MEREKA BERTEMU

1091 Words
Padahal, aku hanya ingin menjaga diri sebelum kami resmi menikah nanti. Toh, peluk dan cium yang selama ini kami kerjakan sudah terhitung cukup. Mengingat, Refan selalu melakukannya ketika kami bertemu tanpa tahu waktu dan tempat. Gila! Pria itu memang benar-benar bernapsu besar. Demi memudarkan perasaan kesal yang masih terasa selama semalam penuh, kuputuskan untuk bertemu dengan Harum pada keesokan hari. Dia adalah wanita karir yang sekarang sedang sibuk dengan usaha rintisan di bidang makanan. Sama seperti Refan, pria yang kukencani selama lima tahun itu merupakan salah satu supervisor di bidang kuliner. Sama halnya sepertiku, Refan tak berasal dari keluarga kaya. Keadaan itu membuat Refam melakukan segala cara agar dapat mengubah nasib buruk keluarga. “Hai, Ra?” Harum menyapa. Saat itu, dia sudah tiba. Sama seperti namanya. Wewangian yang digunakan oleh sahabat wanitaku selalu menyerbak ke penjuru ruang dan indera penciuman orang-orang di sekitar. Sapaan tersebut segera kubalas dengan sumringah. Tak lupa peluk serta cium pada pipi kanan dan kiri menjadi awal pembuka dari pertemuan kami. Hanya saja, kali itu ada yang berbeda. Pakaian Harum yang memang terbiasa sedikit terbuka menampakkan bagian tubuh dengan bekas kemerahan. Khas dengan perbuatan yang biasa dilakukan oleh seorang pria pada bagian puncak d**a wanita. Sontak saja aku menanyakan akan tujuan Harum sebelum menjumpaiku di sebuah kafe. “Ah, aku? Tentu saja, baru tiba dari kedai. Seandainya saja, kedai makanan milikku itu seramai kafe ini, pasti aku tak perlu terlihat lesu dan lelah seperti ini, kan?” Harum menyahut. Dia terlihat merapikan rambut yang tidak tertata dengan cukup rapi seperti hari biasa. Saat itu, ia juga menambahkan gambaran sedang menatap wajah di depan cermin kecil. Beberapa kali, Harum tampak memberikan polesan pada bibir dengan lipstick berwarna sama. Hingga saat itu, aku belum berpikiran buruk mengenai apa pun kepada dia. Pikirku, Harum pasti lelah dalam mengelola kedai yang beberapa kali selalu mengalami kebangkrutan. Maka dari itu, dia tidak sempat berdandan dengan rapi dan benar. “Oh, ya. Jadi, apa yang sedang ingin kau ceritakan kepadaku, Ra?” “Bukan masalah besar. Hanya persoalan Refan.” “Ah—” Harum ber-ah sambil menampakkan gurat berbeda di wajah. Yang dapat kuartikan bahwa kedua pipinya menjadi sedikit bersemu merah ketika nama Refan didengar olehnya. Pesanan makanan yang disuguhkan ke atas meja menjadi penjeda obrolan di antara kami berdua. Padahal, aku dan Harum belum sempat makan. Tetapi, wanita itu sudah lebih dahulu berpamitan menuju kamar mandi dengan alasan sedang sakit perut. Mungkin dia memakan makanan pedas sesaat sebelum kami bertemu. Itulah yang aku asumsikan. Selagi menunggu Harum kembali dari kamar mandi, aku menyantap makanan yang sedari pagi sudah kutunggu-tunggu. Bagaimana tidak, nasib seorang wanita yang bekerja sebagai karyawati di kantor kecil sepertiku ini memaksa agar setiap pagi harus berangkat lebih awal, pulang pun harus yang paling belakangan. Paman dan bibi sering berkata bahwa begitulah awal mula seseorang menggapai kesuksesan. Mereka harus bersusah-susah dahulu baru bersenang-senang di hari kemudian. Tapi, kunyahan makanan tiba-tiba terhenti. Sesaat usai kudapati nama Refan pada telepon genggam milik Harum, yang tak sengaja ditinggalkan bersama tas jinjing berwarna merah muda di atas meja. Niat hati ingin menjawab panggilan masuk itu segera batal. Harum terlihat keluar dari arah kamar mandi wanita. Dering panggilan yang menghujam juga terhenti. Membuatku berharap agar Harum menjelaskan sosok Refan yang baru saja menghubunginya. Namun, “Mengapa kau terlihat pucat pasi seperti itu, Ra?” Harum bertanya. Ia menjejalkan p****t sambil mengecek ponsel. Sudah jelas bahwa terdapat notifikasi panggilan masuk dari seseorang saat itu. Sosok pria yang kukenal. Tetapi, Harum tidak bergeming seolah ia tak menganggap panggilan itu ditujukan untuk hal penting. Terpaksa, aku hanya bisa terdiam. “Ra?” Tiba-tiba saja, Harum kembali mengeluarkan suara. Berpamitan bahwa ia harus segera kembali ke kedai. “Tapi, mengapa kau terburu-buru? Apakah ada seseorang yang sedang menunggumu?” Pertanyaan konyol itu pada akhirnya terlontar. Padahal, aku sudah berusaha menahan agar tidak terlalu kentara dalam mencurigai Harum dan Refan. Selama ini, mereka berdua memang cukup dekat. Terutama ketika Harum mulai sering beralasan kalau ia membutuhkan nasihat dari Refan sebagai pakar dalam bisnis makanan. Pada akhirnya, nyali untuk membuntuti Harum kujalankan. Beruntung, masih ada dua puluh menit waktu tersisa sebelum aku kembali ke kantor. Bermodalkan taksi berwarna putih, aku meminta sopir untuk mengikuti mobil milik Harum dari arah belakang. Beruntung, aku memang tak memiliki kendaraan roda empat. Jadi, tidak ada alasan untuk menyetir mobil hingga ketahuan sedang membuntuti Harum secara diam-diam. *** Beberapa saat setelah menempuh perjalanan. Kulihat bahwa Harum memberhentikan kendaraan roda empat pada sisi depan lobi hotel. Padahal, dia berpamitan untuk kembali ke kedai. Sialnya, bangunan bertingkat itu juga pernah kudatangi beberapa kali bersama Refan. Bukan untuk bermalam. Melainkan, kami datang ke sana hanya untuk melangsungkan makan malam bersama beberapa teman alumnus Refan. Itu pun dapat terhitung oleh jari. Kami jarang sekali makan di tempat-tempat eksklusif seperti itu. “Neng? Bagaimana?” Sopir taksi bertanya. Jujur saja aku merasa bingung. Jika, tak kuikuti Harum. Maka, aku akan terus dihantui oleh rasa penasaran. Tapi, jarum pada jam benar-benar tak mendukung. Sepuluh menit lagi, kepala divisi letakku sedang bekerja akan menelepon karena mendapati salah satu pegawainya belum kembali dari agenda makan siang. Entah mengapa hati dan pikiran sedang tidak berjalan dengan sinkron. Tiba-tiba saja, kubayarkan tagihan taksi dan beranjak keluar dari dalam kendaraan berwarna putih. Kulangkahkan tungkai sesuai arah tuju Harum pada beberapa detik lalu. Kini, beberapa meter dari arah lift kudapati bahwa Harum sedang mencium pipi kanan dan kiri seorang laki-laki. Dia pria tampan dengan tubuh tegap serta penampilan cukup berkelas. Sebut saja, Luki. Dia adalah lelaki yang sudah dikencani oleh Harum selama satu tahun. Memang, tak selama usia hubunganku dengan Refan. Tapi, mereka terlihat lebih serius dalam menjajaki hubungan yang mengarah ke jenjang pernikahan. “Apa yang sedang kupikirkan? Mengapa aku berpikiran macam-macam tentang Harum dan Refan? Mereka tidak mungkin berbuat macam-macam di belakangku. Harum memiliki pria tampan nan kaya raya, yang lebih perhatian padanya dari pada sosok Refan yang kukenal sekarang.” Percuma saja aku mengoceh pada diri sendiri seperti itu. Yang ada, beberapa security memandangku seperti seorang yang sedang tidak waras. Parahnya! Ketidakwarasan itu menjadi kenyataan ketika dering ponsel dari dalam tas terdengar. Nama Pak Kepala Divisi muncul pada layar. “Dia pasti akan mengumpatku habis-habisan,” Aku menebak. Lalu, kulangkahkah kaki keluar dari sisi lobi tanpa menyahut panggilan dari seberang. Sebelum kembali mencegat taksi, manik pada mata ini menjumpai mobil SUV yang tak asing. Spontan, kumundurkan langkah untuk bersembunyi di balik pilar berukuran cukup lebar. “Terima kasih ya, Pak,” Kudengar secara samar bahwa Refan berucap demikian sambil menyodorkan kunci mobil pada petugas valet, yang sedang bekerja di sebuah hotel berbintang lima.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD