Hari itu

1147 Words
Paginya ketika Arka sudah berangkat kerja, Intan memutuskan untuk membantu Bik Iyem membersihkan rumah. Tidak banyak, hanya sekedar menyapu dan membersihkan pot bunga di halaman depan. Hal itu lebih baik ketimbang dirinya hanya sekedar bersantai menonton televisi. Intan bosan sebenarnya, ingin keluar tapi Dikta ada kelas hari ini. Intan tak punya teman juga, pergaulannya setelah menikah hanya sebatas istri teman-teman Arka yang kebanyakan wanita karier. Sedikit membuat intan minder tentunya, tapi kata Arka tak masalah, karena Intan memilih mengabdikan dirinya untuk suami. "Kata Den Arka, Non Intan disuruh gak usah nunggu nanti malam. Soalnya Den Arka lembur," ucap Pak Deden yang baru saja sampai di dapur selepas mengantar Arka berangkat kerja. "Oh iya, Pak! Makasih ya udah diinfoin," balas Intan. Setelah itu Pak Deden duduk di ruang penghubung dapur dan garasi, menunggu kopi pagi yang rutin Bik Iyem buatkan untuknya. "Non Intan, gak mau kerja? Bibik liat Non Intan bosen di rumah terus," ucap Bik Iyem memulai percakapan selepas menyajikan kopi untuk Pak Deden. "Maunya juga gitu, Bik! Tapi Bibik kan tau sendiri Arka gak mau aku kerja," balas Ayu menarik kursi untuk duduk. Bik Iyem tengah memasak makan siang, sekedar untuk mereka bertiga yang berada di dalam rumah ini, karena Arka tidak mungkin pulang siang ini. Dengarkan apa yang Pak Deden katakan sebelumnya. "Non Intan, kan bisa bikin kue. Bisa itu jadi usaha." Intan terdiam sejenak, skillnya membuat kue memang lebih dominan dari pada memasak makanan sehari-hari. Beberapa kali ia juga mendapatkan tugas dari Arka untuk membuat kue dihari peringatan kantor, entah itu ulang tahun kantor, atau ketika perusahaan mendapat tender besar dan berhasil. "Iya juga ya, Bik? Kenapa gak kepikiran dari dulu?" "Iya kan? Nanti, Non, masukin ke pesbuk atau gak toktok, dijamin laris!" Kali ini Bik Iyem lebih antusias, karena tiap Intan membuat kue ia akan mendapatkan bagian. "Ihh kenapa gak dari dulu coba?" tanya Intan pada dirinya sendiri, ide seberlian itu ternyata telah ia sia-siakan sejak lama. "Ya udah, Non Intan, bilang aja ke Den Arka. Kalo boleh langsung besok buat, Bik Iyem bantuin deh!" Intan lantas mengambil ponselnya mengirim pesan perihal ide Bu Iyem, ia harus meminta izin terlebih dahulu kan? Mau bagaimana pun persetujuan Arka itu penting, tak mungkin lelaki itu langsung mendapati Intan repot membuat kue tanpa sepengatahuannya. Sayangnya, pesan itu tak langsung dibalas. Arka pasti tengah sibuk, apalagi ia harus lembur hari ini. Tak apalah Intan menunggu lelaki itu saat pulang nanti. Pasti akan lebih seru membicarakan ini langsung dengan Arka. Intan akan membeli barang-barang perlengkapan besok, ia harus membicarakan ini dengan Arka terlebih dahulu, karena lelaki itu pasti punya banyak konsep untuk penjualan kue. Bisa untuk pertimbangan bagi Intan nantinya. Hingga sore datang pesan dari Intan belum juga mendapat jawaban, tapi perempuan itu tak terganggu sama sekali sebab ia sedang sibuk mencatat kue yang memungkinkan untuk ia jual. Sekaligus bahan-bahan utama yang akan ia beli besok. Sampai suara pintu gerbang dibuka Intan baru beranjak dari dapur, menyusul Arka yang sudah turun dari mobil. Senyum Intan terpancar, sudah tak sabar membicarakan rencananya kepada Arka. "Sayang!" seru Intan berlari layaknya anak kecil, memeluk tubuh Arka yang keheranan melihat kelakuan istrinya. "Ada apa?" tanya Arka. "Aku mau ngomong sesuatu!" "Ngomong apa?" "Kita masuk dulu, bicara di dalem aja ya?" Arka mengangguk, masih dengan merengkuh tubuh Intan dari samping Arka berjalan memasuki rumah mengikuti langkah Intan. Mereka berakhir duduk di ruang televisi. "Aku ambil catatan dulu," kata Intan sambil beranjak lagi, mengambil note berisi catatan yang sudah ia kerjakan sejak siang tadi di dapur. Saat Intan kembali bisa ia lihat Arka tengah bersandar di sofa, jas yang ia pakai sebelum sudah tersampir di sampingnya, kemejanya tergulung sebatas siku. Arka memejamkan matanya lelah, tapi Intan akan tetap menyampaikan keinginannya. Pikirannya bilang tak ada waktu lagi, karena besok bahan-bahan harus ia beli. "Aku mau bikin usaha kue, Sayang! Lumayan buat kerjaan aku, bosen tiap hari cuma bengong di rumah." Arka hanya diam, masih bersandar di sofa. Bibirnya komat-kamit seolah tengah memikirkan sesuatu. Intan ikut terdiam menunggu tanggapan dari suaminya. "Gimana, Sayang? Aku boleh bikin usaha kue?" tanya Intan lagi, sudah terlalu lama menunggu Arka berbicara. Arka lantas membenarkan duduknya, tegap menghadap Intan yang masih terbengong menunggu kata-kata keluar dari bibir lelaki itu. Tatapan Arka tajam, membuat Intan sedikit terintimidasi. "Intan .... " Intan keheranan, kenapa Arka tiba-tiba memanggil dia seperti itu? "Iya?" tanya Intan sedikit tergagap, tentu saja masih keheranan. Bibir Arka terbuka, tapi kembali tertutup, seolah ada sesuatu yang ingin lelaki itu ucapkan tapi kenapa? Arka mengacak-acak rambutnya frustasi, tapi sepersekian detik ia kembali menatap ke arah Intan yang masih diam di tempat. "Intan Kayaknya memang kita gak bisa lanjutin rumah tangga ini," Arka terdiam sejenak. Menunduk dalam agar tak menatap mata penuh genangan air mata milik Intan. "Arka.... " Antusias Intan hilang seketika, perencanaannya tentang kue carut marut. Dunianya runtuh. Berkali-kali berdoa agar ini hanya sekedar mimpi, tak nyata adanya. "Aku ceraikan kamu, talak satu." Lantas Arka berdiri, berbalik meninggalkan Intan yang jatuh tersungkur tak berdaya di lantai. Intan menangis sejadi-jadinya, meraung putus asa akan nasib yang yang begitu malang. Apa salahnya hingg ia harus menanggung semua ini? Semua istana indah yang sudah ia bangun lama runtuh begitu saja, Dia memang tak sempurna! Tak bisa mengandung dan memiliki anak. Dia memang pembawa sial! Apa salahnya? Apa karena ingin kembali bekerja? Bukannya kemarin Arka baru saja bilang tak akan meninggalkan dirinya? Kenapa semuanya tiba-tiba? Kemarin mereka baru saja menikmati hari penuh kesenangan berdua, kenapa tiba-tiba begini? Intan rasanya ingin mengejar Arka yang sudah masuk ke dalam pintu, tapi ia mengurungkan keinginannya. Memilih tetap di ruang televisi. Catatan di depannya sudah tak lagi menarik, ide yang ia susun sejak tadi pagi sudah tak menyenangkan. Ini bukan mimpi, nyatanya ia bisa melihat Bik Iyem yang berdiri di pintu dapur dengan wajah kebingungan. Tak paham apa yang terjadi. Namun, ia tetap melangkah mendekat Intan, menjatuhkan perempuan itu ke dalam pelukannya. "Ada apa, Non?" tanya Bik Iyem disela-sela tangis Intan. "Aku ... dicerain Arka, Bik." Tersedu-sedu Intan mengutarakan ini kepada Bik Iyem. "Astaghfirullah ...." Bik Iyem semakin mempererat pelukannya, tak lagi bisa mengatakan apapun sekedar untuk penenang. Sebab apapun yang Bik Iyem ucapkan tak ada satupun hal yang bisa menenangkan hati Intan yang pernikahannya telah kandas. Bik Iyem juga tak paham apa yang ada di pikiran Arka, padahal tadi pagi ia lihat sendiri kedua majikannya masih bermesraan. "Non, Bik Iyem akan selalu doain apa yang paling baik buat, Non Intan, kedepannya. Jangan kecil hati ya kalo memang semuanya terjadi, itu artinya, Non Intan, punya yang lebih baik di depan sana." Malam itu Intan pergi dari rumah dengan diantar oleh Pak Deden, memutuskan untuk kembali tinggal dengan adiknya, Dikta. Tak ada satupun yang ia bawa, bahkan ponselnya entah ada di mana. Intan hanya pergi membawa diri, dan satu baju yang ia kenakan. Arka tak keluar kamar, untuk mencegah. Lelaki itu tetap berdiam diri semenjak menjatuhkan talak untuk Intan. Kepergian Intan seolah memang sudah ia harapkan sejak lama. √∆√∆√∆
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD