Sedikit Getaran,

1547 Words
Suasana kamar milik Sena, hanya ditemani dengan cahaya remang lampu yang berasal dari meja rias. Sena duduk di depan cermin, bahunya terbungkus satin hijau lembut yang jatuh mengikuti garis tubuhnya. Nightgown itu—warna emerald dengan renda krem—kontras dengan kulit pucatnya. Rambut pirang sebahunya sedikit kusut, seperti habis melewati hari yang terlalu panjang. Mata abu-abunya memantulkan cemas, dingin, dan sedikit amarah yang ia pendam rapat-rapat. Di depannya, ponsel bergetar. Mencoba memanggil nomor yang sama, sedari tadi. Tapi tetap saja, tak ada jawaban, tak ada pesan balik yang dia kirimkan. Lelaki itu benar-benar b******k. Jika memang menghilang. Menghilanglah ke neraka sekalian. Umpatan, terus Sena lontarkan. Sena menggigit bibir bawahnya, tangan halusnya kembali mengetik. Mencoba sekali lagi. Jika memang kembali tak ada jawaban, Sena akan benar-benar melepasnya. “Di mana kamu?” “Aku butuh jawabannya.” “Andro, tolong…” Send. d**a Sena terasa sesak setelah menekan tombol Send tadi. Harapan terakhirnya. Ya... Ini yang terakhir. Jika gagal. Sena akan melepasnya. Itu saja yang di ulang dalam otaknya. Ia menarik napas kasar, berusaha menahan sesak di dadanya. Hari ini benar-benar menguras tenagannya. Semua kejadian yang menurutnya sial berkumpul menjadi satu. Tepat di hari pernikahannya. Lamunan Sena buyar saat pintu kamarnya terbuka. Membuat Sena menoleh seketika. Pria yang berstatus sebagai suaminya sudah berdiri di ambang pintu. Ada keterkejutan di wajah cantiknya. Dengan kening berkerut dalam. Masih dengan celana hitamnya. Kaos putih tipis yang menempel pada tubuhnya. Rambutnya yang sudah acak dan tentu saja, tak lupa wajah dinginnya. Mata hitamnya menusuk, tajam, dan tidak terbaca. “Ng—ngapain kamu di sini?” suara Sena datar, tapi tentu ada ketegangan. “Siapa yang suruh masuk?” Dialta tidak menjawab. Ia hanya berjalan masuk, langkahnya tenang namun penuh klaim. Seakan kamar itu memang tempatnya berada—bukan ruang pribadi Sena. Bukankah mereka sudah menjadi suami istri. Wajar bukan? Tidak mungkin jika Dialta tak sekamar dengan istrinya. “Telinga kamu bermasalah? Saya sedang bertanya,” Sena mendesis, bangkit dari kursinya. “Untuk apa kamu—” Dialta berhenti tepat di tengah kamar. Sorot matanya turun, memerhatikan nightgown hijau lembut yang membungkus tubuh istrinya. Satu detik terlalu lama. Dalam diamnya Dialta mengagumi miliknya. Yang ada di tubuh istrinya. Ya... Semua itu miliknya. Sena refleks merapatkan jubahnya. Dialta membuka mulut… tapi tidak mengatakan apa-apa. Seakan kalimat yang hendak keluar terlalu kasar, atau terlalu jujur. Beruntung tercekat di tenggorokannya. Tak sampai dia ucapkan. Dan tiba-tiba—tanpa memberi sinyal—dia menarik kaos putihnya ke atas, melepasnya begitu saja. Gerakan itu pelan… teratur… memamerkan tubuhnya yang keras, garis otot pahatannya, dan tato di lengan serta d**a kirinya yang tampak samar. Cahaya kamar membuat kulitnya tampak lebih hangat, kontras dengan dinginnya aura yang dimiliki pria itu. Sena membelalak. Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba seperti ini? Belum siap Sena ini. Pria ini tak akan meminta hal-hal yang aneh-aneh bukan? Jangan bercanda Dialta. “A—apa yang kamu lakuin?!” Dialta menatapnya datar, ekspresinya menyebalkan dalam balutan wajahnya yang terlalu tenang. Tak ada rasa bersalah sama sekali setelah membuat anak orang bersemu merah. “Lagi buka baju.” Nada suaranya rendah, seperti tidak peduli efeknya. “Kenapa di sini?!” Sena setengah memekik. Dialta menaruh kaosnya di kursi, lalu menjawab tanpa rasa bersalah sedikit pun, “Karena ini kamar istriku.” Sena memijit pelipisnya, berusaha menahan diri untuk tidak melempar sesuatu ke kepala suaminya itu. “Kamu gila? Lalu jika ini kamar istrimu, kamu dengan seenaknya masuk dan buka baju! Kamu bisa pakai ruangan lain. Kenapa harus—” “Karena saya nggak tau harus tidur dimana. Kamu juga tau bukan, saya tidak membawa baju ganti?" potong Dialta pelan, suaranya berat. “Dan karena saya suamimu. Jadi biasa aja.” Sena meradang. “Jangan sok tenang begitu! Kamu pikir—” Dialta mendekat dua langkah. Menipiskan jarak antara dirinya dan sang istri. Menyisakan sejengkal saja jarak di antara mereka. Jarak mereka tinggal sejengkal. “Memang apa yang harus saya ributin?” Ia menatap nightgown Sena sekilas—sekali saja—tapi cukup membuat napas gadis itu memburu. “Dan kamu juga tidak perlu malu sama saya.” “Diam, Dialta,” lirih Sena, suaranya gemetar oleh marah, bukan takut. “Saya nggak nyaman jika harus sekamar dengan pembunuh seperti kamu.” Dialta mengangguk pelan… tapi bukan tanda untuk mundur. Lebih seperti mengerti tapi tidak berniat pergi. “Ya. Dan yang perlu kamu ingat, pembunuh ini adalah suamimu sekarang." Sorotnya turun ke lantai sepersekian detik sebelum kembali ke mata Sena. “Dan satu lagi, mau sekeras apa pun kamu benci sama saya, mau sekeras apapun kamu dorong saya untuk keluar…” Ia mendekat satu langkah lagi. Sampai hembusan napasnya mampu Sena rasakan tepat di keningnya. “…saya tetap akan ada di sini.” Sena memalingkan wajah, rahangnya mengeras. “Pergi.” Dialta menghela napas perlahan, suaranya berubah lebih rendah—lelah, dingin dan tak ada kebohongan sama sekali. “Ya, nanti saya akan pergi. Kamu tidak perlu mengusir saya. Tapi malam ini… saya nggak akan tinggalin kamu sendirian.” Sena menatapnya, gemas dan bingung dan marah bercampur jadi satu. “Saya nggak butuh kamu,” katanya pelan. Dialta membalasnya bahkan lebih pelan. “Tapi kamu tetap istri saya," Suasana berubah menjadi sunyi, bercampur dengan hawa panas mereka di tengah ketegangan yang mereka ciptakan. Dialta lalu berjalan melewati Sena, mengambil selimut tipis di sofa, dan menjatuhkan tubuhnya di sana—bukan di ranjang. Sambil menutup matanya dengan lengannya Dialta kembali berucap. “Tenang. Saya nggak akan sentuh kamu.” Sena berdiri terpaku. Karena dari semua hal yang ia kira akan dilakukan Dialta… Ini yang paling tidak ia duga. Dialta memilih menjaga jarak. Dialta memilih diam. Dialta memilih tetap tinggal. Entah kenapa… itu justru membuat hatinya semakin kacau. Dan dia adalah Dialta Aryasatya. --- Pagi menyingkap perlahan dari balik gorden tipis kamar pribadi Arsena, memantulkan kilau lembut pada tubuh tegap Dialta Aryasatya, yang sudah rapi dalam setelan jas abu gelap. Potongan bahunya tegas, dasi terikat presisi, dan aroma aftershave maskulin mengisi udara. Semua serba rapi—dingin, terukur, seperti pemilik tubuhnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar, memastikan manset terkancing sempurna. Sesuatu tentang pagi itu terasa… berbeda. Mungkin karena ia tahu ada seseorang lain yang masih tertidur beberapa jam lalu di kamar yang sama. Seseorang yang kini menjadi istrinya karena kecelakaan nasib bernama The Wrong Groom. Suara pintu kamar mandi terkuak tiba-tiba. Uap mengepul, lalu muncullah Arsena Elvarendra Bramasta, dengan hanya handuk putih yang melilit d**a dan pahanya. Rambut pirang pendeknya basah, menetes di sepanjang leher jenjangnya. Sepertinya selesai keramas. Tapi bukannya semalam tidak ada apa-apa? “Ya ampun—sial!” umpatan itu lolos sebelum ia sempat menahan. Ia lupa. Lupa kalau kini ia tidak sendiri. Ada orang lain di dalam kamar besarnya. Dialta hanya mengangkat alis tipisnya. Tidak terkejut. Tidak canggung. Tidak apa-apa. Hanya tatapan datar yang menyapu tubuh Sena dari kepala hingga ujung kaki—bukan tatapan nakal, tapi tatapan seorang pria yang terbiasa mengobservasi sesuatu sebelum memutuskan langkah. Sena memegangi handuknya yang pada detik sial itu melorot beberapa sentimeter, hampir memperlihatkan lebih banyak dari yang ia izinkan siapa pun untuk melihatnya. “Jangan lihat!” Sena memeluk dirinya sendiri, wajahnya memerah, berharap Dialta tak melihat sebagian tubuhnya itu. Dialta tetap diam. Tenang. Melangkah mendekat tanpa suara. Aura dinginnya menguasai ruang. “Jangan mendekat!” Sena menunjuknya, wajahnya penuh amarah bercampur rasa malu. Namun dialta tak menghentikan langkahnya. Dengan gerakan cepat namun halus, Dialta mengulur tangan dan membetulkan lilitan handuk itu tepat di atas bongkahan yang sempat Dialta lihat. Ya... Dialta melihatnya. Dan... Indah. Seolah tindakannya itu hal paling biasa tanpa menimbulkan pikiran lain. Tidak ada senyum. Tidak ada kata-kata. Hanya tatapan gelap yang tenang mencuri detak jantung Sena. Dan tatapan abu terang milik Sena yang membuat Dialta menelan ludah. Sena ternganga, terkejut bukan main. Tangannya spontan terangkat hendak menampar pria itu, lebih karena malu daripada marah. Bahkan dirinya saja sudah menahan degupan jantungnya. Namun Dialta sigap. Ia mencekal pergelangan Sena, menghentikannya dengan satu gerakan tegas. Tubuh Sena terhuyung sedikit, dan pria itu otomatis menarik pinggang Sena, menstabilkan tubuhnya—yang justru membuat tubuh langsing perempuan itu masuk ke dalam pelukan dinginnya. Detik itu, dunia seolah berhenti bernapas. Bukan hany Arsena. Dialta bisa merasakan detak panik Sena. Sedangkan Sena bisa merasakan panas tubuh pria itu di balik jas mahalnya. Mata abu cerah Sena yang lebar dan basah karena uap mandi membuat Dialta menelan ludah secara refleks. Ada sesuatu yang menghantam dadanya kuat—terlalu kuat. Tapi wajahnya tetap datar. Tidak ada sedikit pun yang mampu melihatnya karena Dialta berhasil menyembunyikan kegugupannya. Dialta menundukkan kepala perlahan, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Nafas mereka saling menyentuh, mengguncang, menegangkan. Membelai wajah mereka masing-masing. Dalam suara rendah yang menghantam telinga Sena seperti getaran, “Saya tidak tertarik dengan tubuhmu… meskipun kamu telanjang di depan saya sekalipun.” Dialta berhenti sejenak, membiarkan kalimatnya menggantung, menusuk. Lalu ia mendekat sedikit lagi, bibirnya nyaris menyentuh pipi Sena. “Lebih tepatnya…” Napasnya mengelus kulit Sena, membuat perempuan itu gemetar. “…belum.” Kalimat itu jatuh pelan, tapi efeknya seperti palu godam. Sena membeku. Pipinya memanas. Jantungnya seperti hendak meledak. Dialta melepaskan cekalannya perlahan. Membiarkan Sena berdiri sendiri. Lalu ia mengambil tas kerjanya tanpa menoleh lagi. “Saya tunggu di bawah. Lima menit.” Ia melangkah keluar kamar begitu saja. Meninggalkan Sena yang masih berdiri dengan handuk yang sudah dibenahi oleh suaminya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD