prolog

1293 Words
"tidak! Aya tidak akan pernah setuju akan hal gila itu mak. Aya mohon urungkan niat mak. Aya gak mau punya anak dari om-om itu. Nggak mak!" Aya menangis tersedu sambil bersimpuh dikaki ibunya. "Aya janji mak. Aya janji akan membantu mak melunasi hutang-hutang bapak, mak!" Sani ikut menangis tersedu saat melihat anaknya menangis dibawah kakinya. Ia tidak tega namun keadaanlah yang membuatnya untuk memutuskan hal sulit itu. Demi hutang sang suami Sani rela memberikan anaknya sebagai jaminan. Sani tidak berdaya, Sani tidak bisa merubah segalanya yang ia bisa hanya menukar kebahagiaan Aya demi suami tercintanya, dengan begitu Pram tidak akan lagi dipenjara karena penggelapan uang dan penipuan. Sani hanya bisa berharap kepada keluarga besar Hadi Jaya, semoga kelak Erlangga bisa membahagiakan anaknya kelak, meski itu tidak mungkin. namun yang namanya ibu pastilah mengharapkan kebahagiaan lebih untuk sang buah hati. "Maafkan mak Aya! Mak gak bisa berbuat apa-apa. Mak hanya ingin merubah hidup Aya. Mereka berjanji kelak akan membahagiakan Aya. Memberi kehidupan yang layak untuk Aya." Jelas Sani sambil memaksa Aya untuk bangun dari kakinya."lagian Aya nggak diabaikan begitu saja kok, Aya bakal nikah siri sama den Angga kok." Aya terus menangis, ia sama sekali tidak pernah membayangkan akan dijadikan jaminan seperti ini. Aya tidak pernah menuntut bahkan ia rela bekerja keras sedari kecil hanya untuk membantu kedua orang tuanya. Jadi istri pengganti sementara? Oh astaga! Bahkan hanya membayangkannya saja Aya sudah tidak tahan. Bagaimana kelak jika dirinya dicap sebagai pelakor? Bagaimana jika kehidupannya tidak sebahagia yang ibunya inginkan? Namun nasi sudah menjadi bubur. Keputusan sang ibu menjadikannya jaminan perjanjian hitam diatas putih tidak dapat ditolak lagi. Pernikahan siri yang dilandakan perjanjian hitam diatas putih? oh astaga! bahkan Aya pun tidak pernah membayangkan ini sebelumnya. Aya rela namun Aya tidak akan pernah rela jika kelak keluarganyalah yang menjadi hujatan warga desa. "Ya alloh beginikah hidup yang sesungguhnya? Aya akan menerima semuanya, semoga kelak kau memberi kebahagiaan berlebih untuk Aya dan keluarga Aya." Doanya dalam hati. "Ya sudah mak!" Aya menghapus air matanya. "Aya gak bakal nolak lagi kok mak. Aya terima apa yang menurut mak baik." Ucap Aya sambil menahan rasa sakit dihatinya. "Maafkan mak Aya." Sani memeluk Aya erat, ia tidak tega. Hati seorang ibu terluka hanya karena ingin merasakan surga dibawah kendali sang suami. Sani tidak pernah membantah apa yang Pram inginkan. Bagi Sani kebahagiaan suami adalah surga baginya namun tidak bagi Sandra dan Vitaya. Sosok sang ayah hanyalah hama yang perlu disingkirkan. Sifat tempramen sang ayah dan juga kebiasaan mabuk sang ayah membuat Sandra dan Vitaya membenci sosok ayahnya. "Permisi!" Suara bariton dari arah pintu bambu rumah Sani membuat Aya dan Sani segera menghentikan tangisan mereka. Sani segera mengusap air mata sang anak dan menyuruhnya untuk segera membuka pintu rumah mereka. "Om!" Aya menunduk takut. "Ada apa om?" Erlangga menatap Aya datar lalu mengalihkan pandangannya kedalam rumah bambu berukuran kecil itu. "Dimana mak lo?" "Ada didalam om." Jawab Aya masih berdiri mematung ditengah-tengah pintu rumahnya. "Trus gue harus tetep berdiri disini? Panggilin mak lo kek!" Ucap Erlangga kesal sambil menyilangkan kedua tangannya. "Eh iya. Maaf om! Sebentar." Aya segera berlari kedalam memanggil ibunya yang tengah berada didalam kamar mandi yang hanya berdinding anyaman bambu. "Ada apa Aya?" "Mak ada om Rangga." Jawab Aya kesal. "Sudah disuruh masuk?" Aya mengangguk. "Udah mak!" Bohongnya. Padahal tadi Aya langsung berlari kedalam saat mendengar nada kesal Erlangga. Aya terpaksa berbohong hanya karena mencari aman untuk dirinya sendiri. Jika mak tau Aya gak kasi masuk om Rangga. Mak pasti marah besar dan berkata. "Gak sopan kalau membiarkan orang menunggu diluar." Celotehnya sambil menyinyirkan bibirnya menirukan ocehan sang ibu yang biasa dia dengar. "Den Rangga. Ada apa?" Tanya Sani sambil mempersilahkan duduk Rangga. "Saya--" ucapan Rangga terpotong saat Aya dengan sengaja menyelat ucapannya. "Mak Aya mau kewarung dulu. Gulanya habis!" Sani hanya bisa tersenyum kaku melirik kearah Rangga. "Maafkan Aya den. Aya biasanya sopan tidak seperti itu." "Tidak apa mak. Maklum kok anak masih kecil!" Jawab Rangga dengan perasaan kesal tertahan. Sabar Rangga! Sabar. Entar lo juga bisa balas dendam sama tu bocah! Ocehnya kesal dalam hati. "Aya sudah delapan belas tahun den. Bukan anak kecil lagi!" Jelas Sani sambil mengulas senyumnya. "Iya mak! Iya." Rangga terteteh geli. "Oh ya mak. Ini titipan dari papa. Katanya mak Sani besok suruh kerumah papa. Gak usah ketoko dulu katanya." "Iya den. Saya memang berencana mau berkunjung kerumah tuan besar sekalian menengok nenek den Rangga." Rangga berdiri dari duduknya. "Ya sudah mak. Rangga pergi dulu! Salam buat Sandara sama Aya." Sani mengangguk. "Lo den. Jangan pergi dulu! Aya masih beli gula. Dia sudah menbuatkan den Rangga minuman. Kasihan kalo den Rangga pulang." "Oh baiklah." Rangga kembali duduk, ia merasa tidak enak menolak tawaran sang calon ibu mertua. Aya datang dan langsung masuk kedalam begitu saja tanpa memperdulikan Rangga yang duduk sambil menscrol ponselnya. "Den. Saya pergi dulu! Den Rangga tunggu Aya dulu baru pulang ya." Rangga hanya mengangguk. Sebanarnya ia tidak enak dengan Sani, karena dirinyalah Sani dan Aya harus menanggung akibatnya. Ayahnya mendesaknya untuk mempuyai anak sedangkan istrinya Adela tidak memungkinkan untuk mempuyai keturunan. Tekanan demi tekanan selalu Rangga terima dan atas kemauan sang istri juga ia menyanggupi keinginan sang ayah dan ibunya. Meski berat Rangga harus bisa memutuskan apa yang menurutnya baik. "Mak! Eh? Mak tadi mana?" Aya meletakkan cangkir teh hangat tepat didepan Rangga. "Lo mau kemana?" Tanya Rangga jutek. "Ya mau masuk kedalam to om!" Jawab Aya kesal. Sumpah! Ada ya orang nyebelin kayak om Rangga ini? Kalo bukan karena mak. Aya ogah mah jadi ibu bayaran. Batin Aya kesal. "Sini lo duduk. Mak lo nyuruh gue temenin lo!" Aya dengan sedikit perasaan tidak rela pada ahirnya terduduk dikursi bambu miliknya. "Kenapa om Rangga menyetujui perjanjian konyol itu?" Rangga meletakkan cangkir tehnya lalu menatap Aya. "Gue kasihan sama mak lo!" Jawabnya santai. "Dan lagi. Lo jangan panggil gue am om am om gitu. Gue masih muda! Umur gue juga baru tiga puluh. Masak udah dipanggil om-om!" "Aya umur dua puliuh lo om. Om Rangga umur tiga puluh. Perbedaan sepuluh tahun! Weh. Dah pantes lah Aya panggil om. Udah tua! Beda sama Aya yang masih aduhai." Rangga menahan kesalnya dan lebih memilih diam. "Serah lo deh babi hutan." Kesalnya dalam hati. "Om!" "Emh!" Jawab Rangga asal. "Katanya om cinta sama mbak Adel. Lah kenapa Om mau menikahi Aya diam-diam?" Rangga terbelalak. "Siapa bilang gue mau nikahin elo. Bini gue cuman satu! Adela doang. Lo cuma sebagai ibu pengganti saja, gue hanya nikahin lo secara siri dan jangan harap gue sentuh elo karena hanya s****a gue aja yang bakal gue tanam dirahim lo." "Maksud om apaan? Kok? Masak Aya hamil tapi gak nikah." Rangga mendengus kesal. "Nikah kok babi utan! Gue cuma nitip s****a gue sama lo. Gue cuman ngarep rahim lo doang. Nanti kalo itu benih gue udah lahir lo bakal gue usir dari rumah bokap kok. Tenang saja! Status lo aman." Rangga mengibaskan tangannya. "Dan lagi. Selama lo hamil lo gal boleh keluar. Lo harus tetap didalam rumah bokap gue! Inget ya. Kalo bukan kemauan bokap dan nyokap gue! Gue gak bakal sudi menitipkan s****a gue kedalam rahim lo!" Aya mendengus kesal. "Iya Aya tau. Gak usah ngotot juga kali om! Dan lagi. Memangnya kenapa sama rahim mbak Adel?" "Bukan urusan lo." Kekesalan Aya sudah sampai keubun-ubun, pria tampan tak berahlak ini tidak sepantasnya ada didalam rumahnya. Aya berdiri dari dudunnya lalu menarik paksa cangkir Rangga. "Sudah pulang sana. Memangnya gak ada teh dirumah om. Gak sopan banget ganteng-ganteng! Cepat pergi dari sini!" Aya menarik paksa Rangga keluar. Dan pada ahirnya Aya berhasil bernafas lega meski penjelasan Rangga semakin membuat Aya semakin resah. Hamil tetapi tidak dinikahi? Melahirkan anak lalu dibuang? Lalu bagaimana kata orang kelak? Aya semakin ingin menangis mendengar penjelasan menyebalkan itu. Nada yang tidak bersahabat semakin membuat Aya tertekan. Inikah yang dinamakan pengorbanan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD