Percakapan yang serupa itu biasa terjadi waktu malam, sesudah
Aminu'ddin tidur dalam kamarnya, pada sebelah kanan serambi muka,
di muka kamar tidur orang tuanya.
"Sudahkah tertidur Aminu'ddin?" tanya suaminya, setelah sejurus
panjang lamanya ia termenung.
"Adinda rasa sudah," sahut istrinya. "Tadi sesudah makan, ia terus
pergi ke kamarnya, karena ia sudah payah benar bekerja sehari ini."
"Bekerja katamu? Sehari ini kakanda tak ada melihatnya."
"Ia menolong mencangkul sawah mak Mariamin. Hari ini ia libur
sekolah karena hari besar. Karena itu ia pergi tadi pagi ke Sipirok.
Petang inilah baru ia pulang. Tentu ia sudah letih," kata istrinya.
"Menolong Mariamin?" kata suaminya perlahan-lahan, karena
adalah yang dipikirkannya. "Ehm, ehm, baik benar hati anak kita itu
kepada ibu Mariamin. Apakah maknanya itu?"
"Apalah maknanya? Tak ada ... hanya ia merasa rapat hatinya
kepada mamaknya. Bukankah mereka itu kaum kita juga? Adinda amat
setuju dan memuji perbuatan anak kita itu. Sungguhpun ia muda, tetapi
telah tua pikirannya, ia telah mempunyai perasaan kepada mereka yang
dalam kemiskinan itu. Tiadalah sebagai kakanda! Bukankah mendiang
Sutan Baringin saudara kandungku, ipar kandung kakanda dan mamak
Aminu'ddin? Apakah sebabnya kakanda tidak melihat-lihat sawah
mereka itu, sejak sepeninggal saudaraku? Tiadakah kakanda menaruh
perasaan iba? Udin mempunyai kasihan, itulah sebabnya ia menolong
mamaknya." Mendengar itu suaminya tinggal diam, dia tiada marah
mendapat umpatan itu.
"Apakah maksud perkataan adinda, melihat-lihat sawah mereka
itu?"
"Kakanda tiada tahu maksud adinda? Melihat-lihat sawah mereka
itu, artinya menolong mereka itu mengerjakan sawah, karena kalau
sawah mereka itu tiada dicangkul dan ditanami, apalah yang akan
dimakan mereka itu bertiga beranak? Sekarang orang sudah hampir
menanam padi, akan tetapi sawah mereka belum habis dicangkul.
Tiadakah kakanda menaruh kasihan kepada anak dan istri saudaraku
itu?" tanya istrinya.
Suaminya termenung, ia teringat hal iparnya, Sutan Baringin, pada
waktu hidupnya.
Sutan Baringin seorang yang terbilang hartawan lagi bangsawan
seantero penduduk Sipirok. Akan tetapi karena ia sangat suka
beperkara, maka harta yang banyak itu habis, sawah dan kerbau terjual,
akan penutup ongkos-ongkos perkara, akhir-akhirnya... jatuh miskin,
sedang yang dicarinya dalam perkara itu tiada seberapa, bila di-
bandingkan dengan kerugiannya. Seorang asisten residen yang sudah
lama memerintah di Padangsidempuan, ibu negeri Sipirok, berkata di
hadapan orang banyak, "Kalau ada perselisihan kamu di kampung
tentang sawah atau harta benda peninggalan orang tuamu atau hal yang
lain, lebih baiklah kamu putuskan saja perselisihan itu dengan jalan
damai. Sekali-kali jangan terburu-buru membawa perselisihan itu ke
hadapan pengadilan, supaya jangan menjadi perkara. Jangan, jangan,
nanti kamu menyesal di belakang hari. Ingatlah nasihatku ini! Siapa
yang menang perkara menjadi bara, dan yang kalah menjadi abu."
Berapa kali Sutan Baringin dilarang istrinya, supaya berhenti dari
pada beperkara, tetapi tiada juga diindahkannya.
Ia kalah di pengadilan yang rendah, pergi lagi ke pengadilan yang
lebih tinggi, yaitu di Padang. Kalah di sana, minta banding lagi ke
pengadilan tinggi di Jakarta. Itu semua karena ia mendengar hasutan
orang yang hendak mencelakakan dia, karena orang itu hendak mencari
upah daripadanya. Upah menulis surat, upah mengarang rekes, upah
ini, upah itu, karena orang itu manusia yang... entah, masuk manusia
apa manusia semacam itu. Di negeri kecil orang menamai mereka itu
pokrol bambu. Lagak dan cakapnya sebagai orang yang pandai, yang
ahli dalam ilmu hakim, akan tetapi pengetahuannya tiada suatu apa,
ibarat gendang, kalau dipalu, keras suaranya, dibelah, tak ada isinya.
Kemalanganlah yang menimpa barang siapa yang pcrcaya kepada
orang yang macam itu.
Kalau ada perselisihan, selesaikanlah dengan jalan damai, panggil
orang tua-tua sekampung, mereka itu nanti memutuskannya dengan
baik. Kerugian tiada berapa, pikiran tiada susah dan kita kembali hidup
damai. Inilah untung yang teramat besar di dunia dan akhirat.
Perhatikanlah, hai saudara-saudaraku!
Sutan Baringin menutup telinganya, tiada hendak mendengarkan
kata istrinya, meskipun beberapa kali perempuan yang baik itu
mengingatkan suaminya. Segala bujuk dan nasihat, yang diucapkan
istrinya, sia-sia saja, sebagai batu jatuh ke lubuk. Si suami menurut
nasihat pokrol bambu juga.
Istri yang baik itu tiada putus as-a. Ia mengumpulkan kaum ke-
luarganya; Ayah Aminu'ddin, kepala kampung A, pun turutlah. Maksud
ibu yang mulia itu: perkataannya sendiri ditolak suaminya; kalau semua
kaumnya bersama-sama memberi petuah yang baik, barangkali
suaminya ada segan melaluinya.
Akan tetapi apakah kesudahannya? Sekalian ikhtiar istrinya itu sia-
sia. Suaminya tinggal menegangkan urat lehernya. Pengajaran setan
manusia yang berlidah petah itu sudah masuk benar ke hatinya, dan
matanya pun tak melihat lagi, bagaimana kesudahan perbuatannya itu
di belakang hari. Akan mengerasi dan memaksa suaminya itu tak berani
perempuan yang berhati lemah-lembut itu, karena amatlah hormatnya
kepada suaminya itu. Memberi ingat suami pun tiada berani lagi ia,
sejak Sutan Baringin membentak dia dengan perkataan, "Diam kau;
perempuan tiada patut mencampuri perkara laki-laki; dapur sajalah
bagianmu!"
"Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, Angkang,"
jawab istrinya perlahan-lahan; takut ia kalau-kalau darah suaminya itu
naik. Akan tetapi ia mengucapkan perkataan itu.dengan suara yang
sedih dan air mata berhamburan, karena terasalah olehnya, kemelaratan
yang akan menimpa mereka anakberanak kelak.
"Kakanda, ingatlah perkataan adinda! Tiadakah kakanda menaruh
kasihan kepada anak kita yang dua orang ini?"
"Diam! Perempuan apakah engkau?" sahut suaminya dengan muka
yang merah, seraya ia berdiri; lalu pergi ke luar.
Si ibu memandang anaknya yang menyusu di pangkuannya, sedang
air matanya bercucuran ke atas kepala anak yang hendak tertidur itu.
Hatinya hancur sebagai kaca terempas ke batu, memikirkan nasib
mereka itu di belakang hari.
"Menangiskah Ibuku?" tanya Mariamin, yang baru datang dari
sawah, lalu ia memeluk dan mencium kedua belah pipi ibunya yang
dicintainya itu.
"Wahai ... biji mataku, bagaimanakah nasibmu di belakang hari,"
kata ibunya mengeluh, lalu ia berdiri akan menidurkan anak yang
disusukannya itu ke bilik tempat tidurnya.
Siapakah lawan Sutan Baringin dalam perkara itu?
Sebagaimana diceritakan di atas Sutan Baringin itu beripar dengan
ayah Aminu'ddin, yang tinggalnya tiada berapa jauh dari Sipirok.
Jalannya mereka itu bertali, yakni ibu Aminu'ddin adik kandung Sutan
Baringin. Jadi Aminu'ddin memanggil Sutan Baringin tulang (artinya
mamak) dan kepada ibu Mariamin nantulang (artinya ina tulang = istri
mamak). Menurut adat orang di negeri itu (Batak) seharusnyalah bagi
Aminu'ddin menyebut Mariamin adik (anggi bahasa Batak) dan
perkawinan antara anak muda yang serupa itu amat disukai orang tua
kedua belah pihak. "Tali perkauman bertambah kuat," kata orang di
kampungkampung. Barangkali perkawinan yang serupa itu, tiada biasa
di tempat lain. "Lain padang lain belalang, lain tanah lain lembaganya,"
kata peribahasa.
Sutan Baringin ialah seorang yang berharta; sawah-sawahnya yang
lebar itu mendatangkan keuntungan yang banyak kepadanya. Tiadalah
ia payah dan susah membajak dan menanami tanahnya yang subur itu;
habis tahun ia menerima untung yang bersih, yaitu sebagian dari padi
hasil sawahnya, yang diusahakan orang lain; biasanya dua perlima
bagian yang punya sawah. Sejak orang tuanya meninggal dunia dan ia
telah beristri, ia hidup dalam kesenangan, atau lebih baik dikatakan
dalam kekayaan, karena tiada selamanya orang kaya bersenang hati.
Anaknya dua orang; yang sulung perempuan berumur enam tahun, dan
yang bungsu laki-laki yang masih menyusu. Anak perempuannya itu
bernama Mariamin dan ringkasan namanya Riam. Anak itu seorang
anak yang elok parasnya. Akan tetapi kecantikan rupanya itu belumlah
nampak dengan terangnya, karena ia masih kecil, ibarat bunga yang
belum kembang. Jadi kecantikannya itu belum ke luar, masih
tersembunyi dipalut oleh tajuk bunga yang kuncup itu. Tapi
sungguhpun demikian, barang siapa yang melihat anak itu, tentu ia
mengaku, kecantikan Mariamin bertambah lagi, dan romannya pun
makin elok, yakni bila bunga yang kuncup itu sudah kembang dan
sekalian bagian-bagiannya yang tertutup itu nampak dengan nyatanya,
pendeknya bila anak gadis itu besar dan ia mencapai potongan badan-
nya yang secukupnya. Lihatlah warna kulitnya yang jernih dan bersih
itu, putih kuning sebagai kulit langsat! Matanya yang berkilat-kilat
serta dengan terang itu, menunjukkan kepada kita, bahwa anak itu
mempunyai tabiat pengasih. Pada bibirnya yang tipis dan merah itu
selamanya terbayang senyum yang manis. Jika ia berkata-kata atau ter-
tawa-tawa, tampaklah giginya yang putih dan halus, berkilat--kilat
sebagai mutiara. Kalau diamat-amati roman anak dara itu, tampaklah di
mata, air mukanya yang hening dan jernih, suci dan bersih, sebagai seri
gunung waktu matahari akan terbenam adanya. Pendeknya makin lama
mata memandang dia, makin heran hati melihat kecantikan parasnya,
barangkali timbul lagi pikiran mengatakan, "Tak benarlah b***k ini
anak manusia, barangkali keturunan bidadari jua, yang menjelma ke
dunia ini."
Setelah Mariamin berumur tujuh tahun, ia pun diserahkan orang
tuanya ke sekolah. Meskipun ibu-bapaknya orang kampung saja, tahu
jugalah mereka itu, bahwa anak-anak perempuan pun harus juga di
sekolahkan. Ia harus tahu membaca dan menulis, mengira dan ber-
hitung, sebagaimana teman-temannya anak lakilaki. Bukan maksudnya
supaya kepintarannya yang menyamai laki-laki, tetapi sepatutnyalah ia
mempunyai badan yang segar dan pikiran yang tajam dan cerdas. Akan
memperoleh semua yang amat berguna itu, tentu anak-anak itu jangan
dipaksa saja tinggal di rumah, akan tetapi haruslah ia diserahkan ke
sekolah, akan belajar kepandaian yang berguna baginya pada hari
kemudian akan membukakan pikirannya, supaya ia kelak menjadi ibu
yang cakap dan pintar, lebih-lebih dalam hal memelihara rumah
tangganya. Tambahan pula sekolah itu bukan tempat mencari ilmu saja,
tetapi adat lembaga dan kesopanan pun diajarkan juga kepada anak-
anak, yang berfaedah baginya di hari besarnya. Bukankah anak-anak
itu, manusia yang nanti menggantikan orang tuanya mendiami bumi
ini?
Mariamin anak yang cantik itu, duduk sekarang di kelas dua dan
Aminu'ddin di kelas empat. Kalau murid-murid sudah ke luar, kedua
budak itu sama-sama pulang ke rumahnya, yang kirakira sepal jauhnya
dari rumah sekolah. Akan tetapi Aminu'ddin harus berjalan kaki lagi ke
kampungnya, yaitu tengah dua pal jauhnya dari Sipirok. Waktu pukul
tujuh pagi Mariamin sudah sedia di hadapan rumahnya menantikan
Aminu'ddin, supaya mereka itu sama-sama pergi ke sekolah. Masing-
masing menyukai temannya dan amatlah karibnya persahabatan kedua
anak itu. Itu tiada mengherankan, karena seorang memandang yang lain
sebagai dirinya, sebab mereka itu berkarib, yakni emak yang seorang
bersaudara seibu-sebapak dengan ayah yang lain. Oleh sebab itu adalah
perasaan mereka itu sebagai bersaudara kandung. Lagi pula bagaimana
rapatnya orang berkaum, dapatlah dilihat di antara orang-orang
kampung. Amatlah jauh perbedaannya dengan orang hidup di pesisir
atau negeri ramai, yang hanya berkaum di mulut, sebagai biasa dikata-
kan orang.
Lain daripada itu ada lagi tali lain yang mengikat hati kedua anak
itu, yaitu: sifat dan tabiat mereka yang bersamaan. Seperti yang sudah
diceritakan, Mariamin bertabiat pengiba, Aminu'ddin pun demikian
juga, hanya saja tiada sama jangkanya. Mariamin seorang anak
perempuan, sudah tentu lebih pengiba dari Aminu ddin, seorang anak
laki-laki. Karena menilik kebiasaannya adalah perempuan itu lebih
halus perasaannya, sedang laki-laki itu lebih keras hatinya. Umpama-
nya seorang perempuan tiada akan menolak suaminya, yang meminta
ampun akan kesalahannya, meskipun bagaimana sekali besarnya dosa
laki-laki itu kepada istrinya. Penanggungan perempuan yang sakit,
aniaya suaminya yang bengis, dilupakannya, bila ia melihat suaminya
meminta ampun di hadapannya. Kadang-kadang dengan air mata yang
berhamburan, sebab kesedihan hatinya bercampur dengan sukacitanya,
karena kecintaan suaminya kepadanya telah hidup kembali, maka ia
mendekap dan memeluk suaminya, seraya berkata, "Syukurlah. Mudah-
mudahan Allah mengampuni dosa kita."
Akan tetapi tiada jarang kejadian seorang laki-laki memandang istri
yang bersalah kepadanya, sebagai musuh besar, meskipun perempuan
itu berlutut dan membasahi kaki suaminya dengan air matanya akan
meminta ampun atas kesalahan yang diperbuatnya dalam pikiran yang
sesat itu. Kerap kali laki-laki itu menerjang kepala istrinya dengan
kakinya yang basah oleh air mata itu, seraya berkata dengan mata yang
merah, "Nyah engkau, perempuan celaka?"
Aminu'ddin anak yang bijaksana, adat dan kelakuannya baik dan
halus budi bahasanya. Oleh sebab itu Mariamin pun amatlah suka ber-
campur dengan dia dan ia amat suka mendengar cerita-cerita
Aminu'ddin, yang diceritakannya, bila mereka itu tengah berjalan
pulang atau pergi ke sekolah atau ketika mereka itu bersama-sama di
sawah, karena sawah orang tua mereka itu berwawasan. Aminu'ddin
pun gemar juga mengajak angginya itu berkata-kata, karena amatlah
setuju ia akan tertib dan budi anak gadis yang kecil itu. Mariamin pun
menghormati dan menyayangi dia dengan sebenar-benarnya. Kalau hari
hujan tiadalah ia membiarkan Aminu'ddin pulang ke rumahnya; ia
selalu berkata, "Singgahlah angkang dahulu, menantikan hujan ini
teduh, lagi nasi pun sudah sedia untuk kita, karena mak tahu juga,
angkang tak dapat pulang ke kampung dalam hujan begini."
"Ah, biarlah saya terus, hujan tiada berapa, kalau saya berhenti,
tentu saya pulang sendiri; eloklah ramai-ramai dengan kawan-kawan,"
sahut Aminu'ddin.
Akan tetapi angginya itu bukan anak yang mudah kalah bercakap.
Dengan segera ia memegang tangan Aminu'ddin, seraya berkata, "Ah,
tak baik begitu, nanti angkang sakit sebagai dahulu, karena ditimpa
hujan, bukankah orang tua kita yang susah? Saya kawani nanti pulang,
kalau angkang tak suka berjalan sendiri."
Sudan tentu Aminu'ddin tak dapat menolak ajakan adiknya itu,
karena mamaknya sudah memanggil namanya dari dalam rumah.
Percakapan mereka itu telah kedengaran oleh Sutan Baringin; sebab
itulah ia ke luar mengajak kemanakannya itu masuk ke dalam dan
Aminu'ddin sudah tentu segan melewati rumah mamaknya itu.
Demikianlah halnya, maka ia beberapa kali bercampur gaul dengan
Mariamin. Dari sekolah, waktu pulang ke A, di sawah, di situlah
mereka itu bersama-sama, tiada ubahnya sebagai orang yang kakak-
beradik. Karena menilik umur pun adalah demikian rupanya, karena
sekarang genaplah umur Mariamin delapan dan Aminu'ddin sebelas
tahun.
Pada suatu petang, sedang mereka di sawah, Mariamin menyiangi
padinya, supaya padi itu subur tumbuhnya, Aminu'ddin pun memanggil
dari watas sawah mereka itu, "Riam, marilah kita pulang ke kampung,
nanti kita dihambat hujan."
"Saya tengah menyudahkan bengkalai yang tak habis semalam,
biarlah kuhabiskan dahulu pekerjaan ini, supaya hatiku senang. Lagi
pula matahari belum ruyup benar; tunggulah sebentar," kata Mariamin,
lalu ia meneruskan pekerjaannya itu dengan rajinnya.
"Ayo, marilah kita pulang, Riam! Pekerjaan itu boleh disudahkan
besok," sahut Aminu'ddin, seraya menghampiri tempat adiknya bekerja
itu. "Tengoklah matahari tak nampak lagi, karena telah disaputi awan
yang hitam. Baiklah kita pulang ke rumah, sebentar lagi hujan akan
turun dengan lebatnya, lagi amat panasnya sehari ini, sehingga kepala-
ku serasa dipanggang."
"Lama lagi hujan akan turun, barangkali nanti malam. Bagai-
manapun lekasnya, saya sempat lagi menyiapkan pekerjaanku yang
terbengkalai ini, tak banyak lagi," jawab Mariamin. Dan dengan suara
yang ramah ia berkata pula, "Barangkali angkang bosan menunggu
saya, eloklah angkang pergi duduk-duduk ke pondok itu!"
Aminu'ddin berdiri juga, tiada tentu pikirannya. Akan tetapi sebab
sahabatnya itu hendak menyudahkan pekerjaan juga, terpaksalah ia
menurutkan kesukaan Mariamin itu. la pun menyingsingkan lengan
bajunya, lalu masuk ke sawah tempat adiknya bekerja itu, karena ia
mengerti apa maksud perkataan Mariamin yang akhir itu, lagi pula
selalu ia bersuka hati menolong temannya itu pada sebarang hal;
barangkali karena ibanya atau kasihnya. Ia pun berkata seraya meng-
hampiri anak perempuan itu, "Sebenarnya saya sudah letih, Riam,
tengoklah beratnya pekerjaan itu, tetapi ...."
"Saya pun tahu juga, angkang sudah payah; itulah sebabnya
angkang kusuruh pergi berhenti ke pondok itu," kata Mariamin dengan
lekas mendahului perkataan Aminu'ddin. "Tetapi kalau laki-laki biasa
juga letih oleh pekerjaan, bagaimanakah perempuan, manusia yang
lebih lemah, yang tiada mempunyai daya dan kekuatan sebagai laki-
laki?"
Aminu'ddin terdiam sebentar, ia tiada meneruskan perkataannya.
Dengan rajinnya ia terus menyiangi sawah itu bersaina-sama dengan
adiknya itu. Sejurus panjang lamanya maka ia pun berkata, "Riam,
rupanya kau memandang laki-laki itu manusia yang tinggi dari
perempuan?"
"Memang," sahut Mariamin dengan segera, "kalau saya lakilaki,
tentu saya kuat bekerja sebagai angkang; saya bersenang hati, karena
pada hari mudaku boleh aku kelak pergi ke sana-sini, pergi ke negeri
orang merantau ke Deli akan mencari pekerjaan. Lainlah halnya dengan
kami perempuan. Perempuan harus tinggal di rumah, tiada boleh acap
kali ke luar-luar, kalau badan sudah besar."
Percakapan kedua orang anak itu berhenti. Mariamin berdiam,
karena hatinya kepada pekerjaan itu saja; Aminu'ddin berdiam pula,
akan tetapi adalah juga yang dipikir-pikirkannya. Bagaimana angan-
angan yang memenuhi hatinya, hanya dia saja yang tahu.