Kamar hotel beraroma mawar putih dan wangi hair spray lembut tercium. Lampu kuning hangat memantulkan kilau halus dari kebaya modern yang menempel sempurna di tubuh Arsena Elvarendra Bramasta—karya dirinya sendiri dan sang Mami, Kalia.
Gaun itu seperti menenun perempuan itu menjadi perpaduan antara putri bangsawan dan mimpi yang nyaris tak tersentuh. Sentuhan kebaya modern dengan brukat menjuntai di sepanjang tubuh jenjangnya. Dengan jarik yang menambah kesakralan kebaya tersebut. Sentuhan tangan Sena dan Kalia begitu memadu disetiap roncean payet dan hiasan lainnya.
Sena menatap cermin besar di depannya. Jari-jarinya yang halus menyentuh renda tipis di pinggir kebaya. Hari ini—seharusnya—adalah hari ketika segala doa dan rencana manis bertaut pada satu nama.
Calon suaminya. Andro.
Di belakangnya, Calla—kakak iparnya—berdiri dengan senyum hangat. Menatap gadis cantik yang wajahnya sangat mirip dengan sang suami. Kembaran dari dua lelaki yang ada di dekatnya.
“Cantik banget, Na… sumpah, kayak bidadari yang dipaksa turun sebentar hanya buat bikin semua orang iri,” godanya. Membuat Sena semakin merona.
"Kak, janganlah, tambah merah ini pipi aku."
Kirana terkekeh sambil merangkul lengan Sena, “Calon istri orang nih. Hati-hati, nanti suamimu langsung mabuk kepayang.”
"Ini lagi kak Kira, bisa aja sih kalian buat aku salting." Sena tersenyum malu-malu. Senyuman seorang perempuan yang jatuh cinta lagi pada orang yang sama. Yang akan mengucapkan ijab dengan namanya.
Di depan mereka, sebuah layar monitor besar menampilkan dekorasi akad di ballroom. Para tamu mulai duduk. Penghulu sudah bersiap. Semua berjalan sempurna.
Mereka menunggu satu hal terakhir. Suara laki-laki yang akan mengucap ijab kabul untuk mempersunting Sena. Dan jantung Sena berdebar manja setiap kali panitia menyebut nama calon suaminya lewat pengeras suara.
Semuanya begitu indah. Begitu nyata. Begitu sesuai dengan apa yang dia inginkan. Hingga—pintu kamar diketuk lembut.
Denta Attala Bramasta masuk dengan raut yang sedikit… berat. Seolah senyum hangatnya malam ini terpaksa dipasang demi sang putri.
“Sayang…” bisiknya, mendekat. Tangannya mengusap ubun-ubun Sena, mencium kepala putri bungsunya. “Kamu sudah siap?”
Sena mengangguk lalu memeluk sang daddy erat. “Nggak nyangka… sebentar lagi aku bukan tanggung jawab Daddy lagi,” ujarnya lirih.
Denta tertawa kecil, tapi matanya… menahan sesuatu.
Ada getar halus yang hanya bisa dilihat oleh orang yang lahir dari tulangnya. Dan benar saja—kata-kata berikutnya membuat ruangan yang hangat itu perlahan mendingin.
“Maafkan Daddy, kalau… setelah akad nanti, akan ada kabar lain. Jangan kaget, ya.” Suaranya rendah, syarat dengan rasa hati-hati, seakan tiap huruf adalah pecahan kaca yang tak ingin melukai siapa pun. Termasuk putrinya.
"Mas?" Kalia menoleh ke arah suaminya. "Ada sesuatu?"
Sena mengerutkan kening. “Maksud Daddy? Kabar apa?”
Denta tersenyum, tapi sorotnya sayu. “Semua akan baik-baik saja. Daddy pastikan itu.”
Lalu ia menatap Kalia—istri yang sudah membaca isi hati suaminya bahkan sebelum ia membuka mulut. Kalia hanya mengangguk kecil, menggenggam tangan Sena dan menatapnya lembut.
“Fokus dulu ke akad, sayang. Untuk yang lain… biar Daddy yang urus.” ucap Kalia lembut, mampu membuat pikuran Sena yang sedang mencari-cari kejanggalan, terhenti begitu saja.
Dan sebelum Sena bisa bertanya lagi, pintu kembali terbuka. Kembarannya—keduanya memakai ekspresi yang anehnya mirip dengan Daddy, hangat… tapi ada gelap yang tersembunyi.
“Adik kecil sini.” Sean memeluk Sena, mengecup keningnya—sebuah ritual perlindungan yang hanya ia berikan di momen penting.
Senio melakukan hal sama, tapi sebelum melepas, ia menatap Sena lama. “…apa pun yang terjadi nanti, ingat… kami di sini. Akan selalu menjadi garda terdepan buat kamu, Dek” Nadanya seperti mempersiapkan Sena untuk badai di kemudian hari.
Memang benar bukan? Bukankan ibadah terberat dan terpanjang adalah semua hubungan pernikahan?
Sena mulai gelisah. “Ada apa sih? Kok semuanya mendadak melow gini? Doain aja semuanya lancar kak. Nggak akan ada apa-apa. Insya Allah, Sena bisa jalanin pernikahan ini dengan bahagia kak."
Tak ada yang menjawab. Hanya sebuah senyum dan anggukan, serta meng-aminkan apa yang diucapkan adik kecil mereka. Yang sebentar lagi akan menjadi istri orang.
Denta menghampiri sang istri, Kalia, dan menggandengnya, meninggalkan ruangan sebentar namun sebelum itu, Denta menunduk mengecup kembali kening putrinya. Lembut dan penuh kasih dari seorang cinta pertama.
Pintu menutup perlahan.
Dan kini, Sena hanya bersama Kirana, dan dari balkon samping muncul Aldevaro yang masuk setelah bicara dengan panitia. Varo menatap adik sepupunya itu dengan senyum tipis.
Mereka bertiga, bertukar pandang—gelisah, bingung, dan tak tahu bahwa tepat di luar sana…
Pria yang akan mengucapkan ijab kabul bukan lelaki yang Sena cintai. Dan dunia siap runtuh dalam hitungan menit.
---
Aula hotel mendadak seperti tercekik sunyi. Tapi tidak dengan respon para tamu undangan yang hadir.
Lampu-lampu kristal memantul di permukaan beskap putih gading yang kini melekat pada tubuh Dialta Aryasatya. Beskap itu—yang seharusnya dipakai pria lain—berhias sulaman benang perak dengan motif gagrak yang kokoh. Di pinggangnya, kain batik berwarna cokelat tua membalut tegas, dan di punggungnya terselip keris berhias untaian melati. Dialta terlihat seperti pangeran yang salah hari dan salah takdir.
Ia duduk bersila di depan penghulu, napasnya berat… namun tatapannya tegak. Dia tak lagi goyah. Seolah ia telah menerima apa pun yang dunia akan lemparkan padanya. Entah apa yang terjadi di kemudian hari tak dia pikirnya. Yang jelas ini adalah harga yang harus dia bayar. Sebagai bentuk tanggung jawab dan penebusan dosanya.
Dan dunia memang sedang melempar dirinya dengan ujian ini. Di belakangnya, bisikan-bisikan tamu mulai terdengar seperti gelombang pecah.
“Itu bukan Andro…”
“Dialta Aryasatya? Anak angkatnya Pak Abimana?”
“Pria yang—bukannya itu yang—”
Denta berdiri. Satu anggukan tegas darinya sudah cukup membuat ruangan kembali tertib. Sean dan Senio berdiri di sisi kanan dan kiri, ekspresi dua kakak yang ingin menyembelih laki-laki yang duduk di depan penghulu itu… tapi demi adik mereka, mereka menahan diri.
Kalia, terus menggenggam tangan suaminya, menanamkan keteguhan dan keikhlasan hatinya, menahan air mata. Ia sudah mendengar semuanya dari Denta, bagaimana Andro kabur. Bagaimana tak ada waktu. Bagaimana keputusan harus dibuat. Dan bagaimana Dialta—dengan masa lalunya yang kelam dan penuh luka—menawarkan diri setelah diminta olrh papa angkatnya, tanpa syarat.
Dialta menoleh sedikit, melihat Zelora—ibu angkatnya—yang menggenggam tangan Abimana. Dua orang yang menjadi rumah bagi dirinya, seorang pria berdosa yang diberikan nama baru, hidup baru. Tenggorokannya kering. Nama Aryasatya terasa terlalu berat hari ini.
Penghulu membuka map di pangkuannya. “Baik, kita mulai. Dialta Aryasatya… apakah sudah siap?”
Dialta menghela napas panjang, dadanya naik turun. “InsyaAllah… saya siap.”
Seorang saksi dari pihak Bramasta dan saksi dari pihak Aryasatya maju ke depan.
“Mas kawinnya?” tanya penghulu.
Reksa, asisten dari Dialta, menyerahkan kotak kecil berisi emas 50 gram, dan Abimana menyerahkan satu berkas dokumen saham.
“Mas kawin berupa emas, dan saham MHS Holding Company sebesar dua puluh lima persen,” ucap Abimana lantang.
Bisikan tamu kembali pecah. Saham sebesar itu? Untuk akad mendadak seperti ini?
Dialta memejamkan mata. Lagi-lagi, Itu bukan pemberian—itu penebusan. Untuk dosa yang tak pernah bisa tertebus.
Penghulu menatapnya. “Baik, silakan Di—”
Namun ucapan itu terhenti ketika pintu aula terbuka. Dan masuklah pengantin perempuan.
Sena melangkah dengan kebaya putih lembut yang memesona seluruh ruangan. Renda-renda tipis seperti awan, batik hitam di bawahnya seperti langit malam. Ia anggun. Ia manis. Ia adalah pusat dunia.
Semua mata mengikuti langkahnya. Termasuk mata Dialta. Jujur saja. Dialta terpesona dengan calon istrinya. Gadis yang dia tau selalu berlaku seenaknya, kali ini berjalan ke arahnya.
Tapi ketika tatapan Sena bertemu dengan sosok laki-laki yang duduk di depan penghulu… Warna wajahnya hilang. Berubah heran dan bingung. Kakinya seperti terpaku. Napasnya terhenti. Jantungnya memukul rusuk seperti ingin keluar. Karena yang duduk di sana bukanlah…
“An… dro…?” suaranya nyaris tak keluar.
Dialta mengangkat wajah, bertatapan langsung dengannya. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, mereka saling melihat tanpa dinding, tanpa topeng.
Sena membeku. Matanya melebar. Ketakutan, penolakan, luka, rasa jijik—semuanya muncul dalam satu kedipan.
“Dialta…?” Suara itu jatuh pecah begitu saja, seperti gelas yang dilempar ke marmer. Dan menimbulkan suara bising yang memekakan telinga.
Ia mundur satu langkah, dadanya naik turun tak karuan. Pria yang membunuh Rama. Pria yang membuat kakak sulungnya koma. Pria yang pernah memburu Calla. Pria yang keluarganya sumpah akan mereka benci seumur hidup.
Dan kini dia—
Dialta menunduk sedikit, mengambil napas seperti orang tenggelam yang mencoba naik ke permukaan.
“Saya…” Tenggorokannya tercekat. “Saya… yang akan mengucapkan akadnya, Arsena.”
Seluruh aula terdiam. Senio memalingkan wajah, menahan amarah. Sean mengepalkan tangan sampai buku jarinya memutih. Kalia menutup mulutnya, menahan tangis. Denta menatap putrinya penuh dengan penyesalan.
Sena memandang Daddy-nya, suara bergetar. “Daddy… kenapa…? Kenapa dia…?”
Denta hanya meletakkan kedua tangannya di bahunya. "Kamu harus kuat, Sena… demi marwah keluarga kita.”
Sena menoleh lagi ke arah Dialta. Matanya memerah—bukan karena cinta, tapi karena pengkhianatan. Apa yang sebenarnya terjadi? Kemana Andro? Pria yang dia cintai dan yang akan menikahinya hari ini?
Dialta menatapnya… dan untuk pertama kalinya, Sena melihat bahwa pria yang ia benci itu bukan hanya monster. Dia juga hancur.
Penghulu kembali berbicara, pelan tapi tegas. “Baik. Kita lanjutkan ijab kabulnya.”
Dialta menelan ludah keras-keras. Tangannya bergetar halus di atas meja.
Penghulu membacakan akad. Dan Dialta mengikuti, suaranya serak tapi jelas dengan jabatan tangan yang terasa dingin dan bergetar.
“Saya… Dialta Aryasatya… menerima nikahnya Arsena Elvarendra Bramasta binti Denta Attala Bramasta… dengan mas kawin emas 50 gram dan saham MHS Holding Company sebesar 25%… dibayar tunai.”
Ruangan seperti menahan napas sesaat. Hingga Saksi pertama berkata, “Sah.”
Saksi kedua menyusul, “Sah.”
Dan serentak, tamu-tamu mengikuti, “SAH.” Kalimat itu pecah seperti gemuruh badai.
Sena menutup mulutnya, air mata jatuh tanpa bisa ia bendung. Dialta perlahan menunduk… Karena di detik itu, ia resmi menjadi suami dari perempuan yang paling membencinya di muka bumi.
---