bc

Selingkuh Sebelum Menikah

book_age18+
5
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
sex
contract marriage
one-night stand
second chance
arranged marriage
bxg
affair
friends with benefits
naive
like
intro-logo
Blurb

Berpacaran selama lima tahun dengan Refan, bukan berarti aku bisa mempercayai dia dengan sepenuh hati. Terbukti kalau pria yang selama ini kuanggap baik, pengertian dan perhatian itu berani berselingkuh. Tak hanya satu kali. Bahkan dalam satu waktu, wanita yang menjadi selingkuhannya terdiri dari beberapa orang wanita.

***

“Dari pada aku makan hati setiap hari. Lebih baik kita putus mulai dari sekarang, Refan! Mari batalkan rencana pernikahan kita.”

Keputusan itu tercetus dengan begitu saja. Wanita mana yang tak sakit hati ketika mendapati pria yang dicintai berkata seperti itu? Meminta agar aku memberi pengertian akan kebutuhan biologis yang tidak bisa ditahan oleh Refan sebelum kami menikah? Memintaku untuk mengijinkan dia berselingkuh secara terang-terangan? Lebih baik kupupuskan keinginan untuk menjalin rumah tangga dengan Refan Andrea. Semua wanita menginginkan pernikahan terbaik. Termasuk aku yang sudah rindu untuk membangun sebuah keluarga, menginginkan pasangan terbaik dalam hidup. Tapi, tidak dengan Refan yang ingin bertindak semaunya. Dia mengatakan hal sepicik itu dengan dalih karena aku tidak bisa memberi kepuasan seperti yang dia inginkan.

***

Namun, siapa sangka kalau ada wanita lain yang selama ini berhasil disembunyikan oleh Refan dengan rapat-rapat. Bahkan dia mengatur rencana dengan sedemikian rupa agar aku tidak mengetahui sosok selingkuhannya yang satu itu. Yah. Harum. Dia sahabatku. Sosok yang selama ini tak henti memberi nasihat mengenai asam manis dan pahit kehidupan. Harum membohongiku. Dia tega merebut Refan. Parahnya, Harum memiliki rahasia besar. Setelah rahasia tersebut terkuak akankah Harum berhenti mengencani Refan, yang kini telah kunikahi karena sebuah keterpaksaan? Ataukah, mereka berdua justru menjadi hilang akal?

chap-preview
Free preview
UKURAN BRA
“Ukuran apa ini?” Seketika bola pada kedua manik mata milikku melebar. Waktu itu, sebuah pesan berasal dari nomor tak dikenal berada pada baris pertama di dalam ponsel milik kekasihku. Nama pria itu adalah Refan. Dia adalah laki-laki yang sudah menjalin hubungan selama lima tahun denganku. Tidak terasa, tahun ini merupakan tahun di saat kami berjanji akan melangsungkan pernikahan. Namun, di waktu petang yang tidak terduga ini aku justru mendapatkan sebuah pesan aneh ketika tidak sengaja mengecek ponsel milik dia. Lebih tepatnya, aku hanya sedang diminta untuk menyambungkan daya pada telepon genggam milik Refan. Namun, entah mengapa dorongan diri untuk membuka aplikasi perpesanan segera muncul ketika satu baris pesan tampak berisikan angka dan huruf pada kolom notifikasi. **0813-3315-xxx : “Ini ukurannya 36D. Jangan lupa.” (pesan disertai dengan emoticon tersenyum malu) Nyaris saja aku membanting ponsel milik Refan. Bagaimana tidak, di saat membuka pesan itu, beberapa deret pesan ditujukan secara berulang oleh si pengirim. Anehnya, Refan tampak tak memberi balasan sama sekali. Hanya ada pesan masuk tanpa ada pesan terkirim yang sudah diketikkan oleh Refan pada sebelumnya. Apa dia sengaja menghapus balasan pesan yang dikirimkan pada si wanita? “Sayang?” Tiba-tiba saja, suara pria yang semula berpamitan menuju kamar mandi terdengar. Refan menyapaku yang saat itu sedang terkejut setengah mati. Dia kembali mengeluarkan suara, “Ada apa? Apa yang kau lihat sehingga terperanjat seperti itu?” Sialnya, Refan segera menyadari bahwa telepon genggam miliknya sedang berada di tangan kanan milikku. Sedangkan, sambungan kabel untuk menghantarkan daya belum terpasang pada stop kontak listrik. Dengan bergegas, Refan datang menghampiri sambil merampas ponsel miliknya dengan kasar. Dia membentak, “Lain kali, jangan melihat apa pun ketika kuminta mencharger ponsel!” Suara itu terdengar melengking tinggi seolah aku tak dapat mendengar dengan baik. Padahal, jarak bicara kami sungguh amat dekat. Setelah menyaksikan Refan membentak dan menampakkan raut marah, aku melipir pergi dari sisi dalam kamar. Sebenarnya, Refan dan aku sudah memutuskan untuk membeli bangunan apartemen dengan uang hasil jerih payah kami selama bekerja. Apartemen itu akan menjadi tempat tinggal ketika kami selesai menikah nanti. Tapi, ada satu dua alasan yang membuat Refan harus menempati bangunan itu lebih awal. Mengingat, selama ini Refan bekerja di kota yang jauh dari tanah kelahiran. Aku merasa bahwa tidak memiliki alasan untuk melarang Refan tinggal di sana. Toh, sebentar lagi apartemen itu juga akan menjadi tempat tinggal kami berdua. Namun, anehnya beberapa kali Refan melarangku untuk datang ke apartemen secara terang-terangan. Ia berdalih bahwa teman-teman prianya sering datang dan membuat seisi ruang menjadi berantakan. Hingga detik itu, aku masih berteguh bahwa Refan tidak beralasan. Aku percaya pada dia. Kuputuskan untuk melanjutkan kegiatan memasak di bagian dapur. Selagi menggerakkan pisau di atas talenan, detik itu juga aku menyadari bahwa ukuran yang disebutkan oleh si pengirim pesan adalah ukuran bra milik seorang wanita. Seketika, kedua tungkai ini terasa lemas. Tanpa berpikir panjang, aku kembali berjalan untuk menghampiri Refan yang sedang berada di kamar. Melihatnya bersibuk dengan ponsel, aku segera berjalan cepat dan merampas telepon genggam itu. Namun, cengkraman tanganku kalah dengan kekuatan otot lengan yang digunakan oleh Refan dalam mempertahankan keberadaan telepon genggam. Refleks, “Kau sedang berkirim pesan dengan siapa hingga tertawa riang seperti itu, Refan?” Aku memekikkan suara. Tak lagi bisa menahan amarah yang sudah memuncak di ubun-ubun kepala. Pria yang masih tak bergerak dari posisi duduk di sebuah sofa, terlihat menurunkan sudut bibir. Refan mengubah garis senyum yang semula terbahak usai membaca pesan dari seseorang. Ia berpindah pada gurat serius dengan penampakan menyeramkan. Berujar, “Memang, mengapa? Apa dia ada hubungannya denganmu?” Refan menyahut sambil menggerakan ponsel menggunakan tangan kanan. “Kau? Kau sedang berselingkuh dariku, kan?” Aku sudah tidak bisa menahan diri. Saat itu, kulakukan segala cara untuk mengambil alih telepon genggam dari tangan Refan. Tetapi, tak seperti sebelumnya. Refan terlihat membiarkanku mendapatkan ponsel itu. Dengan segera kubuka aplikasi perpesanan. Kutujukan jemari pada nomor yang cukup mudah untuk dihafal. Aku kembali menaikkan nada. Bertanya, “Siapa dia? Mengapa dia mengirimimu ukuran bra wanita?” Refan terdiam. Namun, aku tahu betul bahwa diam yang dilakukan olehnya sedang menampakkan raut mengejek di wajah. Aku semakin geram. Kuulang pertanyaan itu sebanyak satu kali lagi. Pria yang masih belum beranjak dari duduk memberi jawaban, “Baiklah. Dia adalah Becca. Kau mendengarku menyebutkan nama Becca, kan? Dari namanya saja dia sudah tergambar cantik. Apa lagi tubuhnya? Kau bisa bayangkan sendiri wanita dengan ukuran p******a 36D itu sebesar apa? Putih, kenyal dan pastinya menggoda.” Sahutan itu mengejutkanku. Selama lima tahun kami berpacaran, Refan belum pernah berujar demikian. Selama itu, sosok Refan yang kukenal adalah pria baik hati, pengertian, perhatian serta banyak hal baik lain. Sungguh, aku tidak pernah mendapati perangai asli seperti yang ditunjukkan oleh Refan baru saja. “Kurasa, kau sudah tak waras,” Aku menyahut ketus. Ada rasa bergetar penuh amarah di di dalam d**a. Kuputuskan untuk melempar ponsel itu ke arah tubuh Refan. Dan, “Justru karena aku masih waras, Ra. Maka dari itu, aku bertindak sebagaimana mestinya.” Kali itu, nada bicara Refan berubah menjadi berat. Dia telah beranjak dari posisi duduk semula. Kini, jarak pandang kami berubah. Refan berada jauh lebih tinggi sebanyak dua puluh centi. Aku terpaksa mendongak untuk menyaksikan tatapan sangar itu. Refan kembali berkata, “Kinara Bening Riyanti? Apa kau lupa dengan bagaimana aku bertahan dalam hubungan kita selama ini?” DEG! Perasaanku mulai tidak enak. Bagaimana tidak, selama berpacaran kami memang hampir tidak pernah melakukan kontak fisik lebih dari berpelukan dan berciuman. Aku menganggap bahwa dua hal itu sudah lebih dari cukup di dalam hubungan kami yang masih berstatus pacaran. Bodohnya, aku berpikiran bahwa peluk dan cium itu sudah dapat memuaskan Refan dalam hubungan kami selama lima tahun. Tapi, ternyata tidak. Aku baru tersadar kalau beberapa bulan lalu Refan cukup berubah setelah aku menampik tangan kanannya yang berniat meremas payudaraku ketika kami sedang berciuman. Waktu itu, aku segera melepaskan diri dari Refan yang sudah berhasil memasukkan tangan kanannya ke dalam pakaian milikku. Bergegas kutinggalkan Refan karena enggan membuat naluri di antara kami menjadi hilang kendali. Bagaimana pun, aku sempat mendengar bahwa semua itu bermula dari berpegangan tangan, berpelukan, berciuman dan ah sudahlah, rasanya aku tidak ingin membahas hal itu dengan lebih jauh lagi. “Aku juga membutuhkan hal-hal yang selama ini dibutuhkan oleh pria lain, Ra!” Refan membentak teruntuk kesekian. Ia menambahkan, “Meremas dadamu saja, aku tidak boleh. Bagaimana dengan bersandar, melumat dan memberikan tanda merah di sana? Haish! Sampai kapan aku berkencan dengan seseorang yang senaif kau itu, Ra?” “Tapi, Refan. Sebentar lagi, kita akan menikah. Tidakkah kau bisa bersabar hingga acara pernikahan diberlangsungkan?” Aku bersikeras pada pendirian. “Yah, yah! Aku tahu kalau itulah yang akan kau katakan. Maka dari itu, jangan salahkan aku ketika aku mengencani wanita di luar sana yang bisa membalaskan rasa penasaran akan hasrat terpendamku selama ini. Jangan salahkan kalau ada wanita lain, yang dengan senang hati menuruti semua kemauanku hanya dengan kubelikan bra baru.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook