6

1687 Words
Dialta tidak mengatakan apa pun ketika menggenggam pergelangan tangan Arsena dan membawanya pergi dari sana. Tidak menariknya dengan paksa, tidak pula memberinya ruang untuk kembali mengamuk. Ia hanya menggenggam—erat, tenang, dan tak memberi kesempatan bagi Sena untuk menolak. Tapak sepatu hitamnya bergema di sepanjang koridor Tower 9, memecah sunyi malam Surabaya. Arsena mengikuti di belakangnya, masih terkejut, masih mencoba memahami kenapa lelaki ini berada di sini. Kenapa pria yang baru saja menjadi suaminya—secara mendadak dan tanpa pilihan—datang seperti badai dan menyeretnya pergi. Nafas Arsena masih kacau, jaket kulit hitamnya sudah terbuka, crop top hitam memperlihatkan gurat kulit, dengan perut ratanya, high waist pants yang tak cocok dengan wajah penatnya setelah pesta pernikahan kacau. Baginya Dialta sangat mengganggu kesenangannya. Dialta sama sekali tak menoleh. Masih terus membawanya keluar. Dengan menggenggam, memastikan lewat tekanan jarinya bahwa istrinya tidak tertinggal. Sena ingin sekali membuka mulut, ingin bertanya. Ingin memaki pria di depannya ini. Tapi setelah bibir itu terbuka, tidak ada kata yang keluar dari sana. Hanya suara langkah mereka menuju lift. TING Pintu lift terbuka. Dialta menarik Sena masuk lalu berdiri di depannya, memblokir pintu seakan ia penjaga yang berdiri di antara istrinya dan dunia luar. Untuk pertama kalinya sejak dari apartemen, ia melepaskan tautan tangan mereka. Bukan karena ingin jauh—justru sebaliknya. Ia berdiri begitu dekat hingga Sena bisa mencium aroma tubuhnya, dingin, wangi, tajam… pria dewasa yang tidak pernah memamerkan kuasanya tapi semua orang bisa merasakannya. Dialta berbalik menghadap Sena. Sena bisa melihat itu dari kaki pria itu yang bergerak ke arahnya. Tangannya terangkat. Perlahan—seolah menyentuh sesuatu yang rapuh—ia merapikan kerah jaket kulit Sena. Jaket khas Shadow Hounds, geng motor lamanya. Ia menarik resletingnya naik, menutup d**a istrinya yang terekspos. Gerakannya halus… tapi tegas, nyaris seperti perintah yang tak tertulis. Sena tak bergerak. Dia masih menunduk seperti sebelumnya. Tapi tetap, mata terangnya mengawasi setiap pergerakan suaminya. Dialta tidak mengatakan apa pun. Tidak menegur, tidak memarahi. Namun dia masih fokus pada tangannya yang membenahi resleting sang istri. Sampai tiba-tiba— “Jangan sentuh saya, pembunuh.” Desis Arsena memotong udara dingin lift seperti pisau. Tangan Dialta berhenti tepat di dekat tulang selangka wanita itu. Sena mendongak. Mata abunya memerah, gurat marah dan luka menumpuk menjadi satu. Ia benar-benar menatap Dialta, lelaki yang dianggapnya penyebab kakaknya koma. Lelaki yang ia nikahi bukan karena cinta—bahkan bukan karena pilihan. Sementara itu Dialta… hanya menatap balik. Tatapannya tidak berubah. Tidak sama sekali. Masih sama, mengunci tatapan Sena dan dirinya. Dan tak terganggu sedikit pun akan hinaan sang istri. Namun diamnya Dialta mampu membuat Sena gelisah. Bukankah seharusnya dia marah kan? Tapi ini kenapa dia hanya diam saja. Tidak tersinggung kah? “Lepaskan,” gumam Sena lagi, tapi tatapannya semakin memicing tak suka. Dialta menurunkan tangannya. Bukan karena menyerah—melainkan karena tugasnya sudah selesai, menutup tubuh istrinya dengan benar. Agar tak kedinginan dan agar tak ada yang melihat miliknya. Ia tidak membalas hinaan itu. Tidak ada gunanya mempertahankan harga dirinya ketika orang yang ia jaga sedang runtuh. Yang terpenting hanya satu. Membawa istrinya pulang. Karena sesingkat apa pun pernikahan itu, mendadak atau tidak, karena dirinya pengantin pengganti atau bukan— ia adalah lelaki yang mengucapkan janji di depan penghulu. Dan bagi Dialta Aryasatya… janji tidak semuda itu untuk dia abaikan. Lift terbuka, membawanya ke lantai lobby. Dialta bergerak duluan, lalu menoleh sekilas. “Sena,” panggilnya pendek. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat wanita itu menurut. Di parkiran basement, Dialta membawa Sena ke mobil hitam mewahnya yabg terparkir. Ia membuka pintu sisi penumpang, hanya tatapan mata dengan isyarat agar Sena masuk ke dalam. Arsena mendengus pelan. “Jangan berpikir saya akan—” Tanpa menunggu kalimat itu selesai diucapkan. Dialta meraih dagu Sena dengan dua jari, gerakan lembut tapi mengikat. Mata mereka bertemu lagi—dan kali ini, Sena melihat sesuatu yang berbeda. Bukan tatapan dingin atau tatapan dengan amarah. Tapi tatapan tegas jika dirinya tak ingin dibantah. “Masuk,” ucap Dialta. Satu kata itu mampu membuat Sena melangkah masuk tanpa ba-bi-bu lagi. Dialta menutup pintu perlahan, memastikan wanitanya duduk dengan nyaman. Lalu ia mengitari mobil ke sisi pengemudi dan duduk. Ia mengeluarkan ponsel, menekan satu nomor cepat. “Reksa.” Suaranya datar. “Ambil motor istri saya, di Tower 9, lantai P3. Bawa ke mansion.” Di seberang, suara hormat terdengar. "Baik, Bos." Dialta memutus telepon, menyalakan mesin mobil. Sena memeluk dirinya sendiri, menatap jendela. Masih marah. Masih terluka. Masih ingin berteriak. Namun satu hal membuat dirinya merasa lebih tenang, Dialta tidak menanyakan apa pun. Tidak mengomentari pakaiannya. Tidak menghakiminya karena mencari pria lain di hari pernikahan. Tidak menyentuhnya dengan kasar. Dialta hanya… mengambil alih. Tanpa kata. Tanpa drama. Tanpa menjatuhkan harga dirinya. Mobil melaju keluar dari basement. Di kursi sampingnya, Sena berbisik pelan, seakan bicara pada dirinya sendiri. “Apa yang kamu inginkan dari saya…?” Dialta tidak menjawab. Tatapannya lurus ke depan. Karena jawabannya sederhana— tapi terlalu berat untuk diucapkan pada wanita yang membencinya. Yang dia inginkan bukan Sena. Bukan cinta. Bukan penerimaan. Yang ia inginkan hanyalah satu, Menepati janji yang membuatnya hidup. ---- Sedan hitam Dialta meluncur melewati gerbang besar mansion Bramasta. Lampu-lampu pekarangan menyorot tubuh Sena yang masih membeku di sampingnya. Dialta tak berkata apa pun sepanjang perjalanan. Hanya deru napasnya yang berat—seakan menahan sesuatu yang tidak boleh meledak saat ini juga. Begitu mobil berhenti, Dialta menoleh ke sisi istrinya. "Tunggu di sini," Sena mengernyit. Mau apa? Ada apa? Sesaat pertanyaan itu terjawab saat Dialta sudah berada di sisi pintunya. Membukanya untuk Arsena. Sena pun tak menjawab, dia keluar dan tanpa disadarai tangan Dialta melindungi kepalanya dari benturan yang ada di atas kepalanya. Bersamaan itu pintu utama mansion terbuka. Denta berdiri di ambang, wajah tegang namun bukan amarah—lebih ke kekhawatiran seorang ayah. Kalia setengah berlari menghampiri putrinya. “Sayang…” Suara Kalia pecah saat tangan lembutnya menyentuh pipi Sena. Sena langsung tenggelam ke pelukan ibunya. Tubuhnya bergetar, bukan menangis… lebih seperti seseorang yang baru saja keluar dari kegelapan panjang dan masih belum percaya bahwa cahaya benar-benar ada. Denta menepuk bahu putrinya pelan. “Yang penting kamu pulang, Nak.” Nada suaranya rendah, menggetarkan d**a Sena. Di belakang mereka, Abimana dan Zelora—orang tua angkat Dialta—juga datang tergesa. Begitu melihat Dialta, Zelora langsung memeluk pemuda itu erat, seolah menegur sekaligus memastikan anaknya masih hidup. “Kamu bikin Mama hampir gila.” bisiknya. Dialta hanya menunduk. Ia menerima pelukan itu, karena ini rumahnya, keluarga yang mengajarinya bagaimana bertahan ketika hidup ingin menghancurkannya. Orang yang mengajarinya arti keikhlasan sesungguhnya. Orang yang mengajarinya, kebencian tak harus mereka balas dengan kebencian itu sendiri. Sean dan Senio, dua kakak kembar Sena, melangkah mendekat tanpa suara. Tidak ada pertanyaan. Tidak ada interogasi. Mereka hanya menarik adik mereka ke dalam pelukan yang sama-sama protektif. Sean mencium kening adiknya pelan. “Ayo ke kamar." Sean beralih ke sang istri. "Sayang, kamu temani Sena ya.” Calla segera mendekat, menggenggam tangan adik iparnya. “Aku ada di sini. Yuk, Dek.” Sena hanya mengangguk kecil. Kakinya sedikit goyah, tapi Sean menopang bahunya, Senio di sisi lain, dan Calla memeluk pinggangnya. Mereka membawanya naik ke lantai dua tanpa satu pun menoleh ke belakang. Tapi sebelum Sean pergi, ia sempat menatap Dialta. Satu tatapan itu artinya jelas, Ikut. Sekarang. Dialta memahaminya tanpa protes dan banyak bicara. Ia menyusul kedua kakak iparnya itu ke area bar yang terletak di sisi kiri ruang keluarga. Bar itu terlihat sepi. Dengan di terangi lampunya gantung temaram, kilau cahaya amber dari lampu gantung yang membuat bayangan mereka tampak panjang di lantai marmer. Senio membuka botol whisky, mengisinya ke gelas Kristal lalu mendorongnya ke depan Dialta dan sang kakak Sean. Tanpa ucapan terima kasih, Dialta mengambilnya. Senio pun juga mengambilnya. Mereka sama-sama duduk. Hening beberapa detik. Udara seakan menebal di antara mereka. Masih tak ada yang mau bicara. Satu tegukan Senio meminumnya. Baru kemudian ia bersuara—pelan, dingin, tapi menusuk. “Di tempat itu… ada Andro?” Dialta meletakkan gelasnya dengan bunyi dentingan gelas dan meja bar dengan tajam. “Tidak.” suaranya datar namun keras. “Tidak ada dia.” Sean menyipit. "b******k, kemana dia pergi?” Dialta mengeraskan rahangnya. “Hanya ada wanita yang sudah telanjang disana. Entah apa yang sudah mereka lakukan." Sean langsung memukul meja bar. Bunyi dentumannya membuat lampu gantung bergetar sedikit. “Kurang ajar dia!” Sean meledak. “Berani-beraninya dia bermain di belakangku. Bodo sekali percaya dengan dia." Sean tertawa kecut. "Satu sumpah. Satu jalan. Sekarang dia pakai nama Shadow Hounds buat bisnis sampah begitu?!” Senio mengambil gelasnya, meneguk sedikit lalu menatap Dialta dengan sisi lain—a cold smirk. “Dan?” tanyanya santai namun sengaja memancing. “Kamu menikmati tubuhnya dengan pandanganmu?” Dialta menggerakkan kepalanya perlahan, berbalik menatap Senio. Tak ada raut bersalah atau takut dari wajahnya. “Saya bukan laki-laki murah.” Nadanya pelan dan rendah, tak suka dengan pertanyaan kakak iparnya itu. “Saya tahu mana barang murahan… dan mana yang mahal.” Mata Senio membeku. Sean memutar tubuhnya ke arah Dialta, sorotnya tajam, bukan marah—lebih memastikan. Dia ingin menegaskan sesuatu pada pria yang sudah mengikat sang adik. “Dialta,” kata Sean, “adek kami itu… bukan mainan. Bukan alat. Dan bukan pelampiasan.” Dialta meneguk whiskynya sampai kandas. Lalu tanpa mengedip, ia meletakkan gelas itu dan membalas ucapan Sean tanpa gentar sedikitpun. “Saya tahu.” Nada suaranya berubah—lebih dalam dengan kejujuran dan ketulusan di dalamnya. “Dia istriku. Yang saya nikahi. Yang saya janjikan. Di hadapan Tuhan dan kalian. Dan saya akan membawanya pulang… meskipun dia membenci saya.” Senio bersandar. “Bagus kalau kamu sadar.” Hening sesaat. “Tapi kalau kamu pernah sampai membuatnya jatuh lagi—atau kamu lalai sebentar saja—Dialta…” Sean yang berbicara, sedikit mendekat ke arah adik iparnya. Dengan suara sedikit berbisik. "Saya tidak akan pernah segan menggantungmu Dialta." Dialta tidak tersinggung sedikit pun. Bahkan tak takut sama sekali. Hanya ada senyuman tipis, persis seperti seringai. Menatap kakak iparnya bergantian. Dan tanpa ragu dia berhasil membuat Sean dan Senio menatapnya dengan cara yang sedikit berbeda. “Meski begitu… Saya akan tetap menjaga istri saya." ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD