"Ya, Riam! Pergilah kau tidur," kata si ibu menyenangkan hati
anaknya itu. Pada waktu itu pun pergilah Mariamin ke bilik tempat
tidurnya.
Sekarang ia sudah jauh dari mata ibunya yang sakit itu. Baru ia
masuk, tiadalah diingatnya lagi memalang pintu bilik itu dari dalam, ia
menghempaskan dirinya ke atas tempat tidurnya. Sekuat-kuat tenaga ia
tadi menahan dukacitanya, sejak bercerai dengan anak muda itu sampai
ia meninggalkan ibunya. Sebagaimana sudah dimaklumi, amatlah susah
baginya menyembunyikan dukanya itu. Pada waktu makan tadi, ibunya
melihat awan yang menutup dahi anaknya itu. Sekarang tak tertahan
lagi olehnya, sudah habis kekuatannya, ibarat mata air yang ditutup,
demikianlah kemasygulannya itu; sekarang sudah datang waktunya
hendak meletus.
"Wahai malangnya aku ini! Sampailah hatimu meninggalkan daku,
Udin?" tangis Mariamin dengan sedihnya. Tak dapatlah ia lagi berkata-
kata, karena tangisnya menyumbat tenggorokan, dan air matanya ber-
cucuran pada pipinya yang halus itu, jatuh ke bantal-gulingnya.
Sejurus lamanya dapatlah ditahannya sedikit tangisnya itu; mata air
yang telah tersumbat itu, mendapat jalan ke luar; dengan memancar-
mancar keluarlah dari dalam tanah, dan lama-kelamaan berkuranglah
kuatnya air yang memancar itu. Demikianlah halnya Mariamin. Meski-
pun air matanya berlinang-linang, ia pun duduklah, karena bantalnya
sudah basah. Kedua belah tangannya ditongkatkannya ke dagunya dan
matanya memandang ke lampu kecil yang terpasang di hadapannya.
Tetapi tiadalah ia melihat nyala lampu itu, melainkan seolah-olah
barang lainlah yang nampak olehnya, karena duduknya itu sudah di-
penuhi kenang-kenangan. Semua halnya selagi ia anak-anak datanglah
kembali ke hadapannya.
Seorang pun tak ada yang melihat Mariamin duduk termenung itu.
Amatlah kasihan kita melihat gadis yang semuda itu digoda kesusahan.
Hati siapa takkan iba melihat muka yang manis itu menjadi muram dan
bibir yang merah dan tipis itu tiada menunjukkan senyum lagi,
sebagaimana biasanya. Siapa pun yang melihat anak dara itu duduk
sedemikian, tentu tiada sampai hatinya, ia pun akan turut bersedih hati.
Ia akan berbuat sepandai-pandainya untuk menghiburkan hatinya. Akan
tetapi apa boleh buat, tak ada seorang pun yang dapat berbuat begitu
karena gadis itu hanya seorang diri dalam biliknya. Jadi tiadalah heran,
jikalau ia terus juga memikirkan nasibnya itu. Betul, ya, lampu kecil
yang menyala di hadapan dara muda itu, melihat kawan sekamarnya
bersusah hati. Ia seolah-olah berkata, "Janganlah tuan menangis, wahai
gadis yang cantik, tiadakah sayang tuan melihat air mata tuan yang
mahal itu terbuang-buang? Diamlah Tuan, janganlah tuan terlampau
amat bercintakan hal yang belum kejadian. Siapa tahu malang yang
tuan sangkakan itu menjadi mujur kesudahannya." Banyak lagi ucapan
hiburan lampu itu, tetapi Mariamin tiada mendengarnya. Telinganya
sudah tertutup dan matanya pun tak melihat lagi, karena diserang
angan-angan itu. Hidupnya yang dahulu sajalah yang nampak
tergambar di mukanya. Kasihan, gadis yang semuda itu memikul
penanggungan yang sesedih itu!
"Ia akan pergi juga merantau ke Deli yang jauh itu; aku tinggal
seorang diri. Aduhai Angkang Din, sampai hati rupanya tuan
membiarkan aku dalam untungku. Lupakah tuan akan pergaulan kita
sejak dari kecil, yang sudah bertahun-tahun itu? Kasih sayangku amat
besar kepada tuan, dari dahulu sampai sekarang, tetapi rupanya
kecintaan tuan kepadaku tiada cukup kukuhnya akan mempersatukan
kita. Bukanlah aku yang kurang ramah, bukan aku yang kurang
menyayangi angkang, tetapi tuanlah yang lebih dulu meninggalkan
aku."
Perkataan itu dikatakan Mariamin dalam hatinya, tetapi tak tahu
rupanya ia lagi, apa yang ke luar dari mulutnya itu.
"Aku pergi bukan hendak meninggalkan adinda, tetapi mendapatkan
kau. Aku terpaksa, karena suatu hal," terdengar dalam telinga anak dara
itu perkataan kekasihnya, waktu mereka itu bercakap-cakap tadi, di atas
batu besar, di rusuk rumah.
"Apakah makna perkataannya itu?" tanya Mariamin. "Ia merantau
ke Deli, negeri yang sejauh itu. Tetapi ia berkata juga, "Aku tak akan
meninggalkan adinda."
"Itu tak benar. Aku tinggal, hidup dengan untungku, Aminu'ddin tak
melihatku, tiada mendengar suaraku lagi, sebab tuan sudah jauh, tentu
tuan melupakan aku lambat launnya. Hilang dari mata, lenyap dari
pikiran. Hal yang serupa ini telah beratus kali kulihat di dunia ini. Akan
tetapi aku tiada lupa kepadamu, biarpun tuan tak mengingat aku. Sudah
kukatakan, bahwa engkau kucintai, diriku pun sudah kuserahkan ke-
padamu, sebab aku berhutang budi dan nyawa kepadamu dan lagi aku
sudah percaya akan kemuliaan hatimu, cuma aku kadang-kadang
bimbang, bila engkau jauh dari anggimu..."
Di luar hari amat dingin. Langit yang lebar itu ditutupi awan yang
gelap, sebutir bintang pun tak nampak. Angin pun berembuslah dengan
kencangnya, sehingga berdengung pada pohon-pohon yang tinggi-
tinggi yang menghambat perjalanannya itu. Angin yang hebat itu
bercampur pula dengan hujan rintik-rintik. Akan tetapi itu hanya
sebagai tanda, bahwa sebentar lagi awan yang gelap yang menutup
langit itu, akan bertukar menjadi hujan yang lebat. Sunyi-senyap
rupanya di jalan dan lorong-lorong, karena tiada suatu apa yang
kedengaran, hanya bunyi angin yang dahsyat itu; sunyi dan sedih juga
pemandangan mata kita dalam kamar anak dara yang gundah-gulana
itu.
"Riam, apakah sebabnya engkau menangis?" datang suatu suara dari
pintu.
Yang ditanya itu terkejut, seraya melihat ke belakang, yakni ke
pintu kamarnya. Ia terkejut, bukan sebab tak mengenal suara itu, tetapi
ia tiada menyangka, bahwa ibunya yang bertanya itu.
Disapunya matanya dengan lengan bajunya, seraya ia mengawasi
orang yang berdiri di pintu kamarnya itu, karena pada sangkanya
penglihatannya salah. Ya, benarlah dia. Muka yang pucat dan kurus itu
nyata juga kepada matanya, meskipun cahaya lampu yang kecil itu
malap adanya.
"Mak, ampun Mak!" kata si anak seraya melompat memeluk ibunya
itu. Akan tetapi air matanya makin lebat bercucuran ke pipinya.
"Apakah yang anakku tangiskan, sedang jauh malam begini?
Pikirku Riam sudah tertidur," kata si ibu dengan suara perlahan-lahan.
Si ibu terjaga dari tidurnya dan melihat cahaya lampu yang datang
dari pintu bilik Mariamin. Ia mendengar suara yang sayup-sayup, yaitu
suara Mariamin yang mengeluh itu. Oleh sebab itu heranlah hati si ibu,
dan ia pun pergi ke kamar anaknya itu melihat apa yang terjadi di situ.
Oleh karena pintu tiada dikunci, dapatlah ia masuk ke dalam dengan
tiada diketahui anaknya itu.
"Katakanlah apa sebabnya anakku menangis?" tanya ibunya lagi
seraya menyapu-nyapu pipi anaknya yang basah oleh karena air
matanya itu.
Dengan tiada disembunyi-sembunyikan Mariamin menceritakan
sekalian perkataan Aminu'ddin itu.
"Kalau anakku takkan menyusahkan bunda yang sakit-sakit ini,
diamlah kau, dan senangkanlah pikiranmu, engkau harus sabar dan
berserah diri kepada Tuhan," kata si ibu sesudah ia mendengar cerita
anaknya itu.
Mariamin seorang anak perempuan yang penurut; ia membawa
ibunya ke kamarnya, seraya katanya, "Janganlah ibuku bersusah hati,
masakan mau ananda memberatkan hati ibu. Ananda menangis tadi
karena ananda bodoh dan pikiranku muda, sekarang tak mau ananda
lagi menangis. Tidurlah Ibuku, hari sudah jauh malam."
Setelah ibunya pergi, maka pergilah Mariamin merebahkan dirinya
di atas tempat tidurnya itu. la pun mengumpulkan kekuatannya akan
mendiamkan pikirannya yang berkisar-kisar itu. Tiada berapa lamanya
ia pun tertidurlah.
Hujan rintik-rintik itu sudah bertukar dengan hujan yang amat lebat,
sehingga sebagai air dicurahkan dari langit rupanya. Angin yang keras
itu makin kencang dan kilat pun berturut-turut diiringi halilintar yang
gemuruh, sebagai gunung runtuh lakunya.
Dalam rumah kecil yang tersebut sudah sunyi, karena semua sudah
diam, masing-masing tidur dengan nyenyaknya. Hanyalah lampu kecil
yang terpasang di tepi dinding itu yang masih menyala dan cahayanya
yang suram itu mencoba-coba melawan dan mengusir kekuatan dewi
malam yang memerintahkan alam ini.
2. TALI PERSAHABATAN DAN PERKAUMAN
Sekarang baiklah kita tinggalkan rumah kecil tempat kediaman ibu dan
anaknya itu; kita biarkan mereka tidur dengan senangnya, karena tidur
yang nyenyak itu amat berguna kepada mereka, untuk menguatkan
badannya menanggung kemiskinan yang akan datang waktu besok atau
lusa. Marilah kita berjalan melalui jalan besar yang menuju ke luar kota
Sipirok, yang menuju ke sebelah utara. Kalau sekiranya waktu itu siang
dan hari baik, tentu dapatlah kita melihat arah tujuan kita.
Tetapi tak mengapa, kita takkan sesat, sebab jalan itu tak banyak
simpang-siurnya, lagi telah dikenal benar-benar. Tengoklah ke muka!
Apakah yang tampak?
Kiri-kanan jalan besar itu terbentang sawah yang luas, lebih baik
dikatakan jalan itu terentang di tengah-tengah sawah yang luas. Padi
yang sedang hendak berbuah itu hijau daunnya, sehingga lapangan
yang luas itu seolah-olah ditutup dengan beledu hijau yang lebar. Kira-
kira satu setengah pal dari Sipirok, nampaklah di tengah-tengah sawah
yang subur itu puncak-puncak pohon nyiur dan kayu-kayuan, antaranya
kelihatanlah rumah-rumah yang beratap ijuk. Makin dekat makin
nyatalah, bahwa tempat itu sebuah kampung, dan itulah tempat lahir
dan tinggal Aminu'ddin, seorang anak muda yang baru berumur
delapan belas tahun. Anak muda itu anak kepala kampung yang
memerintahkan kampung A itu.
Nama kampung itu, hanya huruf awalnya saja yang dituliskan di
sini, sebab kuranglah baik rasanya, kalau disebutkan nama yang
secukupnya.
Ayah Aminu'ddin bolehlah dikatakan seorang kepala kampung yang
terkenal di antero luhak Sipirok. Harta bendanya amatlah banyaknya,
dan kerbau lembunya pun cukup di Padang Lawas*), apalagi sawahnya
berlungguk-lungguk**), sehingga harga padi yang dijualnya tiap-tiap
tahun beratus-ratus rupiah, mana lagi hasil kebun kopi belum terhitung.
Adapun kekayaannya yang sederhana itu tiada sekali diperolehnya,
asalnya peninggalan orang tuanya juga; akan tetapi sebab rajinnya
berusaha, maka hartanya itu pun makin lama makin bertambah-tambah.
*) Padang Lawas yaitu nama suatu luhak di Keresidenan Tapanuli.
Padang Lawas artinya padang yang luas; pekerjaan orang penduduk
negeri itu terutama beternak kerbau dan lembu, karena padang yang
lebar itu amat bagus tempat memelihara kerbau dan lembu. Adapun
hewan yang dipelihara di situ, kebanyakan kepunyaan orang negeri
luaran.
*) Belungguk-lungguk; selungguk artinya setumpuk sawah, yang
luasnya ± 1 km2
.
Kekayaan yang sederhana itu, pangkat kepala kampung itu,
ditambahi pula budi yang baik, itulah sebabnya orang itu terkenal di
luhak Sipirok dan anak buahnya, yakni penduduk dusun A itu pun
menyegani dia.
Dua puluh tahun ia sudah memegang pangkat peninggalan bapak
dan neneknya itu. Dalam waktu yang sekian lama itulah ia hidup
bersama-sama dengan istrinya, hidup beruntung sebagaimana orang
yang lain. Sebagaimana orang lain? O, bukan, karena tiadalah semua
orang mendapat rezeki yang sebaik itu. Akan tetapi apakah sebabnya
mereka itu tiada bersenang hati? Perkawinan mereka itu terikat dengan
kecintaan yang bersih dan teguh, apalagi ada juga pertaliannya, yaitu
mereka itu orang berkaum juga. Si laki mengasihi istrinya sejak dari
mula gadisnya sampai ia sudah kawin, dan sampai pada waktu
sekarang. Bagaimana pula ia tiada mencintai istrinya itu, karena
perempuan itu amat baik budinya, dan barang tingkahlakunya pun
adalah setuju dengan si suami. Romannya yang sederhana dan
tabiatnya yang lemah-lembut itu, cukuplah sudah kekuatannya akan
mengikat hati suaminya, akan menarik pikiran si laki kepada istrinya.
Amatlah pandainya ia menghiburkan hati suaminya, bila dalam
kedukaan, dan dalam segala kesusahan ia menolong suaminya, dengan
akal dan bicara, karena ia tahu benar, bahwa seharusnyalah perempuan
itu menyenangkan suaminya. Ia patut tertawa, kalau si laki marah,
supaya kening yang berkerut menjadi licin; oleh sebab senyum simpul
si perempuan yang manis itu dan perkataannya yang lemah-lembut, itu
pun hati si laki yang panas itu menjadi dingin dan tawar. Bila
perempuan mempunyai tabiat yang serupa itu, dapatlah ia me-
merintahkan suaminya, boleh dikatakan suaminya itu ada di bawah
kuasa jari kelingkingnya.
Dua tahun mereka itu bergaul, maka si istri pun melahirkan buah
perkawinan mereka itu, yakni seorang anak laki-laki, itulah dia
Aminu'ddin. Tali perhubungan antara kedua laki-istri pun makin kuat,
sehingga seorang mencintai yang lain sebagai dirinya sendiri. Kalau si
ibu menyusukan buah hatinya itu di atas tempat tidur, si bapak pun
tiada dapat menahan sukacitanya. Ia memeluk istrinya, seraya berkata,
"Ah, sungguh saya merasa beruntung karena anak kita ini sebagai
matahari yang menyinari perkawinan kita dengan cahaya kegirangan.
Bukankah benar perkataanku itu, Anggi?"
"Perasaan laki-laki sudah demikian, karena kelahiran anaknya.
Betapa pula lagi besarnya kegirangan hati si ibu, yang menanggung
rupa-rupa penanggungan, waktu melahirkan anaknya, yang menjadi
buah hati dan tangkai kalbunya?" sahut si istri dengan senyum yang
manis, seraya memandang muka suaminya dengan pandang yang tetap.
Cahaya mata si ibu yang cemerlang itu menembus hati si laki; cahaya
mata itu memancar dan masuk ke hatinya, masuk ke jantungnya,
sehingga api hasrat dan kasihnya akan istrinya itu bernyala-nyala. Ia
mendekap dan memeluk istrinya; sekali ini lebih kuat, sambil tangan-
nya gemetar sedikit.
"Awas, anak kita! Tiadakah engkau sabar lagi? Tunggu sebentar ia
tertidur, biar dahulu ia kuletakkan," sahut si ibu, seraya menidurkan
buah hatinya itu.
"Bukan main cantikmu kupandang ini, aku amat beruntung di-
pertemukan Tuhan dengan engkau," kata suaminya seraya ia berdiri,
meninggalkan tempat tidur istrinya itu, dengan muka yang berseri-seri,
menunjukkan kesenangan hatinya.
Setelah Aminu'ddin berumur delapan tahun, maka ia pun disuruh
oleh orang tuanya bersekolah. Dalam kelasnya, ialah anak yang
termuda sekali, kebanyakan sudah berumur sembilan atau sepuluh
tahun, karena pada masa itu orang tua tiada suka menyuruh anaknya
yang masih kecil ke sekolah, lainlah halnya dengan sekarang.
Meskipun ia yang terlebih kecil di antara kawan-kawannya, akan
tetapi ia amat rajin belajar, baik di sekolah atau di rumah, sehingga
gurunya amat menyayangi dia. Bila gurunya berkata-kata atau me-
nerangkan sesuatu apa, matanya tiada lepas dari muka guru itu. Segala
keterangan guru itu ditangkapnya dengan daun telinganya, serta di-
perhatikannya benar-benar, bolehlah dikatakan, sepatah kata pun tiada
yang tak dikenalnya. Jadi tiadalah heran lagi, kalau ia menjadi murid
kesayangan gurunya. Dari kelas satu sampai kelas tiga, ia masuk anak
yang terpandai di kelasnya. Meskipun demikian tiadalah pernah ia me-
nyombongkan diri, sebagai tabiat yang nampak pada kebanyakan orang
muda-muda. Hatinya rendah dan menilik segala cakap dan lakunya,
nampak benar-benar, bahwa ia tiada mempunyai hati yang meninggi. Ia
disukai oleh kawan-kawannya, seorang pun tiada yang menaruh
cemburu kepadanya, lagi pula tak ada jalan bagi temannya akan mem-
bencinya. Di luar dan di dalam sekolah ia selalu menolong mereka, asal
dapat olehnya. Ia dimarahi sekali-sekali oleh gurunya, kadang-kadang
sampai mendapat hukuman, tetapi bukanlah karena nakal atau jahatnya,
hanyalah karena menolong temannya, waktu berhitung. Sudah tentu
guru gusar oleh karena itu, dan Aminu'ddin menahan juga dalam
hatinya, akan tetapi kadang-kadang ia tiada dapat menahan hati dan
nafsunya, yakni nafsu yang selalu hendak memberi pertolongan kepada
kawannya. Meskipun guru menghukumnya, karena kesalahan itu,
tiadalah bertukar hati gurunya melihatnya, tiadalah pernah gurunya
membencinya ataupun memarahinya dengan kata yang kasar-kasar,
karena tahulah gurunya itu, bahwa b***k itu berperasaan yang halus
sebagai perempuan, dan mempunyai kekerasan hati sebagai laki-laki
yang sebenarnya. Semuanya itu dapat dilihat pada matanya yang tajam,
yang terletak di bawah bulu kening yang hitam, melengkung sebagai
busur terpasang.
Waktu ia duduk di kelas tiga, genaplah usianya sepuluh tahun.
Lepas dari sekolah, ia pun membantu bapaknya bekerja di sawah atau
di kebun. Jaranglah ia diam atau bermain-main saja, karena ia dapat
juga mencari pekerjaannya dan bapaknya pun membiasakan dia sebagai
orang tani yang patut. Si ibu yang melihat kelakuan suaminya kepada
anaknya, acap kali berkata, "Janganlah kakanda terlalu keras kepada
anak kita itu! Umurnya belum berapa dan tulangnya belum kuat, tetapi
kakanda selalu menyuruh dia bekerja. Jangan kakanda samakan
kekuatannya dengan kekuatan kakanda. Bukan adinda melarang dia
bekerja, akan tetapi jangan terlampau keras; selagi ia kecil, jangan ia
dipaksa; dia dibawa ke sawah, hanya sekadar membiasakan saja,
supaya tahu ia berusaha di belakang hari."
"Janganlah adinda kuatir, bukanlah kakanda memaksa dia, akan
tetapi anak kita itu amat gemarnya bekerja, tiadalah ubahnya dengan
kakanda, semasa kecilku. Bukankah baik itu, anak mencontoh tabiat
bapaknya? Masakan kakanda tiada menjaga Aminu'ddin, buah hati dan
cahaya mata kakanda itu," sahut si suami dengan suara melembutkan
hati istrinya.
"Adinda pun tahu juga, anak kita itu kakanda cintai, sebagaimana
adinda mencintai dia," kata si istrinya, tetapi suaranya sudah berkurang
kerasnya, oleh sebab bujukan suaminya.
"Tidak benar, ibu lebih menyayangi anaknya daripada bapak," sahut
suaminya itu, seraya tersenyum-senyum.