Hari Pertama di Istana Bram

1525 Words
Pagi hari suasana di kediaman milik Bramantyo sudah ramai dengan para asisten yang mulai bekerja di posisinya masing-masing. Dara yang pagi itu sudah dijemput oleh seorang wanita paruh baya bernama Sita, kini tengah di-briefing untuk diberi tugas. Rumah yang terlihat megah, super megah malah kalau Dara lihat karena bangunannya yang begitu besar dan luas bak istana kerajaan. Belum pernah Dara melihat bangunan sebagus itu sebelumnya, selama hidupnya tentu saja. Sampai-sampai ia takjub bahkan sempat terdiam dengan mulutnya yang menganga, ketika dibawa keluar dari dalam kamar menuju area dalam rumah. "Para pengawal membawaku saat malam. Selain itu juga, aku dalam keadaan pingsan saat dibawa ke sini. Tentu saja aku tidak tahu bangunan seperti apa yang aku masuki. Ternyata, rumah ini begitu besar. Ada berapa puluh orang yang bekerja di sini?" gumamnya ketika berjalan mengikuti langkah Bu Sita. "Tidak sampai lima puluh orang." "Eh, maksudnya, Bu?" Dara terkejut ketika mendengar Bu Sita bicara. "Tadi kamu bertanya berapa karyawan yang bekerja di sini 'kan?" tanya wanita itu menghentikan langkahnya. "E—eh, iya." Dara tersenyum malu. "Asisten di rumah ini berjumlah empat puluh delapan orang, termasuk tukang kebun dan para koki. Tapi, tidak termasuk supir pribadi dan para pengawal, serta para penjaga. Mereka semua berjumlah lima puluh dua orang." "Apa? Sebanyak itu?" jawab Dara takjub. "Itu hanya yang bekerja di rumah ini. Tidak termasuk para pengawal yang terkadang ada di saat Tuan Bram sedang berada di luar kota atau luar negeri." "Ya Tuhan! Bagaimana ia bisa menggaji orang-orang yang bekerja untuknya tersebut? Sepertinya tuan orang yang sangat kaya." Kembali hanya sebuah gumaman, tetapi direspon juga oleh Bu Sita. "Tentu kamu tahu kekayaan Tuan Bram hanya dengan melihat jumlah karyawan dan rumah miliknya ini bukan? Jadi, aku sarankan agar tidak lagi menanyakan hal yang tidak penting. Apalagi menyangkut kehidupan Tuan Bram. Apakah kamu mengerti?" Wanita paruh baya itu mewanti-wanti. "Baik, Bu. Maaf kalau aku sudah lancang." Dara menundukkan kepalanya. Perjalanan keduanya kembali dilanjutkan. Kini mereka mulai menaiki tangga menuju lantai dua. Lantai dua adalah tempat di mana kamar Bram berada. Lelaki itu memang sengaja memerintahkan Lian supaya menyampaikan perintahnya pada Bu Sita, dan menyuruh gadis itu bekerja di area lantai dua terutama kamarnya. "Apakah tidak apa-apa Tuan Bram menyuruh orang baru membersihkan area kamarnya, Tuan Lian?" tanya Bu Sita, yang khawatir akan perintah tuan besarnya ketika Lian menyampaikannya semalam. "Tuan Bram yang memerintah, apakah Bu Sita hendak protes?" Lian menjawab tegas. "Maaf, Tuan Lian. Saya hanyalah pembantu di rumah ini. Tak pantas rasanya jika saya melawan perintah tuan. Saya hanya khawatir saja. Namun, seandainya Tuan Bram sendiri yang memerintah berarti tuan sendiri sudah tahu baik buruknya." "Ya, yang kita lakukan hanya menuruti semua perintahnya. Tak ada kompromi. Bukankah aku sudah mengatakan jika perempuan itu adalah milik Tuan?" "Sepertinya aku mengerti arah pembicaraan kita," ucap Bu Sita yang kemudian menyunggingkan senyumnya. Begitulah obrolan dua orang yang begitu patuh akan baktinya pada seorang Bramantyo. Kesetiaan para anak buah lelaki itu memang tidak perlu lagi diragukan. Mereka bisa rela mati demi menyelamatkan nyawa seorang Bram. Karena lelaki itu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga mereka. Ya, Bram adalah seorang penyelamat. Banyak orang yang sudah ia bantu, terutama sekali orang-orang yang saat ini bekerja dengannya. Tak ada siapapun dari mereka yang akan melanggar semua perintah sang tuan. Jangankan melanggar, protes saja mereka tak akan berani. Namun, kesetiaan anak buah Bram sempat tercoreng ketika Jeny —mantan istri Bram, ada main dengan salah satu pengawal. Bukan hanya sekedar menghasut, Jeny bahkan sampai berselingkuh dengan pengawal tersebut, hingga akhirnya Bram memutuskan untuk menceraikannya. Bahkan Jeny diusir dari istana milik Bram yang sudah ia tempati selama dua tahun lamanya. Sang pengawal pun tak luput dari hukuman yang Bram berikan. Kini, setelah peristiwa itu, keadaan rumah besar sudah kembali normal. Para asisten dan pengawal hidup aman dan damai. "Nah, di area lantai inilah kamu akan bekerja." Bu Sita berdiri di dekat tangga di lantai dua. "Semua peralatan dan perlengkapan kamu bekerja, sudah disiapkan di tempat yang sudah Ibu beri tahu tadi." Kembali wanita itu menjelaskan, walaupun saat ini Dara sudah membawa beberapa perlengkapan 'perangnya'. Dara hanya mengangguk. Berusaha menyimak semua penjelasan yang dikatakan oleh wanita paruh baya di depannya. Gadis itu tidak menyangka jika dibawanya ia ke rumah itu, dan dijadikan alat penebus hutang oleh sang suami, ternyata malah dijadikan seorang pembantu. Namun, sepertinya ia patut bersyukur sebab posisi itu lebih baik ketimbang ia harus menjadi wanita pemuas nafsu seorang Bramantyo. Begitu yang ada dalam pikirannya sampai sekarang. "Itu adalah kamar Tuan Bram, dan di sanalah tugas utama kamu. Tapi ingat, kamar itu selalu bersih jadi kamu tidak perlu membersihkannya terlalu berlebihan, yang malah akan membuat ruangan itu menjadi kotor dan berantakan." Kalimat Bu Sita terdengar petir yang menyambar di telinga Dara. Jadi, tugasnya bukan membersihkan area lantai dua saja, tetapi juga membersihkan kamar utama yang saat ini pintunya bediri di depan matanya, begitu kokoh. "Jadi, aku harus membersihkan kamar Tuan Bram juga?" tanya Dara takut. "Ya, dan dimulai hari ini." Lemas sudah. Walau Dara tak tahu bagaimana rupa Bram, tetapi pandangan buruknya sudah tertanam di dalam otaknya kalau Bram adalah lelaki bej*t. Lantas, ia harus bertemu dengan lelaki itu di dalam kamar? "Hei! Sepertinya terlalu berlebihan jika dirinya menganggap bahwa Bram akan berbuat hal yang tidak baik padanya." Batinnya bicara. "Ya sudah. Semua sudah Ibu jelaskan. Kamu bisa mulai melakukan tugasmu." Bu Sita hendak pergi meninggalkan Dara, tetapi kemudian langkahnya terhenti saat gadis itu memanggilnya. "Maaf, Bu Sita. Apakah Tuan Bram masih ada di dalam kamarnya? Apakah beliau belum berangkat bekerja?" Wanita itu menatap heran Dara. Terlihat sekali jika perempuan itu begitu gugup dan panik. "Tuan Bram itu tidak suka makan orang, bagaimana bisa kamu bersikap seperti orang yang ketakutan begitu?" "E—eh, tidak bukan begitu. Aku hanya merasa canggung sebab belum pernah bertemu dengannya. Apakah aku juga pantas berada di sana membersihkan ruangan kamarnya. Itu saja, Bu." "Kalau kamu ingin dianggap pantas maka lakukan semua tugas dengan sebaik-baiknya." Bu Sita kembali melanjutkan langkahnya. Kemudian, "Ini masih pagi, tentu saja Tuan Bram masih berada di dalam kamar," lanjut wanita paruh baya tersebut yang kini sudah menuruni tangga. "Tamatlah riwayatku!" lirih Dara bicara. Gadis itu kemudian memaksakan langkah mendekat ke arah pintu kamar Bram. Lelaki yang mulai pagi itu akan menjadi tuan atau majikannya, akan memberinya naungan untuk berteduh selama empat bulan ke depan. Benarkah empat bulan saja ia akan berada di istana megah itu? Entahlah, saat ini Dara enggan memikirkannya. Meski ragu, tetapi Dara mengetuk juga pintu kamar Bram. Tiga kali gadis itu mengetuk pintu, tetapi tetap tak ada sahutan. Namun begitu, Dara tetap membuka pintu kamar itu yang ternyata tidak dikunci. "Selamat pagi, Tuan!" sapa Dara begitu masuk ke dalam kamar Bram. Dara mengedarkan pandangannya, mencari sosok Bram yang ternyata tidak tampak sama sekali di ruangan yang sangat luas tersebut. "Ya Tuhan! Kamar ini luas sekali. Bagaimana bisa ada kamar tidur sebesar ini dengan segala perlengkapan penunjang yang begitu mewah." Lagi-lagi Dara dibuat takjub. Baru satu ruangan yang Dara masuki, dan itu belum menunjukkan di mana ranjang tempat tidur berada. Di ruangan di mana Dara berdiri saat ini, hanya ada satu set sofa besar lengkap dengan meja kayu persegi yang juga besar selaras dengan ukuran sofa-nya. Kemudian ada lemari hiasan yang Dara sendiri tak mengerti apa fungsinya berada di sana. Yang gadis itu lihat ada banyak benda-benda kecil, seperti souvenir dengan ciri khas lambang-lambang negara berbeda. Ke sebelah kanan, ada dinding yang menampilkan satu buah bingkai poto besar, yang di dalamnya terdapat gambar dua orang dewasa dengan seorang anak berdiri di tengahnya. Ketiganya tersenyum menatap kamera. Begitu bahagia. "Kamu siapa?" tanya suara seorang lelaki dengan suaranya yang begitu berat, tetapi terdengar seksi di telinga Dara. Suara itu tentu saja mengejutkan Dara yang masih menatap bingkai poto di depan matanya. Seketika lamunannya buyar, saat sempat memikirkan kira-kira hubungan apa yang tergambar dari poto itu? Dara yang sepertinya yakin jika itu adalah suara yang berasal dari mulut Bram, langsung menundukkan kepalanya, enggan melihat wajah lelaki yang menegurnya tadi. "S—saya Dara, Tuan," jawab Dara ketika melihat sosok lelaki itu berjalan mendekat ke arahnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia takut jika lelaki itu melakukan hal yang tidak baik padanya. Tak ada lagi kalimat yang terlontar dari mulut lelaki yang saat ini berdiri tepat di depannya. Membuat Dara bingung harus bersikap sehingga membuat gadis itu memilih diam. Hingga beberapa menit berlalu masih dengan kepala Dara yang menunduk, juga tubuh Bram yang masih berdiri di depannya, kini lelaki itu berbalik dan meninggalkannya. Bram kembali melangkah ke kamarnya lebih dalam. "Bersihkan bagian itu dulu. Kalau sudah, kamu bantu saya di dalam." Begitu yang Bram katakan sebelum akhirnya menghilang dari pandangan Dara, sebab masuk ke sebuah ruangan lainnya. "Ya Tuhan. Aku bisa mati muda jika seperti ini." Dara mengangkat kepalanya kini. "Eh, tetapi tunggu! Kenapa suaranya tidak seperti orang yang sudah tua? Suaranya masih terdengar begitu muda dan ... seksi! Ya Tuhan, apa yang sudah aku katakan?" Dara menepuk mulutnya, seolah sudah berbuat kurang ajar. Ia pun memilih untuk memulai bekerja. Sesuai perintah Bu Sita padanya, 'jangan terlalu berlebihan'. Maka dari itu, Dara pun membersihkan area ruangan itu hanya seperlunya saja. Melakukan dengan perasaan berdebar sebab setelahnya ia harus melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak tahu harus melakukan apa. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD