membatalkan perceraian yang masih melekat di tubuhnya, Liana merebahkan diri di atas ranjang. “Apa yang sudah aku lakukan?” lirihnya ketakutan, setelah mengingat kesalahan paling fatal yang mengubah hidup seseorang. Tangan Liana meremuk erat alas ranjang itu.  Dia mencoba bersikap tenang, menarik simpul senyum di wajahnya, setidaknya sedikit saja menenangkan jantungnya yang berdegup hebat. Ia melangkah dan berdiri di depan cermin, memandangi dirinya sendiri untuk beberapa saat. Perlahan-lahan mengarahkan pandangan itu pada cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. Sangat indah meski menyimpan banyak luka.  Sesekali Liana melirik ke arah jam di dinding. Sudah hampir tengah malam, tetapi Damar tak kunjung pulang. Kembali ia menatap pantulan dirinya sendiri pada cermin, mulai menambahkan serbuk kemerah-merahan di pipinya yang sedikit berisi. Dia mulai melepaskan ikatan rambutnya, menggerainya, menyisir dan merapikannya.  Tak terasa, air mata menetes jatuh terlalu banyak dari pelupuk, hingga mungkin saja wajah itu sudah membengkak. Tenggorokannya terasa tercekat bahkan membuatnya merasa sakit. Ia mencoba mengolah keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Damar yang dulu dia kenal adalah Damar yang tergila-gila padanya, lelaki yang sangat menginginkannya. Dan yang saat ini masih sanggup Liana harapkan adalah sedikit kemungkinan tentang itu semua. Gagang pintu terus saja dipandangi Liana, sangat takut tapi masih penuh harapan. Sayang sekali, Damar belum juga kembali. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD