Pagi esok harinya, Fatma dikejutkan dengan kedatangan seorang pria yang selama tiga hari ini tidak dia lihat. Ferdinan kembali datang ke kantor dengan membawa kehebohan gosip yang langsung merebak, menebak-nebak jika pria ini memang benar-benar adalah pria yang sudah berhasil menjadi suami dari Nareswari.
Wajah Ferdinan tampak tidak baik ketika dia berjalan menuju ruangannya, namun begitu pria itu menyadari bahwa Fatma sudah datang dan bersiap untuk menyambutnya, raut itu langsung berubah. Dengan senyum ramah seperti biasa, yang malah kali ini terlihat janggal di mata Fatma.
Bukannya menyapa dengan kata selamat pagi seperti biasa, Fatma justru melemparkan sebuah pertanyaan pada atasannya itu.
"Anda baik-baik saja, Pak?"
Netra Ferdinan sempat terlihat terkejut mendengar pertanyaannya, namun setelah itu Ferdinan langsung menguarkan senyum yang bahkan lebih lebar dari sebelumnya.
"Saya baik-baik saya. Tapi sepertinya sebentar lagi akan sangat sibuk," kelakar pria itu.
Fatma mengangguk kecil sebagai tanggapan dari lelucon atasannya itu. Dia kemudian bergerak mendekat ke arah pintu, membukakan pintu di depannya itu untuk Ferdinan.
"Wow! Ternyata benar kalau saya akan sangat sibuk!"
Seruan Ferdinan terdengar tatkala bosnya itu melihat banyaknya tumpukan dokumen di atas meja kerjanya.
"Itu karena Bapak tidak masuk selama tiga hari," balas Fatma. Dia masih menjaga jarak dari atasannya itu, membiarkan Ferdinan berjalan ke arah meja kerjanya yang tampak kurang rapi.
Tawa Ferdinan menguar setelahnya, tangan besarnya yang terbalut lengan kemeja terlihat menyalakan komputer yang ada di atas meja. Mengambil dokumen yang ada di tumpukan paling atas, karena Ferdinan pasti sudah mengetahui jika Fatma membiarkan dokumen yang harus lebih dulu ditangani berada di posisi paling atas agar memudahkan Ferdinan dalam memeriksanya.
"Kemarin Pak Presdir sempat menanyakan Bapak," beritahu Fatma.
Kepala Ferdinan mengangguk sambil mendongak ke arah Fatma.
"Iya, saya akan menghubungi beliau secara langsung."
Fatma kembali mengangguk. Namun hal yang ingin dia sampaikan pada atasannya itu bukan hanya itu, melainkan tentang satu sosok lain yang juga mencari keberadaan Ferdinan karena Ferdinan tidak berada di kantor tanpa alasan yang jelas.
Dan nampaknya sikap kikuk yang ditunjukan oleh Fatma berhasil ditangkap dengan baik oleh Ferdinan, hingga bosnya yang sudah mulai sibuk dengan pekerjaannya itu kembali menatap padanya.
"Ada lagi?"
Menghela napas pelan, Fatma kemudian membalas tatapan mata atasannya.
"Itu... Bu Nares juga mencari Bapak."
Fatma yakin jika ucapannya tadi membuat Ferdinan sedikit terkejut. Tangan pria itu yang sedang sibuk antara dokumen dan layar komputer di depannya, langsung terhenti sebelum kemudian sebuah lelucon yang tidak lucu keluar dari mulutnya. Lelucon yang dianggap Fatma sebagai cover untuk menutupi rasa patah hati yang masih menyiksa atasannya itu.
Namun Fatma tidak berniat untuk ikut campur lebih jauh, sehingga kemudian dia hanya menawari kopi seperti biasa pada Ferdinan.
Ketika dia berlalu keluar dari ruangan dan bergegas ke arah pantri untuk membuatkan Ferdinan kopi yang sama seperti permintaan atasannya itu, langkahnya menjadi kaku saat melihat sosok lain masuk dengan terburu-buru ke dalam ruangan atasannya.
Nareswari yang cemas karena sahabatnya tidak masuk kantor tanpa alasan setelah kabar pernikahannya tersebar, langsung mendatangi Ferdinan secara langsung hanya dalam waktu singkat setelah mendengar kedatangan pria itu.
Fatma menunduk, menatap ke arah kopi yang ada di tangannya. Dia merasa mungkin obrolan antara atasannya itu tidak akan berjalan singkat, dan jika menunggu terlalu lama atau nekat menerobos masuk lagi seperti apa yang dia lakukan sebelumnya, sepertinya bukan lah pilihan yang tepat. Sehingga kemudian Fatma memilih meminum kopinya sendiri dan akan membuatkan yang baru untuk Ferdinan saat Nares sudah kembali keluar dari ruangan bosnya.
*
Waktu masih menunjukan pukul lima lebih sepuluh menit saat Fatma keluar dari lingkungan kantor. Biasanya dia baru akan pulang sekitar pukul enam jika Ferdinan sudah pulang, namun hari ini meksipun atasannya yang baru masuk kantor itu masih belum pulang dan beralasan lembur, namun Fatma sudah meminta izin untuk pulang lebih dulu karena ada tempat yang harus dia kunjungi.
Dengan menggunakan ojek online, dia menuju ke sebuah tempat yang sudah sangat sering dia kunjungi hingga muak. Namun begitu dia tetap harus mendatangi tempat itu karena untuk mengabaikannya pun, itu akan sulit.
Membutuhkan waktu sekitar lebih dari tiga puluh menit karena harus terjebak kemacetan kendaraan lain yang juga baru pulang bekerja, Fatma akhirnya tiba di sebuah gedung rumah sakit besar.
Bukan merupakan rumah sakit biasa, melainkan rumah sakit jiwa yang dihuni para manusia bergangguan mental. Tempat Ibunya dirawat sejak lama.
Keadaan riuh yang sudah sedikit berkurang karena sebagian Pasien sudah kembali masuk ke kamar rawat mereka, membuat Fatma setidaknya merasa lebih aman dan tidak merasa cemas seperti biasanya. Langkahnya itu menuju ke sebuah taman yang ada di tengah bangunan, yang biasanya dihuni oleh banyak pasien yang bermain dengan para perawat, atau sekedar duduk dengan mata kosong, seperti yang dilakukan oleh Ibunya.
Fatma berhenti, matanya sendu memandang wanita yang sejak kecil tidak pernah dia rasakan kasih sayangnya. Dia bahkan tidak pernah sekalipun dapat mengobrol dengan normal seperti anak dan Ibu pada umumnya, karena semenjak Fatma masih bayi, Ibunya sudah memiliki gangguan itu.
Dulu, akibat melahirkan Fatma setelah mengalami banyak kesulitan saat hamil seperti mual muntah yang tidak ada habisnya, pendarahan yang berulang kali, Ibunya kemudian mengalami baby blues yang mengakibatkan dirinya tidak bisa memiliki simpati dan kasih sayang terhadap Fatma.
Fatma diurus oleh Ayahnya sejak dulu karena kondisi yang seperti itu, tapi kemudian Fatma harus tumbuh dewasa dengan sendirinya saat Ayahnya meninggalkannya, dan membuat keadaan ibunya semakin buruk hingga dengan sangat terpaksa Fatma harus menyerahkan ibunya ke rumah sakit jiwa ini.
"Mama.." panggilnya pelan.
Tidak ada jawaban dari Mamanya, pandangan wanita itu hanya terus menatap kosong ke depan sambil memegangi bagian perutnya. Hal yang membuat rasa bersalah Fatma tidak pernah bisa hilang. Mamanya tidak bisa lagi mengandung setelah melahirkan Fatma, dan itu membuat gangguan Baby blues yang dialami oleh Mamanya berubah parah hingga sulit untuk menganggap Fatma sebagai anaknya.
"Ma, udah sore. Kenapa Mama enggak masuk ke kamar?" tanya Fatma sambil berlutut di hadapan wanita itu.
Dulu rasanya sulit untuknya bertahan saat teman-temannya mencemooh dirinya hanya karena Fatma memiliki ibu yang harus dirawat di rumah sakit jiwa. Namun sedikit pun Fatma tidak pernah menyalahkan ibunya, karena sumber dari masalah ini ada padanya. Kadang terpikir di benaknya, kalau saja dia tidak lahir mungkin hingga saat ini Mama dan Papanya masih bisa hidup dengan bahagia walaupun tanpa memiliki anak. Atau mereka masih bisa tetap bahagia dengan mengadopsi anak, dengan begitu Mamanya tidak akan mengalami hal ini.
"Keadaan Ibu Risa sudah lebih baik."
Fatma terkejut, dia langsung bangun dari posisinya dan berhadapan dengan salah satu perawat, sedang perawat yang lain berusaha berbicara dengan Mamanya.
"Walaupun memang masih sulit beliau buat berkomunikasi dengan orang lain, tapi Ibu Risa sudah mulai mau makan dengan teratur dan tidak pernah menolak obat-obatan yang kami berikan."
Mata Fatma kembali menoleh pada ibunya, padahal sejak tadi Ibunya tidak merespon semua panggilan dan kalimatnya. Namun sekarang ibunya tampak menanggapi semua yang dikatakan oleh salah satu perawat yang tengah berbicara padanya.
"Apa ada kemungkinan saya bisa membawa pulang Mama saya?" tanya Fatma dengan pelan.
Dia tersenyum miris saat perawat yang ada di sampingnya beberapa saat tidak menjawab pertanyaannya.
"Itu sulit," jawab perawat itu kemudian. "Sebenarnya bisa saja Mbak membawa Ibu Risa kembali pulang, namun kalau sampai Bu Risa gagal mengenali rumah sebagai tempat yang aman dan nyaman untuknya, maka keadaan Bu Risa hanya akan menjadi lebih buruk."
Sebuah jawaban yang mematahkan harapan Fatma, karena secara tidak langsung perawat itu mengatakan jika mustahil untuk Mamanya kembali pulang. Pasalnya di rumah yang kini Fatma tinggali, sama sekali tidak ada kenangan indah yang tersisa. Satu-satunya kenangan indah yang dimiliki oleh Mamanya adalah tentang pernikahannya yang bahagia sebelum Fatma lahir, dan itu hanya akan membuat Mamanya terluka karena sosok suaminya sudah tidak ada lagi.
"Jangan sedih, Mbak. Masih ada kemungkinan Bu Risa bisa sembuh, kita hanya perlu terus berusaha, berdoa dan tidak berhenti untuk berharap."
Fatma mengangguk, menanggapi kalimat itu dengan pasif karena dirinya sendiri tidak tahu sampai kapan harapannya bisa bertahan.
"Saya sudah melunasi tagihan bulan ini. Buat kedepannya pun, saya minta tolong jaga Mama saya dengan baik dan tolong kabari kalau ada sesuatu yang terjadi," kata Fatma mengalihkan pembicaraan.
Ketika perawat yang ada di sampingnya mengiyakan permintaannya, Fatma kemudian kembali mendekati Mamanya. Dipandanginya wajah pucat itu hingga kemudian mereka saling bertatapan.
Karena tahu apa yang akan terjadi jika terlalu lama menatap Mamanya, Fatma kemudian menjadi yang pertama kali mengalihkan pandangan.
"Mama harus terus baik-baik aja supaya sembuh. Kalau nanti Mama sembuh, Fatma akan membuat Mama bahagia, hal yang udah lama enggak Mama rasakan," gumam Fatma.
Rasanya ingin sekali dia memeluk tubuh ringkih di depannya, pelukan yang tidak pernah sekalipun Fatma dapatkan. Karena setiap kali dia berusaha mendekat pada Mamanya, Mamanya akan berteriak histeris dan menatap Fatma dengan ketakutan.
"Bulan depan Fatma akan datang kesini lagi, jadi pastikan Mama tetap baik-baik saja sampai saat itu."
Usai mengatakannya, Fatma langsung berbalik badan meninggalkan taman itu yang semakin gelap karena hari yang sudah mulai malam. Hanya ada lampu berpendar samar yang diletakan di lorong-lorong rumah sakit, membuat penampilan rumah sakit ini agak menyeramkan untuk Fatma yang bahkan sudah sering datang kemari.
Dia menapaki lantas rumah sakit yang sudah kusam, berjalan kembali keluar dari rumah sakit jiwa yang besar itu dengan perasaan yang buruk. Selalu seperti ini, setiap kali dirinya datang untuk menjenguk Mamanya, Fatma kemudian akan kesulitan untuk tidur di malam hari karena rasa bersalah yang mencekiknya dengan kuat.
Bahkan ada malam-malam yang Fatma lewati dengan menangis hingga fajar, hari-hari mengerikan yang seperti itu terjadi padanya beberapa saat setelah Ayahnya meninggalkan dia yang tidak memiliki siapapun lagi. Bersama dengan duka itu Fatma kemudian tumbuh menjadi gadis yang pendiam, yang hanya tersenyum untuk mengatakan pada dunia bahwa dirinya baik-baik saja.
Walaupun tentu saja kenyataannya tidak seperti itu. Namun dia bersyukur karena tidak ada satu pun orang yang tahu.
**