Pengantin Pengganti
Bab 1 – Pengantin Pengganti
Gemerincing gamelan berpadu dengan dentum musik modern. Lampu kristal bergelayut di langit-langit gedung mewah, bunga segar menebarkan wangi yang seharusnya menjadi saksi kebahagiaan. Tapi siang itu, kebahagiaan justru runtuh seperti kaca retak.
Bisik-bisik mulai bergaung di antara tamu undangan.
“Calon pengantinnya ke mana?”
“Katanya kabur.”
“Astaga, memalukan sekali keluarga sebesar Bramasta ditinggal di pelaminan.”
Arsena Elvarendra Bramasta berdiri kaku di pelaminan. Gaun putihnya seperti terpasung, tangannya gemetar menggenggam buket mawar yang mulai layu oleh keringat dingin. Tatapannya liar, mencari satu wajah—sosok pria yang seharusnya menjemputnya untuk ke depan penghulu. Tapi yang ada hanya kursi kosong dan sorot kamera yang terus menyorotinya tanpa ampun.
Denta Attala Bramasta, sang ayah, mengepalkan tangan di sisi ruangan, wajahnya memerah menahan malu dan amarah. Sementara itu, dua kakak kembar Sena, sudah bersiap menerjang ke balik panggung, ingin menyeret siapa pun yang bertanggung jawab atas kekacauan ini.
Namun sebelum mereka melangkah, suara berat dan tenang milik Abimana Aryasatya memecah kegaduhan. “Biar saya yang bicara.”
Dialta Maheswara—atau kini Dialta Aryasatya—merasa seluruh darahnya berhenti mengalir ketika Abimana menoleh padanya. Ia tahu, tatapan itu bukan sekadar permintaan… melainkan keputusan.
“Dialta.” Abimana menepuk bahunya, suaranya tegas tapi dalam. “Kau yang maju. Gantikan dia.”
Dunia Dialta seakan runtuh. Dia? Duduk di depan penghulu itu? Menikahi Arsena Elvarendra Bramasta—adik dari pria yang hidupnya pernah nyaris ia renggut, sekaligus musuh bebuyutannya, Arsean dan Arsenio?
"Papa..?" suara Dialta bergetar saat itu juga.
"Dialta, kau mau menggantikan mempelai Pria bukan?" saat ini suara Denta yang seakan memohon.
"Daddy? Daddy bercanda bukan?" Kakak sulung mempelai wanita seakan tak tetima dengan keputusan mendadak ini. Bahkan tatapannya pun seakan menguliti Dialta yang masih terdiam di tempatnya.
"Daddy tau bukan, Dialta adalah orang yang akan membunuh Kak Sean?" Suara dari kakak tengah Sena ikut terdengar.
Denta menghela napas—panjang, berat, penuh kecemasan yang terbungkus oleh rasa amarah.
“Kalian pikir Daddy tidak berfikir matang untuk mengambil keputusan ini?" Tatapan Denta seakan menekan kedua putranya. Bergantian. “Apa kalian lebih memilih Sena dipermalukan dengan batalnya pernikahan ini? Apa kalian mau kejadian lebih buruk menimpa adik kalian?”
Kedua kembrang itu menggertakkan gigi dan memalingkan wajah, jelas tak terima. Mereka tak suka dihadapkan dengan masalah seperti ini. Terutama pada sang adik.
“Kalian mau Sena menjadi bahan gunjingan para tamu? Atau kalian mau rumor “mempelai ditinggal kabur” itu menghancurkan harga dirinya?” lanjut Denta menatap bergantian kedua putranya.
Keheningan menyelimuti mereka yang masih dengan nafas memburu. Sumpah serapah sedari tadi ada di d**a kedua pria dengan wajah hampir sama itu. Bagaimana bisa sahabat sekaligus teman mereka selama ini bisa menghianati mereka. b******k.
“Jika ada satu-satunya pria yang bisa berdiri di samping adik kalian hari ini, hanya dia, Dialta.”
Ruangan sejenak hening, semua terdiam. Tidak ada yang setuju… tapi tidak ada yang bisa menyangkal kata-kata itu. Dan jelas tak bisa menolaknya. Bagaimana bisa menolak, Akad akan dimulai dalam waktu kurang satu jam lagi. Pengantin pria yang mereka tunggu jelas kabur begitu saja.
Dan entah keberanian dari mana—atau mungkin rasa bersalah yang sudah terlalu lama menjeratnya—Dialta maju. Mungkin ini yang harus dia bayarkan atas semua kesalahannya terhadap dua keluarga yang saat ini sedang berada di dekatnya. Keluarga Bramasta dan Aryasatya.
Tanpa menunggu izin. Dan tanpa mengulur waktu. Itu yang mereka minta dan akhirnya Dialta menyetujuinya. Ia menarik napas panjang, menatap Abimana, lalu Denta.
“Di mana saya harus mengganti pakaian saya Pa?" Suara Dialta tenang… terlalu tenang sampai membuat seluruh keluarga Bramasta terdiam.
“Saya akan melakukan ijab kabulnya.” Kalimat lanjutan itu memantik kemarahan yang meledak di d**a mereka yang tak suka dan tak terima.
Dalam sepersekian detik—Kembaran Sena, si sulung menghentakkan langkahnya. Ia mencengkeram kerah jas Dialta, menariknya kasar hingga tubuh Dialta terhentak menabrak tembok marmer di belakang.
Brakk!
Suara itu menggema di seluruh ruangan. Tatapannya seakan membunuh. Jarak wajah mereka hanya sedetak napas.
“Kamu pikir dunia ini lelucon, Dialta?” Giginya terkatup, rahangnya mengeras. “Kau hampir membunuhku. Kau kau membuatku koma, ingat itu Dialta? Kau bahkan membunuh sahabatku. Lalu pembunuh ini akan menikahi adikku…”
Ia masih menahan amarahnya, lalu menunduk sedikit, mengancam tepat di wajah Dialta. “Dunia tak sebercanda itu, b******k!"
Dialta tidak mundur. Hanya menatap kembali ke arah wajah calon kakak iparnya. Seolah kata-kata itu hanyalah bagian dari hukuman yang memang pantas ia terima.
Kembaran Sena yang lain maju setengah langkah, suaranya lebih tajam daripada Sean. “Sentuh Sena sedikit saja… sakiti dia sedikit saja… kami yang akan mengubur dirimu hidup-hidup.”
Dialta hanya menarik napas pelan. Tak membalas. Tak membela diri. Kejadian yang menimpa mereka memang tak semudah itu dilupakan. Tapi, apa memang pembunuh ini tak pantas menerima pengampunan?
Seolah benar—dirinya tidak punya hak apa pun untuk hidup lebih baik lagi.
Tapi tepat saat sang sulung menarik kepalan tangannya, suara Denta membelah ketegangan seperti petir.
“SEAN!”
Seluruh ruangan membeku. Bahkan kepalan tangan itu berhenti tepat di depan wajah Dialta yang tak bergeming sama sekali.
Denta menatap kedua putranya dengan tatapan yang jarang terlihat—tatapan seorang ayah yang tidak sedang memerintah, tetapi memohon.
“Biarkan akad ini berjalan. Untuk Sena. Bukan untuk siapapun.”
Sean terdiam. Bergitupun Senio yang menghela napas frustrasi. Keduanya sama-sama menahan diri—demi adik bungsu mereka.
Dan Dialta?
Pria itu merapikan kerahnya sendiri dengan tangan dingin, menatap lurus ke arah pintu keluar untuk segera pergi ke ruangan pengantin pria.
“Saya siap. Tunjukkan ruang ganti.” Tak ada getaran, tak ada ragu—hanya keteguhan aneh dari seseorang yang merasa ini bagian dari penebusan dosanya.
Takdir pun bergerak. Dengan langkah pertama Dialta menuju tempat di hadapan penghulu yang kosong itu, dan sedetik lagi. Semua akan berubah.
---