Jejak Kenangan

1292 Words
Saat ini Dara sedang berada dalam mobil mewah milik Bram. Gadis itu tidak tahu ke mana dirinya akan dibawa. Ia hanya diperintahkan untuk ikut bersama sang tuan masuk ke dalam mobil. Lelaki itu sendiri tidak memberi tahu ke mana mereka akan pergi. Lian diam di kursi penumpang bagian depan sebelah supir. Lelaki itu tak banyak bicara sama halnya seperti sang tuan yang diam di posisinya, bersebelahan dengan Dara yang pandangan matanya ke luar jendela mobil. Dara tidak berani bertanya. Lelaki tampan di sebelahnya terlalu menakutkan untuk ia tanyai. Sepanjang perjalanan, Bram hanya memejamkan kedua mata dengan kaki yang diangkat bertumpu dengan kakinya yang satu. Pakaian yang dikenakan oleh Bram masih pakaian yang sama yang Dara ambilkan waktu pagi tadi. Lelaki itu sama sekali tidak mengganti bajunya saat menyuruh gadis itu ikut bersamanya. Dara memilih untuk melihat ke arah luar jendela mobil, sebab suasana di luar jujur saja lebih menyegarkan dibanding ia harus melihat ke arah kanan duduknya, melihat lelaki tampan yang walaupun lebih segar secara nyata tetapi membuatnya selalu sesak napas. "Apakah ada sesuatu yang menarik di luar?" tanya Bram tiba-tiba tanpa membuka kedua matanya sama sekali. "E—eh, i—iya, Tuan?" Dara terbata menjawab pertanyaan Bram yang mengejutkannya. Bram kini membuka kedua matanya, masih tetap dengan menaikkan satu kakinya di atas kaki yang lain, kepalanya sedikit menoleh ke arah Dara yang saat ini tengah menatap canggung. "Ada hal menarik apa di luar sana? Belum seminggu sepertinya kamu tinggal di rumahku tapi seolah sudah merindukan sesuatu. Apakah tebakanku benar?" Bram menatap kedua mata Dara dengan begitu intens, membuat sang gadis semakin kikuk dan malu. "S—saya tidak tahu, Tuan!" jawab Dara pelan seraya memalingkan mukanya ke arah luar mobil. "Tatap mata lawan bicaramu jika sedang bicara!" Pelan suara Bram, tetapi cukup membuat Dara menurut. Gadis itu berusaha menatap sang tuan kembali yang saat ini terlihat menekan sebuah tombol, yang tak lama kemudian membuat sebuah sekat muncul dari bawah mobil tiba-tiba menutupi bagian depan dan belakang mobil. Dara tentu saja heran dan sedikit takjub, apa yang tengah terjadi saat ini. Apa yang membuat Bram melakukan hal aneh di depannya saat ini? Belum terjawab pertanyaan di benak Dara, tiba-tiba Bram meminta dirinya untuk duduk di atas pangkuannya. "A—apa, Tuan? B—bagaimana mungkin?" Dara menunduk tak berani menatap wajah tampan Bram di depannya. "Aku bilang naik, naiklah!" "Saya tidak berani, Tuan!" Bram seperti tak ingin mendengar penolakan, lelaki itu kemudian mengangkat tubuh Dara dan mendudukannya di atas kedua pahanya. "Lain kali menurutlah!" lirih Bram tepat di depan wajah Dara yang semakin tertunduk malu. "I—iya, Tuan!" jawab Dara mengangguk lemah. "Sekarang jawab semua pertanyaan yang akan aku ajukan padamu sambil mobil menuju tempat tujuan kita." "B—baik, Tuan!" Bram sudah menjulurkan tangan dan menyentuh area belakang leher Dara dan mengusap tengkuknya perlahan. Aksi Bram tentu saja membuat bulu kuduk Dara merinding yang otomatis memejamkan kedua matanya. Bram begitu menikmati wajah geli yang Dara rasakan. Wajah yang mengisyaratkan betapa ia terbuai akan sentuhan yang Bram lakukan padanya itu. "T—tuan," lirih Dara terbata ketika jari itu terus membelai tengkuknya begitu intim. "Apakah kamu tengah merindukan seseorang?" tanya Bram masih terus menggerakkan jemarinya lembut. Lelaki itu betul-betul sedang menguji reaksi atas dirinya sendiri terhadap sosok bernama perempuan. Ia sungguh ingin tahu adakah respon tubuh seperti dulu yang akan mual atau marah-marah jika berdekatan dengan seorang wanita. "Rindu? Merindukan siapa maksud Anda?" Suara Dara sudah hampir mendesah. Ia sedikit merasa tersengal sebab Bram kini sudah berpindah dengan mengusap pipi dan bibir tipisnya. "Aku tidak tahu, aku bertanya karena melihatmu menangis semalam. Apa sebetulnya yang kamu tangisi di tengah malam kemarin?" "S—saya tidak tahu, Tuan, ah!" desah Dara ketika jemari tangannya Bram kecup. Bram sepertinya cukup senang sebab penyakit yang diderita selama ini sepertinya berhasil sembuh oleh gadis di atas pangkuannya itu. "Apakah kamu ingat dengan rumah di samping kirimu saat ini?" bisik Bram di telinga Dara kemudian mengecupnya. Dara sontak menengok ke arah yang Bram maksud. Sebuah rumah sederhana terlihat dari dalam mobil, di mana supir saat ini memarkir tepat di samping pagar. "Rumah ini?" lirih Dara yang tanpa sadar kemudian turun dari pangkuan Bram. Gadis itu lalu menyentuh kaca mobil dan melihat lurus ke arah bangunan sederhana tersebut. Dara begitu terpesona dengan apa yang dilihatnya saat ini, sampai-sampai tidak menyadari ketika Bram menurunkan sekat pembatas mobil. "T—tuan, ini rumah orang tua saya bukan?" Dara menatap ke arah Bram seolah meminta persetujuan. "Mengapa kamu bertanya padaku, kamu yang lebih tahu tentang rumahmu sendiri." Dara kembali menatap ke arah rumah itu. Genangan air mata sudah hadir di pelupuk matanya. Ya, jujur saja ia memang rindu dengan rumah yang pernah menjadi tempat berlindungnya selama beberapa tahun itu, dan kini rumah itu berada tepat di depan matanya. "Bolehkah saya turun, Tuan?" pinta Dara. "Tentu saja!" jawab Bram. Namun, belum sampai Dara membuka pintu mobil, beberapa orang keluar dari dalam rumah sembari tawa lepas keluar dari mulut mereka. "Ibu, Ayah!" lirih Dara yang melihat kedua orang tuanya keluar dari dalam rumah untuk menuju mobil yang terparkir di garasi rumah. Kedua orang paruh baya tersebut terlihat tertawa lepas seolah tak memiliki beban hidup sama sekali. Tak lama kemudian dua orang pemuda menyusul, lalu masuk ke dalam mobil bagian depan. Mereka kedua adik kembar Dara. Wajah mereka pun sama terlihat bahagia. "Dani, Doni." Betapa Dara tampak heran dengan kondisi keluarganya yang terlihat begitu harmonis dengan hidup berempat dalam suasana yang begitu bahagia. "Sejak kapan ayah punya mobil?" gumam Dara, yang sejak mula melihat kediamannya itu fokus dengan mobil yang terparkir di garasi. "Ada apa? Kenapa kamu tidak jadi turun?" "T—tidak apa-apa, Tuan. Sepertinya mereka akan pergi." "Kamu tidak mau mencegah kepergian mereka walau cuma sebentar?" tanya Bram lagi ingin tahu respon apa yang akan Dara berikan. "Tidak, Tuan!" Dara menggeleng lemah. Keberadaan mobil Bram yang terparkir di dekat halaman rumah Dara, sepertinya tidak disadari oleh keluarga gadis itu. Buktinya, mobil yang mereka tumpangi melaju bebas melewati mobil sedan mewah milik Bram, yang seharusnya terlihat mencolok. "Kamu yakin tidak ingin turun?" tanya Bram sekali lagi. "Iya, Tuan. Saya rasa tidak perlu." "Baiklah, jika kamu tidak jadi turun. Lian, menuju tempat selanjutnya!" perintah Bram pada asisten pribadinya. "Siap, Tuan!" Lian kemudian memberi tahu supir tujuan mereka berikutnya. Mobil pun kembali membelah jalan raya untuk menuju tempat yang Dara tak tahu, ke mana lagi ia akan dibawa. Gadis itu kini termenung dalam diam. Bayangan tawa keluarganya kembali menari di pikirannya. Lebih dari tiga bulan mereka tidak bertemu, apakah tak pernah sekalipun mereka menanyakan kabarnya? batin Dara pilu. Benarkah jika ia tidak dicintai oleh keluarganya sendiri? Tak lama, mobil berhenti di sebuah tempat yang membuat Dara berbinar bahagia. "T—tuan, bagaimana Anda bisa tahu?" tanya Dara yang menatap Bram takjub. Sebuah tempat yang membuat Dara masih memiliki semangat hidup. Sebuah tempat di mana ia bisa berekspresi, tertawa bahkan bersedih. Bram mengajaknya ke kafe tempatnya bekerja. Tempat yang ia rindukan sejak beberapa hari kemarin. "Kamu mau turun?" tawar Bram. "Bolehkah, Tuan?" Bram pun mengangguk. "Sepuluh menit! Aku beri kamu waktu sepuluh menit!" "Terima kasih, Tuan Bram." Secepat kilat, Dara membuka pintu mobil dan berjalan cepat menuju pintu masuk kafe. Bram sengaja membiarkan gadis itu melakukan hal yang membuatnya bahagia. "Anda tidak apa-apa, Tuan?" tanya Lian. "Tentu saja. Memang kenapa, Lian?" "Tidak, hanya saja apakah tidak akan membuat orang curiga dengan hadirnya Dara di tempat ini?" "Biar saja. Kita lihat apa yang hendak gadis itu perbuat." Waktu sepuluh menit yang Bram berikan ternyata sedikit ngaret. Gadis itu masih tak kunjung keluar meski sudah lewat dari waktu yang ditentukan. "Apakah saya harus menyusulnya, Tuan?" "Tidak perlu, Lian. Kita biarkan saja dulu!" Bram begitu sabar meski peraturan yang ia buat, berani-beraninya gadis itu langgar. Lelaki itu memilih memejamkan kedua matanya, menunggu Dara selesai dengan urusannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD