Pertanyaan yang tak bisa di jawab.

1722 Words
Pagi menjalar perlahan di lantai lima belas gedung kaca MHS Holding Company. Ruang kerja Dialta berada di ujung koridor, luas, minimalis, dan dipenuhi warna dingin yang mencerminkan pemiliknya. Pintu terbuka otomatis saat ia datang, jasnya rapi dengan warna yang serasi. Istrinya yang menyiapkannya. Satu hal yang berubah. Hari ini. Ahh tidak, mulai hari ini. Ia berjalan dengan langkahnya yang stabil, tapi raut wajahnya menyimpan sesuatu yang sejak pagi tadi tak ia akui, kacau. Reksa, asistennya yang sudah seperti bayangan, masuk tepat satu menit setelah Dialta duduk. “Selamat pagi, Pak Dialta.” Suaranya tenang namun cepat, seperti biasa. Ia meletakkan beberapa map tebal di meja kerja eksekutif itu. “Laporan pendanaan basis Eropa sudah disusun ulang. Kemudian laporan audit anak perusahaan di Surabaya juga sudah selesai dicek. Ini semuanya untuk Anda tinjau hari ini.” Dialta membuka salah satu map, membaca cepat. “Baik. Letakkan saja.” Reksa melanjutkan, kini membuka tablet. Melihat jadwal yang harus dia lakukan. “Untuk jadwal hari ini—pagi ada meeting internal manajer produksi, namun sudah saya geser ke tim planning saja. Jam sebelas ada conference call dengan Jepang. Dan…” ia berhenti sejenak, menatap Dialta hati-hati, “…jam satu siang ada jamuan makan bersama Pak Denta dan Pak Abimana.” Dialta menutup mapnya. Pelan, tapi dengan tarikan napas panjang yang jelas-jelas menekan pundaknya. “Tentu saja.” Nada suaranya datar, tapi getaran frustrasinya terpancar. “Jamuan… yang pasti bukan sekadar makan siang.” Reksa, meski biasanya tak ikut campur, tetap mengangguk dengan pemahaman. “Sepertinya memang akan dibahas soal… pernikahan mendadak itu, Pak.” Dialta mengusap pelipisnya sebentar, memejamkan mata. Pernikahan yang tidak ia rencanakan. Tidak ia inginkan. Tidak ia bayangkan akan terjadi dengan cara semengerikan itu. Hanya karena pria b******k yang meninggalkan seorang wanita di hari pernikahannya. Membuatnya sebagai tumbal. Dan jelas tidak bisa dibatalkan. “Apa hubungan ini yang harus saya bayar agar setimpal. Hubungan dengan keluarga istri saya pun… apa melalui jalur ini untuk bisa lebih baik?” Ia membuka mata lagi. “Tapi dua-duanya sama-sama menekan saya." “Dan Anda tidak punya pilihan lain?” tanya Reksa hati-hati. Dialta mengernyit kecil. “Kalau saya punya, saya tidak akan menarik napas sepanjang ini, Reksa.” Asistennya menyunggingkan senyum simpati tipis. “Lalu, ada satu lagi jadwal yang perlu diperhatikan.” Ia menggulir layar tablet. Mengalihkan pembicaraan. “Lima hari lagi, Anda terbang ke Toronto untuk pertemuan kolega internasional.” Dialta langsung terdiam. Bahkan map yang tadi dibukanya kini dibiarkan terbuka tanpa ia sentuh lagi. Toronto. Di kota itu ia biasa menjadi dirinya yang paling efisien—berbicara bisnis dari pagi sampai malam tanpa terbebani apa pun. Jika dulu, ia pasti sudah bersemangat untuk pergi dan melakukannya dari jauh-jauh hari. Tapi untuk Sekarang Ada sesuatu yang menahannya. Seseorang. Yang saat ini dia sebut sebagai istri. Ya... Istrinya. Arsena. “Apa saya bisa pergi begitu saja?” gumam Dialta nyaris tak terdengar. “Baru menikah, belum ada apa-apa… dan saya harus terbang seminggu penuh?” “Bisa, tentu saja,” jawab Reksa. “Anda bukan tipe suami yang… harus meminta izin untuk pergi.” Dialta memelototkannya sebentar. “Reksa.” “Maaf, Pak. Maksud saya, Anda biasanya tidak terikat. Tapi sekarang—situasi sudah berbeda.” “Ya.” Dialta bersandar. “Sekarang saya berstatus suami.” Dan kata itu terasa jauh lebih berat daripada gelar CEO yang dia pegang. “Jadi apa rencana Anda, Pak?” tanya Reksa. Dialta menarik napas, memandang jendela besar tempat kota membentang di bawahnya. Pikirannya berlari ke wajah Sena, ke mata abu cerah yang menatapnya dengan campuran takut, berani, dan marah. Wajah yang mengganggu konsentrasinya lebih dari yang ia akui. “Saya harus bicara dengan mereka,” gumamnya lirih tapi pasti. “Dengan Daddy Denta dan Papa Abimana.” “Bicara soal apa?” Dialta menatap meja kerjanya lama sebelum menjawab. “Soal status pernikahan ini. Dan—apa yang akan kami lakukan ke depannya. Mereka pasti ingin kepastian, dan…” Ia menahan kata berikutnya. “…saya tidak ingin Sena berfikir korban atau kesalahan.” Reksa sedikit terkejut. “Anda… peduli pada Nyonya?” Dialta menghela napas. “Tidak peduli… bukan istilah yang tepat.” Ia menatap langit-langit sebentar, menata kalimat. “Saya hanya tidak ingin dia berpikir bahwa saya tidak menganggapnya.” Reksa mengangguk pelan. “Saya catat, Pak. Kalau begitu, jam satu nanti—” “Ya.” Dialta menegaskan. “Pastikan tempatnya private.” “Siap.” Saat Reksa hendak keluar, Dialta memanggilnya lagi. “Reksa.” “Ya, Pak?” Dialta menatap map-map di mejanya, tapi jelas fokusnya melayang jauh dari sana. “Untuk Toronto…” ia terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan urusan itu. “…siapkan skenario jika saya memutuskan untuk tidak pergi.” Reksa mengangkat alis, namun mengangguk tanpa bertanya. “Baik, Pak. Akan saya siapkan.” Pintu tertutup kembali. Ruang kembali sunyi. Dan di tengah sunyi itu, untuk pertama kalinya Dialta menyadari satu hal, Pernikahan mendadak ini pelan-pelan mulai menggeser hidupnya dari jalur lurus yang selama ini ia kuasai. Dan ia tidak tahu apakah itu pertanda baik… untuk penebusan dosanya? **** Kamar Arsena gelap—hanya diterangi lampu meja kecil yang temaram. Di atas tempat tidur besar itu, ia duduk dengan lutut tertekuk, ponsel di tangannya tidak berhenti bergetar… bukan karena ada balasan, tapi karena ia terus menekan tombol redial. Nama yang sama dan orang yang sama. Tapi tetap saja sama, tak ada jawaban. Andro — Calling… Andro — Calling… Call Failed. Sena mengetuk layar berkali-kali hingga matanya memerah. Sudah tau di khianati. Tapi kenapa masih saja mencari pria itu. “Berengsek… kenapa kamu nggak angkat?” bisiknya lirih namun penuh getir. Air matanya jatuh, tapi ia tidak histeris. Ia hanya… kosong. Bukan menangis karena penghianatannya. Tapi menangisi kebodohannya. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagianya berubah menjadi neraka. Ia kehilangan segalanya hanya dalam satu hari. Pernikahannya. Impiannya. Harga dirinya. Dan dirinya sendiri. Pintu kamarnya diketuk pelan sebelum terbuka. Kalia masuk, langkahnya lembut, ekspresinya campuran antara cemas dan hancur melihat putri yang amat ia sayangi seperti ini. “Sena…” panggilnya pelan. Arsena mengangkat wajah. Tidak ada senyum. Tidak ada sambutan. Hanya mata abu cerah yang kini tertutup duka. Tanpa basa-basi, pertanyaan itu keluar begitu saja—dingin, tak ada intonasi dan tak ada rasa dalam suara itu. “Kenapa Daddy harus menikahkanku dengan seorang pembunuh, Mommy?” Kalia terdiam seketika. Pertanyaan itu seperti tamparan. Apa yang harus dia katakan. Saat pertama kali dirinya tau pun, ia juga terkejut. Bahkan jika boleh ia ingin protes pada suaminya itu. Tapi bagaimanapun semua sudah terjadi, dan sebisa mungkin Kalia berusaha untuk meyakinkan putrinya. “Tidak adakah lelaki lain… selain dia?” lanjut Sena, suara bergetar, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Apa nama keluarga Bramasta… lebih berharga daripada hatiku sendiri? Hati putrinya?” Kalia menelan air mata yang berusaha ia tahan. Ia melangkah mendekat, duduk di sisi kasur, tangannya terulur… tapi Sena sedikit menjauh. Tidak marah, hanya… ada rasa kecewa saja. “Sena… Nak,” ucap Kalia dengan suara yang begitu lembut namun penuh luka. “Mommy minta maaf. Mommy benar-benar minta maaf untuk semuanya. Keputusan itu… keputusan Daddy. Kami hanya… mencoba menyelamatkan keadaan.” Sena tertawa pendek—pahit seperti racun. “Menyelamatkan keadaan? Dengan mengorbankanku, Mom?” Kalia mengusap dadanya yang sesak, berusaha tetap tenang. “Mommy tahu kamu terluka. Mommy tahu kamu marah. Bahkan… Mommy pun masih sulit memahami semuanya.” Ia menatap putrinya lekat-lekat. “Tapi Nak… Insya Allah Dialta bukan orang jahat.” Sena mengerutkan kening, ekspresi muak muncul. “Dia—pembunuh—Mommy. Bahkan apa mommy lupa apa yang dia lakukan pada Kak Sean?” “Manusia punya masa lalu yang tidak kita mengerti, Sena,” balas Kalia lembut. “Dan kadang… Allah memilih jalan yang aneh untuk mempertemukan takdir seseorang.” Sena menggeleng, tidak percaya. “Tidak ada alasan yang cukup untuk membuatku jadi miliknya, Mom. Tidak ada.” Kalia menggenggam jemarainya sendiri, berusaha menahan suaranya agar tidak bergetar. “Papa mertuamu, Pak Abimana…” ucapnya perlahan. “Beliau bisa menerima Dialta sebagai anak. Bahkan setelah—” Kalia berhenti. Menatap Sena dalam-dalam, memastikan putrinya kuat untuk mendengar ini. “—setelah Dialta menyebabkan Rama kecelakaan. Dan kamu tau itu,” Sena terdiam. Mata abunya melebar sedikit. Ia tahu Rama—anak semata wayang Aryasatya—yang meninggal beberapa yang tahun lalu. Dan Dialta… penyebabnya? Ya... Saat itu Dialtalah penyebabnya. Kalia melanjutkan dengan suara yang nyaris berbisik. “Dialta membuat kesalahan saat itu… tapi dia bertanggung jawab. Dengan hukuman penjara. Dia menyesali. Dan Pak Abimana melihat perubahan besar dalam dirinya.” Air mata Kalia menetes. “Kalau seseorang yang kehilangan putranya saja bisa memaafkan Dialta… apakah tidak mungkin Dialta adalah laki-laki yang telah berubah?” Sena menatap ibunya tanpa berkedip. Emosinya campur aduk—marah, bingung, sakit, tak percaya… semua menjadi satu. “Mom…” suara Sena pecah. “Kenapa hatiku harus jadi taruhannya?” Kalia tidak bisa menahan diri lagi. Ia menarik putrinya ke dalam pelukannya. Dan kali ini Sena tidak menolak. Ia membiarkan dirinya jatuh ke dekapan lembut itu, menangis tanpa suara. “Sena sayang…” bisik Kalia, mengusap punggung putrinya. “Mommy tahu kamu hancur. Mommy juga hancur melihat kamu begini. Tapi Mommy percaya… Dialta tidak akan menyakitimu.” Sena terisak. “Mommy yakin?” Kalia mengamini, meski suaranya pelan. “Insya Allah… dia laki-laki yang bisa berubah. Dan Mommy lihat… tatapan dia ke kamu semalam, Sena. Apa kamu tau, seberapa khawatirnya dia saat kamu memilih kabur nak?” Sena menegang. “Tatapan apa? Benarkah?” “Tatapan lelaki… yang sadar dia diberi amanah besar,” jawab Kalia. “Tatapan orang yang ingin bertanggung jawab, meski caranya masih dingin dan kaku. Bahkan dia berjanji pada kakak-kakakmu bahwa, dia akan menjagamu meski dirinya sebagai taruhannya.” Sena tidak menjawab. Ia hanya menutup mata, membiarkan satu lagi air mata jatuh. “Dan Nak,” Kalia memegang kedua pipi putrinya, memaksanya menatap. “Kamu bukan korban. Kamu bukan objek. Kamu tetap putri Mommy—kuat, keras kepala, dan berharga. Kamu bukan barang yang diserahkan begitu saja.” Sena menggigit bibirnya. “Kalau begitu… kenapa hidupku seperti ini?” Kalia mencium kening putrinya. “Karena takdir Allah belum selesai menuliskan bagian bahagiamu.” ada senyum di wajah lembut itu. "Berterima kasihlah, karena Allah menunjukkan bagaimana kekasihmu hingga mengirimkan Dialta untukmu, Nak." Sena tidak yakin. Belum. Lukanya masih terlalu baru. Namun pelukan ibunya sedikit… hanya sedikit membuatnya bisa bernapas lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD