TEMAN TAPI YA GITU

1251 Words
Pov: Rained Akhirnya gue pulang ke indonesia setelah melanglang buana di benua Amerika, mengeruk dollar, bertahan hidup dengan hotel-hotel yang ditinggalkan bokap di sana. Baru pulang gue sudah ruet sendiri liat rumah gue tiba-tiba disesaki janur lah, dekor lah, makanan tiada henti, orang-orang entah dari mana sok asik- sok kenal sama gue, mereka menyapa gue dan terpaksa gue harus beramah-tamah dengan mereka. Gue tidak diperbolehkan untuk me time di rumah gue sendiri. Nggak bisa tuh, kamar gue dikunci bentar, kakak gue sudah ngereog mencari-cari keberadaan gue. Kak Jull lo bisa tenang nggak sih? lo kayak ibu-ibu tantrum! Maksud gue, Romeo yang nikah aja nggak seheboh dia…, nih kakak perempuan gue ini memang, eh. Sebel gue! Emak-emak aneh lo JULLIEN! "Ini" dia membawa tiga beskap ke kamar gue "Coba dulu, supaya cepat kakak minta ke designernya kalau emang kebesaran. Harusnya fitting baju itu dari sebulan lalu. Eh, kalo inget lagi nyuruh lo pulang udah kayak minta Selena Gomez follow Justin Bieber, rasanya pen gue jambak rambut lo," padahal ya, bisa ngomong baik-baik loh, dengan pilihan diksi yang lebih sepadan. “Coba dulu! Supaya kakak bisa minta penjahitnya bongkar kalau ada yang kurang, mumpung masih ada waktu” kan? "Ogah! Gua pake jas biasa aja. norak banget lo pake baju seragam-seragaman gini, buat apa coba? nggak jaman,tahu!" "Lo yang norak sok bule, anak sekarang itu sudah banyak kali yang belajar ke luar negeri tapi balik-balik gak ada tuh yang kayak lo melupakan budayanya, sok-sokan bule" "Wah..," gue takjub dengan tuduhannya. Melihat tingkah kakak gue yang seperti ini, gue sering bertanya-tanya bagian mana yang disukai Bang Lukman dari perempuan ini. Mana lakinya nurut lagi sama dia, anak-anaknya kagak ada yang membangkang. Apa dunia ini memang membutuhkan penyihir bukan bidadari? oh Tuhan, kakak gue ini kenapa? Matanya yang bulat meruncing siap membidik gue. Ya pasti, gue gak bisa melawan perempuan yang satu ini. Gue terpaksa mencoba satu persatu atasan keluarga yang harus kami gunakan di acara-acara Romeo. Gue pikir hanya ada dua acara yaitu akad nikah dan after party aja, tahunya ada namanya lamaran, malam midodareni, siraman, pengajian, akad dan resepsi. Gue sudah melewatkan acara lamaran dan midodareni. Kata kak Jull, gue nggak boleh melewatkan acara siraman dan pengajian yang akan diadakan sore ini. Kalau gue melewatkannya, gue harus mau bertemu dengan anak teman kak Jull, alias dia berencana untuk jodohin gue. iya-in aja dulu…, dari pada darah tingginya kambuh. "Rada kebesaran ya pinggangnya ?" tanya Kak Jull menarikku ke depan cermin "Ini tuh konsep makainya harus pres badan gitu ya ? p****l gue keliatan dong kak" Aku di gaplok sama tangannya. Hei, attention please! Umur gue sudah 27 tahun masih aja gue diperlakukan kayak bocah sama nenek sihir ini, main gaplok sembarangan, dimana letaknya wibawa Dirut? "Gak ini biar bagus postur tubuhmu, kayak mas-mas jawa keraton gitu" Lalu dia berdiri di sebelahku, tingginya kini hanya sampai bahuku saja, dasar cebol, siapa suruh beda ibu, terbukti gen mama gue lebih baik dari si Ulpa. Gue rasa marah-marahnya ini juga bukan punya bokap sih. Ulpa kayaknya.., Kakak gue menatap pantulan kami di cermin. Kenapa dia senyam-senyum nggak jelas? "Kamu udah gede ya dek. Cakep lagi," dia menepuk lengan ku bangga. Di balik semua marah-marahnya, ada kakak pertama yang mementingkan adik-adiknya daripada urusannya sendiri, ada kehangatan dan cinta yang tiada tara untuk kami. Sudah pernah gue bilang kan, dia pengganti sosok mama. Setiap dia marah, ngambek, ribet, semua itu pada akhirnya untuk kebaikan kami. Gue tahu, seharusnya gue kayak Romeo, seharusnya gue bisa lebih lurus dan nggak membuat perempuan ini khawatir. Gue balas merangkulnya, bahkan gue mengecup pipinya singkat "Astaga gue baru sadar gue kangen banget sama lo, kak." Detik berikutnya kak Jull memelukku, tapi pelukannya singkat. Dia mengendus tubuhku "Lo minum ?" "Gak lah, kan haram," kataku sok suci sambil tersenyum gaya malaikat. "Gue ini alumni Yale yang paling beriman" "Minggir lo!" Kak Jull mendorong tubuh gue manjuah, gue tahu dia nggak akan percaya sama gue. “Dimana lagi lo sembunyiin barang haram itu?” Alkohol maksudnya. Dia memeriksa setiap sudut kamar gue, di bawah ranjang, di sudut-sudut kamar mandi, di laci nakas, di balik hordeng, di teras kamar, nihil. Gue tertawa dalam hati karena rupanya gue sudah berhasil mengelabuinya. Gue udah ekspert dalam hal menyembunyikan alkohol. Botol-botol Gin dan Vodka, gue simpan di kamarnya adik kesayangan gue yang tidak pernah melakukan dosa seperti kakak-kakaknya, ya siapa lagi kalau bukan Austin. Austin adalah adik kesayangan kak Jull, perempuan itu nggak akan pernah mencurigai Austin, seluruh dunia juga nggak akan mencurigai Austin. Kak Jull melotot masih curiga “Aku nggak mau kamu minum, mabok di acara Romeo. Tahan diri dulu Rain” Bola mataku berputar malas, “Iye iye.” *** Mampus, abis ini gue beneran akan dikutuk kak Jull. Gue kesiangan dan gue masih tambah satu ronde lagi sama Mila. Mila, oke gue cerita sedikit tentang pertemanan j*****m gue dengan perempuan ini. Kalau ada istilah sahabat till jannah, persahabatan kami gue yakin akan bermuara ke neraka. Gue akan mengakhiri ini, gue pasti akan mengakhiri hubungan nggak waras kami, tapi gue masih tidak tahu bagaimana caranya. Kemarin gue melewatkan acara siraman dan pengajian Romeo, gue mematikan telepon gue. Alasan kenapa gue mengabaikan keluarga gue karena reuni teman-teman SMA siang itu sangat seru. Kalau dipikir-pikir sudah 10 tahun kami tidak bertemu, buanyak bangat yang diceritain, waktu benar-benar nggak terasa kalau sudah ngumpul. Reuni kecil-kecilan itu dihadiri gue, Tami, Robi, Mila dan Gilang, kurang si Antok karena doi sedang tugas di luar kota. Dari acara ngopi-ngopi santai di kafe, lalu pindah ke Beach Club dan akhirnya semua menggila di klub malam. Gue dan Mila memutuskan balik lebih dulu, bukan balik sih sebenarnya, Mila tiba-tiba berbisik dan ngajakin gue cek in. Siapa takut, nggak gas lah... Mila ini adalah FWB-an gue, cerita gue sama Mila agak kurang enak di dengar oleh kalian manusia patriarki. Di antara perempuan yang pernah tidur sama gue, Mila-lah yang berbeda, dia sahabat gue, dia mengenal gue, dia bukan cewek satu malam gue, dia memahami dan mengerti gue, dia nggak menuntut apa-apa sama gue. Dan ada ribuan hal lainnya yang bikin gue mempertahankan gaya pertemanan seperti ini sama dia. Dialah perempuan yang gue cari setiap kali gue ingin curhat, atau sekedar ditemenin mabok. Bahkan, kami sempat tinggal bareng selama satu tahun di Baston, tanpa sepengetahuan keluarga gue tentunya. Kami sepakat tidak menamai relationship kami, kami tidak ingin terikat dalam status apapun. Jujur, gue nggak mau ribet soal itu. Gue pikir Mila pun berpikiran yang sama. Gini ya, buat apa ajakin Mila pacaran toh gue nggak punya tujuan ingin menikah, dan gue nggak pengen nikah sama sekali. Nggak! Menikah bukan pencapain hidup yang ingin gue raih. Sukses menurut gue bukan tentang siapa yang gue nikahin, atau dari kalangan mana calon bini gue, sukses menurut gue juga bukan hal tabu berbau rasa syukur, sukses menurut gue adalah soal materi. Titik. "Mil udah Mil, nggak usah manja-manjaan. Gue dipenggal ini sama kakak gue." Gue melihat jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Acara akan diadakan jam 9, iya kali bukannya nunggu penghulu, malah nunggu gue acaranya baru mulai. "Sekali lagi, please cium sekali lagi." Gue tidak bisa menolaknya. dengan cepat dan grasak-grusuk gue cium bibirnya. Hingga dia melenguh dengan ciuman gue yang mantap. Gue mendorongnya menjauh, dia masih menggenggam tangan gue, dia melihat lekat-lekat. “Apa?” Dia hanya tersenyum kecil dan menggeleng. Dia setengah melompat dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. "Thanks ya Mil. Gue tinggal, nanti lo yang cek out ya, gue buru-buru,” kataku sambil lalu merapikan diri dan pergi dari meninggalkan kamar hotel. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD