bc

Happy ending for F

book_age18+
974
FOLLOW
4.7K
READ
mate
dominant
independent
drama
sweet
bxg
office/work place
colleagues to lovers
assistant
like
intro-logo
Blurb

Jika di dalam sebuah cerita, Fatma menganggap dirinya hanya pemeran pendukung. Yang kisah hidupnya tidak pernah diceritakan, juga tidak jelas akan berakhir Happy ending atau sebaliknya. Namun kedekatannya yang tiba-tiba dengan atasannya sendiri, mulai membuat Fatma berharap dirinya menjadi pemeran utama dari ceritanya sendiri.

Ferdinan adalah langitnya, namun Fatma terlanjur terbuka untuk bisa menggapai langit. Sampai sebuah kejadian mematahkan sayapnya dan jatuh, hingga dirinya meragu akankah ada Happy ending untuk kisahnya itu.

chap-preview
Free preview
1
Suasana pagi itu ramai. Suara ketukan sepatu yang teratur terdengar dimana-mana, bunyi suara bersahutan atau timpang tindih tidak terasa mengganggu sama sekali. Bahkan teriakan memekikkan dari orang-orang yang memanggil nama temannya, sudah bukan hal yang akan jadi sorotan. Di tengah itu, seorang wanita berpostur tinggi dengan blouse warna biru muda, hak setinggi lima senti berwarna kelabu, dengan rok span warna hitam itu, berjalan tergesa sambil memeluk berkas yang dibawanya. Tidak seperti manusia yang lain, dia bahkan tidak punya waktu hanya untuk memperhatikan sekitar demi mencari tahu adakah orang yang dikenalnya di lobi kantor itu. Waktunya sangat berharga, bukan karena dirinya seseorang perfeksionis atau semacamnya, namun atasannya termasuk orang yang agak rewel jika sudah menyangkut soal pekerjaan. Dan salahkan alarm HP bututnya yang mati itu, sehingga dirinya gagal bangun tepat waktu dan hanya sempat untuk membersihkan dirinya dengan gaya ninja lalu menyemprotkan minyak wangi sebanyak-banyaknya. Adalah Fatma Maulida, seorang b***k Korporat yang patuh dan bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaannya. Atasannya bernama Ferdinan, seorang Direktur marketing bertangan emas yang selalu berhasil mencapai target penjualan setiap bulan. Walaupun yang melakukan perdagangan memang para sales, namun Ferdinan adalah yang selalu mengadakan rapat dengan pada bawahannya setiap dua minggu sekali, bukan hanya saat akhir bulan saja. Itulah yang membuat Fatma, yang merupakan sekretaris Ferdinan untuk pintar-pintar dan juga teliti untuk menyusun jadwal atasannya itu. Ting. Fatma menarik turun rok yang dipakainya, mengangkat posisi berkas dalam pelukannya sebelum kakinya beranjak masuk ke dalam kotak besi di depannya itu. Beruntung dirinya memiliki ijin untuk menggunakan lift khusus petinggi, sehingga tidak harus berdesakan dengan karyawan lain yang bisa ia lihat saat ini sedang mengantri di depan dua buah pintu lift yang masih belum terbuka. Tatapannya menunduk, namun kemudian terangkat begitu terdengar langkah sepatu yang ketara. Ia mendongak, tersenyum formal saat seorang wanita cantik dengan jilbab berwarna coklat memasuki bilik besi yang sama dengannya. "Selamat pagi, Bu Nares!" sapanya sopan. Wanita yang berdiri satu langkah di depannya itu menoleh dengan senyum ramah. "Pagi, Faymat!" balasnya. Matanya turun memandangi berkas yang dipeluk Fatma. "Kamu terlihat sibuk seperti biasa," lanjutnya. Fatma mengulum senyum kecil sambil ikut menunduk menatapi map di pelukannya. "Seenggaknya pekerjaan saya setara saya gaji yang saya dapat setiap bulan, Bu," jawab Fatma. Nares tertawa kecil, wanita cantik itu memundurkan langkah hingga kini sejajar dengan Fatma. "Kamu harus protes kalau bos kamu itu udah keterlaluan ya! Jangan mau disuruh-suruh dia," cetusnya. Fatma ikut tertawa, kepalanya mengangguk dengan santai. "Akan saya ingat, Bu." Nareswari, seorang Direktur Personalia sekaligus anak dari pemilik perusahan itu adalah wanita yang disukai oleh bosnya. Mendengar dari kabar yang pernah beredar, Nares dan Ferdinan adalah teman semasa kuliah. Dan Bosnya sudah menyukai wanita yang kini sedang menatap tombol lift itu sejak mereka kuliah. Tapi Fatma cukup takjub karena ternyata cinta bosnya itu bertepuk sebelah tangan. Meskipun mereka berdua terlihat sangat dekat bahkan kedekatan mereka itu cukup untuk menciptakan sebuah rumor tentang hubungan mereka, namun pada kenyataannya Nares tidak pernah membalas perasaan Ferdinan dengan sama besarnya. Bagi wanita cantik ini, Ferdinan hanyalah sahabat dekatnya. Poor Ferdinan. Fatma tersentak saat tiba-tiba lengannya terasa ditepuk dengan pelan. Pelakunya adalah Nares yang tengah menatap bingung ke arahnya. "Kamu engga mau turun?" Fatma gelagapan, saking asiknya menertawakan nasib bosnya itu, dia sampai tidak menyadari jika dirinya sudah sampai di lantai yang sering disebut sebagai sarang Direktur. Ia mengangguk kikuk, menunggu sampai Nares keluar lebih dulu. Saat wanita itu berkata dia akan ke ruangannya, Fatma hanya tersenyum formal dan kemudian berjalan ke arah ruangannya sendiri. Di sebuah meja marmer di depan ruangan bertuliskan Direktur Marketing, Fatma meletakan tasnya ke dalam sebuah nakas kecil yang ada di bawah meja. Berkas yang sedari tadi dengan setia dia peluk itu, ia taruh begitu saja di atas meja miliknya. Tangannya menyalakan perangkat komputer, membuka aplikasi yang biasa ia gunakan sebagai tempat dirinya menyusun jadwal kerja atasannya, dan kemudian membiarkannya begitu saja. Ia duduk dengan tegak, kemudian berubah menjadi berdiri saat suara langkah kaki yang terdengar berat mendekat ke arahnya. "Selamat pagi, Pak!" sapanya. Ia tersenyum dengan ramah pada seorang pria berambut cepak yang tertata rapi dengan setelan jas kerja mahal yang baru saja datang. "Pagi, Fatma! Apa jadwal saya hari ini?" tanya Ferdinan. Pria yang penampilannya mencolok itu sempat melirik dan tersenyum manis terhadapnya, hal biasa yang selalu Ferdinan lakukan karena bosnya itu memang orang yang ramah dan easy going. Hanya saja tidak banyak yang tahu seperti apa Ferdinan jika tidak puas dengan hasil pekerjaan bawahannya jika bukan bawahannya sendiri. Berdeham pelan, Fatma bergerak menjauh dari meja nya dan berjalan mengekori Ferdinan yang memasuki ruangan. "Jadwal Bapak hari ini...." * "Menunya aku kurang suka. Tahu gini kita tadi makan di luar aja." Fatma mengangkat pandangan, menatap wanita cantik berambut pendek yang tadi baru saja mengeluh. "Makan aja, Tan. Sayang banget kalau udah ngambil tapi engga dimakan," tegur Fatma pelan. Ia menyendok semur telor dari piringnya kemudian memindahkannya ke depan perut dengan perantara mulut miliknya. "Iya, Tan. Lagian engga akan keburu kalau kita makan di luar, jam istirahat gini jalanan macet. Engga asik kan kalau kita kena tegur cuma karena telat balik kantor," sahut Megi. Katanya, mereka bertiga selalu disebut sebagai geng sekretaris Direktur. Pasalnya mereka bertiga memang sekretaris dari pada Direktur yang ada di perusahaan ini. Fatma sudah jelas merupakan sekretaris dari Direktur Marketing, Kintan yang tadi mengeluhkan tentang menu makanan di kafetaria yang sedang mereka kunjungi ini adalah sekretaris dari Direktur personalia, yang tidak lain dan tidak bukan adalah wanita cantik yang tadi satu lift dengan Fatma. Dan satu lagi yang terakhir dan yang paling tidak suka kekacauan adalah Megi, seorang sekretaris Direktur keuangan. "Tapi aku kurang suka yang telur-telur gini." Kintan masih mengeluh, bibirnya mengerucut dengan lucu dan tangannya hanya mengaduk makanannya dengan tidak teratur. Fatma menggeleng, matanya melirik ke arah Megi yang juga hanya menghela nafas melihat kelakukan temannya itu. "Yaudah, pesan jus aja sana! Daripada perut kamu malah engga keisi sama sekali," saran Megi. Mendengar temannya menyetujui keinginannya untuk tidak memakan makanan di depannya itu, wajah Kintan berbinar. Gadis itu langsung bangun dari duduknya dan berlari kecil ke arah counter untuk memesan jus seperti apa yang disarankan oleh Megi. "Pak Ferdi makan sama Bu Nares?" Megi bertanya sambil menyuap nasi miliknya. Tidak langsung menjawab, Fatma justru memilih untuk meminum air mineral miliknya terlebih dulu sebelum menoleh ke arah teman kerjanya itu. "Engga kayaknya, soalnya tadi aku lihat Bu Nares masih di ruangannya. Tapi Pak Ferdi udah pergi dari sebelum jam istirahat," jawab Fatma. Alis Megi berkerut, matanya melirik ke arah Kintan yang sedang mengantri bersama karyawan lain yang memiliki tujuan yang sama dengan gadis itu. "Bosnya bahkan masih di ruangan, tapi anak buahnya udah riweh ngeluh soal makanan," gumamnya dengan menggelengkan kepala kecil. Fatma tertawa, tangannya mendorong piring miliknya yang sudah tandas. "Kamu kayak engga tahu Kintan aja, bahkan Bu Nares sampe frustasi ngadepin dia. Engga tahu deh mana yang bos mana yang bawahan," sahutnya geli. Ini benar. Kadang Fatma bahkan Megi kerap meringis dan khawatir karena sikap Kintan yang blak-blakan. Meskipun jika dalam pekerjaan Kintan sangat bisa diandalkan, namun ucapannya yang kadang meluncur tanpa pikir panjang itu kerap kali membawa masalah. Beruntung yang menjadi bosnya adalah Nares yang dikenal lembut dan pengertian. Fatma tidak bisa membayangkan jika saja Kintan adalah bawahan langsung Ferdinan, bisa-bisa gadis mungil itu sudah sejak lama menjadi pengangguran. Megi tertawa geli. Kemudian dia buru-buru menutup mulutnya saat melihat kedatangan Kintan dengan tangan yang memegangi nampan berisi tiga cup jus. "Banyak amat, buat kita juga?" tanya Megi heran. Rambut Kintan langsung bergoyang saat gadis itu mengangguk beberapa kali. Tangan mungilnya menaruh satu persatu gelas cup di depan Megi dan juga Fatma. "Aku ganti uangnya." Fatma sudah siap mengeluarkan uang dari dalam kantongnya saat Kintan dengan gaya dramatis mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Jangan kamu nodai niat baikku, Kawan! Aku tuh niat sedekah sama kalian, jadi terima aja," katanya. Fatma dan Megi saling berpandangan, kemudian dengan kompak mereka berdecak sambil menarik jus mereka masing-masing lebih dekat. "Dengar kamu ngomong gitu, aku jadi semakin engga rela dibayarin kamu," sungut Megi. Kintan tertawa geli, kemudian gadis itu menyeruput jus miliknya dengan semangat 45. Bertolak belakang sekali dengan saat tadi berhadapan dengan senampan jatah makan siangnya. Fatma hanya menikmati jus miliknya dalam diam, sedangkan Megi sudah sibuk dengan ponsel keluaran terbaru miliknya. Dan Kintan justru sibuk mengitari seisi ruangan itu dengan matanya, kebiasaan yang selalu Kintan lakukan karena temannya itu sangat suka memperhatikan orang-orang. Fatma jadi ingat, saat pertama berkenalan dengan Kintan, gadis itu berperilaku aneh dengan sok-sok menebak kepribadian Fatma padahal saat itu mereka baru pertama bertemu. Kemudian di hari selanjutnya, Fatma baru tahu jika temannya itu dulu memiliki cita-cita untuk menjadi Psikolog, terinspirasi dari semua novel atau komik yang dibaca oleh Kintan. Namun Kintan tidak berhasil masuk ke jurusan Psikologi karena Ayahnya menentang dan meminta Kintan masuk ke jurusan Manajemen. Dan disinilah gadis itu berakhir, duduk bersama Fatma dan juga Megi yang memiliki nasib sama sebagai seorang sekretaris. Walaupun begitu, Fatma yakin Megi dan Kintan pasti juga bersyukur berada di kantor sebesar Magnum dengan gaji yang besar, jam kerja yang tidak menekan, dan juga atasan yang murah hati dan tidak otoriter. Sehingga mereka bisa menjalani pekerjaan dengan baik walaupun bukan bidang yang mereka mau. **

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.8K
bc

My Secret Little Wife

read
98.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook