Udara Surabaya malam itu cukup panas—bagi Arsena Elvarendra Bramasta yang memang sedang dalam keadaan emosi. Motor sport hitamnya meraung, membelah jalanan, mengabaikan semua aturan, semua bahaya, semua logika yang biasanya ada di tahta tertinggi otaknya.
Persetan untuk kali ini. Persetan dengan pesta. Persetan dengan musik gamelan. Persetan dengan kebaya putih, ronce melati, dan status istri sah dari laki-laki yang tidak pernah ia pilih.
Persetan dengan Dialta Aryasatya yang menggantikan Andro sebagai suaminya. Persetan dengan keluarga yang membiarkan itu terjadi. Persetan dengan semua orang.
Yang Sena inginkan hanya satu, Andro. Lelaki b******k yang berjanji menikahinya… tapi memilih kabur. Napas Sena memburu. Matanya panas. d**a berdesir bukan karena cinta— karena luka dan kemarahan yang menuntut penyelesaian.
Tower 9. Lantai 27. Unit 2706. Tempat itu yang dia datangi saat ini. Sudah hafal di luar kepala. Tempat di mana kekasihnya tinggal.
Motor ia parkir sembarangan, helm dia lepas kasar, kakinya menghentak lantai lobi tanpa peduli tatapan satpam yang mengenal wajahnya sebagai putri konglomerat. Lift terbuka dengan bunyi lembut. Kontras sekali dengan badai dalam dirinya.
DING.
Lantai 27. Sena berjalan cepat. Tumitnya menghentak. Nafasnya tersengal, tapi bukan lelah. Marah. Hancur. Muak.
Bel ditekan. Tidak ada jawaban. Ditekannya lagi. Lebih keras. Berulang kali. Tapi tetap seperti tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana.
Sena mendengus kasar. “b******k… mau main petak umpet sama aku? Di hari kita menikah, sampai aku dinikahin sama orang lain."
Tangannya merogoh keypad kecil di samping pintu.
Jari-jarinya bergerak otomatis. Arsena sudah hafal diluar kepala. Bagaimana tidak, hubungan mereka yang memang sudah lama. Tidak satu dua tahun tapi lima tahun mereka bersama.
2 – 7 – 0 – 6 – 1 – 9 – 9 – 7.
Bunyi Beep dan lampu tombol berwarna hijau. Pinyu pun terbuka. Dan malam ini—itu adalah keputusan terbodoh lelaki itu.
Sena mendorong pintu dan masuk ke dalamnya. Cahaya redup menyambutnya. Aroma parfum maskulin bercampur alkohol tipis menusuk hidungnya.
“Tunjukkin wajah kamu, Andro…” gumamnya pelan, tapi berisi ancaman.
Langkah kaki Sena berat, namun masih menahan amarahanya. Ia menyusuri ruang tamu yang berantakan, jaket, jam tangan, gelas… Tanda-tanda seseorang memang baru saja ada di sana. Namun tak ada tanda-tanda dimana ini adalah apartemen milik pengantin.
Sena masih terus menyusuri setiap tempat yang ada di apartemen ini. Hingga langkah itu terhenti tepat di kamar Andro. Dan disana terdapat gundukan selimut, menonjolkan jika ada seseorang di bawah selimut itu. Apa dia ada disana? Hey, bagaimana bisa dia tidur disaat dia harus melakukan ijab kabul?
Tubuhnya seakan mematung, tapi otaknya sudah dipenuhi dengan pertanyaan dan kemarahan sekaligus. "Kau akan hancur, Andro. Aku akan menghancurkanmu."
Sena perlahan mendekat. Dengan d**a yang semakin sesak dan matanya yang memanas. Jika benar itu Andro, dia akan membunuh pria itu sekarang juga. Lagi-lagi dia ingin bertanya, bagaimana bisa dia tidur dan meninggalkan acara sakral mereka.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Sena menarik selimut itu. Dan waktu seakan berhenti. Mata abu miliknya mengedip sekali. Nafasnya tercekat. Di dalam selimut itu, ada wanita dengan posisi terkelungkum dengan tubuh telanjang. Di tempat tidur Andri. Di hari pernikahan mereka.
Wanita itu menggeliat kecil, hingga mata yang terpejam itu membelalak kaget. Melihat Sena berdiri di sana dengan tatapan yang ingin menelan seseoarng saat itu juga.
“Siapa—? Astaga, siapa kamu?!”
Sena tidak menjawab tapi saat itu juga amarahnya meledak. Dalam gerakan cepat dan kasar— Sena menjambak rambut panjang hitam itu, menariknya hingga wanita itu menjerit dan berdiri dari tempatnya.
“A—aduh! Lepasin! Siapa—”
“DIAM!!”
Suara Arsena pecah, rendah, dingin, dan tajam. Tidak ada kelembutan seorang wanita konglomerat. Tidak ada kewarasan yang biasa dia tunjukkan. Hanya ada niat, untuk mengancurkan siapapun yang mengusik hidupnya.
“Kamu…” Sena mendekat, wajahnya. “…siapa kamu sampai tidur di temoat tidur calon suami saya?”
Wanita itu mendadak ketakutan dengan menahan sakit di kulit kepalanya. “A-aku… aku nggak tahu dia sudah—”
“Nggak tahu?” Sena tertawa sinis, pendek, tajam.
“Typical. Perempuan peliharaan model kalian emang selalu nggak tahu.”
Tarikan rambut semakin kuat hingga wanita itu menjerit lagi. “Di hari pernikahan saya…” suara Sena bergetar, bukan lemah—tapi penuh luka. “…pria itu kabur. Dan kamu ada di kasurnya.” Genggamannya semakin mengeras.
"Tolong, sakit, lepasin aku." Pintanya. "Aku nggak tau apa-apa. Dia yang ngajak aku ke apartemennya."
“b******k!” Sena melepaskan rambut itu tiba-tiba, membuat Wanita itu terhempas dan terduduk di kasur, memeluk tubuhnya sambil gemetar.
Sena berdiri tegak. Bahunya naik turun. Karena nafasnya yang memburu. Matanya basah tapi tidak ada air mata yang jatuh. “Kalian semua…” suaranya serak, rendah. “…berani mempermalukan saya.”
Tawa kecil lolos dari bibirnya. Bukan tawa bahagia. Tawa orang yang disakiti terlalu dalam. Sena kembali mendekat. Menampar wajah wanita itu. Satu kali. Dua kali. Hingga ke tiga kalinya, tangan Sena dicekal seseorang.
Wajah Sena menegang, siapa yang berani mengganggu kesenangannya. Hingga wajahnya menemukan pria tinggi tegap dengan kaos putih memandangnya dingin.
-----
Di sisi lain, Dialta sudah berada di dalam mobil hitam mewahnya yang melaju keluar dari area hotel, membelah jalanan Surabaya malam itu. Dia tak lagi memikirkan tamu undangan atau memikirkan pernikahan yang mengikatnya secara mendadak ini. Dia hanya memikirkan untuk segera menemukan wanita yang berstatus istrinya itu.
Lampu kota memantul di bodi mobil, menciptakan garis-garis cahaya di kaca depannya. Bayangan kota pun silih berganti membias dari balik kaca. Dialta duduk dengan tubuh tegaknya. Satu tangan di setir kemudinya dan tangan lainnya sibuk membuka titik lokasi yang dikirimkan kakak iparnya ke ponselnya.
Tower 9. Lantai 27. Unit 2706.
Seperti yang kakak iparnya katakan. Dia menghembuskan napas panjang. “Arsena…” suaranya rendah, nyaris tidak terdengar, “…untuk apa mencari pria yang sudah meninggalkannya?" ada senyum meremehkan di wajah dinginnya. Ia bukan tersinggung. Tidak. Ia juga tidak bersedih. Sama sekali tidak.
Dialta hanya… lelah dengan dunia yang terus memaksanya menebus dosa. Bukankah sudah cukup dengan dirinya yang menerima panggilan sebagai pembunuh? Hidup di tengah-tengah keluarga yang menerimanya, padahal dirinya adalah penyebab dari putra semata wayangnya meninggalkan mereka.
“b******k,” gumamnya pelan.
Dan dua kakak iparnya? Mereka melihatnya seolah siap menguburnya hidup-hidup bila terjadi sesuatu pada Arsena.
Dialta menghela napas lagi, lebih dalam. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi,” katanya, lirih namun penuh tekad.
Tanpa dia sadari mobil sudah sampai di tempat yang dia tuju. Mobil pun berbelok memasuki area parkir basement apartemen. Ia memarkirkannya di dekat lift pribadi.
Setelah terparkir, ia segera keluar. Langkahnya panjang dan tegas, sesegera mungkin untuk menemukan istrinya. Ya... Istrinya. Lucu bukan. Bahkan tak pernah dia bayangkan akan menikah secepat ini.
Lift pun bergerak naik setelah Dialta memencet tombol lantai 27. Mata gelapnya di sambut dengan lorong tenang dengan cahaya lampu temaram.
Dialta berjalan ke unit 2706. Pintu sedikit terbuka. Kening Dialt berkerut. Jika terbuka, apa benar istrinya berada di sini? Lagi-lagi Dialta seakan menertawakan dirinya.
Ia melangkah masuk dengan mendorong pintu itu perlahan. Menajamkan penglihatannya hingga pemandangan di hadapannya, membuat satu alisnya terangkat dan mengumpat saat itu juga.
"s**t!"
Wanita setengah telanjang dengan tubuh gemetar ketakutan meringkuk di atas kasur, mencoba menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Meski wanita lainnya tampak membuatnya tak berdaya dengan menamparnya. Pipi itu sudah merah dan sudut bibirnya yang berdarah.
Wanita itu—yang sedang menamparnya—istrinya. Arsena Elvarendra Bramasta.
Dengan crop top hitam dan celana high waist. Rambut blondenya ia gulung ke atas. Dan jaket kulit geng motornya. Bahunya yang naik turun, menandakan bahwa wanita itu sedang di liputi emosi.
"Dimana lelaki itu?" suaranya serak ada getaran samar disana, “…berani mempermalukan saya.”
Tawa kecil lolos dari bibirnya. Tawa dari wanita yang seakan tergores harga dirinya. Sena masih dengan tangannya yang menarik rambut wanita itu. Hingga tamparan menyusulnya.
PLAK — satu kali, dua kali. Dan untuk ke tiga kalinya.
Dialta memilih melangkah maju. Sudah cukup dirinya melihat sang istri bertindak seperti singa yang ingin menghancurkan dengan mencabiknya sampai habis. Ia tak ingin wanita yang beberapa menit lalu menjadi miliknya berbuat di luar kendali.
Dialta menangkap pergelangan tangan itu. Genggamannya kuat, kokoh tapi tidak menyakitkan…
Hanya untuk menahannya agar tak melayang kembali.
Sena menegang. Wajahnya menoleh kasar, siap memaki siapa pun yang berani menghentikannya— Sampai tatapan mereka bertabrakan dan Dialta bisa melihat wajah cantik dan mata abunya yang basah—tapi tidak ada air mata lagi yang jatuh.
Sedangkan Sena, semakin ingin mengumpat saat, Dialta Aryasatya. Ada di hadapannya. Suami yang ia benci. Suami yang tak pernah dia inginkan. Mata mereka masih bertaut. Dan bisa Sena lihat, di mata itu, tak ada kemarahan, tak ada tatapan mengintimidasi. Hanya ketenangan yang mengancam.
“Cukup,” katanya pelan dengan nada datarnya.
Sena menyentak tangan besar Dialta. “Lepasin, jangan ikut campur.” bisiknya, lirih namun tajam.
Dialta tidak melepasnya. Jari-jarinya justru semakin menguat—tapi tidak menyakitinya sama sekali.
“Arsena,” suara Dialta turun satu oktaf, “sudah cukup, jangan teruskan. Kau ingin membuang waktumu untuk jalang ini?"
Wanita di kasur itu menangis tertahan. Sena mendengus kasar, pundaknya bergetar.
Dialta mendekat satu langkah—hanya sedikit—
Hanya cukup untuk menutupi tubuh Sena dari arah pandanya pada wanita itu. Gerakan kecil. Sederhana. Tapi sangat protektif.
“Sekarang,” bisik Dialta, suaranya gelap—dingin—tapi anehnya menenangkan. “Ayo pulang.”
Sena menatap wajah lelaki yang saat ini menjadi suaminya. Antara benci sekaligus marah. Suasana mendadak hening. Hanya napas Sena yang masih tersengal.