Bertemu Kembali

1467 Words
Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Liana terperanjat. Ia melangkah cepat untuk membukakan pintu.  “Selamat malam, Nona. Maaf sudah mengganggu istirahat Anda. Ini barang-barang milik Anda.” Fino—asisten pribadi Damar—datang untuk memberikan seluruh barang milik Liana yang belum sempat diambil. “Maaf, boleh aku tanya sesuatu?” Mendengarnya, Fino mengangkat wajah. Dia menatap Liana dengan simpati berlebih. “Ya, Nona?” tanya Fino. Dengan suara yang begitu lirih, Liana bertanya, “Dia … dia ada di mana?” Pertanyaan itu menciptakan raut menyedihkan di wajah Fino. Tampaknya dia takut menyinggung perasaan Liana, tetapi juga tak mungkin berbohong. “Tuan Muda sedang ada keperluan, Nona. Untuk kepulangan beliau, kami juga tidak tahu.”  Jawaban singkat itu sudah berhasil mewakili seluruh pertanyaan Liana. Ia kembali menutup pintu setelahnya, sangat putus asa. Dengan perasaan kalut dan sedih, Liana menyandarkan kepalanya di atas bantal. Sesenggukan hingga bantal itu banjir air mata.  . . . Tiba-tiba, selang beberapa waktu kemudian, suara sahut-sahutan para pelayan membangunkannya hingga bergegas duduk. Apa itu dia? Liana segera melangkah menuju cermin. Diperbaikinya rambutnya yang hampir kusut, juga menyeka cepat air mata, dan memoles sedikit riasan kemerahan di wajah polosnya.  . . TOK! TOK! “Buka pintunya!” Liana yang terkejut, terburu membuka pintu. Dengan seluruh keberanian yang masih tersisa, lengkap dengan perasaan takut dan rasa bersalah, Liana menarik gagang itu dengan pelan. Dia menarik turun bibirnya, hingga menciptakan sebuah senyuman hangat yang sakral. “Selamat datang, Suami … ku.” Nadanya terputus saat melihat Damar yang berdiri di depan pintu. Dia acak-acakan. Rambutnya kusut dan berantakan. Tanpa setelan jas, ia masih dengan kemeja putih yang ikut berantakan. Matanya merah, dengan sudut hidung yang ikut memerah. Damar menatapnya sebentar, lalu menabrak tubuh gadis itu begitu saja.  Saat dia lewat, Liana dapat mencium bau menyengat yang sangat dibencinya. “Anda minum?” tanya Liana khawatir. Dia tahu, Damar sebenarnya tidak bisa minum.  Tak ada jawaban sama sekali. Damar yang sempoyongan hampir saja terjatuh. Lantas, dengan spontan Liana mengejar sang suami dan menahannya. “Anda baik-baik saja?” tanya Liana lebih kalut. Damar menatap mata sang istri, ia memandangi wajah itu untuk beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, “Singkirkan tanganmu.”  DEG . . Untuk beberapa waktu, Liana hanya terpana pada mata indah Damar yang memang sangat menawan. Rambutnya basah, dengan kemeja yang melekat memperjelas otot-ototnya. Secara visual, Damar memang sangat sempurna. Jujur saja, bagi Liana penampilannya yang kusut seperti itu malah membuatnya terlihat lebih menggoda. Sayang sekali, tatapan itu tak lagi hangat seperti dulu. Tatapan itu … penuh kebencian. “Suamiku, wajah Anda pucat, Anda tidak sehat?" tanya Liana yang masih menyentuh lengan Damar. “Singkirkan,” balas Damar bersikeras.  Mau tidak mau, Liana melepaskan genggamannya, dia takut Damar akan semakin marah. “Anda sudah makan?” tanya Liana sekali lagi. Namun, tetap sama … tak ada jawaban apa pun.  Damar mengarahkan tubuhnya menuju ranjang. Dia menarik satu bantal, membawanya menuju sofa. “Kenapa tidur di sofa?” Liana yang sudah terpuruk oleh rasa bersalah, mencoba mengajak Damar untuk menenangkan diri, berdamai dengan keadaan. Dia bingung, bagaimana bisa Damar tidak menginginkan malam pertama ini? Padahal dulu, dia sangat menginginkannya. “Suamiku, Anda kenapa?”  SET! Damar menarik tangan Liana, hingga wanita itu terjatuh ke atas sofa. Dia menindih tubuh Liana, tersenyum sinis di atas tubuh mungilnya. “Jangan pernah panggil aku dengan sebutan itu lagi. Semuanya sudah berakhir.” Damar meletakkan tangannya di bawah dagu Liana, mengangkat ringan wajah kecil wanita itu untuk menatapnya. “Apa kau pikir, aku masih sama seperti dulu? Sayang sekali, aku bukan Damar bodoh yang kau kenal.” Ia mengusap lembut bibir Liana dengan jempol kanannya, sebelum menambahkan, “Aku tidak akan tertipu lagi, pada wanita licik seperti dirimu." Air mata Liana mengalir begitu mudah karenanya setelah mendengar kata-kata menyakitkan itu. “Tuan Anda masih sakit. Anda terluka. Biarkan aku merawat Anda,” mohon Liana saat melihat cairan merah kental kehitaman yang keluar dari hidung dan telapak tangan Damar, terlihat sangat serius. “Anda masih marah padaku?” Liana menyentuh wajah sang suami dengan kedua telapak tangannya sangat berani. Untuk sementara, Damar memang terpaku merasakan sentuhan lembut Liana, yang mungkin saja baru pertama kali Liana berikan padanya. Namun, ia mencoba menepis semua itu dengan segera. “Jika kau mengira aku masih mencintaimu, aku rasa kau salah besar. Kenapa kau membatalkan perceraian, hm? Aku tidak akan berbaik hati lain kali. Sebelum melihatmu menderita, aku tidak akan melepaskanmu.” Damar tersenyum tipis padanya. Matanya bahkan berkaca-kaca, dengan kemarahan yang mendidih. Air mata Liana semakin menjadi-jadi untuk berlabuh di atas sofa. Damar menyeka air mata Liana dengan lembut, lalu melanjutkan, “Jangan menangis. Aku sangat benci air mata palsumu.”  “Ma-maafkan aku.” Dengan suara bergetar, Liana berusaha keras mengucapkan kalimat yang memang tidak pantas untuk dia ucapkan. Kesalahannya memang sangat berat untuk bisa dimaafkan Damar. “Maaf? Apa kau tahu, berapa kali aku hampir mati karenamu?” Damar mengubah raut wajahnya lebih sendu. “Tidak. Aku tidak akan lagi meninggalkan Anda. Aku bersumpah aku tidak mungkin melakukan itu. Aku bersumpah, aku sangat mencintai Anda.” Liana mencoba meyakinkan Damar dengan deraian air mata. Damar menggeleng cepat, membungkam bibir Valia dengan telunjuk kanannya, lalu berkata, “Tutup mulutmu penipu.” Suara Damar terdengar penuh penekanan. Tak sengaja, mata Liana berlabuh pada pundak kemeja Damar. Ada rona kemerahan cukup jelas yang menempel di sana. Hati Liana yang sudah terluka semakin tersayat hingga menganga. “Ini malam pertama kita setelah sekian lama berpisah. Kenapa ada lipstik wanita lain di kemeja Anda?” Liana menarik kerah sang suami, membawanya lebih dekat. “Anda mengkhianati pernikahan kita yang sedang kucoba perbaiki? Suamiku, aku mohon, tolong beri kesempatan untuk pernikahan kita.” Liana sesenggukan menatap wajah tampan suaminya. “Apa itu urusanmu?” Damar malah tersenyum sinis menatapnya, tanpa merasa bersalah sama sekali. “Tentu saja itu urusanku. Istri mana di dunia ini yang tidak akan sakit hati?” Liana terisak tiada henti di hadapan Damar, masih di bawah bidang gagahnya yang hangat. Damar menatap lekat sepasang mata banjir milik Liana. Entah kenapa dia tersenyum penuh kehinaan setelahnya. “Aku meniduri gadis lain,” jawabnya.  “Apa? Anda sedang bercanda padaku? Anda sengaja mengatakan itu untuk menyakitiku, kan?” Liana mengencangkan genggamannya di kerah sang suami, menaruh harapan yang lebih. “Sakit hati? Omong kosong.” Damar menurunkan pandangannya pada paha Liana yang tersingkap semua. Ia meraba paha terbuka yang dulu sangat menggodanya, mengelusnya pelan, seraya berbisik, “Aku bahkan meniduri lebih dari satu gadis, apa itu masalah bagimu?” sambungnya.  “Tidak, tidak. Anda tidak mungkin melakukannya. Tega sekali Anda melakukan ini padaku! Anda--" “Aku tidak lebih kejam darimu, Liana,” balas Damar. “Suamiku, aku ... aku yang hanya akan melayani Anda. Mengapa mencari wanita lain, padahal ada istri Anda di rumah?!” Liana menuangkan seluruh emosi itu pada Damar, sembari sesenggukan. Suaranya terputus lantaran tak kuasa menahan cekatan yang memborbardir perasaanya. “Melayaniku? Bukankah kau membenciku? Bukankah kau milik orang lain? Bukankah ingin berpisah dan tidak ingin tidur denganku?” Damar mengangkat tubuhnya, ia menggendong Liana menuju ranjang. Melemparkan tubuh Liana ke atas ranjang itu setelahnya. “Aku sangat membencimu," bisik Damar. Belum lagi melangkah menjauh, Liana menahan tangan sang suami dengan genggaman mungilnya, “Tidak bisakah Anda memberikan aku kesempatan?” mohonnya dengan wajah mengiba. Perkataan Liana seketika menghentikan langkah Damar. “Kau memang handal dalam menipu." Liana mengencangkan genggamannya pada tangan Damar, hingga tatapan Damar berubah teduh. "Tidak, aku mohon ... aku bersumpah aku tidak sedang berbohong," mohon Liana. Damar menatap tangan bergetar Liana yang pucat dan dingin. "Aku mohon, tetaplah di rumah. Anda masih sakit. Izinkan aku merawat Anda. Aku mohon," sambung Liana terus menurunkan harga dirinya. Perkataan Liana yang awalnya mulai menenangkan Damar, seketika membuatnya kembali tersayat. "Siapa yang mengatakannya padamu?" tanyanya pada Liana. Liana duduk, menarik tubuh Damar untuk duduk di sebelahnya. Dengan sentuhan halus dan lembut, ia menyeka cairan merah yang keluar dari hidung Damar dengan tangan telanjang, lalu menjawab, "Asisten Anda sudah mengatakan semuanya. Aku mohon, ikutilah prosedur kesehatan. Anda harus melanjutkan pengobatan." Wajah memelas Liana yang sangat putus asa dan penuh air mata, membuat air mata Damar terjatuh ke pipi sembab sang istri. Ia tersenyum tipis, lalu mendorong tubuh istrinya ke atas ranjang, tepat di bawah tubuhnya yang bidang sekali lagi. "Berhentilah mengasihani aku, berhentilah berpura-pura mencintaiku. Aku tidak butuh belas kasih darimu." Ia menarik tangan mungil Liana dengan kasar, menggenggamnya cukup lama. Sembari tersenyum tipis, lalu melanjutkan, "Sayang sekali, aku sudah jatuh cinta pada wanita lain. Secepatnya, mari benar-benar berpisah." SRET!!! Damar mengusap dengan kasar tangan Liana yang tadi menyentuh hidungnya yang mengeluarkan cairan merah, dengan air mata yang menetes lalu kembali menodongkan kalimat menyedihkan, "Dan jangan pernah … menyentuhku lagi," tambahnya.   Damar akhirnya beranjak, meninggalkan Liana sendirian, meninggalkannya dalam kepahitan.      Andai saja aku datang lebih cepat, akankah kisah cintaku tidak sesakit ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD