Inge melirik jam yang tergantung di dinding kamarnya, jarum pendek mengarah tepat pada angka 12 malam dan Arif belum juga pulang. Tentunya ini bukan kali pertama Arif belum di rumah sampai tengah malam, Inge biasa menunggunya sambil mengerjakan pekerjaannya atau membaca buku. Namun, kali ini Inge benar-benar tidak bisa tenang padahal apa yang mengganggu pikirannya saat ini sama sekali tidak masuk akal. Inge terganggu dengan tas milik Olin yang sama persis dengan tas miliknya yang dibelikan Arif, telepon Arif sibuk di saat Olin menerima telepon lalu Arif menelepon balik tepat setelah Olin menyelesaikan teleponnya. Lalu yang paling menganggu ialah, Inge mendadak teringat posisi aneh Olin dan Arif saat kemarin lusa ia masuk ke ruangan Arif. Mereka berdua tampak sangat terkejut, seperti maling menaruhn lagi barang curiannya lantaran si pemilik rumah muncul.
Orang yang dipikirkan Inge muncul dibalik pintu, wajahnya terlihat masih cukup segar untuk ukuran seseorang yang telah menghabiskan 15 jam bekerja. Astaga, lihat, kalau pikiran sudah dikuasai prasangka, segala hal tampak mencurigakan dan saling berkaitan.
"Belum tidur, Nge?" sapa Arif mendekati Inge dan memberikan kecupan di pipinya.
"Nungguin kamu." Inge menyingkap bed cover yang menutupi kakinya, laku berdiri membantu Arif melepaskan dasinya. Di saat itulah Arif menyadari pakaian tak biasa yang kini menggantung di tubuh ramping Inge.
"Wow, baru habis belanja, ya?"
Inge mundur dua langkah, membiarkan Arif menatap tubuhnya dalam balutan lingerie yang sore tadi dibelinya. "Lebih suka lihat aku tidur pakai ini atau pakai piyama kayak biasanya?"
"Nggak ada pilihan nggak usah pakai apa-apa?" Arif tertawa atas candaannya sendiri. "Aku suka apapun yang kamu pakai, asal kamu nyaman memakainya."
Itulah Arif Bijaksana yang Inge kenal, dari dulu dia tidak berubah. Selalu mendukung baik apa yang Inge mau dan Inge suka, tidak pernah melarang atau memaksakan kemauannya. "Suka nggak sama warnanya?"
"Warna pastel dan tone gelap kan emang warna kesukaan kamu."
"Ck, yang aku tanya kan pendapat kamu, Mas. Kamu suka nggak warna ini?"
"Hmm," gumam Arif mengurut dagu, berlagak berpikir. "Berhubung kamu tanya warna kesukaanku, aku membayangkan gimana kalau lingerie ini warnanya lebih cerah. Misal merah atau ungu?"
Deg! Sekujur tubuh Inge menegang. Di saat Inge ingin masih berusaha menghilangkan prasangka buruk, mengapa Arif memberi bahan yang makin menambah kecurigaan. Senyum di bibir Inge bergetar, berusaha keras menampilkan sikap biasa saja. "Oh, ya? Kenapa mesti warna merah dan ungu?"
Arif menghendikkan bahu enteng. "Suka aja. Kayaknya bisa bikin kulit putih polos kamu lebih segar," jawab Anggit sambil melepas jam tangannya.
"Aku kira kamu nggak suka warna yang terlalu mencolok."
Arif mengerutkan kening. "Iya, kah?" tanyanya tapi tidak terlihat terlalu peduli. "Iya juga, ya? Kalau dipikir-pikir barang-barang aku warnanya kalem-kalem. Aku nggak terlalu mikirin warna, sih. Kebanyakan baju dan barang-barang aku kan kamu yang belikan."
"Jadi sebenarnya kamu suka warna kalem atau warna cerah, sih? Kalau nggak suka sama warna pilihanku, harusnya kamu bilang." Tanpa sadar volume suara Inge meninggi.
"Astaga, kenapa masalah warna aja bikin kamu kesal, sih, Nge?" Arif terkekeh ringan dan mengusap kepala Inge sambil lalu. "Aku selalu suka apapun pilihan kamu, mau itu warna kelam atau terang. Aku mandi dulu." Lelaki itu lantas meninggalkan Inge tanpa menganggap serius perubahan suasana hati Inge.
Ini tidak bisa dibiarkan atau Inge akan gila karena mencurigai orang tanpa dasar jelas. Inge mengambil ponselnya di atas nakas san membawanya ke ruang kerjanya. Sesaat Inge ragu apa ia benar-benar harus bertindak sejauh ini. Hingga pada akhirnya, Inge putuskan untuk mengetikkan pesan pada ruang obrolan antara dirinya dengan seorang detektif swasta kenalannya.
Sementara itu, di kamar mandi, Arif hanya mencuci muka dan berganti baju lantaran sejam lalu dia sudah mandi. Entah apa yang membuat Inge tiba-tiba meninggalkan piyama katunnya. Arif tidak peduli warna apa yang dipakai Inge, sebab Olin sudah sangat cukup memuaskannya. Khususnya tadi dalam balutan lingerie warna ungu yang tampak manis dan menggoda. Dan tentunya, tak biasa.
***
"Lo pasti bercanda, kan, Lin?" Nera, sahabat Olin, memekik di tengah kedai kopi yang ramai. Gadis sebaya dengan Olin itu tak mau langsung percaya hal konyol yang baru Olin katakan.
Olin lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan meletakkannya di tengah meja. "Apa testpack ini juga keligatan lucu menurut lo?"
Punggung Nera jatuh melemas. Tentu saja, testpack dengan dua garis tersebut tidak ada lucu-lucunya. "Terus rencana lo apa?"
"Minta tanggung jawab lah sama bapaknya," jawab Olin enteng karena memang inilah tujuan utamanya melepas alat kontrasepsi yang sempat ia tanamkan di tubuhnya demi mencegah kehamilan lantaran Arif tidak suka mengenakan kondom.
"Kok bisa sampai hamil, sih?"
"Bagus, dong. Emang itu tujuan gue.
"Hah?"
Olin menyeringai miring. "Setelah tahu gue bisa ngasih apa yang istrinya nggak bisa kasih, Pak Arif pasti akan pilih gue. Cuma dengan cara ini gue bisa memiliki Pak Arif seutuhnya, Ra."
"Lin, lo sadar nggak, sih, situasi yang lagi lo hadapi?" Nera menatap Olin tak habis pikir.
"Sadar, kok," balas Olin tenang. "Pak Arif pejabat negara, sudah punya istri, dan statusku cuma wanita simpanan dia. Apa lo mau suruh gue sadar diri kalau gue ini miskin, papa gue mantan napi yang mati di dalam lapas, gue punya kakak brengsekk, dan Ibu penyakitan, makanya gue nggak boleh mimpi ketinggian. Itu, kan, yang mau lo bilang!"
"Bukan itu, Lin," sambar Nera cepat. "Apa nanti kata orang kalau tahu lo hamil sama suami orang? Kalaupun dia milih lo, lo akan dicap sebagai Pelakor. Dan ini nggak mungkin nggak sampai ke media, bisa-bisa lo habis kena hujat netizen."
Perkataan Nera bukan hal baru, Olin telah memikirkannya dan ia siap dengan risiko tersebut. Lagipula, anak dalam kandungannya ini pasti tidak akan bisa membuat Arif berkutik dan pasti akan melindungi Olin. "Pak Arif nggak akan membiarkan gue dihujat, karena kalau gue dihujat, Pak Arif juga kena."
"Iya, itu udah pasti. Tapi kepikiran nggak cara ngelindungin lo gimana? Dia itu politikus, Lin, dia pasti bisa melakukan apa aja biar jaga nama baiknya. Menikahi lo cuma akan bikin citra dia jelek, lo akan dibanding-bandingkan sama Inneke Clara. Maaf kalau kedengarannya jahat, menurut gue lo akan dijadikan istri rahasia, atau parahnya gimana kalau dia nyuruh lo aborsi."
"Itu nggak mungkin," Olin menyentak tak terima. "Dia nggak mungkin nyuruh gugurin darah dagingnya sendiri."
Nera menyipit, menatap Olin tak habis pikir. "Olin ... Olin, lo menjerumuskan hidup lo buat sesuatu yang juga belum pasti. Orang tuh ya, sama pacar normal aja masih mikir-mikir mau punya anak bareng. Lah lo dengan yakinnya sengaja menjebak laki-laki nggak bener."
"Yang lo katain laki-laki nggak bener itu Arif Bijaksana."
"Ya terus kenapa kalau dia Arif Bijaksana? Dengan dia tidur sama lo padahal udah punya istri aja udah nunjukin kalau dia nggak baik."
"Salah. Itu karena dia udah nggak cinta sama istrinya, tapi kasihan karena istrinya udah kayak orang gila ingin punya anak. Ada yang salah dari istrinya, makanya dia lari ke gue."
"Astaga, Olin, itu lebih buruk lagi. Itu artinya lo cuma dijadian pelarian."
"Jangan sembarangan ngomong kalau lo nggak tahu apa-apa!"
"Oh ya? Kita lihat aja siapa yang benar, dan siapa yang sebenarnya cuma tutup mata."
Olin menatap Nera tak percaya. Sebagai seseorang yang sangat mempercayai Nera dan telah menganggapnya sebagai sahabat, ia tak menyangka Nera akan menempatkan diri berseberangan dengannya. Padahal tujuannya memberi tahu Nera tentang kehamilannya karena ia memang terbiasa saling berbagi segala hal dengan Nera, termasuk Nera tahu hubungan gelapnya dengan Arif.
Pun dengan Nera yang masih menatap Olin tak habis pikir. "Lin, menurut gue ini masalah serius. Kok bisa, sih, lo sampai kepikiran buat hamil? Ini nggak sesederhana yang lo pikir, Lin. Astaga, ini menyangkut nasib satu nyawa."
Brak! Olin menggebrak meja marah, membuat perhatian sekitar sempat tersita ke arah meja meraka. "Pak Arif punya perasaan sama kayak gue, Ra. Dia cuma butuh alasan buat ninggalin kuat istrinya, dan itulah yang gue lakukan. Ngasih alasan itu." Tepat saat mulut Nera terbuka hendak bicara, Olin buru-buru mencegahnya. "Sebagai orang yang udah gue anggap sahabat, lo harusnya paling paham kenapa gue melakukan ini. Gue capek, Ra. Selama ini gue hidup selalu mengalah dan merelakan, apa salah kalau gue mendapatkan sesuatu yang gue inginkan?"
"Dengan cara merebutnya dari orang lain, Lin?"
"Kenapa enggak?"
Nera terpaku sesaat, kehabisan kata-kata lantaran Olin tampak sadar dan begitu yakin atas perbuatannya sehingga tidak ada yang bisa Nera lakukan. "Terserah lo aja. Kalau terjadi hal buruk, jangan bilang sebagai sahabat gue nggak pernah ngingetin. Termasuk saat lo jadi simpanan pejabat yang namanya bertolak belakang sama kelakuannya itu," dengus Nera, meninggalkan Olin.