Mencoba Mencari Tahu

1199 Words
Bram sudah selesai dengan aktifitas mandinya. Begitu ia keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk yang melingkar di pinggangnya, ia melihat Dara masih berdiam di sisi sofa. "Kenapa kamu berdiri di situ? Apakah pakaianku sudah kamu siapkan?" ucap Bram seraya melangkah menuju walk in closet. "Maaf, Tuan Bram. Saya belum siapkan sebab saya tidak tahu pakaian mana yang akan Anda pakai di hari libur ini. Biasanya 'kan saya menyiapkan perlengkapan kerja Anda, tapi kali ini —" Dara tidak melanjutkan kalimatnya sebab Bram sudah berjalan melewatinya dan masuk ke ruangan pakaian. "Apakah kamu tidak tahu arti kata santai?" "M—maksud Anda, Tuan?" tanya Dara yang akhirnya mengikuti tuannya ke dalam. "Ya, kamu tahu kalau hari ini adalah hari libur dan biasanya digunakan untuk waktu santai. Jadi, kamu bisa bedakan mana pakaian kerja dan mana pakaian santai untuk di rumah bukan?" Bram menatap tajam gadis itu. "Tapi saya khawatir selera Anda berbeda dengan pakaian yang nanti saya pilihkan." Dara masih mencoba memberikan alasan. "Kamu menyiapkan pakaian untuk aku kerja, menurutku masih cocok. Apa yang kamu pilihkan masih masuk dengan seleraku." "Kalau pakaian kerja 'kan rata-rata semua sama, Tuan. Hanya kemeja, celana bahan, jas yang senada dengan celana dan terakhir dasi. Menurut saya itu tidak sulit." Dara masih menunduk tak berani menatap Bram. "Sudah, aku tak mau mendengar alasanmu. Sekarang coba kamu ambilkan pakaian santai yang cocok untuk aku gunakan selama di rumah." Dara akhirnya menurut. Gadis itu pun maju dan melangkah menuju sebuah lemari besar dengan berbagai pakaian yang tertata rapi di dalamnya. Merasa ditantang untuk memilihkan pakaian sang tuan, gadis itu pun mengambil sebuah celana panjang bahan beserta sebuah kaos putih berkerah. Tak lupa ia juga mengambil pakaian dalam milik Bram yang terdapat di rak kaca yang saat ini ada Bram berdiri di sampingnya. "Ini Tuan. Maaf, hanya ini yang bisa saya pilihkan. Berhubung tadi Anda mengatakan bahwa masih ada pekerjaan yang harus Anda selesaikan bersama dengan Tuan Lian, maka saya mengambilkan celana panjang dan bukan celana pendek seperti kebanyakan orang yang memang akan melakukan kegiatan santai. Saya hanya mencoba membuat Anda masih terlihat semi formal di hadapan Tuan Lian dan anak buah Tuan lainnya." Bram menatap tak percaya pada gadis di depannya. Untuk melakukan hal sepele seperti itu, ia berpikir sangat mendetail. Bram kemudian mengambil pakaian yang Dara pilihkan. Dengan cuek, lagi-lagi ia melepaskan handuk dari pinggangnya. Membuat sang gadis langsung berbalik dan menunggu hingga tuannya selesai berpakaian. Bram tersenyum tipis ketika melihat gadis itu berpaling. Senang sekali ia menggoda Dara, mentang-mentang penyakitnya tidak kambuh bila berdekatan dengan gadis itu. "Aku harus ke ruang kerja sekarang." Bram selesai dengan urusannya. Lalu bicara pada Dara supaya membereskan handuk yang tadi jatuh ke lantai. "Apakah Tuan tidak ingin sarapan dulu?" tanya Dara yang membuat langkah kaki lelaki itu terhenti. Bram berbalik dan menatap Dara dengan sedikit menyunggingkan senyum. "Makanya lain kali jangan bangun kesiangan, jangan sampai pintu kamarmu digedor oleh Lian dan bukan Bu Sita. Asal kamu tahu aku sudah sarapan sebelum kamu datang kemari." "Oh, maaf, Tuan." Wajah Dara memerah. Jujur saja ia malu. Sebetulnya bukan karena alasan ia sengaja bangun kesiangan karena berpikir Bram hari ini libur kerja, tetapi karena memang ia benar-benar kesiangan sebab semalam baru bisa tidur menjelang subuh. Bram kembali melangkahkan kakinya ke luar ruangan, untuk melanjutkan langkah kakinya menuju ruang kerja pribadinya di lantai bawah. "Jangan sering-sering melamun di pinggir kolam renang, siapa yang tahu malam-malam ada setan yang mengganggu dan menarik pikiranmu untuk masuk ke dalam kolam." Selagi berjalan keluar kamar, Bram melontarkan kalimat yang membuat Dara lagi-lagi merasa malu. Jadi tuannya melihat ia semalam di tepi kolam renang? batin gadis itu bicara. Apakah Bram juga tahu jika semalam ia menangis? lanjut pertanyaannya. "Ah, bagaimana bisa tuannya itu memergokinya di sana semalam?" gumam Dara pelan. Dara tak menjawab kalimat Bram, ia memilih diam dan terus menunduk sembari berjalan mengikuti sang tuan. Terlihat di setiap sudut rumah masih ada beberapa asisten rumah tangga yang belum selesai dengan tugasnya. Dara pun akhirnya meminta ijin pada Bram ketika lelaki itu sudah akan masuk ke dalam ruangan pribadinya. "Kalau begitu saya permisi, Tuan. Saya harus mengerjakan pekerjaan yang lain." "Hem. Pergilah!" Tanpa menoleh ke arah Dara, Bram pun segera masuk ke dalam ruangan dengan Lian yang setia menunggu. Bram berjalan dan duduk di kursi kebesarannya. Dengan tablet yang ia bawa dari kamarnya tadi, kini lelaki itu kembali membuka catatan yang sebelumnya Lian berikan. "Jadi, gadis itu sebenarnya selama ini bekerja?" tanya Bram menatap anak buahnya. "Benar, Tuan." Lian masih berdiri di depan meja Bram. "Duduklah, Lian! Bersikap santailah." Lelaki muda itu pun mengikuti perintah Bram. Ia duduk di kursi yang berseberangan dengan tuannya. Masih diam menunggu hal apa lagi yang hendak sang tuan tanyakan. "Siapa kedua orang tuanya? Apakah ia dari kalangan keluarga berada?" Sembari menatap layar tablet di tangannya. Membaca lebih teliti barangkali ada tulisan yang ia lewatkan. "Tidak, Tuan. Tapi, keluarganya memang bertingkah seperti orang kaya sebab tak mau dihina oleh orang-orang di sekitarnya. Itulah kenapa mereka bisa memiliki banyak hutang pada Anton, demi menunjang fasilitas kehidupannya yang mewah." Bram meletakkan tablet itu di atas meja. Lalu menatap Lian dengan tetapan rasa ingin tahu yang tinggi. "Apa hubungan kedua orang tuanya dengan Anton, kenapa bisa lelaki tua bangka itu berani meminjamkan banyak hutang pada mereka?" "Sejauh informasi yang saya dapatkan, selain Anton dan ayah Dara adalah saling bersahabat, juga karena ayah gadis itu bekerja di perusahaan milik Anton." "Hem. Pantas!" tukas Bram kemudian. "Oh yah, waktu membawa gadis itu kemari, apakah barang-barang pribadi miliknya dibawa sekalian?" "Tidak, Tuan. Tapi keesokannya saya memerintahkan beberapa pengawal untuk kembali dan mengambil barang miliknya." "Termasuk ponsel?" "Iya semuanya, termasuk ponsel pastinya." Lian berdiri dan mengambil sebuah tas wanita yang tergeletak di atas meja. Lalu menyerahkannya pada Bram. Lelaki itu pun menerima tas berukuran kecil tersebut. Sebuah tas yang hanya berisi dompet, ponsel dan beberapa alat make up seperti bedak, lipstik dan parfum ada di dalamnya. Bram kemudian mengambil ponsel Dara lalu mencoba menyalakannya. Mati! "Sepertinya batrenya habis, Tuan. Lebih baik saya isi dayanya dulu." Lian menawari. "Hem, ini!" Bram kembali menjulurkan barang pipih tersebut kepada anak buahnya. Lian berdiri dan mengambil ponsel Dara untuk ia isikan data batrenya. Setelah itu ia kembali duduk dan memperhatikan Bram yang saat ini tengah memeriksa isi bagian dompet wanita berwarna coklat yang ada di dalam tas. Tak ada apapun di dalamnya yang istimewa, hanya beberapa lembar uang yang tidak banyak serta beberapa buah kartu. Kartu identitas diri dan dua buah kartu ATM yang entah masih aktif atau tidak. Tak ada kartu kredit seperti kebanyakan para wanita lainnya miliki. Hidup gadis itu benar-benar sederhana, begitu pikir Bram. Bram mencoba memeriksa semua bagian demi bagian dalam dompet, tak ada poto atau gambar yang mengindikasikan pemilik dompet tersebut kecuali kartu identitas diri saja. "Semalam aku memergokinya sedang menangis, Lian!" ungkap Bram memberi tahu pengawal pribadinya itu. Ada ekspresi terkejut yang tampak di wajah Lian ketika mendengar kabar yang disampaikan tuannya. "Kenapa gadis itu menangis, Tuan?" "Aku tidak tahu kenapa. Apakah ini ada hubungannya dengan keluarganya? Apakah mungkin jika ia rindu terhadap kedua orang tuanya atau apa?" Lian terlihat berpikir, mencoba mencerna kemungkinan yang Bram sebutkan. Entahlah, Lian tidak melihat ke arah itu. Tapi, bisa saja dugaan tuannya benar. "Sepertinya kita bisa buktikan, Lian." "Apa?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD