Bersiap Menerima Hukuman

1320 Words
Dara akhirnya muncul. Binar bahagia terpancar di kedua matanya begitu ia masuk ke dalam mobil. Bram menyadari jika gadis itu menemukan kebahagiaan di dalam kafe tempatnya bekerja.  "Apakah kamu tahu jika waktu yang aku berikan sudah kamu langgar?" satu Bram tanpa menoleh ke arah Dara.  "Maaf, Tuan. Saya tahu saya salah. Jika Anda mau menghukum saya, saya akan terima." Dara berbicara sedikit takut. Gadis itu tahu, waktu sepuluh menit yang Bram berikan ia langgar selama sepuluh menit lamanya.  "Baiklah. Karena kamu sendiri yang meminta, maka aku akan menghukummu. Sekarang Lian, kita pulang!" Bram berbicara tanpa membuka matanya, ia masih terpejam enggan menatap wajah siapa pun yang ada di dalam mobil.  "Baik, Tuan." Mobil melaju meninggalkan area kafe tempat di mana Dara bekerja. Gadis itu masih menatap ke luar jendela ketika mobil mulai meninggalkan tempat dirinya tadi bertemu dengan teman-teman.  Ada kepiluan yang tampak di wajah Dara tatkala mobil yang ia tumpangi semakin lama semakin menjauh.  Bram tahu jika gadis di sebelahnya tengah merasakan kesedihan. Sedih sebab sumber kebahagiannya tak bisa lagi ia rasakan.  "Tuan, kita akan pergi ke mana sekarang?" tanya Dara yang menyadari mobil yang mereka tumpangi memasuki sebuah restoran mewah.  "Kita makan dulu sebelum pulang!" ucap Bram yang kini sudah membuka matanya.  Mobil berhenti di area parkir. Bram keluar dari mobil ketika Lian sudah membukakan pintu mobil. Sedangkan Dara keluar sendiri lalu menyusul Bram yang sudah berjalan masuk.  Dara mengejar langkah kaki Bram yang sudah memasuki sebuah ruangan private tempat di mana hanya ada satu buah meja bulat dengan empat buah kursi di sekelilingnya. Seorang pelayan terus mengikuti langkah kaki Bram hingga lelaki itu duduk di salah satu kursi. Dara sendiri tidak ikut duduk ketika tuannya sudah menjatuhkan tubuhnya di kursi. Gadis itu mengikuti Lian yang tetap berdiri meski tuannya sudah duduk lebih dulu.  "Ada makanan lain yang dipesan, Tuan?" tanya sang pelayan pada Lian.  Ya, Lian-lah yang memesan semua makanan. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Bram, tetapi Lian seolah tahu makanan apa yang hendak tuannya makan.  "Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?" ucap Bram memandang tajam ke arah Dara.  Gadis itu serbasalah. Posisinya yang hanya sebagai pembantu di istana Bram, tentu tak akan membuatnya berlaku tidak sopan dengan duduk bersejajar dengan tuannya itu.  Dara pun menengok ke arah Lian yang kemudian memberinya kode supaya ia duduk sesuai perintah Bram padanya. Dengan sedikit ragu-ragu Dara mengambil kursi yang agak jauh dari Bram.  "Duduklah kamu juga, Lian! Makanlah bersamaku." Sang pengawal pun mengangguk dengan sopan. Lalu duduk di sebelah tuannya.  Tak ada obrolan di antara mereka bertiga hingga makanan yang Lian pesan pun datang. Tiga orang pelayan menyajikan di atas meja bulat, dan menata makanan yang begitu banyak Lian pesan.  "Silakan dinikmati, Tuan!" ucap salah seorang pelayan.  "Terima kasih!" Lian menjawab.  Bram makan dalam diam, begitu juga akhirnya yang Dara lakukan. Mana berani ia mengucapkan kalimat apapun di tengah suasana makan yang khusu, terlebih lagi ia sudah melakukan kesalahan sebelumnya dengan menambah waktu yang tadi Bram berikan padanya.  Lian sendiri mencoba melayani sang tuan dengan begitu baik. Benar-benar tahu makanan yang akan dimakan oleh Bram, itu jugalah yang Lian ambil dan berikan pada lelaki tersebut.  Dara tahu jika makanan yang tersaji benar-benar enak, tetapi duduk dan makan bersama dengan Bram membuat kerongkongannya tercekat seolah tidak bisa menerima makanan dengan baik. Alhasil, ia hanya bisa makan beberapa saja makanan yang ia ambil ke piring tanpa berani mengambil lagi apalagi menambah porsinya.  Bram tahu jika gadis itu merasa canggung makan bersamanya. Itulah mengapa Bram meminta Lian untuk membungkus makanan yang masih tersisa banyak di atas meja untuk dibawa pulang.  "Kamu habiskan di rumah!" seru Bram pada Dara dengan menyuruhnya membawa paper bag berisi makanan yang sudah pelayan bungkus.  "Kita pulang!" perintah Bram pada Lian.  "Siap, Tuan!" Lian dan Dara mengikuti Bram yang kembali jalan lebih dulu. Gadis itu begitu bahagia melihat hiruk pikuk para pekerja di restoran ketika ia hendak ke luar meninggalkan restoran mewah tersebut. Suasana yang sama persis dengan pekerjaannya di kafe di mana akan ramai pengunjung di waktu-waktu tertentu dan ia itu membuat Dara bisa melupakan sementara kekosongan hati dan kehampaan hidupnya.  Dara sedikit tertinggal oleh langkah dua orang lelaki tampan yang memiliki langkah kaki panjang tersebut. Hingga saat ia masuk ke dalam mobil, Bram lagi-lagi menyindirnya.  "Ternyata dua puluh menit sebelumnya masih belum cukup buatmu!" "Maaf, Tuan," lirih Dara menjawab pelan.  Mobil kembali melaju dan meninggalkan area restoran untuk kembali ke kediaman Bram.  Dara pun kini dalam mode diam sebab sang tuan langsung memejamkan kedua matanya begitu mobil membelah jalan raya. Gadis itu memilih melihat pemandangan ke luar jendela, dibanding harus menatap lurus ke depan mobil.  Lama kelamaan kepala Bram turun ke arah pundak Dara, dan sontak membuat gadis itu terkejut. Gadis itu berniat untuk mendorong kepala Bram supaya kembali berdiri tegak seperti semula, tetapi tatapan mata Lian yang tiba-tiba menengok ke belakang, membuat Dara urung melakukan.  Akhirnya sepanjang perjalanan pulang, Bram menyenderkan kepalanya di bahu Dara. Membuat gadis itu keram ketika mobil mulai memasuki kawasan kediaman Bram, dan sang tuan bangun dari tidurnya.  "Terima kasih!" ucap Bram para Dara yang dijawab kikuk oleh sang gadis.  "Sama-sama, Tuan." Ketika mobil sudah memasuki pagar rumah, Dara baru menyadari betapa besar dan megahnya rumah Bram bila terlihat dari luar saat ini.  Tampang polosnya melongo manakala melihat istana Bram yang menurutnya paling besar di antara rumah-rumah yang ada di sekitar sana. Ditambah bnyaknya penjagaan di luar rumah, menambah kesan istimewa istana Bram tersebut.  "Mau sampai kapan kamu di dalam mobil?" seru Lian ketika Dara masih saja berdiam di dalam mobil, sedangkan Bram sendiri sudah keluar dan memasuki rumahnya sejak tadi.  "Ah—eh, maaf!" Gadis itu pun keluar dan segera masuk ke dalam rumah melalui pintu garasi dalam.  Tuannya sudah masuk ke dalam kamarnya sendiri, dan Dara memutuskan untuk masuk ke dapur menemui asisten rumah tangga yang lain untuk memberikan makanan yang Bram bungkus tadi waktu di restoran.  "Hai! Apakah pekerjaan kalian sudah selesai?" tanya Dara seraya menaruh paper bag di atas meja dapur. Ada beberapa asisten rumah yang terlihat santai sebab tengah istirahat.  "Kami sedang istirahat. Kamu sudah pulang?" tanya salah satu di antara mereka.  "Ya." "Kamu bawa apa?" tanya yang lain begitu melihat paper bag berwarna coklat yang Dara taruh di depan mereka.  "Tadi Tuan Bram makan siang di restoran, sisa makanan yang tidak habis disuruh dibawa. Ini makanannya." "Wah, apakah restoran mewah? Pastinya yah?" Pertanyaan pelayan yang dijawab sendiri.  "Apakah kalian pikir Tuan Bram akan makan di rumah makan biasa?" respon yang lain menanggapi.  Gelak tawa pun memenuhi area dapur begitu mereka menertawai ucapan masing-masing. Termasuk Dara yang akhirnya bisa juga tertawa, bersatu dengan karyawan lainnya.  "Dara, apakah kami boleh memakannya?" tanya salah satu dari mereka sembari membuka paper bag berukuran besar tersebut.  "Tentu saja. Tuan Bram menyuruhku membawa pulang tentu maksudnya untuk kita makan."  "Dara!" panggil seorang pelayan yang tiba-tiba hadir di area dapur.  "Iya!" sahut Dara kepada pelayan itu.  "Tuan Lian menyuruhmu menemui Tuan Bram sekarang!" "Ya ampun, ada apa lagi?" tanya Dara pada dirinya sendiri.  "Sabar yah, Dara. Semangat!" ucap yang lain menyemangati.  "Ya, terima kasih. Ya sudah, kalian habiskan saja makanannya. Aku akan menemui Tuan Bram dulu." "Kamu mau kami sisakan?" tanya pelayan sembari tersenyum.  Dara yang sudah akan pergi melangkah, berhenti dan berbalik.  "Tidak perlu. Habiskan saja untuk kalian," jawab Dara balas tersenyum.  Gadis itu pun melanjutkan langkahnya. Kaki yang tertutup celana panjang dengan bentuknya yang jenjang, menaiki tangga untuk menemui sang tuan di kamarnya.  Dara mengetuk pintu kamar Bram, tak lama kemudian pintu dibuka dari dalam. Lian muncul dari balik pintu dengan wajah yang selalu tidak bisa Dara baca.  "Ada apa, Tuan Lian?" tanya Dara sedikit menunduk.  "Tuan Bram menagih hukuman yang seharusnya beliau berikan padamu."  "Euh! Baiklah." Lemas sudah. Dara pikir lelaki itu tidak ingat akan hukuman yang akan diberikan.  "Masuklah!" perintah Lian menyilakan Dara untuk masuk.  Dara pun masuk ke dalam kamar yang sudah beberapa hari ini menjadi area pekerjaannya. Langkahnya sedikit gontai sebab sudah membayangkan hukuman apa yang akan Bram berikan padanya.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD