Kalau boleh jujur, Olin sendiri sebenarnya takut. Bagaimana jika yang dibilang Nera benar? Bagaimana jika alih-alih tanggung jawab, Arif justru mencampakannya?
Tidak, Olin menggeleng berusaha menepis pikiran menganggu itu. Ini akan jadi semacam pertaruhan. Bukan main-main yang Olin pertaruhkan, ada nyawa seorang anak dan masa depannya.
Dicampakan sekarang ataupun dilepeh ketika Arif sudah bosan, keduanya tidak ada bedanya. Namun, daripada diam tak melakukan apa-apa, Olin merasa harus mengupayakan sesuatu. Tepatnya, bagaimana caranya ia mengubah status dari wanita simpanan, menjadi wanita idaman. Untuk pertama kali seumur hidup, Olin tidak pernah menginginkan sesuatu sekuat ini. Entahlah, barangkali Olin sudah terlalu lelah melepaskan keinginannya demi orang lain. Mengorbankan masa mudanya demi bekerja, mengorbankan keinginginannya bebas demi mamanya, mengorbankan harga diri dan kesabarannya dimaki-maki demi memuaskan hasrat kebencian Ringgo.
Dengan dinikahi Arif, Olin akan mendapatkan dua hal sekaligus. Harta serta status sosial yang tidak akan membuatnya diremehkan lagi oleh orang lain, termasuk Ringgo. Lalu yang ke dua adala cinta, Olin bisa bersatu dan membentuk keluarga bersama pria yang dicintainya.
Sesuai janjinya dengan Arif, sejak pukul 7 malam, Olin sudah berada di unit apartemen milik Arif yang jadi sarang cinta mereka. Mereka sepakat untuk makan malam bersama, sehingga Olin sudah menyiapkan makanan di atas meja makan. Suasana hati Arif tampaknya sedang tidak terlalu baik hari ini, hal itu terlihat dari dia yang langsung menyetujui ajakan bertemu Olin padahal mereka punya jadwal pertemuan sendiri yaitu setiap hari jumat malam. Di luar itu, biasanya Arif lah yang menentukan.
Pukul 8 malam Arif tiba, dia memberi Olin kecupan di pipi sekilas, sebelum menambah ciuman di bibir setelah melihat apa yang terhidang di atas meja.
"Wah, aku udah lama banget nggak makan ikan jambal," serunya dengan wajah berbinar, langsung menarik kursi meja makan untuk diduduki. Tak sabar memakan menu 'kampung' yang amat jarang dia makan.
Olin lantas menyendokkan dua ujung centong nasi hangat ke piring Arif, melayaninya sebagaimana pasangan yang baik.
"Lagi," ujar Arif ketika Olin hendak menaruh sendok nasinya.
"Nanti bisa nambah lagi."
"Biar sekalian, aku mau makan banyak." Olin tertawa kecil dan menambah satu centong lagi. "Terima kasih, Olin, aku selalu suka makan bareng kamu karena makanannya selalu enak-enak."
"Maksudnya makanan warteg pinggir jalan?"
Gantian Arif yang tertawa. "Iya, cuma sama kamu aku bisa makan warteg pinggir jalan. Sama Inge mana bisa, makanan dia makanan-makanan barat dan nggak mau makan di sembarang tempat."
Olin tersenyum mendengarnya, meski ini bukan pertama kali ia mendengarnya. Arif kerap membanding-bandingkan Inge dengan dirinya, tentu dalam hal ini Arif selalu memberi Olin nilai plus. Hal itu membuat Olin makin percaya diri dan berani bermain hati. Pada dasarnya, Arif menemukan sesuatu di diri Olin yang tidak Inge miliki.
Arif makan ikan jambal asinnya dengan sangat lahap menggunakan tangan, dalam sekejap piringnya sudah kosong dan wajahnya menyeringai puas. "Hah ... kenyang," desahnya, mengelus-elus perut dengan tangan kiri. "Oh, ya, kamu tadi bilang mau bicara sesuatu. Bicara apa? Kakakmu berulah lagi?"
"Enggak." Olin menggeleng cepat. "Maksud aku, belum," tambah Olin terdengar penuh sesal. Ya, selama Ringgo masih bernapas, dia tidak akan berhenti berulah dan memberi Olin kesulitan.
"Terus?" Pertanyaan Arif belum terjawab, lantaran ponsel Arif keburu berdering. Dia memeriksanya dan detik selanjutnya, binar-binar di wajahnya meredup, berganti dengan decakan lidah malas bersamaan dengan wajahnya berubah masam.
"Kenapa nggak diangkat?" tanya Olin melihat Arif menaruh kembali ponselnya di menjadi mode senyap.
"Inge. Biasa, ngajak ribut lagi."
"Kali ini kenapa lagi?" Olin berpindah duduk di pangkuan Arif, memberi belaian manja di dadaa bidangnya. "Masih masalah anak?"
Arif menggeleng pelan. "Bukan. Aku rasa dia mulai gila, hal-hal kecil bisa jadi besar karena selalu dia ributkan. Kayak kok tumbun aku pakai parfum, padahal ya tiap hari aku pakai parfum sama di titik-titik sama. Terus yang tadi siang, dia ngambek karena nggak bisa makan siang bareng dan nanya Dendi apa benar aku ada meeting jam makan siang itu," keluh Arif. "Nggak bisa apa ya, dia kayak kamu. Yang nurut, nggak banyak tingkah, dan lebih peka sama yang aku suka."
"Apa menurutmu dia curiga kalau kamu ehm ... punya wanita lain?" tebak Olin.
"Nggak mungkin. Emang dia aja yang parnoan."
"Ya ... siapa tahu, kan?" Bagaimana Olin menjelaskannya? Percaya tak percaya, seorang wanita punya semacam indra keenam, terlebih mereka tinggal bersama, aneh jika Inge tidak bisa membaca gelagat Arif. Seperti kata pepatah, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, baunya akan tercium. Kecuali, Arif pembohong ulung hingga Inge benar-benar terkelabuhi.
Arif menghendik tampak tak peduli. "Nggak usah bahas dia. Males."
Olin lantas memejamkan mata saat kepala Arif dimajukan, dan sedetik kemudian bibir Arif telah mendarat di atas bibirnya. Memberi lumatan demi lumatan lembut di bibir Olin yang sudah seperti candu baginya. Olin membuka mulutnya, memberi celah cukup bagi Arif melesakkan lidahnya masuk dan saling berpagut dengan miliknya.
Olin mengerang keenakan, terlebih saat tangan Arif turur bermain meremas dadanya yang mengencang. Ini terlau nikmat untuk diakhiri, sayangnya harus diakhiri di sini.
"Mas, aku nggak bisa sekarang ...," cicit Olin, melepaskan ciuman bibir mereka.
"Kenapa?" tanya Arif dengan kedua mata sayu, berkabut gairah. Tangannya menjalar begitu saja menyentuh pusat tubuh Olin yang sukses membuat Olin kembali mengerang. "Nggak lagi dapet, kok." Arif pun melanjutkan cumbuannya lantaran tak menemukan alasan untuk berhenti.
Olin sedikit mendorong daada Arif, membuat Arif mengerang kecewa. "Jangan sekarang, Mas. Aku lagi nggak boleh."
"Nggak boleh?" Arif mengernyit binging maksud Arif.
Inilah saatnya.
Dengan gugup, Olin berdiri dari pangkuan Arif, sementara Arif terus memperhatikannya menunggu penjelasan. Olin bergerak mengambil sesuatu yang telah ia persiapkan sebelumnya. Inge telah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Pertama, Arif pasti akan kaget dan mempertanyakan bagaimana bisa ia hamil karena tahu Olin rutin mengonsumsi obat kontrasepsi. Itulah tugas Olin, ia harus tetap tenang agar bisa menjelaskan.
Menarik napas panjang, Olin menarik testpeck dari saku celananya, lalu menyodorkannya pada Arif.
Kernyitan di dahi Arif makin kusut menatap benda pipih dengan dua garis merah tersebut. Tentu, barang ini tidak asing baginya. Setiap bulan setidaknya ada satu benda semacam ini teronggok di tempat sampah kamar mandinya, bedanya hanya pada jumlah garis. Milik Inge selalu satu garis, baru kali ini ia melihat benda ini memunculkan dua garis.
"Ini ...," Arif terpakku tak bisa berkata-kata, menatap benda itu dan wajah Olin bergantian. "Ini ... punya kamu?"
Olin menganggukkan kepala mantap.
Arif tersentak, terhantam kenyataan. Benda ini dan air muka Olin terlalu serius untuk dianggap sebagai lelucon. Lagipula, ini tidak lucu sama sekali.
"Bagaimana bisa?" tanya Arif menuntut penjelasan. Jika Olin rutin meminum pilnya, maka seharusnya kehamilan itu tidak akan pernah terjadi. Dengan kalut, refleks Arif menyambar testpack tersebut dan membuangnya ke sembarang arah.
Ini buruk. Olin semestinya tidak hamil. Dia tidak boleh hamil!
"Mas—"
Suara Olin terjeda serta perhatian mereka teralih saat mendengar suara ketukan sepatu yang sepertinya sengaja dihentakkan untuk menandai keberadaannya. Mereka menoleh ke sumber suara dan mendapati sosok Inge muncul dari balik tembok dekat pintu masuk, rambutnya tergerai turut bergoyang bersama langkahnya dan memakai lipstik merah yang intimidatif. Perempuan itu melangkah anggun dan berhenti tepat di depan testpack yang Arif buang. Inge membungkukkan badannya untuk mengambil benda tersebut dari lantai.
"Inge—" Arif tercekat, masih berada di ambang batas antara percaya dan tidak. Sementara Olin, dia tampak lebih tenang seolah sudah mempersiapkan diri bahwa suatu saat momen ini akan terjadi.
Inge mengangkat pandangannya dari dua garis di testpack, berpindah ke wajah Arif. Menatapnya dengan tatapan datar hingga Arif kesulitan meraba apa yang sebenarnya ada di pikiran Inge saat ini.