bc

Dua Blue

book_age12+
125
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
family
goodgirl
confident
dare to love and hate
drama
sweet
bxg
lighthearted
friendship
like
intro-logo
Blurb

Brian Kangjasrata. Dia bukan ketua BEM, bukan ketua himpunan mahasiswa, bukan finalis mawapres, dan bukan pula duta kampus Universitas Matahaya.

Kehadiran Brian di kampus memang tidak dirindukan oleh dosen, kajur, apalagi rektor. Brian bukan siapa-siapa. Brian tidak terkenal di jajaran dosen dan karyawan. Namun, Brian adalah sosok laki-laki yang sering menjadi incaran banyak mahasiswi.

Sabrina Kivanastra. Mahasiswi yang sama kupu-kupunya dengan Brian, digadang-gadang menjadi jodoh di masa depan Brian karena terdapat kemiripan wajah dan juga nama. Tidak hanya itu, mereka juga dikenal sebagai pasangan kekasih yang sangat cocok. Bahkan, semua wanita yang tertarik dengan Brian pun tidak masalah jika memang pada akhirnya Brina lah yang menjadi jodoh sang pangeran kampus.

Tetapi, dalam suatu hubungan tidak mungkin jika tidak ada halangan. Arnina Ardindita, terkenal sangat bucin terhadap Brian walau mereka tidak saling mengenal. Nina adalah adik tingkat Brian yang kebetulan pernah dibantu ketika mengeluarkan motor dari parkiran. Hanya dengan hal sederhana saja Nina langsung jatuh cinta, dan jangan lupakan perjuangannya untuk bisa mendapatkan balasan cinta dari Brian.

Apakah Brian akan jatuh hati pada Nina dan melepaskan Brina?

Atau justru Brian bisa memiliki keduanya?

chap-preview
Free preview
Pertemuan
Setiap kampus pasti memiliki pangeran. Biasanya mereka adalah bagian dari pengurus BEM, ketua himpunan mahasiswa, atau pun duta kampus. Tetapi, di Universitas Matahaya, bukan hanya jejeran mahasiswa tersebut yang menjadi pangeran kampus. Brian Kangjasrata. Ia bukanlah pengurus BEM, ketua Hima, atau pun manusia-manusia hebat yang telah banyak berkontribusi untuk kampusnya. Namun, Brian hanyalah mahasiswa biasa. Mahasiswa kupu-kupu yang kegiatannya hanya kuliah dengan normal, setelah itu pulang dan rebahan. Kata orang, jangan kamu menyia-nyiakam masa mudamu. Manfaatkan bangku kuliah sebagai tempat untuk mencari relasi. Boro-boro relasi. Brian pun tak banyak punya teman, walau dirinya sangat digandrungi banyak mahasiswi. Badannya yang tegap, wajahnya yang rupawan, dan tampilannya yang seperti orang kaya pun tak ayal menjadi faktor pendukung bagi dirinya untuk tetap eksis walau tanpa bergabung ke organisasi sana-sini. Bayangkan saja. Ketika ia jalan di koridor, ketika ia duduk di selasar, ketika ia makan di kantin, pasti ada saja kumpulan mahasiswi yang menggodanya. Bahkan, tak jarang godaan itu ia dapatkan secara terang-terangan. "Brian, gabung sini yuk!" "Brian, kami boleh gabung nggak?" "Brian, kok sendirian aja?" Jika sudah seperti itu, Brian akan cepat-cepat pergi dari sana. Kalau pun ia sedang makan di kantin, Brian tak segan untuk meninggalkan makanannya walau masih tersisa banyak. Hal tersebut berlaku ketika dirinya sudah tidak tahan dengan segala godaan dari perempuan penikmat wajah tampan. Saat ini dirinya sedang berada di perpustakaan pusat Universitas Matahanya. Sepagi ini ia pilih pergi mencari buku, karena jika sudah siang sedikit perpustakaan ini akan mendadak ramai seperti pasar dengan antrian yang panjang pada validasi peminjaman buku dan Brian tidak suka itu. Dengan wajahnya yang tenang, laki-laki itu telaten memilih buku mana yang sesuai dengan kebutuhannya. Jika dirasa kurang cocok, ia akan terus bergeser mencari buku tersebut. Bugh. "Eh, maaf," kata Brian, ketika dirinya tidak sengaja menyenggol bahu seorang mahasiswi. Ia tidak sadar jika ada mahasiswi yang juga sedang mencari buku di rak yang sama, sampai-sampai tubuhnya yang besar itu hampir membuat mahasiswi tersebut terhuyung. "Eh, iya nggak papa, Kak," jawab mahasiswi tersebut malu-malu. Merasa tidak ada urusan lagi, Brian melanjutkan pencariannya terhadap buku-buku tentang teknik. Satu per satu rak ia telusuri, tetapi ia tidak mendapatkan buku yang ia cari. Selain itu, sedari tadi ia merasakan seseorang sedang memperhatikannya. Padahal, kali ini dirinya sedang ada di perpustakaan, di mana bisa dibilang tempat yang paling aman baginya untuk merasa tenang. Jangan sampai para mahasiswi yang menggilainya rela masuk ke perpustakaan hanya untuk menggodanya. Bukannya Brian sok tampan atau sok jual mahal. Tetapi yang namanya Brian memang tampan dan laki-laki itu sama sekali tidak murahan. Brian bukan tipe orang yang mudah bergaul. Bahkan dengan wajah tampannya itu ia tidak memiliki kekasih, walau yang publik tahu jika Brian adalah pacar dari Brina, mahasiswi pecinta organisasi. Brian menghentikan langkahnya. Ia berbalik ketika suara langkah kaki terdengar mengikutinya. Tatapannya berhasil menangkap seorang mahasiswi yang tadi sempat ia senggol sampai terhuyung. Mahasiswi tersebut hanya menunduk, tidak mau menatapnya. "Kenapa?" tanya Brian padanya. Perlahan, perempuan itu mengangkat kepalanya dan menatap Brian dengan mata yang berbinar. "Kak Brian ...," ucapnya perlahan. Kemudian ia mengulurkan tangannya. "Kenalin, aku Nina." Walau laki-laki itu sering digoda oleh banyak mahasiswi, tetapi belum pernah ada yang mengajaknya berkenalan seperti ini. Dengan senang hati, Brian menerima uluran tangan tersebut dan mereka saling bersalaman. "Brian." Perempuan itu tersenyum ketika laki-laki yang sudah sejak semester satu ia incar itu akhirnya bisa berkenalan dengan dirinya. Untuk pertama kali juga, dirinya berani berkenalan dengan laki-laki yang ia beri tempat khusus dalam hatinya. Brian merasakan telapak tangan Nina yang berkeringat dan dingin. Hal tersebut membuatnya terkekeh. "Tangan kamu dingin." Cepat-cepat Nina menarik tangannya. Ia sangat gugup sekali. "Ma ... Maaf, Kak." "Mau ngobrol dulu?" Sungguh hal yang mustahil untuk didengar. Bukan hanya bagi Nina yang tiba-tiba saja diajak mengobrol oleh Brian, tetapi Brian juga sebelumnya tidak pernah mengajak ngobrol orang lain jika memang dirinya tidak ada keperluan, apalagi dengan seorang perempuan yang baru saja dikenalnya. Tetapi, rasanya ada yang berbeda ketika dirinya bertemu dengan Nina pagi ini. Nina tidak terlihat seperti perempuan lain yang selalu mengelu-elukan dirinya. Selama beberapa menit bersama Nina, Brian juga tidak merasakan ketidaknyamanan di samping perempuan itu. Mungkin memang Nina yang bisa membuatnya nyaman, atau memang saking seringnya ia bertemu dengan perempuan-perempuan aneh, makanya ketika bertemu dengan Nina dirinya harus bisa mrmanfaatkannya demi pertemanan yang lebih baik. Brian dan Nina memutuskan untuk tetap berada dalam perpustakaan yang masih cukup sepi. Sepertinya memang perpustakaan bisa menjadi tempat yang nyaman bagi mereka berdua untuk mengobrol walau harus pelan-pelan. "Kamu anak teknik juga?" tanya Brian mengawali percakapan. Nina masih menunduk malu-malu. Bahkan sedari tadi jantungnya masih tidak mau untuk berdetak dengan normal. Perutnya pun tergelitik oleh kupu-kupu yang akhirnya bisa berterbangan setelah sekian lama menanti yang namanya perkenalan. Memang benar, memberanikan diri untuk lebih dekat lagi dengan seseorang memang jauh lebih menimbulkan kesan daripada hanya diam saja tanpa perubahan. "Hei, kamu kok nunduk aja?" kata Brian lagi. Kali ini ia lebih mendekatkan wajahnya pada Nina, melihat bagaimana lucunya Nina ketika menunduk. Perlahan, Nina mengangkat kepalanya. Ia berusaha menatap laki-laki yang mengajaknya mengobrol. Walau semakin mata indah itu menatapnya, semakin lemas saja tubuhnya. "Ng ... maaf, Kak. Aku grogi," ucap Nina apa adanya. Bisa-bisanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya, padahal ada banyak kosa kata lain yang bisa ia keluarkan untuk menjawab pertanyaan Brian. Kini Brian sadar. Dari jawaban Nina, ia bisa menilai juga bahwa Nina sebenarnya juga sama dengan perempuan lain di luar sana yang menggemari wajah tampannya. Namun, yang spesial dari Nina adalah ia memiliki cara tersendiri untuk lebih dekat dengannya. Bagi Brian, hal itu sangat unik dan jika saja Nina mau berteman dengannya, ia akan sangat bersyukur karena memang dirinya tidak memiliki banyak teman apalagi teman perempuan. "Kamu grogi kenapa? Kan kamu lagi ngomong sama aku, bukan sama dosbing." Perkataan Brian ia akhiri dengan kekehan. "Iya, Kak. Maaf." Sebenarnya Brian masih ingin mengobrol banyak dengan Nina. Tetapi, sepertinya ia harus segera kembali ke kelas karena ada jadwal setelah ini. Walau ia belum mendapatkan buku yang ia cari, tidak apa, ia juga tidak menyesal sudah mengobrol singkat dengan Nina walau sebenarnya tidak ada obrolan yang berarti diantara keduanya. Brian melihat jam tangannya sekali lagi. Ia pun berpamitan pada Nina karena harus segera pergi. "Nina, kayaknya aku harus balik ke kelas. Kamu masih mau di sini?" Nina menggangguk. Langsung saja laki-laki itu berdiri dan berjalan meninggalkan Nina. Tetapi, baru beberapa langkah, ia memutar arah dan kembali duduk di depan Nina. "Loh, nggak jadi, Kak?" tanya Nina kebingungan. Bukannya menjawab, Brian malah mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Nina. "Boleh minta nomor kamu?"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
191.4K
bc

DENTA

read
17.1K
bc

Head Over Heels

read
16.0K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
285.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
207.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
102.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook