Dengan tangan bergetar, Inge memeriksa satu per satu laporan dan bukti hasil penyelidikan detektif swasta yang dibayarnya mencari tahu latar belakang Olin serta apakah Olin dan Arif memang ada hubungan rahasia seperti kecurigaannya. Bahkan setelah melihat semua ini, Inge masih sulit percaya bahwa suami yang sangat dicintainya itu ternyata menjalin hubungan dengan wanita lain di belakangnya.
"Kamu yakin sama ini?" Begitu pertanyaan itu terucap, Inge baru menyadari ia mungkin menyinggung perasaan Richard dan timnya. Butuh satu bulan lebih Richard mengumpulkan semua ini karena tidak mau melewatkan detil terkecil tak hanya menyangkut Inge, tetapi juga keluarga dan orang terdekatnya. Dari catatan masa lalu hingga hal yang baru-baru ini Olin lakukan, dilengkapi dengan foto-foto. Termasuk, foto yang menampakkan Olin dan Arif masuk ke gedung apartemen sama secara sendiri-sendiri. Inge tahu mereka punya beberapa unit di gedung apartemen itu dan semuanya disewakan melalui sebuah agen sehingga Inge tidak ikut mengurusi langsung. Setelah ditelusuri oleh Richard, ternyata ada satu unit disewa atas nama Violin Violet, alias Olin. Dalam hal ini, Inge akui Arif cukup cermat. Agar tidak menimbulkan kecurigaan lantaran Inge turut mengurus pemasukan mereka dari berbagai sumber,nmakanya mereka menempatinya sambil pura-pura sebagai penyewa.
Inge menunduk sedikit lantaran kepalanya mulai pusing. "Maaf, saya cuma ... nggak nyangka," jelas Inge yang sekali lagi baru Inge sadari membuatnya tampak lebih bodoh lagi. Saat ia menghubungi Richard, pastinya saat itu ia sudah menyangka bahwa hal ini mungkin terjadi makanya ia perlu bukti.
Richard mengulum senyum maklum. "Menurut perkiraan saya, hubungan mereka sudah berlangsung sekitar 1 tahun dan atas mau sama mau. Artinya, Pak Arif tidak menekan Olin supaya menuruti kemauan beliau."
"Melihat latar belakang Olin, apa dia mendekati suami saya untuk motif uang?"
"Mungkin saja," jawab Richard. Lalu menunjuk sebuah salinan kuitansi pelunasan penggadaian rumah. "Lihat ini, seperti yang Anda bilang, dengan latar belakang dan pekerjaan Olin saat ini, apa mungkin dia bisa mengumpulkan uang sebanyak ini. Menurut tetangga-tetanggannya, sejak Olin kerja di gedung dewan, nggak ada lagi debcollector datang menagih utang kakaknya."
Inge mengangguk mengerti. Ia mungkin tidak akan bisa memaafkan Arif, tapi sepertinya ia bisa memahami posisi Olin. Untuk gadis semuda dia, menjadi tulang punggung keluarga sambil mengentaskan pendidikan bukan perkara mudah, ditambah lagi harus melunasi utang-utang yang uangnya entah diperuntukkan apa oleh kakaknya. Inge marah sekaligus kasihan. Olin mungkin frustrasi sekali hingga mau menjadi wanita simpanan Arif demi uang.
Ya, sepertinya ini tidak terlalu rumit. Inge hanya perlu mengajak Arif duduk berdua dan membicarakan apa yang salah dari dirinya hingga Arif mengencani perempuan lain meski itu tidak akan jadi pertimbangan apa-apa, sebab Inge bukan orang yang bisa memaklumi perselingkuhan dan mengkompromi kebohongan. Untuk alasan apapun, kebohongan tetap sama dengan penghianatan. Cinta dan kepercayaan Inge terharap Arif tidak pantas dibalas dengan kepalsuan.
Seolah belum habis kejutan bagi Inge, sekujur tubuh Inge menegang saat gerak tangannya memeriksa foto-foto berhenti pada sebuah foto di mana Inge tampak masuk ke sebuah ruangan dokter kandungan. "Ini ...," tunjuk Inge tercekat tak bisa melanjutkan kata-katanya. Firasatnya buruk padahal ia tahu ada banyak keperluan seorang wanita mendatangi dokter kandungan.
"Untuk yang ini, mohon maaf karena kami nggak bisa mendapatkan datanya. Tapi kalau dilihat dari ekspresi wajahnya pas keluar dari klinik, sepertinya dia baru mendengar kabar baik.
Bukan sesuatu yang buruk? Ini bisa bercabang jadi banyak kemungkinan. Kabar baik apa yang didapat seorang lajang dari dokter kandungan. Kabar baik karena tidak ada gangguan kesehatan reproduksinya sehat? Kabar baik karena masalah yang dikonsultasikan ternyata bukan penyakit serius? Kabar baik karena tidak hamil?
Darah Inge mendidih. Ia tidak polos, memangnya apa lagi yang dilakukan dua orang dewasa selalu bertemu di sebuah apartemen malam-malam?
Sungguh gila bagaimana Inge sama sekali tidak menyadari selama sekitar setahun, ia berbagi lelaki dengan wanita lain.
"Oke, saya mengerti. Terima kasih, ya. Dan tolong, pastikan ini tidak bocor ke mana pun." Inge ingin menyudahi pembicaraannya sesegera mungkin karena ia masih butuh waktu untuk mencerna semua ini.
"Bu Inge tenang saja, menjaga rahasia client adalah bagian dari tugas kami." Richard kemudian pamit dari hadapan Inge.
Anehnya, meski sudah terduga, kenyataan ini tetap memberi efek bom dahsyat. Mengejutkan ... menghancurkan.
***
Baiklah, Arif selingkuh. Lalu apa? Lalu Inge harus bagaimana untuk membongkarnya?
Apa Inge harus melabrak Olin dan membauri k*********a dengan cabai, atau langsung membuka masalah ini ke sosmed agar Arif dikuliti beramai-ramai?
Itu memang cukup memberi pelajaran dan hukuman sosial bagi mereka, tapi Inge rasa itu bukan pelajaran yang tepat. Inge pikir, membawa masalahnini ke ruang publik hanya akan memperburuk keadaan. Bukan demi melindungi reputasi Arif dan Olin, melainkan demi martabat keluarga besarnya dan keluarga Arif yang selama ini memperlakukannya sangat baik.
"Bu Inge, awas!" Jika saja Aini tidak menegur Inge, Inge pasti menabrak stoolbar di dapur, tujuannya untuk memberi tahu Aini agar malam ini tidak perlu masak. Tapi tampaknya terlambat, Aini tengah memasak makanan sesuai pesan Inge tadi siang.
"Ibu sakit? Kok wajahnya kelihatan pucat?" tanya Aini.
Inge hanya menggeleng pelan. Kepalanya memang sakit, tapi bukan karena penyakit. "Bapak nggak jadi makan di rumah, Ni, nanti ini kamu sama yang lain aja yang makan. Sisain satu porsi buat saya."
"Lho, oalah, Bapak makin sibuk, ya, Bu."
Lagi-lagi Inge hanya tersenyum. Aini tidak perlu tahu bahwa majikannya itu tidak sibuk urusan pekerjaan, melainkan sedang pacaran dengan selingkuhannya. Bagaimana Inge bisa seyakin itu? Itu karena Inge bertanyanpada Dendi, asisten pribadi Arif, yang bilang bahwa Arif tidak ada meeting apa pun dan telah meninggalkan kantor sejak pukul 6 sore. Selama menjadi istri Arif, baru kali ini Inge tanya keberadaan Arif pada asistennya lantaran sebegitunya percaya pada Arif. Sepertinya, Inge harusnya melakukan ini dari dulu, dengan begitu ia tidak akan tertipu hingga selama ini.
Inge bingung harus bagaimana. Padahal jika dipikir-pikir, Inge sangat sering dimintai pendapat dan bagaimana harus bersikap saat mendapati pasangan kita berselingkuh. Mungkin inilah yang disebut, bicara lebih mudah daripada menjalani. Ketika kita dihadapkan pada satu masalah pelik, jangankan berpikir rasional, untuk mengendalikan emosi saja susahnya setengah mati.
Ia butuh masukan pihak kedua, tapi ia tidak tahu harus cerita pada siapa. Belum saatnya keluarga dan sahabatnya tahu tentang ini karena jika mereka tahu, mereka pasti tidak akan membiarkan Arif bertemu menjumpai hari esok
"Aini," panggil Inge. Mungkin, ia bisa bertanya pada Aini sebab seingatnya dulu Aini pernah cerita bahwa suaminya pernah berselingkuh.
"Ya, Bu?"
Namun, Inge mendadak ragu. "Ah nggak jadi, kamu lanjut aja masak."
"Ibu butuh sesuatu?" Pancing Aini, menyadari gelagat tak biasa sang nyonya.
Lagi, Inge hanya menggelengkan kepala. "Ni, saya mau kerja di ruangan saya. Tolong nanti bikinin teh panas sama bawa makanan saya ke sana, ya."
"Oke, Bu. Mau sekalian saya bawain obat, Bu?"
"Nggak usah."
Perasaan Inge benar-benar tidak tenang, ia tidak bisa fokus mempelajari berkas-berkas kasus yang sedang ia tangani. Kepalanya terus menerus membayangkan kira-kira apa yang tengah Arif dan Olin lakukan saat ini. Makan malam sambil ngobrol, bercanda, pelukan, ciuman, bercinta?
Kepala Inge nyaris meledak padahal hanya membayangkannya saja, tidak melihat secara langsung. Arif harus segera pulang, dengan begitu Inge bisa mengeluarkan segala isi kepalanya. Akhirnya, Inge putuskan menutup laptopnya dan meraih ponselnya untuk menelepon Arif. Panggilan tersambung, tapi seperti sengaja dibiarkan tak terjawab. Arif mengabaikannya secara terang-terangan.
Inge tertawa garing, baiklah, kalau begitu Inge selesaikan ini dengan cara primitif. Persetan dengan penyelesaian elegan dan berkelas. Sampah sudah seharusnya diperlakukan seperti sampah.
"Lho, Bu, mau ke mana?" Inge berpapasan dengan Aini tepat saat ia membuka pintu ruang kerjanya. "Ini makannya—"
"Kamu makan saja. Saya mau ke luar." Inge berjalan cepat ke kamar, berganti pakaian, lalu pergi dengan segera menuju apartemen Arif. Entah mengapa ia yakin sekali Arif dan Olin berada di sana.
***
Inge membawa langkahnya dengan pasti dan yakin menuju unit yang disewa atas nama Olin. Mudah baginya untuk mendapat akses dan kartu kunci salinan unit tersebut. Sesaat Inge hanya berdiri diam di depan pintu, sekali lagi bertanya pada diri sendiri, apa ia sudah siap untuk menghadapi apa pun yang akan ia temukan dan hadapi di dalam sana nanti?
Dengan tangan sedikit bergetar, Inge menarik lepas ikatan rambutnya. Membiarkan rambutnya tergerai menutupi bahu. Lalu ia mengambil lipstik merah dari dalam tasnya dan memulaskan ke bibir tanpa bantuan cermin.
Inge pikir, dirinya tidak boleh terlihat jelek dan lemah. Arif dan Olin harus tahu siapa Inneke Clara yang sedang mereka ajak bercanda.
Inge menempelkan kartu pada pemindai dan terbuka lah pintu besar di depannya. Inge melangkah sepelan mungkin tanpa menimbulkan suara, ia berjalan mendekati sumber suara yang terdengar samar-samar. Tidak salah lagi, Arif dan Olin memang sedang berada di sini.
Deg! Langkah Inge tertahan mendengar suara decapan dan dengungan manja Inge. Inge mengepalkan tangan dan memejam rapat, ini sungguh sangat lah menjijikkan. Terlebih saat Arif ‘minta’ dan Olin menolak manja, lalu mereka membahas sesuatu yang tidak Inge mengerti dan terdengar serius.
Inge pun keluar dari persembunyiannya, sengaja mengetukkan kaki agar pasangan bahagia sedang dimabuk asmara itu tahu bahwa di dunia ini tidak hanya ada mereka sendiri. Inge tersenyum separo melihat keduanya tercengang menatapnya, seolah-olah Inge adalah hantu yang bangkit dari kubur. Ah, agaknya istilah itu masih cukup relevan. Anggap saja Inge adalah mayat yang selama ini tertidur damai dan kini bangkit dari kubur untuk pembalasan dendam.
Inge memungut benda femiliar yang barusan Arif buang, tanpa perlu berpikir panjang dan rumit, Inge langsung memahami situasi yang tengah terjadi. Rupanya ini kabar baik yang Inge dapat dari klinik kandungan. Bukan karena dia mendapati dirinya tidak hamil, melainkan sebaliknya.
Selama 5 tahun pernikahannya dengan Arif, Inge selalu berharap bisa melihat tanda ini di testpack-nya. Mengapa tanda ini sangat mudah didapatkan semua orang, kecuali dirinya?
Olin pasti senang sekali bisa mengandung seorang Arif Bijaksana, dan Arif pasti senang sekali akhirnya akan punya penerus garis keturunan. Pantas saja dia sangat santai dan cenderung tak acuh saat Inge mulai membahas masalah anak. Rupanya itu bukan karena Arif mencintai Inge apa adanya, melainkan karena Arif tahu, untuk mendapat keturunan tak harus dari Inge.
"Hamil?" Inge menatap Olin dan Arif bergantian. "Kamu akan jadi Ayah, Mas? Wow, selamat."