Pengantin Yang Menghilang

1244 Words
Arsena duduk di tepi ranjang pengantin yang seharusnya menjadi tempat terindah malam ini—tempat cinta dimulai, tempat janji diikat, tempat masa depan dibayangkan. Namun kini, kamar itu hening… dan justru menjadi tempat ia merasakan pengkhianatan paling keji sepanjang hidupnya. Tubuhnya gemetar. Tak bisa dia bayangkan. Penghianatan itu dia terima tepat di hari bahagianya. Kebaya putih s**u rancangannya sendiri—yang tiga minggu ia jahit dengan tangan gemetar bahagia—mulai kusut. Payetnya menekan kulitnya yang panas oleh emosi. Rambut sanggulnya perlahan berantakan, beberapa bunga melati jatuh satu per satu ke lantai, seolah ikut merasakan hancurnya hati sang pemilik. Di balik pintu, suara pesta masih terdengar samar, musik halus, tawa orang-orang, ucapan selamat. Ironis. Karena ia sendiri… ia memilih sendiri untuk saat ini, tidak merasa akan sakralnya Akad yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Terlebih bukan dengan orang yang seharusnya. Persetan sekali hidup ini. Dia memijit pelipisnya keras. “Sial… sial… SIAL!” desisnya pecah, dengan nafas yang memburu. Dadanya naik turun tak beraturan, seperti seluruh udara di ruangan itu menolak masuk ke paru-parunya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa pernikahannya berubah menjadi mimpi buruk dalam hitungan jam? Ia kembali menekan nomor Andro. Nada sambung. Berdering. Hening. Putus. Tak ada jawaban sama sekali. Kemana lelaki ini? Arsena memejamkan mata kuat-kuat. “Tolong… angkat, Dro… angkat…” bisiknya lirih, suara yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Ia mencoba menelepon adik Andro. Lalu ibunya. Lalu ayahnya. Semuanya sama. Tidak ada jawaban. Seolah seluruh keluarga itu kompak menghilang dari muka bumi setelah menyeretnya ke jurang bernama harapan. Ada apa dengan keluarga ini? “Sialan kalian…” Suaranya pecah di tengah tenggorokan. “Bisa-bisanya kalian mainin aku kayak gini…” Ia bangkit. Mondar-mandir di dalam kamar mewah itu. Ponselnya digenggam begitu erat seakan itu satu-satunya tali yang masih tersambung pada hidupnya. Langkahnya gemetar, beruntung dirinya masih bisa berdiri untuk saat ini. Hanya saat ini. Air mata yang awalnya coba ia tahan kini menetes tanpa bisa dibendung—panas, jatuh ke dagu, turun ke kebaya. Kamar itu sangat indah. Langit-langit tinggi. Lampu kristal. Ranjang mewah dengan kain putih. Dan beberapa bunga mawar di atasnya. Semuanya sempurna. Tapi Arsena merasa seperti terkurung di sumur gelap. Ia teringat makan malam tiga hari lalu. Ia dan Andro tertawa di restoran. Andro menggenggam tangannya, mencium keningnya, mengatakan ia tidak sabar menikahi wanita yang ia cintai sejak SMA. Ia ingat betapa bahagianya malam itu… betapa Andro bersumpah tidak akan pernah meninggalkannya. Sumpah itu kini terdengar seperti ejekan. Tertawa di antara ingatan itu dan berputar di kepalanya. Arsena mengusap pipinya, tapi air mata terus mengalir. Hatinya remuk—dimakan kenyataan bahwa lelaki yang dicintainya justru meninggalkannya di hari paling sakral hidupnya. Dan parahnya lagi… seseorang yang menggantikan Andro adalah… Dialta Aryasatya. Arsena kembali duduk di lantai, punggungnya bersandar pada sisi ranjang. Nafasnya pendek, nyaris seperti terisak. Dialta. Laki-laki itu. Pembunuh. Setidaknya itu yang selalu ia dengar dan lihat. Orang yang membuat Rama—sahabat kakaknya—pergi selamanya. Orang yang membuat Arsean koma di saat malam pertama pernikahannya dengan sang kakak ipar. Orang yang menghianati Klan Bramata. Orang yang tidak pernah ingin ia lihat lagi dalam hidupnya. Dan kini… menjadi suaminya. Ia menutup wajah dengan kedua tangan. “Kenapa harus dia… kenapa… kenapa Tuhan pilih dia…” Lututnya tertekuk. Tubuhnya sedikit terguncang. Air mata membasahi kebaya putih yang kini tak lagi terlihat seperti gaun pengantin—tapi seperti kain duka. Hatinya penuh luka. Sakit. Muak. Marah. Terhina. Dialta menggantikan Andro. Dan semua orang mengizikannya terjadi. Arsena merasa sendirian. Benar-benar sendirian. Ia menatap ponsel yang layarnya kini mati, seakan menyerah padanya. Jari-jarinya bergetar saat menekan ulang nomor Andro. Nada sambung. 1 kali. 2 kali. 3 kali— Putus. Tatapannya kosong. Suaranya serak. “Coward…” Hening sejenak. Lalu Sena perlahan mengangkat wajahnya, mata birunya kini berubah dingin—dingin seperti seseorang yang baru saja kehilangan setengah jiwanya… dan berniat mengambilnya kembali. Ia bangkit. Tak ada keraguan lagi di matanya. Tangannya mencabut sunduk mentul di rambutnya, lalu melepaskan kain selendang tipis dari kebayanya. Setiap perhiasan pernikahan dicabut dengan gerakan kasar—gelang, cincin tambahan, peniti, hiasan d**a—semua berjatuhan ke lantai marmer dengan bunyi yang memekakkan hati. Bukan lagi telinga. Tring! Trak! Tring! “b*****t…” gumamnya, matanya memanas lagi, namun air matanya habis untuk hari ini. “Beraninya kalian mempermainkan keluarga Bramasta begini? Beraninya kamu, Andro…” Kebayanya menyusul. Ia menariknya turun, meninggalkannya tergeletak kusut di lantai. Tubuhnya yang mulus, berisi, indah—tubuh yang selalu dirawat, tubuh yang seharusnya dihargai—kini terasa seperti penghinaan. “Kurang apa aku…?” Sena tertawa—pendek, merasa getir. “Kurang apa sampai kau tinggalkan aku di hari pernikahan kita, hah?” Tak ada jawaban. Dan itu justru membuat amarahnya menyala. Ia mengganti kebaya itu dengan crop top hitam dan celana high waist, simple, chic, elegan namun ekspresif. Rambut blondenya ia gulung ke atas. Lalu ia mengambil jaket kulit hitam dengan lambang Shadow Hounds—lambang geng motornya bersama dua kembarannya—yang selalu ia pakai ketika ingin menjadi lebih kuat. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Bukan pengantin. Bukan korban. Dia, Arsena Elvarendra Bramasta. Putri dari salah satu nama terbesar di negeri ini. Dan ia tidak akan diam. Sena mengambil ponsel dan menekan nomor yang sudah ia hafal sejak kecil—nomor ketua tim keamanan pribadi Denta. Tak lama, suara laki-laki berat terdengar, dengan nada grogi. “Non—Nona Sena? A—ada yang bisa saya bantu?” “Siapkan motorku. Sekarang.” Suaranya tajam, menusuk. “Tunggu aku di basement dalam waktu lima menit.” “Ta-tapi… Nona… hari ini kan—” “Kalau kau masih ingin bekerja di bawah ayahku, jangan tanya apa-apa. Lakukan.” Laki-laki itu terdiam. Sena menutup telepon tanpa menunggu jawaban. Memasukkan ponsel, lalu membuka pintu kamar pengantin tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Lorong besar rumah itu kosong. Semua sibuk mengurus pesta. Tidak ada yang melihat bagaimana pengantin wanita melarikan diri dari pesta pernikahannya sendiri dengan wajah penuh luka dan kemarahan. Langkahnya cepat. Denting sepatu boots-nya menggema tegas. Dia tak berpamitan, untuk apa? Pada siapa? Toh suaminya hanya suami pengganti bukan. Jadi tidak penting dia berpamitan atau tidak. --- Motor sport hitam kesayangannya sudah menunggu. Anak buah Denta berdiri kaku, wajahnya pucat. Begitu Sena turun lewat lift pribadi, laki-laki itu langsung membungkuk. “Nona… se—sungguh maaf kalau saya lancang… tapi Anda mau ke mana? Hari ini… hari pernikahan Anda…” Sena mengambil helmnya, menatap dingin. “Aku ingin menghabisi seseorang," Ia menyalakan motor, suara mesinnya meraung memenuhi basement. “Si—siapa, Nona?” Sena menurunkan visor helm, menatap tajam dari balik kaca. “Laki-laki b******k yang meninggalkan aku di pelaminan.” Anak buah itu terdiam. Tidak berani untuk menahan nona mudanya. Memilih mundur selangkah. “Kalau Daddy bertanya dimana aku,” lanjut Sena, “bilang saja aku sedang mengambil kembali harga diriku.” Ia memutar throttle. Mesin menggeram ganas. “Nona! Apa perlu—” Sena memotong, dingin. “Diam dan buka pintunya.” Pintu basement hotel itu otomatis terangkat. Angin malam menyelinap masuk, membawa hawa kebebasan namun juga kehancuran. Sena menarik napas panjang—sekilas, hanya sekilas, bayangan Andro tersenyum tiga hari lalu muncul di kepalanya. Tapi ia segera menghalaunya. Sena tidak butuh kenangan. Ia butuh jawaban. Gas ditarik penuh. Motor melesat keluar seperti panah, meninggalkan bayangan pengantin wanita yang kini berubah menjadi badai yang mematikan. Tujuannya jelas. Apartemen Andro. Tempat laki-laki itu bersembunyi setelah menghancurkan hatinya. Dan malam ini… Tak peduli apa yang menunggunya di sana— Arsena akan menuntut penjelasan, atau akan membakar semuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD