1. Kamera Tata

2088 Words
Angin di musim kemarau memang sedikit kencang dan juga berdebu. Karena debu-debu ikut beterbangan bersama angin, alhasil membuat kulit jadi kering. Namun hal itu merupakan hal yang membahagiakan untuk Tata. Bukan soal kulitnya akan kering, tapi ia bisa mengambil gambarnya sendiri jangan rambut terurai dan terpaan angin. Seperti saat ini ia sedang bersiap-siap untuk pengambilan gambar. Kamera Nikon tipe D300 sudah ada di dalam tas,baterai juga sudah ia isi penuh semalam. Tadi pagi juga sudah ia cek pengaturan cahaya untuk out door. Kamera ini terbilang keluaran lama, namun Tata merasa sangat menyayanginya. Benda ini adalah satu-satunya peninggalan dari ayahnya yang dulu membuka studio foto kecil-kecilan di desa. Lima tahun Sudah ayah Tata meninggal dan kamera yang menjadi peninggalannya itu ia rawat dan ia manfaatkan untuk mencari uang. Ia akan datang ke festival atau karnaval untuknmenawarkam foto dadakan dengan tarif lima ribu rupiah untuk satu kali foto ukuran 4R. Tata tak begitu mahir mengambil gambar seperti ayahnya yang seorang fotografer. Tata hanya senang mengambil gambar di alam terbuka, dirinya sendiri, beberapa perayaan atau momentum yang terkesan dalam hidupnya. Menjelang siang ia sudah siap dengan kamera di tangan. Tata hendak pergi ke kebun yang ada di dekat lapangan sepakbola Desa Ngadiboyo. Sebuah desa kecil di kota yang kecil pula. Kota yang dikenal dengan sebutan kota angin, di bagian Jawa Timur. Desa tempat ia tinggal tidak terbilang sebagai desa yang tertinggal, namun jika dibilang desa yang ramai juga tidak. Masyarakat hidup dengan bertani bawang merah, karena tanahnya cocok dengan tanaman itu. Sebagian lagi bekerja di sawah sebagai kuli bangunan atau pergi ke kota untuk bekerja di pabrik dan toko. Tata juga bekerja di salah satu rumah makan di Kabupaten Nganjuk. Ia libur hari ini, jadi Tata bisa mengambil foto dirinya sendiri dengan angin sahdu. Meskipun ia tidak begitu mahir mengambil gambar, Tata hanya sekadar suka mengambil saja. Berhubung ia sedang sendirian tidak ada orang yang akan membantunya, maka dari itu ia memotret dirinya sendiri bermodalkan tripod kaki yang ia beli di online shop saat diskon. Juga ia bawa selendang yang nantinya akan ia gunakan sebagai properti. Begitu semua peralatan sudah siap, Tata masukkan tas dan ia gantungkan di motor matic warna merah milik gadis yang memiliki tinggi 165 centi meter, berwajah oval, mata kecil, hidung tak terlalu mancung dan alis tebal serta bulu mata lentik alamai. *** Kebun yang dimaksud Tata untuk setting ia mengambil gambar adalah kebun yang biasa disambangi orang untuk mengambil tanaman;pisang, singkong, daun kenikir, nangka dan banyak lain. Kebun itu berdekatan dengan lapangan milik desa yang biasa digunakan oleh anak-anak bermain sepak bola atau bermain voli. Baik anak remaja maupun bapak-bapak kalau sore hari bahkan juga untuk bermain layangan atau untuk menonton hiburan rakyat. Siang hari terasa terik namun banyak pohon-pohon yang bisa melindungi Tata dari terpaan sinar matahari. Tata memang sengaja memilih waktu siang agar ia bisa mengeksplor banyak gambar tentang langit dan juga dedaunan di sekitar. Langit tampak biru dengan awan yang menggumpal indah, bergerak perlahan. Desau angin mengibarkan dedaunan juga selendang yang nantinya akan Tata gunakan. "Enaknya di mana ya," monolog Tata sambil melihat-lihat posisi yang tepat agar ia bisa mendapatkan gambar yang sesuai keinginannya. Pertama-tama ia ambil gambar langit biru dengan beberapa sudut pengambilan. Dari bawah, sambil ia mendongak. Kemudian dari arah setengah terlihat lapangan dan setengah bagian lagi terlihat langit dengan posisi ia duduk sedikit mendongak ke depan. Melihat hasil bidikannya lumayan bagus, Tata tersenyum senang. Gadis berlesung pipit yang hanya tampak saat ia tersenyum Itu pun mulai memasang tripod kaki dengan hati-hati karena tanah sebagai pijakan tidak terlalu mulus. "Nasib kalau jomblo sendirian, apa-apa ngerjain sendiri," keluh-kesah Tata. Memang ia sudah jomblo sejak lima tahun silam saat Tata putus dengan Riko, teman SMA yang yang ingin melanjutkan kuliah di luar kota. Tak tahan LDR akhirnya keduanya pun memutuskan untuk berhenti melanjutkan hubungan. Lapangan tampak sepi, begitu pula dengan Kebun. Jelas saja karena siapa juga yang akan bermain bola di lapangan saat terik begini. Hanya Tata saja yang mungkin terlalu bersemangat atau memang dia orang yang konyol. Kebun dan lapangan itu memang sedikit agak ke dalam dari jalan raya yang biasa dilewati sepeda motor, sehingga suara riuh dari sepeda motor serta truk yang lewat mengangkut barang-barang hasil pertanian tidak terdengar dari lokasi Tata saat ini berada. Selesai memasang kamera yang disangga ia pun mulai mengambil posisi, di mana dirinya akan membidik dengan kamera tersebut. Tata memasang mode otomatis jepretan beruntun, sehingga ia bisa mengambil gambar sendiri secara otomatis. Mulanya ia hadapkan pada arah lapangan, di mana dirinya terlihat gelap sementara latar belakangnya terlihat terang. Setelah puas beberapa kali bidikan, Tata mengubah posisi. Ia sedikit menjauh dari lapangan dan masuk ke kebun. Tata memasang kembali tripod di tempat yang berbeda dengan tadi. Memilih di bawah rindangnya pohon untuk membidik dirinya nanti, yang seolah sedang berteduh juga di bawah pohon atau mengintip dari balik pohon tersebut. Asyik berpose, Tata dikejutkan dengan suara teriakan dari adiknya. Padahal ia sudah siap berpose dan kamera pun sudah mengambil beberapa gambar namun, tangkapan dirinya meleset. Tata berlari menuju arah suara adiknya. Membiarkan kamera membidik objek lain. Objek dua orang yang tak sengaja tertangkap kamera milik Tata. Ada tiga bidikan yang menangkap gerakan; salah seorang di antara keduanya memukul dengan batu, satu foto membidik kala salah satu di antara mereka terjatuh dan satu lagi bidikan terakhir menangkap kedua orang yang sama-sama diam di tempat dengan seseorang berdiri dan satunya tergeletak di tanah. Sementara itu di tempat lain, Tata yang sedang berlari menghampiri adiknya terengah dan mendekat. "Mbak di mana sih. Dari tadi aku cariin. Aku lihat motor Mbak ada di seberang jalan, jadinya aku masuk," kata Nana adik Tata. "Tadi Mbak di dalam sedang mengambil foto. Ada apa mencari Mbak?" "Dicariin Ibu katanya ada tamu cariin Mbak." Tata mengernyit, siapa tamunya. "Kayaknya Mbak nggak pernah janjian sama orang." "Nggak tahu katanya sih, antarkan barang yang Mbak pesan." Mengingat sejenak, Tata pun ingat dan ia menepuk keningnya. "Astaga iya, aku itu kemarin pesan sabun cuci muka di temenku. Katanya sih herbal buat kulit sensitifku karena angin jadi kering." "Ya sudah ayo pulang," Nana beranjak pulang dulu sementara Tata Kembali ke tempat di mana kameranya tadi berada. Tidak mengecek ataupun melihat terlebih dahulu, Tata langsung mematikan kamera. Memasukkan dalam tas dan menyimpan peralatan yang ia gunakan tadi. Setelahnya bergegas menuju motor yang ia parkir di seberang jalan. Ia tidak bisa membawa masuk motornya ke dalam karena jalanan yang tidak rata dan juga banyak bebatuan yang akan mengganggu. *** Saka baru saja meletakkan tas di atas meja kamarnya. Ia baru pulang dari kerja dan hendak beristirahat. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan seharian ini ia sungguh sangat sibuk. Rasa hati ingin segera mandi dan istirahat namun sebuah pesan dari Amira, mantan pacarnya yang sudah setahun ini hanya menjadi teman karena ia sudah pindah ke kota lain. Saka memeriksa pesan tersebut. Tumben-tumbennya Amira mengirim pesan di tengah malam seperti ini. Padahal selama dua tahun ia menjalin asmara dengan Amira, gadis itu sudah terlelap paling malam pukul sepuluh. Bagaimanapun juga Amira adalah anak rumahan yang tidak sering begadang keluar. Saka sangat mencintai Amira, sayangnya orang tua Amira harus pindah ke kota kecil di daerah Jawa Timur karena ayahn Amira dipindah tugas. Lagi pula juga dulu Amira lahir di kota tersebut. Mulai masuk sekolah SD barulah Amira datang ke Jakarta bersama keluarganya. Meskipun sudah putus, Saka dan Amira tetap berhubungan baik bahkan setahun terakhir. Meski ia tidak lagi menjalin hubungan asmara, tapi hubungan pertemanan mereka tidak putus begitu saja. Sesekali Amira akan mengirimi kabar pada  Saka tentang keseharian gadis itu yang kini lebih banyak dihabiskan di sekolah dasar dekat rumahnya. Amira adalah guru sekolah dasar di sana. Ia menyukai anak-anak. Karena itulah Amira ingin mengajar. _Kak aku takut_ Begitulah pesan yang diterima Saka. Ia tak tahu apa maksud dari pesan tersebut. Apakah Amira sedang mendapatkan masala? Pikir Saka. Tapi jika Amira memang sedang memiliki masalah, dia akan menelepon Saka dan bercerita panjang lebar. Tak bisa mengatasi rasa penasarannya, Saka pun menghubungi nomor tersebut. Panggilan ke sekian, tak ada jawaban bahkan di-reject. Saka tak habis pikir dibuatnya. Pesan singkat tersebut rupanya tidak berhenti di malam itu juga. Esoknya Saka juga mendapatkan pesan yang sama dan itu terjadi di kala malam hari. Isi pesannya sama, bahwa Amira merasa ketakutan hanya saja dengan kalimat yang berbeda. _Aku sangat takut, Kak. Bisa Kakak datang ke tempatku_ _Rasanya seperti ada orang yang mengejarku_ _Kak aku takut. Tolong aku_ Hingga lima hari pesan itu masih sama saja. Saat Saka membalas dan bertanya tentang apa ketakutan itu, Amira tidak menjelaskan secara detail. Ia hanya mengetikkan pesan yang hampir serupa bahwa ia ketakutan dan minta tolong. Saka begitu penasaran Ada apa sebenarnya dengan Amira Apa yang disebut dengan grafik itu tidak biasanya Amira bertingkah seperti ini. Ia memutuskan untuk memesan tiket menuju Surabaya dan ia akan naik travel menuju Nganjuk. Dulu ia pernah diberi alamat Amira tapi tidak pernah datang ke sana. Mengecek beberapa agenda yang akan ia lakukan dalam minggu ini, harus terpaksa ia limpahkan pada karyawannya. Ia memiliki bisnis percetakan yang ia kelola sendiri dengan sembilan karyawan yang membantunya. Mengambil penerbangan esok pagi Saka mencoba mencari jadwal pesawat namun tidak berhasil karena penerbangan pagi pukul enam sudah penuh semua. Adanya pukul delapan dan sepuluh. Saka mengambil pukul jam delapan saja. Ia mengambil pagi karena belum tahu rumah Amira pastinya, ditambah dengan ponsel yang tidak bisa dihubungi. Otomatis ia harus mencari sendiri alamat tersebut. Amira pernah bilang bahwa rumahnya di pelosok desa terpencil, hanya saja agak jauh dari pusat Kota sehingga Saka harus mencarinya sendiri dan butuh waktu. Selesai memesan, Saka langsung bergegas menyiapkan barang-barang yang ia butuhkan. Sebenarnya ia tak butuh banyak barang, kalau bisa karena ia bisa membeli di sana. Saka malas bawa barang yang banyak. Tak lupa ia mengabari ibunya yang tidak tinggal satu rumah dengannya. "Ma," sapa Saka saat mamanya di sana terbangun. Saka sampai lupa bahwa sekarang sudah malam dan pastinya mamanya juga sudah istirahat. Harusnya ia menelepon besok saja dan tidak mengganggu tidur orang yang ia sayangi. "Iya, Nak. Kenapa kok kamu telepon malam begini. Maaf ya  Mama lagi tidur," balas namanya yang suaranya terdengar serak khas bangun tidur. "Maaf udah ganggu tidur Mama, hanya saja aku mau bilang kalau besok pagi aku akan terbang ke Surabaya." "Untuk berapa lama dan ada acara apa?" tanya mamanya lagi. "Untuk waktunya tidak tahu, Ma, dan tujuanku ke sana ada yang ingin aku bahas dengan Amira." Qonita, mama Saka mengernyit sambil berbaring Saka menyebut nama perempuan itu. Ia tahu bahwa perempuan tersebut adalah mantan pacar dari Saka. "Ada apa dengan Amira?" Amira memintaku datang. Aku juga tidak tahu ada apa  tapi semoga dia baik-baik saja." Wanita itu pun tampak cemas. "Ya sudahlah, kamu baik-baik ya di sana. Titip salam untuk Amira." Wanita itu pernah merasa bahwa dunia Saka benar-benar bahagia saat bersama Amira. Sayang hubungan mereka harus kandas. Wanita menyukai Amira. Pembawaan Amira yang periang dan mudah bergaul membuat Qonita dan Saka menyukainya. Sampai kapanpun Qonita masih berharap bahwa Amira akan menjadi menantunya kelak. Saat keduanya memutuskan untuk mengakhiri hubungan, Qonita ikut sedih. Namun keputusan sudah diambil dan mereka pun berpisah juga dengan cara yang baik-baik saja. Tidak ada masalah besar, tidak ada dendam, bahkan sampai saat ini pun Saka dan Namira masih menjalin hubungan baik. "Iya, Ma. Ya sudah  Mama istirahat lagi aku akan siap-siap. Penerbanganku pukul delapan pagi besok. " Saka kemudian mengakhiri telepon tersebut. Ia akan terbang dan memastikan ada apa sebenarnya dengan Amira. Apa yang membuat gadis itu ketakutan. Saka tak bisa tenang sebelum menemukan jawabannya. Amira, meskipun ia sudah tak lagi menyandang sebagai kekasih  hatinya tetap dan masih untuk gadis itu. Masa lalu indah mereka tak bisa dihapus begitu saja. Meski bukan kekasih, Amira sudah menjadi teman, juga adik baginya. Keluarga mana yang tak peduli saat anggota keluarganya sedang dalam kekalutan. Jika benar terjadi apa-apa pada Amira, Saka tidak bisa tinggal diam. Dalam doanya ia berharap bahwa Amira memang baik-baik saja. Di sudut lain, seorang gadis tengah meringkuk dalam lemari. Badannya gemetar ketakutan  wajahnya menunduk dengan keringat yang membanjiri sekujur tubuhnya. Napasnya memburu ketakutan. Ia intip lewat celah lemari hati-hati. Tampak aman, tapi tetap sama ia tak berani keluar. Lama-lama ia pun tertidur. Sampai kapan, atau mungkin sampai ada seseorang yang menemukannya berada di sana. Ia berharap, ada kebaikan dalam hidupnya yang bisa membuatnya selamat kali ini. Entah di tangan siapa, dengan cara apa. Ia tak mau berakhir sia-sia dengan cara yang penuh tanda tanya soal dirinya. Salah apa, alasa apa, dan kenapa harus dirinya. Amira tak sempat merapal doa, tapi semoga keajaiban itu memang ada dan datang padanya. Sebentar saja. Ia berharap pada Tuhan. Ia ingin selamat. Bagaimanapun cara yang ditempuh. ____________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD