chapter 2

2507 Words
"Ya, Riam! Pergilah kau tidur," kata si ibu menyenangkan hati anaknya itu. Pada waktu itu pun pergilah Mariamin ke bilik tempat tidurnya. Sekarang ia sudah jauh dari mata ibunya yang sakit itu. Baru ia masuk, tiadalah diingatnya lagi memalang pintu bilik itu dari dalam, ia menghempaskan dirinya ke atas tempat tidurnya. Sekuat-kuat tenaga ia tadi menahan dukacitanya, sejak bercerai dengan anak muda itu sampai ia meninggalkan ibunya. Sebagaimana sudah dimaklumi, amatlah susah baginya menyembunyikan dukanya itu. Pada waktu makan tadi, ibunya melihat awan yang menutup dahi anaknya itu. Sekarang tak tertahan lagi olehnya, sudah habis kekuatannya, ibarat mata air yang ditutup, demikianlah kemasygulannya itu; sekarang sudah datang waktunya hendak meletus. "Wahai malangnya aku ini! Sampailah hatimu meninggalkan daku,   Udin?" tangis Mariamin dengan sedihnya. Tak dapatlah ia lagi berkata- kata, karena tangisnya menyumbat tenggorokan, dan air matanya ber- cucuran pada pipinya yang halus itu, jatuh ke bantal-gulingnya.   Sejurus lamanya dapatlah ditahannya sedikit tangisnya itu; mata air   yang telah tersumbat itu, mendapat jalan ke luar; dengan memancar- mancar keluarlah dari dalam tanah, dan lama-kelamaan berkuranglah   kuatnya air yang memancar itu. Demikianlah halnya Mariamin. Meski- pun air matanya berlinang-linang, ia pun duduklah, karena bantalnya   sudah basah. Kedua belah tangannya ditongkatkannya ke dagunya dan matanya memandang ke lampu kecil yang terpasang di hadapannya. Tetapi tiadalah ia melihat nyala lampu itu, melainkan seolah-olah   barang lainlah yang nampak olehnya, karena duduknya itu sudah di- penuhi kenang-kenangan. Semua halnya selagi ia anak-anak datanglah   kembali ke hadapannya. Seorang pun tak ada yang melihat Mariamin duduk termenung itu. Amatlah kasihan kita melihat gadis yang semuda itu digoda kesusahan. Hati siapa takkan iba melihat muka yang manis itu menjadi muram dan bibir yang merah dan tipis itu tiada menunjukkan senyum lagi, sebagaimana biasanya. Siapa pun yang melihat anak dara itu duduk sedemikian, tentu tiada sampai hatinya, ia pun akan turut bersedih hati. Ia akan berbuat sepandai-pandainya untuk menghiburkan hatinya. Akan tetapi apa boleh buat, tak ada seorang pun yang dapat berbuat begitu karena gadis itu hanya seorang diri dalam biliknya. Jadi tiadalah heran, jikalau ia terus juga memikirkan nasibnya itu. Betul, ya, lampu kecil yang menyala di hadapan dara muda itu, melihat kawan sekamarnya bersusah hati. Ia seolah-olah berkata, "Janganlah tuan menangis, wahai gadis yang cantik, tiadakah sayang tuan melihat air mata tuan yang   mahal itu terbuang-buang? Diamlah Tuan, janganlah tuan terlampau amat bercintakan hal yang belum kejadian. Siapa tahu malang yang tuan sangkakan itu menjadi mujur kesudahannya." Banyak lagi ucapan hiburan lampu itu, tetapi Mariamin tiada mendengarnya. Telinganya sudah tertutup dan matanya pun tak melihat lagi, karena diserang angan-angan itu. Hidupnya yang dahulu sajalah yang nampak tergambar di mukanya. Kasihan, gadis yang semuda itu memikul penanggungan yang sesedih itu! "Ia akan pergi juga merantau ke Deli yang jauh itu; aku tinggal seorang diri. Aduhai Angkang Din, sampai hati rupanya tuan membiarkan aku dalam untungku. Lupakah tuan akan pergaulan kita sejak dari kecil, yang sudah bertahun-tahun itu? Kasih sayangku amat besar kepada tuan, dari dahulu sampai sekarang, tetapi rupanya kecintaan tuan kepadaku tiada cukup kukuhnya akan mempersatukan kita. Bukanlah aku yang kurang ramah, bukan aku yang kurang menyayangi angkang, tetapi tuanlah yang lebih dulu meninggalkan aku." Perkataan itu dikatakan Mariamin dalam hatinya, tetapi tak tahu rupanya ia lagi, apa yang ke luar dari mulutnya itu. "Aku pergi bukan hendak meninggalkan adinda, tetapi mendapatkan kau. Aku terpaksa, karena suatu hal," terdengar dalam telinga anak dara itu perkataan kekasihnya, waktu mereka itu bercakap-cakap tadi, di atas batu besar, di rusuk rumah. "Apakah makna perkataannya itu?" tanya Mariamin. "Ia merantau ke Deli, negeri yang sejauh itu. Tetapi ia berkata juga, "Aku tak akan meninggalkan adinda." "Itu tak benar. Aku tinggal, hidup dengan untungku, Aminu'ddin tak melihatku, tiada mendengar suaraku lagi, sebab tuan sudah jauh, tentu tuan melupakan aku lambat launnya. Hilang dari mata, lenyap dari pikiran. Hal yang serupa ini telah beratus kali kulihat di dunia ini. Akan tetapi aku tiada lupa kepadamu, biarpun tuan tak mengingat aku. Sudah   kukatakan, bahwa engkau kucintai, diriku pun sudah kuserahkan ke- padamu, sebab aku berhutang budi dan nyawa kepadamu dan lagi aku   sudah percaya akan kemuliaan hatimu, cuma aku kadang-kadang bimbang, bila engkau jauh dari anggimu..." Di luar hari amat dingin. Langit yang lebar itu ditutupi awan yang gelap, sebutir bintang pun tak nampak. Angin pun berembuslah dengan   kencangnya, sehingga berdengung pada pohon-pohon yang tinggi- tinggi yang menghambat perjalanannya itu. Angin yang hebat itu   bercampur pula dengan hujan rintik-rintik. Akan tetapi itu hanya sebagai tanda, bahwa sebentar lagi awan yang gelap yang menutup   langit itu, akan bertukar menjadi hujan yang lebat. Sunyi-senyap rupanya di jalan dan lorong-lorong, karena tiada suatu apa yang kedengaran, hanya bunyi angin yang dahsyat itu; sunyi dan sedih juga pemandangan mata kita dalam kamar anak dara yang gundah-gulana itu. "Riam, apakah sebabnya engkau menangis?" datang suatu suara dari pintu. Yang ditanya itu terkejut, seraya melihat ke belakang, yakni ke pintu kamarnya. Ia terkejut, bukan sebab tak mengenal suara itu, tetapi ia tiada menyangka, bahwa ibunya yang bertanya itu. Disapunya matanya dengan lengan bajunya, seraya ia mengawasi orang yang berdiri di pintu kamarnya itu, karena pada sangkanya penglihatannya salah. Ya, benarlah dia. Muka yang pucat dan kurus itu nyata juga kepada matanya, meskipun cahaya lampu yang kecil itu malap adanya. "Mak, ampun Mak!" kata si anak seraya melompat memeluk ibunya itu. Akan tetapi air matanya makin lebat bercucuran ke pipinya. "Apakah yang anakku tangiskan, sedang jauh malam begini? Pikirku Riam sudah tertidur," kata si ibu dengan suara perlahan-lahan. Si ibu terjaga dari tidurnya dan melihat cahaya lampu yang datang dari pintu bilik Mariamin. Ia mendengar suara yang sayup-sayup, yaitu suara Mariamin yang mengeluh itu. Oleh sebab itu heranlah hati si ibu, dan ia pun pergi ke kamar anaknya itu melihat apa yang terjadi di situ. Oleh karena pintu tiada dikunci, dapatlah ia masuk ke dalam dengan tiada diketahui anaknya itu. "Katakanlah apa sebabnya anakku menangis?" tanya ibunya lagi seraya menyapu-nyapu pipi anaknya yang basah oleh karena air matanya itu. Dengan tiada disembunyi-sembunyikan Mariamin menceritakan sekalian perkataan Aminu'ddin itu. "Kalau anakku takkan menyusahkan bunda yang sakit-sakit ini, diamlah kau, dan senangkanlah pikiranmu, engkau harus sabar dan berserah diri kepada Tuhan," kata si ibu sesudah ia mendengar cerita anaknya itu. Mariamin seorang anak perempuan yang penurut; ia membawa ibunya ke kamarnya, seraya katanya, "Janganlah ibuku bersusah hati, masakan mau ananda memberatkan hati ibu. Ananda menangis tadi karena ananda bodoh dan pikiranku muda, sekarang tak mau ananda lagi menangis. Tidurlah Ibuku, hari sudah jauh malam." Setelah ibunya pergi, maka pergilah Mariamin merebahkan dirinya di atas tempat tidurnya itu. la pun mengumpulkan kekuatannya akan   mendiamkan pikirannya yang berkisar-kisar itu. Tiada berapa lamanya ia pun tertidurlah. Hujan rintik-rintik itu sudah bertukar dengan hujan yang amat lebat, sehingga sebagai air dicurahkan dari langit rupanya. Angin yang keras itu makin kencang dan kilat pun berturut-turut diiringi halilintar yang gemuruh, sebagai gunung runtuh lakunya. Dalam rumah kecil yang tersebut sudah sunyi, karena semua sudah diam, masing-masing tidur dengan nyenyaknya. Hanyalah lampu kecil yang terpasang di tepi dinding itu yang masih menyala dan cahayanya yang suram itu mencoba-coba melawan dan mengusir kekuatan dewi malam yang memerintahkan alam ini.   2. TALI PERSAHABATAN DAN PERKAUMAN   Sekarang baiklah kita tinggalkan rumah kecil tempat kediaman ibu dan anaknya itu; kita biarkan mereka tidur dengan senangnya, karena tidur yang nyenyak itu amat berguna kepada mereka, untuk menguatkan badannya menanggung kemiskinan yang akan datang waktu besok atau lusa. Marilah kita berjalan melalui jalan besar yang menuju ke luar kota Sipirok, yang menuju ke sebelah utara. Kalau sekiranya waktu itu siang dan hari baik, tentu dapatlah kita melihat arah tujuan kita. Tetapi tak mengapa, kita takkan sesat, sebab jalan itu tak banyak simpang-siurnya, lagi telah dikenal benar-benar. Tengoklah ke muka! Apakah yang tampak? Kiri-kanan jalan besar itu terbentang sawah yang luas, lebih baik dikatakan jalan itu terentang di tengah-tengah sawah yang luas. Padi yang sedang hendak berbuah itu hijau daunnya, sehingga lapangan   yang luas itu seolah-olah ditutup dengan beledu hijau yang lebar. Kira- kira satu setengah pal dari Sipirok, nampaklah di tengah-tengah sawah   yang subur itu puncak-puncak pohon nyiur dan kayu-kayuan, antaranya kelihatanlah rumah-rumah yang beratap ijuk. Makin dekat makin nyatalah, bahwa tempat itu sebuah kampung, dan itulah tempat lahir dan tinggal Aminu'ddin, seorang anak muda yang baru berumur delapan belas tahun. Anak muda itu anak kepala kampung yang memerintahkan kampung A itu. Nama kampung itu, hanya huruf awalnya saja yang dituliskan di sini, sebab kuranglah baik rasanya, kalau disebutkan nama yang secukupnya. Ayah Aminu'ddin bolehlah dikatakan seorang kepala kampung yang terkenal di antero luhak Sipirok. Harta bendanya amatlah banyaknya, dan kerbau lembunya pun cukup di Padang Lawas*), apalagi sawahnya berlungguk-lungguk**), sehingga harga padi yang dijualnya tiap-tiap tahun beratus-ratus rupiah, mana lagi hasil kebun kopi belum terhitung. Adapun kekayaannya yang sederhana itu tiada sekali diperolehnya, asalnya peninggalan orang tuanya juga; akan tetapi sebab rajinnya berusaha, maka hartanya itu pun makin lama makin bertambah-tambah. *) Padang Lawas yaitu nama suatu luhak di Keresidenan Tapanuli. Padang Lawas artinya padang yang luas; pekerjaan orang penduduk negeri itu terutama beternak kerbau dan lembu, karena padang yang lebar itu amat bagus tempat memelihara kerbau dan lembu. Adapun hewan yang dipelihara di situ, kebanyakan kepunyaan orang negeri luaran. *) Belungguk-lungguk; selungguk artinya setumpuk sawah, yang luasnya ± 1 km2 .   Kekayaan yang sederhana itu, pangkat kepala kampung itu, ditambahi pula budi yang baik, itulah sebabnya orang itu terkenal di luhak Sipirok dan anak buahnya, yakni penduduk dusun A itu pun menyegani dia. Dua puluh tahun ia sudah memegang pangkat peninggalan bapak dan neneknya itu. Dalam waktu yang sekian lama itulah ia hidup bersama-sama dengan istrinya, hidup beruntung sebagaimana orang yang lain. Sebagaimana orang lain? O, bukan, karena tiadalah semua orang mendapat rezeki yang sebaik itu. Akan tetapi apakah sebabnya mereka itu tiada bersenang hati? Perkawinan mereka itu terikat dengan kecintaan yang bersih dan teguh, apalagi ada juga pertaliannya, yaitu mereka itu orang berkaum juga. Si laki mengasihi istrinya sejak dari mula gadisnya sampai ia sudah kawin, dan sampai pada waktu sekarang. Bagaimana pula ia tiada mencintai istrinya itu, karena perempuan itu amat baik budinya, dan barang tingkahlakunya pun adalah setuju dengan si suami. Romannya yang sederhana dan tabiatnya yang lemah-lembut itu, cukuplah sudah kekuatannya akan mengikat hati suaminya, akan menarik pikiran si laki kepada istrinya. Amatlah pandainya ia menghiburkan hati suaminya, bila dalam kedukaan, dan dalam segala kesusahan ia menolong suaminya, dengan akal dan bicara, karena ia tahu benar, bahwa seharusnyalah perempuan itu menyenangkan suaminya. Ia patut tertawa, kalau si laki marah, supaya kening yang berkerut menjadi licin; oleh sebab senyum simpul si perempuan yang manis itu dan perkataannya yang lemah-lembut, itu pun hati si laki yang panas itu menjadi dingin dan tawar. Bila   perempuan mempunyai tabiat yang serupa itu, dapatlah ia me- merintahkan suaminya, boleh dikatakan suaminya itu ada di bawah   kuasa jari kelingkingnya. Dua tahun mereka itu bergaul, maka si istri pun melahirkan buah perkawinan mereka itu, yakni seorang anak laki-laki, itulah dia Aminu'ddin. Tali perhubungan antara kedua laki-istri pun makin kuat, sehingga seorang mencintai yang lain sebagai dirinya sendiri. Kalau si ibu menyusukan buah hatinya itu di atas tempat tidur, si bapak pun tiada dapat menahan sukacitanya. Ia memeluk istrinya, seraya berkata, "Ah, sungguh saya merasa beruntung karena anak kita ini sebagai matahari yang menyinari perkawinan kita dengan cahaya kegirangan. Bukankah benar perkataanku itu, Anggi?" "Perasaan laki-laki sudah demikian, karena kelahiran anaknya. Betapa pula lagi besarnya kegirangan hati si ibu, yang menanggung rupa-rupa penanggungan, waktu melahirkan anaknya, yang menjadi buah hati dan tangkai kalbunya?" sahut si istri dengan senyum yang   manis, seraya memandang muka suaminya dengan pandang yang tetap. Cahaya mata si ibu yang cemerlang itu menembus hati si laki; cahaya mata itu memancar dan masuk ke hatinya, masuk ke jantungnya, sehingga api hasrat dan kasihnya akan istrinya itu bernyala-nyala. Ia mendekap dan memeluk istrinya; sekali ini lebih kuat, sambil tangan- nya gemetar sedikit.   "Awas, anak kita! Tiadakah engkau sabar lagi? Tunggu sebentar ia tertidur, biar dahulu ia kuletakkan," sahut si ibu, seraya menidurkan buah hatinya itu.   "Bukan main cantikmu kupandang ini, aku amat beruntung di- pertemukan Tuhan dengan engkau," kata suaminya seraya ia berdiri,   meninggalkan tempat tidur istrinya itu, dengan muka yang berseri-seri, menunjukkan kesenangan hatinya. Setelah Aminu'ddin berumur delapan tahun, maka ia pun disuruh oleh orang tuanya bersekolah. Dalam kelasnya, ialah anak yang termuda sekali, kebanyakan sudah berumur sembilan atau sepuluh tahun, karena pada masa itu orang tua tiada suka menyuruh anaknya yang masih kecil ke sekolah, lainlah halnya dengan sekarang. Meskipun ia yang terlebih kecil di antara kawan-kawannya, akan tetapi ia amat rajin belajar, baik di sekolah atau di rumah, sehingga   gurunya amat menyayangi dia. Bila gurunya berkata-kata atau me- nerangkan sesuatu apa, matanya tiada lepas dari muka guru itu. Segala   keterangan guru itu ditangkapnya dengan daun telinganya, serta di- perhatikannya benar-benar, bolehlah dikatakan, sepatah kata pun tiada   yang tak dikenalnya. Jadi tiadalah heran lagi, kalau ia menjadi murid kesayangan gurunya. Dari kelas satu sampai kelas tiga, ia masuk anak   yang terpandai di kelasnya. Meskipun demikian tiadalah pernah ia me- nyombongkan diri, sebagai tabiat yang nampak pada kebanyakan orang   muda-muda. Hatinya rendah dan menilik segala cakap dan lakunya, nampak benar-benar, bahwa ia tiada mempunyai hati yang meninggi. Ia disukai oleh kawan-kawannya, seorang pun tiada yang menaruh   cemburu kepadanya, lagi pula tak ada jalan bagi temannya akan mem- bencinya. Di luar dan di dalam sekolah ia selalu menolong mereka, asal   dapat olehnya. Ia dimarahi sekali-sekali oleh gurunya, kadang-kadang sampai mendapat hukuman, tetapi bukanlah karena nakal atau jahatnya, hanyalah karena menolong temannya, waktu berhitung. Sudah tentu guru gusar oleh karena itu, dan Aminu'ddin menahan juga dalam hatinya, akan tetapi kadang-kadang ia tiada dapat menahan hati dan nafsunya, yakni nafsu yang selalu hendak memberi pertolongan kepada kawannya. Meskipun guru menghukumnya, karena kesalahan itu, tiadalah bertukar hati gurunya melihatnya, tiadalah pernah gurunya   membencinya ataupun memarahinya dengan kata yang kasar-kasar, karena tahulah gurunya itu, bahwa b***k itu berperasaan yang halus sebagai perempuan, dan mempunyai kekerasan hati sebagai laki-laki yang sebenarnya. Semuanya itu dapat dilihat pada matanya yang tajam, yang terletak di bawah bulu kening yang hitam, melengkung sebagai busur terpasang. Waktu ia duduk di kelas tiga, genaplah usianya sepuluh tahun. Lepas dari sekolah, ia pun membantu bapaknya bekerja di sawah atau di kebun. Jaranglah ia diam atau bermain-main saja, karena ia dapat juga mencari pekerjaannya dan bapaknya pun membiasakan dia sebagai orang tani yang patut. Si ibu yang melihat kelakuan suaminya kepada anaknya, acap kali berkata, "Janganlah kakanda terlalu keras kepada anak kita itu! Umurnya belum berapa dan tulangnya belum kuat, tetapi kakanda selalu menyuruh dia bekerja. Jangan kakanda samakan kekuatannya dengan kekuatan kakanda. Bukan adinda melarang dia bekerja, akan tetapi jangan terlampau keras; selagi ia kecil, jangan ia dipaksa; dia dibawa ke sawah, hanya sekadar membiasakan saja, supaya tahu ia berusaha di belakang hari." "Janganlah adinda kuatir, bukanlah kakanda memaksa dia, akan tetapi anak kita itu amat gemarnya bekerja, tiadalah ubahnya dengan kakanda, semasa kecilku. Bukankah baik itu, anak mencontoh tabiat bapaknya? Masakan kakanda tiada menjaga Aminu'ddin, buah hati dan cahaya mata kakanda itu," sahut si suami dengan suara melembutkan hati istrinya. "Adinda pun tahu juga, anak kita itu kakanda cintai, sebagaimana adinda mencintai dia," kata si istrinya, tetapi suaranya sudah berkurang kerasnya, oleh sebab bujukan suaminya. "Tidak benar, ibu lebih menyayangi anaknya daripada bapak," sahut suaminya itu, seraya tersenyum-senyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD