Kabur?

1967 Words
Aula besar berubah menjadi ruang penuh cahaya… namun dingin bagi satu orang. Suasana yang tak nyaman sekali bagi dirinya. Meski ada kedua orang tua angkatnya di sisinya. Dialta duduk di salah satu sofa panjang, tepat di antara Papa Abimana dan Mama Zelora. Keduanya tampak berusaha menjaga wajah ramah pada keluarga Bramasta, sesekali tertawa kecil ketika ditanya mengenai bisnis, kolega, atau sekadar basa-basi antar keluarga besar. Tapi tidak ada yang bisa menghangatkan tenggorokan Dialta. Air mineral di depannya bahkan tak tersentuh. Dirinya ingin sekali menghilang dari sini. Pergi dari sini. Di hadapannya, keluarga Bramasta duduk saling berdekatan. Terlalu dekat untuk disebut jauh, tapi terlalu jauh untuk disebut menerima. Di samping Denta dan Kalia—yang berusaha menjaga wibawa—duduk pasangan kembarnya, Dante Attala Bramasta dan istrinya, Salina. Dante sesekali melirik ke arah Dialta dengan tatapan datar, seperti sedang menimbang apakah harus ikut kakaknya mengusir laki-laki itu atau tetap duduk demi menjaga suasana. Bagaimanapun Dialta sudah menjadi keponakannya. Suami dari keponakan tercintanya. Salina menepuk lengan suaminya pelan, memberi sinyal agar Dante tidak menambah ketegangan yang sudah tegang dari tadi. Tapi tatapannya ke Dialta jelas—waspada. Tidak ada penghormatan namun tidak juga membenci. Lebih seperti menilai apakah pria itu suatu hari akan menusuk seseorang dari belakang. Dialta tahu. Ia hafal tatapan seperti itu. Namun bukan Dante yang membuat udara jadi setajam pisau. Di sisi lain, tiga pria berdarah Bramasta menatapnya dengan mata seperti belati terhunus. Siapa lagi kalau bukan pilar Bramasta. Dua kembaran sang istri, serta putra dari kembaran Papa mertuanya, Aldevaro. Mereka duduk bersama istri masing-masing, kecuali kakak tengah Sena yang belum menikah, namun tak satu pun dari ketiganya tampak memberikan senyum ramah. Tatapan mereka seperti tiang pancang, kokoh, diam, tapi bisa menghancurkan jika roboh. Dan ketiganya menatap ke arah Dialta. Tanpa berkedip. Ucapan dengan nada sindiran pun terdengar, samar, namun cukup jelas bagi telinganya. “Luar biasa ya… pembunuh duduk di tengah keluarga kita.” “Bahkan pakai beskap putih, kaya simbol penyucian.” “Sah-sah saja sih… asal dia nggak bunuh siapa pun hari ini.” Mereka tidak berbisik. Mereka ingin Dialta mendengar. Dengan sengaja. Dialta tau itu. Dialta menarik napas panjang, menunduk sedikit. Berusaha tidak terpancing. Berusaha mengingat bahwa hari ini ia harus—entah bagaimana—menjadi manusia yang lebih baik. Ini harinya. Menikahi putri dari Klan Bramasta. Padahal, setiap kata itu menusuk kulitnya seperti pisau kecil., yang sangat tajam. Tapi tak mematikan, hanya seperti racun yang mungkin akan mematikannya secara perlahan. Ia terbiasa. Sejak saat itu. Mama Zelora meremas tangannya pelan. “Sayang, abaikan saja… mereka hanya—” “Tidak apa-apa, Ma.” Dialta memotong, suaranya datar tapi sopan. “Memang begitulah seharusnya. Bahkan yang duduk di sini seharusnya bukan aku, Ma. Tapi Rama.” Zelora terdiam. Ada getaran di kata-kata itu. Ahh.. Dia teringat dengan putra semata wayangnya. Yang lebih dulu menghadap sang pencipta. Ada luka di mata wanita itu, luka seorang ibu yang kehilangan putranya sekaligus ingin melindungi putra angkatnya yang dunia cap sebagai monster. Dialta lalu membungkuk sedikit ke arahnya. “Mama… aku ke luar dulu sebentar. Ingin… mencari udara.” Abimana menatapnya sebentar. “Tidak apa-apa? Kamu baru saja menikah.” Dialta menarik sudut bibirnya, senyum kecil yang nyaris tidak terlihat. “Tidak apa, Pa. Lagian…” ia melirik sekilas ruangan. “…aku tidak melihat istriku.” Zelora mengerutkan kening. “Dari tadi Sena belum kembali?” Dialta menghindari tatapannya. “Tidak tahu, Ma. Dia bebas mau ke mana saja.” Suaranya terdengar acuh, tapi ada sesuatu di dalamnya—sedikit saja—yang terdengar seperti luka kecil. Sean yang mendengar itu menajamkan mata. “Jelas dia pergi.” Ucapannya dingin. “Tergantung siapa yang mau dia lihat setelah ijab yang… mengejutkan.” Dialta tidak membalas. Tidak ada gunanya. Ia hanya memberi hormat kecil pada Denta dan Kalia lalu melangkah keluar dari aula—tanpa menunggu izin siapa pun. Denta dan Kalia menatapnya pergi dengan ekspresi rumit. Dante menghela napas dalam. Dan Salina hanya memandang ke arah pintu… memikirkan sesuatu. Angin malam membawa aroma bunga sedap malam yang ditanam di sepanjang jalur taman. Cahaya lampu taman memantul di kolam kecil, membuat suasana terasa teduh namun muram. Dialta duduk di bangku kayu yang agak tersembunyi. Ia menyelipkan sebatang rokok di antara jari-jarinya, menyalakannya, lalu menarik napas panjang. Asap putih keluar pelan dari bibirnya. Dalam balutan beskap putih dengan berhias melati, keris di punggung, dan rambut rapi… ia tampak seperti pangeran Jawa yang sedang merokok karena dipaksa menikahi putri kerajaan dari musuh. Ia menyandarkan kepala ke belakang. “Dalam waktu Dua jam jadi suami…” gumamnya pelan. “…dan istriku menghilang entah ke mana.” Ia tersenyum kecil—pahit. “Wajar.” Ia menarik lagi hisapan rokoknya, kali ini lebih dalam. Di kejauhan, suara musik dari aula terdengar samar. Tawa tamu. Ucapan selamat. Semua terasa jauh. Seakan tidak ada hubungannya dengan dirinya. Dialta memejamkan mata sebentar, menikmati dingin yang menusuk. Dengan terus menghisap batang rokok yang masih tersemat di sela jarinya. Dadanya masih terasa sesak. Bukan karena rokok yang tanpa sadar sudah ia habis sebanyak dua batang. Tapi apa yang dia rasakan saat ini—pernikahan mendadanya. Dialta membuka mata ketika notifikasi ponselnya berdering nyaring, memotong keheningan taman malam itu. Ia merogoh saku beskap putihnya, menarik ponsel sambil membuang napas panjang. Mama Zelora. Perut Dialta langsung mengeras. Keningnya mengerut dalam. Beliau jarang menelepon kecuali hal mendesak. Tanpa menunggu deringan itu lebih lama, Dialta mengangkat panggilan itu. Ia menjawab. “Iya, Ma?” Suara di seberang langsung pecah oleh kepanikan. “Alta… Arsena nggak ada. Dia—dia hilang dari kamar pengantin. Dia sudah dicari seluruh lantai… nggak ada. Cepat kembali!” Dialta refleks berdiri. Puntung rokok terakhir terjatuh dan padam di rerumputan. “Ma, pelan-pelan dulu… Sena kemana? Dia nggak mungkin keluar tanpa—” “Kamu cepat ke kamar! Bantu cari, Nak. Mama tunggu!” Klik. Telepon terputus. Dialta tidak menunggu sedetik pun. Ia berlari—benar-benar berlari—melewati jalur taman, masuk ke koridor hotel, dengan langkah lebarnya. Tak menghiraukan siapapun yang dia lewati di aula hotel itu. Bahkan entah berapa orang yang Dialta lewati dan tanpa sengaja dia tabrak bahunya. Beskap putihnya seakan ikut dengan tubuhnya yang terus bergerak, keris di punggungnya bergoyang mengikuti langkahnya. Di dalam lift, dirinya tak bisa tenang. Terus memencet tombol lift berharap pintu besi itu terbuka dan dirinya sudah berada di tempat yang dia tuju. Atau... Andai saja Sena langsung ada di hadapannya. Dialta terus berfikir, kemana perempuan itu pergi. Setelah akad tadi. Mereka tak bicara sama sekali. Bahkan Sena pergi begitu saja. Dialta sadar bahwa dirinya bukan seseorang yang diinginkan oleh wanita itu. Berfikir jika mereka butuh waktu, tapi bukan waktu seperti ini yang dia minta. Hilang tanpa kabar, bagimana jika para kakak dari istrinya tak tetima? Bagaimana jika mereka menyalahkan dirinya yang tak tau apa-apa ini? Begitu lift terbuka, segera Dialta menuju kamar yang di tempati Arsena. Istri dadakannya. Saat sampai, Dialta membuka pintu kamar tersebut dengan kasar. Bahkan beberapa anak buah yang pasti diminta untuk datang tak dia hiraukan. Kalia menangis sambil memegangi d**a. Ketakutan akan anak putrinya yang tiba-tiba menghilang begitu saja. Mama Zelora tampak panik setengah mati. Namun dirinya tetap menenangkan besannya yang tampak kalut saat ini. Dante dan Salina berdiri di sisi ruangan dengan wajah tercengang, tak menyangka pesta pernikahan bisa berubah menjadi situasi darurat sedramatis ini. Dan tiga pria itu… Ketiga kakak iparnya berdiri dengan aura gelap masing-masing. Tatapan dingin kakak ipar sulungnya langsung menusuk Dialta begitu ia masuk, namun tidak ada kata-kata yang dia ucapkan. Senio menahan amarah, rahangnya bergerak-gerak. Aldevaro mondar-mandir sambil menelepon anak buahnya. “Cari di area belakang hotel. Parkiran juga! Cek CCTV dari mulainya acara!” Itu suara Varo. “Sen—” Dialta berhenti. Tatapannya tertuju pada lantai. Di lantai, kebaya pengantin yang seharusnya dipakai Sena… berserakan. Kusut. Tergeletak begitu saja seolah dilepas dalam keadaan kacau. Jantung Dialta serasa turun ke perut. Bukan cinta, yang jelas meskipun tak ada perasaan berarti, Arsena adalah istrinya. Mau atau tidak, tetap Sena adalah istrinya. Sena mungkin benci padanya… tapi ini bukan benci. Ini putus asa. Kemana wanita ini pergi? Mama Zelora buru-buru menghampiri Dialta. “Alta… Sena nggak ada di kamar. Mama sama mami kamu mau ngecek keadaan istri kamu, tapi saat sampai, kondisi kamar udah kayak gini. Apa yang akan Sena lakukan Alta, Mama tau ini psti berat, tapi—aduh Tuhan…” Kalia menutup mulutnya, matanya sudah sembab karena menangisi putrinya yang pergi tanpa kabar. “Dia baru ditinggal calon suaminya, Nak… lalu menikah dengan orang lain… dia pasti kaget… aku takut Sena… melakukan hal bodoh.” Sean—yang dari tadi diam—akhirnya menghampiri sang Mama, memeluknya. “nggak Mi, jangan bicara yang nggak-nggak gitu. Kita cari dulu dimana Sena ya." "Kenapa lo diem aja Dial?" Senio maju selangkah. Dirinya menatap wajah Dialta, mencoba mencari sesuatu yang mungkin saja bisa dia dapatkan dari pria yang berstatus adik iparnya. "Kalau sesuatu terjadi sama adik gue… Dial…” Ia menatap lurus ke mata Dialta, sekali lagi. “…kita selesai.” Ancaman itu bukan sekadar ancaman. Itu adalah vonis. Dialta menahan napas. “Saya tahu. Dan saya juga tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan padanya.” Kembaran sang istri, melepaskan pelukannya dari sang mami, membiarkan istrinya mengambil alih. “Lucu sekali. Baru beberapa jam menjadi suami dari adikku, dan sekarang dia menghilang. Apa kamu yang ada di balik semua ini, Dial?" Dialta mengabaikan kalimat itu, namun Ia melangkah mendekat. Tepat semakin dekat jarak antara dirinya dengan kakak iparnya itu. Keduanya saling menatap seperti dua binatang buas yang siap menerkam satu sama lain. “Dimana apartemen Andro?” tanya Dialta tiba-tiba. Sean memicingkan mata. “Buat apa?” “Katakan saja dimana.” Nada Dialta rendah, cepat, dan tanpa ruang kompromi. "Cih, aku sudah memerintahkan anak buahku untuk menyeretnya kehadapanku karena dirinya yang berani kabur saat akan menikahi adikku." Ia masih tak menjawab pertanyaan Dialta. “Lalu, apa ada hasil?" Dialta masih menatap kakak iparnya. "Katakan dimana Sean, jangan buang-buang waktu." Sean mencengkram kerah beskap Dialta dan menariknya mendekat. “Kamu kira Sena sebodoh itu untuk mengejar pria b******k yang meninggalkannya?” Dialta balas menatap mata itu. Tak ada ketakutan di manik mata Dialta. “Saya percaya jika adikmu bukan orang yang bodoh. Tapi kau tau jika hati dan kemarahan saat seperti ini justru mampu membuat wanita yang sudah disakiti bisa menggila bukan?" Hening sesaat. lima detik. Dan mampu membuat suasana semkin menegang dan dingin. Tubrukan ego kedua pria keras kepala dan protektif. Yang satu dengan status kakak dan yang satu dengan status suami. Akhirnya Sean melepaskan cengkramanya. Menepuk pipi Dialta. Lagi-lagi seakan menekankan. Jika terjadi apa-apa dengan adiknya. Orang yang pertama kali dia cari adalah, dirinya. Ia mengusap wajahnya dengan frustasi. “…Tower 9. Lantai 27. Unit 2706.” Dialta mengangguk. “Terima kasih.” Aldevaro segera menoleh. “Kita ikut—” “Tidak perlu.” Dialta langsung memotong. Semua menatapnya. Dialta melepaskan atasan beskapnya, menyisakan kaos putih yang mencetak jelas tubuh tegapnya. Beruntung jarik yang dia kenakan sudah berganti celana sedari tadi, lalu menarik napas panjang, dan suaranya terdengar sangat dingin. “Kalau Sena melihat kalian bertiga datang, dia mungkin bisa merasa terpojok dengan keputusan kalian hari ini. Biar saya yang membawanya lembali.” Senio mendecak. “Jangan macam-macam, Dialta.” Dialta berbalik kembali tanpa sedikitpun rasa gentar.“Kalau terjadi apa-apa dengan istri saya…" Ia menghela nafas sebentar. “…gampang untuk kalian menembak kepala saya." Ruangan mendadak senyap. Dialta kemudian berjalan cepat keluar kamar, tanpa menunggu persetujuan siapa pun. Tapi sebelum pintu tertutup, suara kakak ipar sulungnya terdengar pelan tapi lebih tegas, “Jika kau berhasil menemukan adikku... Jangan buat dirinya semakin hancur." Dialta membalas tatapan itu, “Tidak akan, saya hanya akan membawanya pulang.” Ia pun pergi—menuju lift—menuju suatu tempat—menuju Andro—mencari keberadaan istrinya. Dan mungkin… menuju awal dimana setiap kehidupan memiliki jalan ceritanya masing-masing. ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD