Muhammad Abbas

1335 Words
"Mencintai tanpa alasan ?Emang ada, begitu pun gue. Yang juga membenci tanpa alasan"_Muhammad Abbas *** Awan terlihat mendung gelap seakan ia akan menumpahkan isinya, benar saja. Saat anak-anak sedang berlari masuk ke gerbang hujan pun turun dengan derasnya membuat mereka mengaduh kesal. Pasalnya mereka harus basah pagi-pagi padahal jam masuk saja belum. Dan itu artinya mereka harus menggigil sampai jam terakhir. Ck, hujan s****n. Kenapa harus menghardik hujan? Bukannya hujan itu berkah yang Allah turunkan langsung dari langit. Intinya gini deh, kalau hujan turun jangan mengaduh atau pun mencacinya. Angkat kedua tangan dan berdoa. Allahumma soyyiban nafi'an. Diantara kerumunan siswa-siswi yang sedang sibuk menepis sisa air hujan pada seragam mereka. Terlihat Abbas dengan tubuhnya yang menjulang tinggi sedang menatap datar hujan yang masih setia membasahi bumi itu. Telinganya menangkap berbagai u*****n dari cewek-cewek yang riasannya luntur karena hujan. Ia pun tak mau berlama-lama di sana, dengan langkah kakinya yang cepat ia berjalan menuju kelasnya. Karena ia datang kecepatan, jadi tidak banyak anak kelasnya yang sudah hadir. Saat ia masuk, iris matanya menangkap gadis berkerudung sudah duduk di meja sebelahnya. Gadis itu tampak tidak menyadari keberadaannya, gadis yang akhir-akhir selalu mengusik hidup Abbas. Abbas tidak akan lupa bagaimana gadis itu dengan sengaja menghindarinya saat ia hendak mengajak ia ngobrol. Itu kejadian waktu mereka kelas sepuluh, tapi masih melekat di otak cowok jangkung itu. "Hujan s**l, rambut gue basah ni kan jadinya lepek gini. Gue gak bisa kibas-kibas rambut ala iklan shampoo dong," celetuk Eca yang baru muncul dengan kedua temannya. "Janganlah engkau menghina hujan wahai anak muda, karena sesungguhnya hujan adalah keberkahan yang abadi yang Tuhan kasih," ujar Faris dengan wajah tanpa dosa,Asha sudah terkikik geli mendengar penuturan cowok gila di sebelahnya itu. Eca melirik Aisyah yang hanya memandangi ketiganya dengan tersenyum tipis, "Lo gak basah?" tanya Eca ramah. Aisyah mengangguk pelan, "kok bisa? Lo datang jam berapa?" Tanya Eca penasaran membuat Asha di sebelahnya mendelik kecil. Pasalnya selama ini mereka tidak terlalu dekat, nanti cewek berkerudung itu akan menanggap mereka sok kenal sok dekat. "Jam setengah tujuh," balasnya dengan tersenyum kikuk, Asha dan Eca menganga drama pasalnya pada waktu itu mereka berdua masih ngorok dengan iler yang menempel di kasurnya. Abbas yang juga duduk di sana mau tidak mau mendengar semua obrolan yang sama sekali tidak menarik untuk ia dengar itu. "Ngapain lo datang sepagi itu? Lo yang pegang kunci gerbang?" celetuk Faris, Asha sudah menabok kepalanya kasar. "Gila sih, lo gak takut datang sepagi itu?" Aisyah menggeleng, mata Eca melirik Abbas yang tengah sibuk dengan ponselnya. "Pasti lebih menakutkan Abbas yah?" Bisiknya, Namun mampu ditangkap oleh indera pendengaran cowok itu. Mendengar deheman pelan Abbas, Asha dan Eca langsung ngacir ke tempat duduknya. Sedangkan Faris hanya menautkan alis kenapa keduanya berlari hanya karena deheman seorang Abbas. Bel masuk berbunyi membuat anak-anak yang tengah malas karena hujan terpaksa berjalan masuk dengan menyeret kaki mereka. Hujan turun itu enaknya tidur, bukan belajar. Ibu Firly terlihat memasuki kelas XI.IPA 1 dengan menyapa murid-muridnya ramah. Perempuan yang masih berumur 24 tahun itu selalu saja menjadi korban godaan tak bermutu dari anak laki-laki di sana. "Pagi anak-anak," sapa perempuan itu dengan senyuman manisnya membuat Faris sudah mimisan di mejanya. "Ibu sudah menginformasikan minggu lalu kalau kita akan kerja kelompok yang masing-masing kelompok isinya dua orang. Tugasnya mudah saja, hanya mengisi dan menjelaskan di depan kelas. Tapi keduanya harus ikut peran dalam tugas ini, jangan yang satunya kerjanya yang satunya malah asik main ponsel," ujar guru itu mengingatkan, diikuti anggukan mengerti dari para murid yang notabennya mengangguk karena mengantuk. *** Aisyah meneguk salivanya beberapa kali pasalnya ia harus harus satu kelompok dengan cowok menyeramkan di sebelahnya itu. Teman kelasnya juga melirik kearah meja keduanya, merasa tertarik dengan keduanya. Kelompok yang mungkin mereka lihat adalah kelompok yang paling horor. Pasalnya Aisyah yang notabennya jarang membuka suara dan Abbas yang sentiment dan kasar yang juga sangat membenci gadis itu. Oke, kelompok mengerikan. Abbas sama sekali tidak bersuara hanya menyenderkan tubuh tegapnya pada kursinya tanpa berniat melirik ataupun menoleh pada seseorang yang sudah mengisi bangku milik Kevin itu. Aisyah juga tidak tahu harus bagaimana, ia merasa waktu hari ini sangat lama. Apa karena ia sedang bersama Abbas? Suara komando Ibu Firly kembali membuyarkan lamunan keduanya, tugas akan dikumpulkan minggu depan dan wajib dipresentasikan di depan kelas. Aisyah berdehem pelan, "Lo mau presentasiin soal yang mana?" Tanya Aisyah dengan suara yang terdengar bergetar, "Serah gue," Balas Abbas sekenanya tanpa berniat menatap lawan bicaranya. Tidak sopan memang. "Lo harus ngasih tahu, biar gampang bagi tugasnya," lanjut Aisyah lagi, kali ini terdengar memohon. Abbas berdecak, pasalnya ia sama sekali tidak menyukai angka-angka yang ada di hadapannya kini. Jangankan mengisinya, melihatnya saja membuat ia pusing. Cewek jangkung yang terlihat duduk di pojokan sana merasa gemas dengan tingkah Abbas yang seenaknya. Gadis itu pun bangkit dari tempat duduknya lalu mendekat pada meja keduanya, "Lo tuh harus kerja sama dikit, jangan seenaknya gitu dong. Kalau lo gak mau satu kelompok sama dia, biar gue yang gantiin. Lo sama Arif aja, " Kata cewek yang bernama Nia itu berani, cewek itu dikenal memang sedikit galak kayak anjing harder. Abbas menoleh pada cowok yang bernama Arif itu, refleks Abbas mendelik melihat Arif yang seakan menatapnya dengan tatapan seakan ia lelah untuk hidup. "Gak," balas Abbas singkat. "Yaudah lo kalau diajak ngobrol sama nih cewek di respon, jangan diem aja kayak batu nisan dikuburan dekat rumah gue," celetuk cewek itu membuat anak-anak kelas mentertawainya begitu saja, Lagi-lagi Abbas berdecak tak suka. Ia menoleh cewek di sebelahnya itu sama sekali tidak ikut mengejeknya seperti yang lain. Ia hanya menatap Abbas dengan tatapan polosnya. "Gue kerjain nomor satu sampai lima yah, lo sisanya," ujar Aisyah lalu meraih penanya di dekatnya. "Enak aja, bagian gue susah semua. Soal lo mah gampang semua," Protesnya membuat Aisyah menghela pelan, "jadi lo mau gantian?" Abbas melihat kearah lain bingung harus menjawab apa, "Gue gak bisa," ujarnya merutuki dirinya yang bodoh matematika, Aisyah terlihat menautkan kedua alisnya bingung. "Gue bilang gue gak bisa," ulangnya lagi dengan kesal, "Lo ngajarin gue," Aisyah mengerjapkan mata kaget pasalnya ia tidak ahli dalam menjelaskan, apalagi harus menjelaskan pada bayi kingkong di sebelahnya ini. "Semuanya?" Tanya Aisyah berusaha meyakinkan pendengarannya, Abbas mengangguk gengsi. "Kenapa gak bilang dari tadi kalau lo bodoh matematika," Aisyah hampir memukul mulutnya yang lancang, "Lo udah berani sama gue?" Kesal Abbas membuat anak lain berdecak, merasa diganggu karena ulahnya. "Maksud gue kenapa lo gak jelasin dari tadi, biar gue cariin rumusnya. Makanya jangan marah-marah mulu," entah keberanian dari mana membuat Aisyah menantang cowok itu. "Berisik bangat anjiir," kata Rama yang terpecah konsentrasinya. "Kalau mau debat tuh jangan di sini, sana di meja DPR," ujar cowok bermata empat itu, membuat anak-anak terkekeh pelan. "Hei hei," panggil Eca membuat Rama menoleh. "HEI TAYO HEI TAYO," Kata Eca berhasil mengibulinya. "Apasih boneka mampang," cibir Rama lagi membuat Eca tersulut emosinya. "s****n batu kerikil," kata Eca masih meledek, begitu saja seterusnya sampai pohon pisang berbuah jadi buah naga. *** Aisyah membereskan alat tulisnya dan memasukannya ke dalam tas. Ia melirik Abbas yang masih terdiam tanpa berniat ikut membereskan pensil di tangannya. Karena malas bertukar tempat, keduanya lebih memilih duduk berdua walau Aisyah tahu siapa sosok yang menjadi teman duduknya itu. "Gak pulang?" Tanya Aisyah memberanikan diri, Abbas menoleh membuat ia bisa menatap bola mata Aisyah yang menarik perhatiannya. "Kebiasaan," kata gadis itu dengan menghela napas. "Lo kenapa cuekin gue?" Kata Abbas membuat Aisyah menoleh dengan mengernyit tak paham. "Cuekin lo? Kapan?" Abbas beranjak dari tempat duduknya, sehingga ia bisa sedikit menundukan pandangannya karena tubuh Aisyah yang lebih pendek darinya. "Kelas sepuluh," lanjutnya, Aisyah sama sekali tak mengerti. Abbas tak melanjutkan lagi hanya berlalu pergi tanpa sepatah kata. Lo lebih suka permen yang sudah terbuka atau yang masih ada dalam bungkusan? Pastinya lo lebih milih yang dalam bungkusan kan. Karena pada hakekatnya kalian lebih memilih yang tertutup rapat yang masih dijamin higenisnya. Begitupun dengan kita perempuan, menutup aurat secara sempurna itu adalah bentuk kasih sayang ALLAH pada perempuan. Karena notabennya perempuan memang layak dihormati, intinya berjilbab itu bukan dari hati dari tapi dari kepala sampai kaki.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD