Penolakan

1115 Words
Kisah ini dimulai dengan kejadian dua tahun yang lalu, masa-masa paling pilu yang sangat Devaliana sesali. Selamat membaca! Semoga suka. ** (Dua tahun yang lalu) “Aku tidak mau!” Dengan napas terengah-engah seorang gadis mendorong sepeda bututnya menyusuri tepian bukit yang curam. Ia ditarik paksa ayahnya pulang ke rumah dalam keadaan tanpa alas kaki. “Ayah, aku tidak mau, Ayah!” Sembari menangis, gadis itu terus saja memberontak. Perlawanan terus saja ia lakukan. PLAK! Telapak tangan yang lebar dan kuat itu mendarat penuh di pipi Liana, membekas hingga panasnya ikut menjalar ke mana-mana. “Jadilah anak yang berguna! Jangan bodoh kau Liana!” Frans Martin, pria bertubuh bongsor dengan kaki sebelah kanan yang pincang itu terus saja menyeret putri bungsunya pulang. Tak peduli meski kaki putri bungsunya itu penuh luka. “Ayah, lepaskan aku!” Tubuhnya yang sudah penuh luka lebam tak dapat memberontak tiap kali sang ayah berlaku kasar. Ia dengan keadaan yang menyedihkan berakhir pasrah setelah tenaganya sudah cukup habis terbuang. “Cepat kau akhiri hubungan dengan pemuda pecundang itu, atau kau akan melihat mayatnya dalam waktu dekat!” Pak Frans terus saja menodong putrinya hingga langkah mereka tiba di rumah. Ia menarik tubuh Liana, membawanya duduk ke atas sofa tua yang sudah banyak sobekan tepat di halaman gubuk kecil mereka. Sembari memegang kedua pundak putrinya, Pak Frans kembali menekannya, “Kau pikirkan apa gunamu di sini jika tidak bisa melakukan apa pun, ha?! Siapa yang akan membiayai kuliahmu nanti? Mahasiswa kedokteran yang miskin dan tidak punya apa-apa itu? Cih!” Bagai puluhan tombak yang terus menusuknya, Liana tercekat berkali-kali hingga napasnya terasa sangat sesak. Ia menggeleng cepat, menolak secara alami perintah sang ayah. “Tidak Ayah, aku tidak mau menikah dengan lelaki itu. Aku hanya mencintai Kak Rafael.” Pak Frans dengan kemarahan yang mendidih di ubun-ubun, mencengkram dagu sang putri tanpa ampun. “Memangnya apa yang bisa dilakukan pecundang itu untukmu? Apa dia punya uang berlimpah sehingga hidup kita menjadi lebih baik?! Ha! Apa dia bisa membebaskan aku?! Dia saja sekolah dengan beasiswa, bagaimana mau menghidupimu? Kita tidak punya pilihan lain, kita tidak mungkin selalu kabur Liana! Aku tidak mau mati!” Pak Frans menunjukkan raut sangat putus asa. “Tapi aku tidak mau! Aku tidak mau! Aku tidak mau menikah dengan orang yang sama busuknya seperti Ayah!” PLAK! . . “Sudah cukup, Ayah!” Melihat adiknya ditampar keras oleh sang Ayah, Agnesha—kakak perempuan Liana—yang baru saja datang, langsung mengejar gadis malang yang sedang meringkuk di tanah itu. Dia membantu adiknya berdiri tegak. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Agnesha sembari merapikan rambut sang adik yang berantakan. “Jika dia tidak mau, Ayah tidak usah memaksanya!” sanggah Nesha. Pak Frans mengeluarkan sebatang rokok, lalu menghisapnya. Sembari bertolak pinggang dengan tenang berkata, “Tolong kau ajarkan adikmu untuk patuh padaku. Mau tidak mau, dia harus menikah.” Perkataan Pak Frans, membuat Nesha menatap sebentar sang adik yang sedang terisak-isak. “Dengan siapa … dengan siapa Ayah akan menikahkannya?” tanya Nesha mencoba mengolah kesabaran. Pak Frans meludahkan rokok dari mulutnya, sebelum menginjak dan memutar rokok itu di bawah telapak sepatunya. “Dengan pengusaha terkenal dan kaya raya, Tuan Muda A.D.A, Arley Damariano Anthony.” Pak Frans mendekatkan wajahnya pada Nesha yang sesak, “Dia pewaris kekayaan Tuan Antonio Anthony, pengusaha kaya yang akan membebaskanku. Mereka siap membantuku, karena aku juga akan membantu mereka,” tambah Pak Frans tanpa rasa bersalah. Agnesha melempar seluruh amarah itu masuk dalam genggamannya. “Ayah menjual putri ayah lagi sebagai jaminan pada pengusaha bisnis gelap?” Air mata Nesha tak terasa jatuh begitu saja, “Cukup hanya aku yang Ayah libatkan. Jangan melibatkan Liana juga,” balas Nesha menekan. “Hai bodoh, jika saja perusahaan suamimu tidak dalam masalah, aku tidak akan menjadikannya jaminan untuk menolongku. Apa yang bisa dilakukan suamimu, ha? Apa dia bisa membebaskanku? Sudahlah Nesha, pemuda itu sendiri yang meminta Liana untuk menjadi istrinya. Berbeda dengan nasibmu, lelaki yang akan menikahi Liana itu menyukai Liana, dia sendiri yang meminta anak bodoh itu padaku.” Pak Frans mengangkat dagu putri sulungnya, lalu melanjutkan, “Aku heran padamu. Mengapa kau tidak bercerai saja dan menikah dengan pria lain yang lebih kaya? Dengan begitu, aku tidak akan repot-repot lagi mengurus anak tidak tahu diri ini.” “Sudah cukup Ayah!” Nesha tak mampu lagi menahan air matanya. “Ayah yang sudah melibatkan aku dalam pernikahan menyedihkan itu! Ayah pikir berpisah itu mudah seperti yang Ayah sudah melemparkan putri Ayah untuk menikah dengan pria yang tidak kami kenali?!” “Jangan munafik kau Agnesha. Kau bahkan tidak bisa berpisah dengannya meski dia itu lelaki hidung belang, kan?” Pak Frans yang sangat emosional kembali menatap Liana, “Lihatlah Kakakmu. Pada akhirnya dia jatuh cinta pada suaminya. Kau juga pasti bisa begitu nanti. Lelaki itu tampan, kaya, seksi, punya segalanya. Berbeda dengan pacarmu.” Pak Frans berlalu begitu saja, meninggalkan kedua putrinya yang harus bertekuk lutut pada takdir menyedihkan. “Kakak, apa yang harus aku lakukan? Aku mencintai Kak Rafael, aku tidak bisa menikah dengan pria lain.” Suara Liana terdengar putus-putus, lantaran ia yang tak berhenti sesenggukan. Agnesha memeluk sang adik. Dengan air mata yang terus saja dia tahan, lalu menjawab, “Menikahlah dengannya. Saat ini, kita tidak punya pilihan. Mereka akan menemukanmu sejauh mana pun kau pergi. Lelaki yang akan menjadi suamimu itu, adalah orang yang sangat berkuasa. Tenanglah Liana, Kakak akan membantumu mencari cara untuk berpisah dengannya. Kakak tidak akan membiarkanmu menikah dengan lelaki yang terkenal kejam dan suka main wanita itu. Tidak akan, Kakak tidak akan membiarkan kau merasakan apa yang sudah Kakak rasakan.” ** Malam yang dingin dan beku. Langit menggelap lantaran hujan akan segera turun. Liana sedari pagi tidak menunjukkan diri di hadapan Rafael karena rasa bersalah. Saat itu, Liana yang baru saja keluar dari kampus, menyeret kakinya yang lemah menyisiri jalanan yang gelap dan sepi. Tiba-tiba seseorang dengan kemeja biru gelap kotak-kotak menarik cepat tangan Liana. “Apa maksudnya semua ini, Liana? Menikah? Aku tidak salah baca, kan? Mengapa kau tidak mengangkat telepon atau membalas pesanku? Apa aku melakukan kesalahan?” Rafael terus saja mengoceh di hadapan Liana. Liana yang saat itu tidak dapat lagi membendung perasaan, akhirnya menjatuhkan air mata. Dengan wajah mengiba, napas sesaknya menunjukkan betapa sakit perasaannya saat itu. Rafael terdiam, terkunci dengan rasa berkecamuk. Dia memeluk Liana yang sedang sesenggukan. “Sayang, apa yang terjadi? Jangan menangis seperti ini.” Rafael yang sangat khawatir terus saja melontarkan pertanyaan. Liana melepaskan pelukan Rafael. Dengan wajah putus asa, dia mundur perlahan, dengan lirih berkata, “Hanya ini satu-satunya cara, untuk menyelamatkan keluargaku. Aku tidak punya pilihan lain, Kak. Tapi aku janji, aku akan mencari cara untuk bercerai secepatnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD