Sena akhirnya keluar dari hotel. Merasa jenuh dan ingin Udara Toronto menusuk kulitnya, dingin tajam yang membuat napas berubah menjadi uap tipis. Salju tipis mulai turun, namun ia sudah siap.
Karena Sena bukan sembarang wanita. Dia yang seorang CEO dan Founder dari ELVARÉ Atelier. Jelas penampilan yang utama bagi dirinya. Dengan tampilannya yang selalu… on point.
Hari ini ia mengenakan, Long coat beige panjang selutut dengan potongan tailored—koleksi winter 2024 ELVARÉ. Turtleneck hitam slim-fit. Wide-leg trouser cream yang jatuh sempurna. Boots kulit hitam seleher. Scarf wol tipis warna khaki yang ia lilitkan hanya setengah untuk estetika. Rambutnya dikuncir rendah—simple, mahal, effortless. Setiap langkahnya seperti iklan brand mewah yang kebetulan syuting di jalan.
Sore ini dia memilih Yonge–Dundas Square ramai, untuk dia kunjungi. Suasana yang ramai meski musim dingin. Billboard menyala besar, suara keramaian, deretan toko fashion internasional, dan aroma street food musim dingin memenuhi udara.
Sena menatap sekeliling dengan mata berbinar. Begini seharusnya bulan madu… Ia menghela napas pendek. Ya, kalau saja dirinya disini bersama Andro…
Tapi ia memotong pikirannya sendiri dengan keras. Entahlah kenapa dengan dirinya yang terkadang masih memikirkan b******n itu. Stop sena. Andro bukan apa-apa. Dialta mungkin menyebalkan, tapi dia tidak meninggalkanmu di pelaminan.
Sena melangkah masuk ke salah satu butik high-end—ingin mencari gaun makan malam yang pantas untuk dibawa ke acara klien suaminya nanti. Ia baru menyentuh sepotong gaun satin saat ponselnya bergetar.
Nomor tidak dikenal. Ia mengernyit. Spam? Telemarketing Kanada? Mana tau.
Nomor asing: — dimana?
Sena memutar bola mata. — siapa?
Balasan muncul hanya beberapa detik kemudian.
Nomor asing: — suamimu.
Sena nyaris tersedak napasnya sendiri. “Tentu saja,” gumamnya. “Dingin banget kayak kulkas.”
Ia tidak langsung membalas. Ia sibuk melihat gaun merah wine yang mencuri hatinya. Tak lama kemudian, karena pesan yang tak dia balas berganyi dengan dering telepon masuk ke
Sena menatap layar. Nomor asing itu lagi. Dan jelas itu nomor suaminya. Pasangan macam apa ini tak memiliki nomor dari pasangannya. Entahlah. Harap maklumi saja. Getaran kesal merayap dari tengkuknya.
Ia mengangkat dengan enggan. “Halo?”
Suara laki-laki itu terdengar rendah, dalam, dingin—tapi ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang… tegang. “Jangan bergerak dari situ.” Dialta berbicara cepat. “Saya sudah cek lokasimu.”
“Kamu melacak saya?!” Sena hampir meninggi.
“Kalau kamu jalan sedikit lagi ke arah utara, kamu akan keluar dari radius pengawalan.” Nada Dialta sangat tenang. Terlalu tenang untuk orang yang sedang panik.
Sena memutar bola mata. “Saya cuma mau cari gaun. Bukan melarikan diri.”
“Kamu ada di Yonge–Dundas Square, benar?”
Sena menatap sekeliling. “Ya, dan kenapa nadamu kayak orang yang habis nonton film action dan berpikir istrinya akan diculik mafia?”
“Karena itu mungkin terjadi.” Dialta menjawab datar.
Sena terdiam. Bukan takut—lebih ke… bingung.
Dialta mengembuskan napas berat. “Aku tidak suka kamu sendirian di kota besar, di negara asing, tanpa tahu siapa yang mungkin memperhatikanmu.”
“Dialta, saya bukan anak kecil.”
“Kamu istriku. Itu cukup.”
Sena refleks menggigit bibir bawah. Kenapa ada sensasi aneh di d**a? Gampang sekali pria ini mengakuinya. Selalu begitu.
Dialta melanjutkan, suaranya lebih rendah. “Tunggu di situ. Jangan pindah-pindah.”
“Saya mau lihat-lihat dulu. Ada butik—”
“Sena.” Nada itu berubah yang tadinya memang sudah datar, berubah menjadi dingin dan sedikit nada tegas.
“Saya bilang tunggu.”
Sena mengerutkan kening. “Saya bisa sendiri Dialta, biasa aja dong."
“Tapi kamu tetap bisa hilang dalam hitungan menit kalau aku lengah. Kau tau sendiri bukan bagaimana kaka kembaranmu?”
Sena menahan napas. Lalu menghembuskannya. Yap. Sean dan Senio tak akan tinggal diam jika terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan terjadi pada adik bungsunya. Apalagi dengan Dialta yang memang memiliki masa lalu kelam dengan para kakaknya.
Dialta menambahkan, lebih pelan, “Saya nggak mau sesuatu terjadi padamu.”
Ada jeda. Sena terdiam. Untuk pertama kalinya ia mendengar… ketulusan? Seorang Dialta bisa seperti ini? Terpaksa atau...
Setelah beberapa detik, Sena mendesah. “Iya, Iya. Saya tunggu.”
“Good.” Dialta menghela napas lega yang ia kira Sena tidak dengar—padahal terdengar jelas.
“Saya ke sana lima belas menit lagi.”
“Jangan lama-lama.”
Dialta terdiam. “Kenapa?”
Sena menaikkan dagu, meski ia tahu laki-laki itu tak bisa melihatnya. “Karena dingin. Dan Saya cantik hari ini. Banyak orang melirik.”
Terdengar suara kursi bergeser keras dari sisi Dialta.
Nada suaminya mendadak menggelap. “Saya datang sekarang.”
Telepon langsung ditutup. Sena berkedip. “…eh?”
Ia terkekeh kecil. Bisa seperti itu ya? Seseorang akan berubah hanya dalam hitungan detik jika menyangkut miliknya menjadi pemandangan untuk orang lain. Efeknya? Jelas membuat Sena bergetar sesaat. Tapi hanya sedikit.
Suami dingin itu… sepertinya makin susah untuk Arsena tebak.
---
Bel masuk butik berdenting lembut saat Sena melangkah masuk. Aroma campuran cedar wood dan parfum khas butik mewah langsung menyelimuti ruangan. Lantai marmer putih berkilau memantulkan cahaya lampu chandelier.
Dua pegawai butik segera menghampiri—ramah, profesional. “Good afternoon, miss. Can we help you?”
Sena tersenyum kecil, elegan, “Yes, I’m looking for an evening gown. Something formal, exclusive… nothing too loud, but still stunning.” (Ya, saya mencari gaun malam. Yang formal, eksklusif… tidak terlalu mencolok, tapi tetap menawan.)
Kedua pegawai itu langsung saling pandang. Bukan hanya karena Sena cantik—tapi karena aura mahalnya seakan memenuhi ruangan itu. Cara ia berdiri, cara coat-nya jatuh di tubuhnya, cara ia memegang scarf—semuanya seperti model editorial.
“Of course. Please, come this way.”
Sena mengikuti, menyentuh kain-kain yang digantung.
Satin, organza, silk crepe—ia mengenali kualitas hanya dengan sentuhan.
Pegawai menunjukkan beberapa gaun. Gaun pertama, Warna emerald gelap dengan slit tinggi yang elegan.
Sena mengangkat alis. “Slit-nya terlalu jinak.”
Pegawai tersenyum kaku. “Oke… mungkin yang ini?”
Gaun kedua, Silver champagne dengan potongan V-neck. Sena menahan gaun itu di depan tubuhnya, memiringkan kepala, menilai. “Hmm… bagus. Tapi bukan ‘aku’.”
Ia mengambil gaun ketiga sendiri. Gaun hitam satin dengan, belahan paha yang terlalu berbahaya, belahan yang akan mengexpos kaki dan pahanya. Selain itu punggung terbuka, potongan d**a lembut yang mengangkat bagian depan tubuhnya sedikit—elegan, tidak vulgar.
Begitu ia angkat, pegawai butik spontan terpukau. “That’s perfect on you.” seperti tau jika Sena akan memilih gaun ini.
Sena mengukur gaun itu di depan cermin. Jika ia kenakan, Paha jenjangnya terekspos anggun. Bagian dadanya terlihat sedikit membentuk lekuk halus di balik turtleneck—mengingatkan bahwa tubuhnya memang “berbahaya”.
Sena menggumam kecil. “Ya… ini.”
Pegawai bersiap mengantarkan gaun ke fitting room ketika pintu butik berdering lagi. Namun, Sena tidak menoleh. Ia sibuk memeriksa detail kain, memeriksa bagaimana jahitan itu mengikat kain tersebut. Ada senyum kecil di wajah cantik Sena yang seakan menikmati setiap jahitan yang dia sentuh.
Tapi tanpa Sena ketahui, pegawai butik menegang. Senyum mereka berubah kaku—antara kagum dan terintimidasi. Seorang pria dengan aura d******i dan dinginnya yang memasuki butik ini. Memberi tatapan hanya pada satu orang di dalam sana. Tanpa menggubris orang lain.
Sena baru tersadar seseorang mendekat ketika suara langkah sepatu kulit berat terdengar mendekat di belakangnya. Derap langkah itu seakan oercaya diri dengan jejakannya.
Sena yang merasa ada seseorang dibelakangnya dengan hembusan nafas yang sedikit mengenai tengkuknya pun, memilih membalikkan badan.
Dan… Dialta berdiri di sana. Tepat di belakangnya.
Sena benar-benar mencoba gaun tersebut. Benar saja apa yang dipikirkannya saat gaun itu melekat sempurna di tubuh indahnya. Dengan detail d**a, paha dan lekuk tubuhnya.
Dialta tidak biasanya tampak semarah itu hanya dengan tatapan. Tapi saat melihat istrinya— Wajahnya yang tampan dan dingin terhenti. Matanya turun perlahan. kaki Sena yang dibalut trouser cream, belahan gaun hitam yang terbuka, lekuk halus d**a Sena yang menekan sedikit kain turtleneck, lalu ke wajah cantik istrinya.
Laki-laki itu menegang. Rahangnya mengeras. Sena menautkan alis. “Kamu kenapa seperti habis melihat hantu?”
Dialta melirik gaun di tangan Sena—yang belahannya hampir setinggi pinggang.
Kemudian ia berkata pelan, nada gelap dan membunuh, “Kamu tidak berfikir untuk memakainya kan?"
Sena tersenyum miring. “Sejak kapan kamu yang memilih bajuku?”
“Sejak pakaiannya… seperti itu.” Ia menunjuk belahan gaun seadanya, tapi gerakan tangannya tegang.
Pegawai butik menahan napas—ketegangan itu terasa, tapi juga… sensual.
Dialta melangkah mendekat, berdiri cukup dekat sehingga Sena bisa mencium aroma cologne mahalnya. Aroma cedar, amber, maskulin—yang menghangatkan d**a.
Sena mengangkat dagu. “Kamu yang bilang saya harus cantik di depan klien, kan?”
Dialta menyipitkan mata. “Saya bilang elegan. Bukan—”
Dia menahan kata berikutnya dengan erangan tertahan. Jelas ia ingin bilang sesuatu seperti memabukkan atau mengundang bahaya.
Sena menahan tawa. “Oh… apa kamu terganggu, Dialta? Atau cemburu?”
Dialta menatapnya seolah ingin mencium dan mengomeli sekaligus. “It’s not jealousy.”
“Then?” Sena menantang.
“Protection.”
Sena mendecak. “Alasan lama.”
Dialta mendekat lagi. Begitu dekat, napas hangatnya menyentuh telinga Sena ketika ia berbisik. “I don’t want every man on this street looking at your legs… or your chest.” (Aku tidak mau semua laki-laki di jalan ini melihat kakimu… atau dadamu.)
Sena terdiam. Jantungnya seakan berdetak tak karuan. Memberontak ingin terjun bebas.
Dialta menambahkan, suara rendah mematikan, “Those are mine to look at.”
Sena membeku. Wajahnya tapak memerah panas. Ia melirik Dialta tajam. "Biasa aja kenapa sih?"
Dialta menahan senyum tipis. “Biasa? Tidak bisa. Karena Saya tahu siapa istri saya.”
Ia mengambil gaun dari tangan Sena. “Kita cari yang lain.”
Sena memegang ujung gaunnya. “Lepasin nggak? Saya mau beli yang ini."
Dialta menatapnya lama—gelap, intens, berbahaya. Dan untuk pertama kalinya, ia kehilangan kontrol sedikit. Ia menarik Sena mendekat hanya beberapa senti, tubuh mereka hampir bersentuhan.
“Try me, Arsena.” Suara itu rendah, dalam, dan membuat lutut Sena melemah.
“Pasti saya bakal langsung pulangin kamu ke hotel… dan pastikan kamu nggak keluar kamar.”
Sena terdiam.
Dialta sadar ia mungkin bicara terlalu jauh. Ia menghela napas dan sedikit mundur—tapi tangannya masih menahan gaun itu.
“Pilih yang lain,” katanya lebih lembut. “Bukannya kamu juga bergelut dibidang ini, jelas kamu tau bukan mana yang pas denganmu…” Tatapannya turun lagi ke tubuh Sena. "Cari yang membuat dirimu tampak semakin mahal."
Sena menggigit bibir. Untuk pertama kalinya… ia tidak tahu harus menjawab apa.
---