Bye-bye
“Hey! What the actual hell is this?!” bentak Tania,“matanya menyala marah, menunjuk gaun pengantin yang masih membalut tubuhnya. Gaun itu cantik, mewah, dan sangat tidak sesuai dengan mood-nya yang sedang meledak.
Nick mengangkat alis, malas. “Excuse me? Kok lo nyolot ke gue? Hello… Ini juga bukan kemauan gue, Tania Halim. Lo pikir gue desperate pengen nikah sama lo, huh?”
Tania mendengus, melipat tangan di d**a, lalu memutar tubuh membelakangi Nick. Wajahnya masam, bibirnya mengerucut kesal. Kalau bisa, dia mau langsung teleport keluar dari ruangan itu.
Mereka menikah? Yes. Benar-benar menikah. Bukan karena cinta, bukan karena tak bisa hidup tanpa satu sama lain. Tapi karena konspirasi keluarga yang terlalu lihai menyusun skenario. Dan sekarang, mereka terjebak dalam hubungan yang… menjengkelkan. Sangat.
“Dengerin!” ucap keduanya bersamaan.
Hening. Nick akhirnya mengangkat tangan, setengah menyerah. “Ladies first,” katanya dengan nada datar.
Tania berdehem, lalu berdiri tegak seperti CEO yang siap presentasi. “Gue bakal bikin kontrak. Dan sekarang, gue kasih bocoran isi kontraknya.”
Nick menyilangkan tangan, ekspresinya santai. “Katakan.”
“Pertama, lo nggak boleh jatuh cinta sama gue. Gue nggak bakal tanggung jawab kalau lo baper. Kedua, kita tidur pisah kamar. Ketiga, lo atau gue bebas kencan sama siapa pun. Nggak ada yang boleh cemburu. Titik.”
Nick mengangguk pelan. “Hanya itu?”
“Untuk sekarang, ya. Tapi ke depannya, mungkin syaratnya nambah. Tergantung situasi dan S&K yang berlaku,” jawab Tania, nada suaranya tajam tapi tetap elegan.
Nick tersenyum miring. “Fine. Gue cuma punya satu syarat. Lo harus sandiwara sama gue di depan semua keluarga. Kita harus kelihatan kayak pasangan bahagia. Deal?”
“Deal,” ucap Tania cepat, tanpa ragu.
“Great. Sekarang lo urus diri lo sendiri. Gue mau tidur. Capek,” kata Nick sambil melengos masuk ke kamar utama, kamar pribadinya yang kini jadi bagian dari pernikahan absurd mereka.
Tania menatap pintu yang baru saja ditutup dengan kesal. “Ck! Ternyata si kribo ini nggak punya empati!” gumamnya sambil menyilangkan tangan di d**a. “Gue tau kok ini apartemen lo. Tapi emang nggak bisa gitu ngalah dikit aja sama cewek? Nawarin gue kamar utama kek, bukannya langsung ngibrit masuk kayak pangeran tidur.”
Ia menghela napas panjang, lalu menjatuhkan diri ke sofa dengan gaya dramatis. Gaun pengantin yang masih membalut tubuhnya terasa makin nggak nyaman, makin absurd. Rasanya kayak lagi cosplay gagal di tengah sinetron keluarga yang terlalu niat.
Matanya menatap langit-langit apartemen yang terlalu mewah untuk hatinya yang sedang berantakan. “Selamat datang di episode pertama pernikahan paling nggak romantis abad ini,” bisiknya pelan, penuh sarkasme.
Lima menit kemudian, Tania duduk kembali sambil menatap pada pintu kamar Nick dengan tatapan maut
“Fine. Lo pikir gue nggak bisa tidur sendiri? Gue bisa! Emangnya gue anak kecil.” gumamnya sambil berdiri, lalu melangkah ke kamar tamu.
Sayangnya… kamar tamu itu kosong. Bukan kosong kayak “belum ditata”. Tapi kosong kayak “belum dibeli perabot sama sekali”.
“Seriusan nih, Nick White?!” pekik Tania histeris, suaranya cukup nyaring untuk mengganggu pria itu yang baru saja mau rebahan dan memeluk bantal.
Nick melangkah keluar dari kamar dengan wajah setengah ngantuk, setengah kesal. “Gue udah bilang mau tidur. Jangan drama, Tania. Ini udah malam banget. Lo tuh manusia atau batu, huh?”
“Tergantung siapa yang nanya,” serobot Tania cepat, matanya menatap tajam ke arah pria yang sekarang, secara teknis, sudah sah jadi suaminya. “Gue mau tidur di mana?”
Nick bersedekap, ekspresinya datar tapi menyebalkan. “Pikir aja sendiri,” ucapnya santai, seolah masalah tempat tidur bukan urusan dia.
Tania benar-benar dibuat kesal setengah mati. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan, berusaha keras untuk tetap waras dan nggak meledak di tempat.
“Fine… jadi gue boleh mikir sendiri. Iya, sudah,” ucapnya dengan nada datar, tapi matanya masih menyala penuh amarah.
Dalam hati, ia bergumam, “Tenang, Tania. Setidaknya cuma malam ini. Besok lo udah ninggalin si Kribo itu, dan hidup lo kembali bebas. Bebas!”
Ia melirik ke arah kamar utama yang baru saja ditutup Nick, lalu menatap sekeliling apartemen yang terlalu dingin untuk disebut rumah. Gaun pengantin masih membalut tubuhnya, tapi rasanya kayak baju perang yang nggak layak dipakai dalam pertempuran konyol ini.
…
Cahaya pagi menembus tirai besar apartemen itu, menyelinap lembut ke ruang makan yang bergaya minimalis, warna putih, abu, dan sedikit sentuhan kayu.
Tania duduk di seberang meja makan, tampil effortless chic seperti influencer yang siap terbang ke Seoul, bukan seperti pengantin baru. Cardigan rajut warna cream membalut crop top putih, celana jeans high waist yang rapi, sneakers putih bersih, dan tote bag besar di sisi kursinya. Rambutnya digerai lembut, sedikit bergelombang alami, dengan kacamata hitam bertengger di atas kepala
Di depannya, secangkir kopi hitam masih utuh. Uapnya naik perlahan, menyatu dengan aroma roti panggang yang tak tersentuh
Nick muncul beberapa detik kemudian, masih dengan rambut acak dan ekspresi yang setengah sadar. Ia hanya mengenakan kaus putih dan celana training abu-abu, Tanpa bicara apa-apa, dia mengambil kopi sendiri, lalu duduk di hadapan Tania.
“Sorry about last night, gue... gue...” suara Nick terdengar ragu, seperti tersangkut di tenggorokan.
Tania mengangkat wajah perlahan. Tatapannya lembut, tapi berjarak. “Nggak papa, gue ngerti kok. Ini rumah lo, jadi lo bebas mau ngelakuin apa aja.”
Deg!
Kalimat itu meluncur ringan, tapi ada sesuatu di baliknya yang bikin d**a Nick terasa sesak.
“Lo... marah sama gue?” tanyanya, suara menurun.
Tania menggeleng pelan. “Nggak. Gue cuma... ngerti. Gue tau lo suka sama Alisa. Dan jujur aja, gue juga nggak mau semuanya jadi kayak gini.”
Ia menarik napas pendek. “Gue udah coba menolak perjodohan ini, Nick. Berkali-kali. Tapi ujungnya tetep mentok di keluarga kita.”
Nick diam. Hanya matanya yang menatap, seolah berusaha membaca perasaan yang disembunyikan di balik nada datar Tania.
“Lo tenang aja,” lanjutnya sambil menatap lurus ke arahnya. “Gue udah beliin tiket buat Alisa. Besok kemungkinan dia nyampe sini. Lo jemput, ya.”
Nick langsung menegang. “Tania... jangan ngomong kayak gitu. Lo bikin gue takut.”
Tania tersenyum tipis, matanya tetap lembut. “Nggak usah takut. Gue cuma pengen semuanya balik kayak semula.”
Ia memainkan ujung rambutnya sebentar, lalu melanjutkan, “Kasih gue waktu tiga tahun. Setelah itu, kita menemui keluarga, bilang udah coba, tapi ternyata nggak cocok. Simple.”
Keheningan menelan ruang makan itu lagi. Detak jam dinding terdengar jelas, seolah ikut menghitung waktu yang perlahan menjauh.
“Gue yakin, setelah itu mereka nggak bakal maksa lagi,” ujar Tania pelan.
Nick menelan ludah. Entah kenapa, melihat Tania duduk dengan tampilan secantik itu tapi bicara dengan nada setenang itu, rasanya justru lebih menyakitkan.
“Tania—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Tania sudah mengangkat tangan, lembut tapi cukup untuk menghentikannya. “Udah, Nick. Nggak usah ngomong apa-apa.”
Ia berdiri, meraih tote bag dan memasukkan boarding pass ke dalamnya. “Hari ini gue berangkat. Thanks ya, udah ngasih gue nginep di apartemen lo.”
Sejenak, waktu seolah berhenti. Nick hanya bisa diam, matanya mengikuti setiap gerak Tania yang tampak begitu tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja mengakhiri sesuatu yang bahkan belum sempat dimulai.
‘Kontrak yang kita bahas tadi malam... sepertinya udah nggak perlu lagi.’ Tania tersenyum samar, senyum yang hanya ia tahu artinya. ‘Selamat tinggal, Nick White. See you when I see you again.’
Dengan tarikan halus, koper di tangannya berderak pelan, bergesek di lantai marmer apartemen yang terasa terlalu hening.
Langkah-langkahnya menjauh, sampai akhirnya pintu tertutup rapat di belakangnya, meninggalkan Nick berdiri di tempat, masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.
Hening…
Begitu sunyi sampai detak jam dinding terdengar seperti gema.
Nick menatap ke sekeliling apartemen yang mendadak terasa terlalu luas, terlalu dingin, terlalu… kosong.
Pandangan matanya lalu tertuju pada pantulan kaca besar di ruang tamu.
Ia membeku.
Di sana, di balik refleksi dirinya yang kusut, tergantung sesuatu yang familiar, gaun pengantin putih itu, lembut, tenang… seolah menunggu seseorang untuk kembali.
Nick melangkah pelan mendekat, jemarinya menyentuh kainnya yang dingin. Napasnya terhenti sesaat.
Gaun itu bergoyang pelan tertiup angin dari jendela, dan dalam diam, sesuatu terasa berubah.
Nick menarik napas dalam-dalam. “Lo ninggalin gaunnya, Tania…” bisiknya lirih. “Atau lo ninggalin sesuatu yang bikin gue nggak bisa berhenti mikirin lo?”
Dan untuk pertama kalinya Nick menyadari, mungkin yang benar-benar hilang dari hidupnya bukan cuma Tania. Tapi juga… ketenangannya sendiri.
Ia meraih ponselnya pelan, menatap layar sebentar sebelum menekan nama Jeremy. “Bro,” ucapnya pelan tapi mantap, “consider me on board. Email HR bakal gue kirim sebelum tengah malam.”