12 | Win-Win Solution

2056 Words
“Enggak, aku nggak mau!” Olin bereaksi keras, dan tetap saja tidak ada yang menghiraukannya sebab Inge dan Arif masih saling adu tatapan tajam, menunggu siapa yang duluan menunjukkan tanda-tanda terintimidasi. Namun, keduanya sama-sama ingin menunjukkan siapa yang paling punya kuasa. “Kalian nggak bisa melakukan ini padaku. Aku juga berhak memutuskan nasibku sendiri. Aku nggak akan melakukan ide konyol kalian, apalagi ide konyolmu itu, Inge.” Mendengar Olin menyebut namanya dengan lancang. Inge akhirnya menolehkan kepala menatapnya. “Hakmu memutuskan nasib sudah kamu pakai saat kamu ingin mengandung anak Arif, itu nasib yang kamu pilih. Jadi diam lah.” Tak menyerah, Olin mencari dukungan Arif. “Mas, jangan dengarkan dia. Aku nggak apa-apa sama keputusan kamu yang tadi. Nggak apa-apa kamu memisahkan aku dari anakku, asal jangan sampai anakku diaku jadi anak dia.” “Ck, bisa diam nggak sih, Lin?” Arif berdecak kesal lantaran rengekan Olin menganggu konsentrasinya. “Inge benar, kamu udah milih nasibmu. Kami sedang cari cara membereskan masalah yang kamu bikin.” Olin terperangah tak bisa berkata-kata. “Kalian berdua benar-benar jahat.” “Mau ke mana?” cegah Inge dengan suaranya saat Olin menambar tasnya, seperti hendak pergi. “Hari ini nggak usah ke kantor,” sambung Arif yang tanpa kesepakatan, sepaham dengan Inge bahwa sebaiknya Olin tidak ke mana-mana hari ini. Atau, setidaknya sampai pembicaraannya dengan Inge selesai. Jaga-jaga agar Olin tidak mengacau. “Masuk ke kamar, Lin.” “Aku mau pergi.” “Nurut, Olin. Jangan bikin aku tambah pusing!” Arif membentak tegas. Membuat Olin yang pada dasarnya penakut pun membanting pintu kamar. Inge mendengus. “Kamu harusnya memperlakukan orang yang paling mengenal kamu itu lebih lembut,” sindir Inge. Pribadi dibanding-bandingkan dengan teman saja sakit hati, apalagi dibanding-bandingkan dengan selingkuhan suaminya, langsung dari mulut suaminya sendiri. Setelah ruangan berangsur-angsur tenang tanpa suara tangisan Olin, Arif mencoba mengurai benang kusut di kepalanya satu per satu. "Jadi, kamu tadi bilang, kamu akan pura-pura hamil?" Inge mengangguk sekali, tanpa keraguan sedikit pun seolah hal tersebut telah melalui proses penggodokan panjang. Padahal itu hanya ide spontan dan dipikir-pikir ulang dalam perjalanannya ke tempat ini. "Lalu, kamu akan membuat seolah-olah anaknya Olin adalah anak yang kamu lahirkan?" Dan, sekali lagi Inge menganggukkan kepala. "Cukup adil, kan?" "Kamu sinting, Inge." Hanya itu yang ada di pikiran Arif saat ini. Seandainya Inge bilang akan menganggap anak Olin sebagai anak adopsi, dia mungkin akan lebih mudah mengerti. Namun, untuk memalsukan kehamilan serta ibu biologis seorang anak, Arif rasa itu sudah kelewatan. Inge tertawa, tawa yang semakin membuat Arif yakin bahwa kecerdasan dan nalar Inge terganggu. "Kenapa aku sinting hanya karena aku memperjuangkan ambisiku? Apa cuma ambisimu aja yang boleh diperjuangkan? Aku ingin punya anak, Rif." "Kamu sebut ingin punya anak itu ambisi?" "Jangan meremehkan ambisi orang lain cuma karena kamu dengan mudah bisa mendapatkannya," Inge mengeram tersinggung. "Kamu udah membuktikan kalau yang bermasalah adalah aku. Buat kamu dan semua orang, punya anak itu gampang. Tinggal buang di dalam, dan tunggu dua minggu kemudian. Tapi, mana kalian ngerti sama perasaan aku? Gimana frustrasinya aku? Gimana melelahkannya melakukan treatment-treatment yang bikin mood naik turun? Gimana susahnya atur mindset biar tetap optimis dan nggak kehilangan semangat," cecar Inge dengan emosi bergumul di dadaa. "Aku ngerti—" "Enggak, kamu nggak ngerti," Inge memotong ucapan Arif. Atau lebih tepatnya, menghentikan bualannya. "Yang kamu lakukan cuma baik-baikin aku, tanpa peduli perasaan aku karena yang terpenting buat kamu adalah gimana caranya sebelum umur 35 tahun, kamu udah jadi gubernur." Arif mengatupkan bibirnya, urung berkata-kata dan hanya menatap Inge dengan tatapan perpaduan antara lelah dan kasihan. "Apa, sih, Nge, yang bikin kamu sampai sebegitunya? Aku atau orangtuaku yang nekan kamu? Kan enggak. Lingkungan sosial kamu juga cukup liberal dan open minded, mereka menganggap anak bukan kewajiban, tapi pilihan. Lalu apa yang bikin kamu merasa harus punya anak?" Rahang mengetat, meski baru semenit lalu Inge ingatkan, Arif masih saja meremehkan keinginan seseorang. "Sejak kapan keinginan harus punya alasan?" "Sebuah keinginan memang muncul dilandasi penyebab yang melatarbelakangi." "Kamu nggak akan pernah mengerti!" Dalam hati, Inge melanjutkan, 'karena aku sendiri juga tidak tahu mengapa keinginan punya anak sangat menggebu.' "Kalau begitu, jelaskan sampai aku ngerti karena ini menyangkut anakku yang akan menjadi anakmu. Gimana kalau ternyata kamu punya niat jahat melampiaskan dendammu ke dia?" Inge menyipit keheranan, bagaimana bisa Arif berpikir sejauh itu. Sungguh Inge sama sekali tidak berpikiran sampai ke sana. Keinginannya menjadikan anak Olin sebagai anaknya tidak punya tujuan terselubung. Inge tahu kepada siapa ia harus melampiaskan dendam. Inge menarik paksa kedua sudut bibirnya ke atas, membentuk senyuman lebar. "Wah, ide bagus. Kok aku baru kepikiran, ya?" "Jangan berani macam-macam, Nge," desis Arif penuh peringatan. "Kamu mau dengar pendapatku? Menurutku, kamu ingin punya anak bukan hanya karena ingin. Kamu hanya terbiasa menjalani kehidupan sempurna, semua keinginanmu selalu kamu dapatkan. Semua hal bisa kamu lakukan, semua orang mengagumi kesempurnaan itu. Makanya kamu nggak bisa terima saat ada hal yang nggak bisa kamu dapatkan dan kamu lakukan. Kamu frustrasi karena semua uang yang kamu punya dan semua dukungan yang keluargamu bisa kasih, sama sekali nggak bisa membantu dalam hal ini. Iya, kan?" Di bawah meja, kedua tangan Inge mengepal kuat. Inilah wajah asli Arif sebenarnya. Dia sangat manipulatif dan mudah mempengaruhi pikiran seseorang. Iya, wajah Arif yang menjadi suaminya sejak 5 tahun lalu hanyalah topeng palsu. Bukan hanya urusan politik, bahkan di kehidupan nyata dia melakukan pencitraan juga. Tidak salah lagi, Arif memang terlahir dengan bakat alami menjadi seorang politikus. Inge mendongakkan kepala, menunjukkan bahwa ia sama sekali tak terintimidasi. "Kenapa kamu masih saja menyerang pribadiku, Rif? Aku datang buat menawarkan kesepatakan win-win solution. Coba kamu pikirkan, dibanding Olin, publik jelas lebih mengenal aku dan reputasiku selama ini sangat bagus. Aku sangat bisa menaikkan angka kepemilihan kamu, apalagi dari kalangan anak muda dan perempuan. Aku bisa bicara sama Papa siapa nama kamu diajukan jadi kandidat dari partainya. Realistis aja, Rif. Kamu nggak punya banyak waktu, bursa pencalonan tinggal sebentar lagi. Kamu nggak akan sempat mengembalikan nama baik kamu seandainya aku bongkar masalah ini ke publik, aku malah ragu nama baik kamu bisa kembali." Gigi Arif gemelatuk menahan marah. Inge sangat licik. Dia tahu apa yang sangat Arif butuhkan sekaligus apa yang paling Arif takutkan. "Lalu kamu? Apa keuntungan yang akan kamu dapat? Aku ragu kalau satu-satunya yang kamu inginkan cuma anak." "Agar bisa jadi istri gubernur lah, memangnya apa lagi?" Inge tergelak kuat. "Bayangin gimana bangganya aku bisa jadi istri Pak Gubernur Arif Bijaksana dan bisa 'melahirkan' keturunan dia. Semua orang pasti akan sangat iri." Inge memberi tanda kutip dengan kedua tangannya saat mengucapkan kata melahirkan. "Itu saja?" Alis Arif terangkat, tak yakin. "Seperti yang kamu bilang, hidupku sudah sempurna, kecuali tidak bisa melahirkan." Inge merasa seperti baru saja menusukkan belati ke daadanya sendiri saat terpaksa mengakui tudingan Arif tersebut. . Arif mengangguk, tampak puas dengan jawaban Inge. "Oke, aku setuju. Tapi aku mau kita lakukan hitam di atas putih. Kita jelas ... nggak bisa jadi suami istri kayak dulu." Sesungguhnya Arif masih merasa aneh sebab sekilas saja sudah tampak keuntungan lebih banyak ada padanya, benarlah yang Inge inginkan hanyalah anak? Apa pun itu, tidak ada salahnya mengiyakan sembari terus waspada. Seperti yang Inge bilang, Arif tidak punya banyak waktu. Pintu kamar di mana Olin berada tiba-tiba terbuka dengan menyentak, sontak membuat Inge dan Arif menoleh. Detik selanjutnya, Arif berdiri kaget lantaran memegang sebuah pisau yang ditempelkan di pergelangan tangannya. Hanya butuh satu gesekan saja pisau tersebut akan memutus pembulu darah Olin. Sementara itu, Inge masih duduk setenang sebelumnya seolah Olin mati atau hidup tidak penting baginya. "Olin, apa yang kamu lakukan." "Jangan mendekat!" jerit Olin saat Arif melangkah hendak mendekatinya. Sontak Arif menahan langkahnya. "Oke, aku nggak akan mendekat. Tapi buang pisau itu sekarang." "Apa kamu menyetuhui rencana jahat Inge, Mas?" tanya Olin. Wajah perempuan muda itu tampak sangat merah dan berlinangan air mata. Arif menghela napas. "Itu yang terbaik buat kita saat ini." "Terbaik buat kalian!" "Terbaik juga buat kamu, Olin," balas Arif berusaha sabar. "Pikirkan masa depanmu. Gimana masyarakat akan menilai wanita yang sudah punya anak tanpa hamil, atau kalau kamu beneran mau speak up, itu malah lebih buruk lagi. Seluruh Indonesia akan mengenal kamu sebagai Pelakor. Kalau anak kita sudah besar, dia akan melihat jejak digital siapa orangtuanya dan bagaimana dia bisa lahir ke dunia. "Kalau gitu nggak perlu ada masa depan. Aku akan akhiri hidupku sekarang!" "Olin!" "Ck, dasar anak kecil," decak Inge tanpa sedikit pun melihat ke arah Olin. "Kenapa, sih, Rif, kamu selingkuhnya mesti sama anak kecil?" Arif melototi Inge. "Kalau kamu nggak bisa diam, pergi aja." Inge berdiri dengan kedua tangan bersendekap di daada, lalu maju selangkah demi selangkah ke arah Olin. "Berhenti, aku akan potong tanganku kalau kamu nggak berhenti." Inge tersenyum miring, tanpa mengindahkan peringatan Olin, dia terus berjalan maju. "Berhentiii ...." Olin menjerit histeris dan mundur-mundur gingga punggungnya mentok di dinding. "Inge!" teriak Arif. Inge baru berhenti kemudian, tatapannya lurus pada Olin. Tubuh Olin gemetaran, matanya panik, dan bibirnya bergetar. "Kamu sebenarnya nggak berani, kan?" "Inge, jangan gila!" bentak Arif panik, khawatir Olin nekat. Ia tak ingin masalah makin runyam dengan adanya nyawa yang melayang. "Arif, kamu kayaknya takut banget dia mati makanya nggak bisa lihat kalau sebanarnya Olin cuma menggeretak. Dia sendiri takut mati, karena kalau enggak dia akan langsung iris tangannya begitu aku nggak dengar peringatannya yang pertama dan bukan malah teriak lagi dengan wajah makin ketakutan." "Olin, jangan dengarkan dia," Arif berpikiran sebaliknya, ia tahu Olin bisa senekat apa. Apalagi, jika ditambah ada yang memancingnya. "Kamu akan sangat menyesal kalau sampai nekat. Oke, kami akan mendengarkan kamu. Kamu mau bagaimana?" Inge mendengus mencemooh, alam bawah sadar Arif pasti mengirim sinyal ingin melindungi orang yang dicintainya. "Kalau kamu mau mati, harusnya kamu ajak ibumu mati bersamamu," ujar Inge dengan nada dingin. "Kamu memang masih muda, tapi kamu udah dewasa, Lin. Orang dewasa nggak mikir buat dirinya sendiri. Hamil biar dinikahi, ancam bunuh diri biar didengarkan. Cih, kamu sangat kekanak-kanakan." "Inge, keluar dari sini." Arif bersiap menyeret Inge pergi, tepat saat Olin bersuara. "Tahu apa kamu tentang nggak mikir buat diri sendiri? Apa kamu sendiri pernah dihadapkan situasi tanpa pilihan yang mau egois nggak bisa, mau nyerah pun nggak bisa?" Inge melirik Arif kesal dan menyentakkan tangannya hingga tangan Arif terlepas dari tangannya. "Nggak pernah, karena aku bukan kamu." Jawaban Inge terdengar kejam, padahal Inge hanya mengungkapkan kenyataan. "Tapi kalau kamu mau menyerah sekarang, apa nggak sia-siapa pengorbanan kamu sebelum-sebelumnya? Ibumu sedang sakit, kan? Siapa yang akan rawat dia? Aku bahkan ragu Abangmu yang pemabuk itu mau mengurus pemakamannya." "Kamu ... jangan sok tahu," getaran suara Olin menunjukkan bahwa dia gentar dan yang dikatakan Inge masuk akal sehingga ia tidak bisa menyangkal. "Kamu bisa mengakhiri nasib buruk itu sekarang. Anggap ini terakhir kalinya kamu dihadapkan tanpa pilihan, lalu setelah itu perbaiki hidup kamu. Lupakan Arif, cari laki-laki yang bertanggung jawab dan berani ngasih kamu komitmen. Buat apa kamu ngemis cinta seorang pegecut yang nggak bisa menghormati kamu? Lupakan juga soal anak itu, aku yang akan menjamin dia punya nasib baik. Kamu bisa mulai lagi hidupmu sebagai wanita lajang. Kejar karir kamu, perbaiki kehidupan sosialmu, temu orang-orang baru. Dengan begitu, kamu akan melihat ada banyak laki-laki yang jauh lebih baik daripada Arif. Buat diri kamu kuat sehingga kamu nggak perlu bergantung sama orang lain." Dari wajah Olin, Inge lalu melirik Arif sekilas. "Mau mengubah nasib kok lewat Arif." Arif menatap Inge marah, tapi malah terlihat puas karena ia memang sengaja. Dengan santai Inge berbalik badan. Inge menyangklong tasnya dan bersiap pergi. "Aku harus pergi. Arif, aku anggap kita udah sepakat. Aku akan siapkan berkas kontraknya dan bicara lagi nanti." Arah pandang Inge kemudian dialihkan ke arah Olin yang masih dalam posisi kuda-kuda bunuh diri. "Buang pisaumu. Yang seharusnya kamu bunuh itu orang di depan kamu itu, dia yang ngasih kamu harapan palsu." Sayangnya, Inge tidak punya waktu lebih untuk menikmati pelototan emosi Arif serta ratapan tak berdaya Olin. Ia melenggang pergi dengan langkah ringan. "Dasar penyihir." Inge masih bisa dengar desisan Arif dan suara benda logam terjatuh ke lantai disusul dengan raungan tangisan Olin, Inge asumsikan Olin mengurungkan niatnya bunuh diri. Inge pun keluar dari apartemen Arif. Masuk ke dalam lift, tubuh Inge seketika melemas. Ia berpegangan pada dinding lift karena jika tidak, tubuhnya pasti merosot jatuh. Inge memegangi daadanya yang berdebat kencang, setitik cairan keluar dari sudut matanya. Padahal, permainan belum dimulai. Tetapi Inge sudah mengeluarkan banyak sekali energinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD