Dean Davies

1609 Words
Suara pintu yang terbuka mengusik indra pendengaran seorang pria yang cukup sensitif dengan suara hingga membuatnya yang sedari tadi fokus dengan sebuah laporan di tangannya mengalihkan pandangan ke ambang pintu, mendapati wanita dengan setelan rapi tengah berdiri disana. Setelah pria itu mengangguk kecil dan kembali menatap laporan yang sedari tadi menjadi fokusnya, wanita itu melangkah memasuki ruangan, itu artinya ia sudah diizinkan untuk masuk.  "Selamat pagi Tuan," sapanya sebelum melanjutkan untuk menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke ruangannya pagi ini. Sebenarnya ini adalah aktivitas rutinnya sebagai sekretaris seorang Dean Davies, pria yang berada di hadapannya saat ini. Pria maskulin keturunan Inggris ini berwajah sangat tampan, tubuh atletis, mata bulat tajam dengan bola mata berwarna biru. Warna bola matanya sangat mendukung tatapannya yang selalu dingin pada siapapun membuat tidak banyak orang yang bisa menatapnya terlalu lama, termasuk Ellena, sekretarisnya itu. Bekerja bersama pengusaha sukses dibidang otomotif dan pemilik club-club besar yang tersebar di Amerika dengan pusatnya yang berada di New York ini saja rasanya sudah sangat menekan hidupnya yang harus selalu berhadapan dengan dinginnya sikap Dean demi mengumpulkan dolar-dolar untuk bertahan hidup.  "Saya ingin mengingatkan jika pagi ini Tuan memiliki jadwal bertemu dengan guru tuan muda di sekolahnya. Satu jam lagi Tuan sudah harus berada disana," ucap Ellena langsung mengutarakan maksudnya usai memberikan sapaan yang tidak mungkin akan dijawab itu. Mendengar ucapan sekretarisnya, Dean menutup buku laporan kemudian menatap beralih Ellena. "Bukankah aku sudah mengatakan tidak akan datang?" Nafas Ellena hampir tercekat mendengar suara Dean, meskipun sudah hampir 2 tahun bekerja dengan Dean, tetap saja ia merasa gugup tiap kali mendnegar suara pria itu, apalagi disituasi seperti ini. Sebelumnya ia sudah mempersiapkan diri untuk menerima apapun ucapan Dean hari ini yang pasti akan menjadi tidak enak hati karena hal yang tidap pernah disuka oleh Dean yaitu mengurusi apapun yang berkaitan dengan Benka Atkinson, putranya.  "Maaf Tuan, tapi kali ini pihak sekolah benar-benar meminta Tuan untuk datang sendiri karena masalahnya cukup serius. Anak yang tidak snegaja dilukai oleh tuan muda hingga sekarang masih belum sadarkan diri, jadi pihak sekolah perlu membicarakannya langsung pada Tuan." Dean bangkit dari duduknya kemudian tanpa sepatah katapun berjalan keluar ruang kebesarannya dengan langkah kaki yang bisa dikatakan penuh kemurkaan. Rahang-rahangnya yang terpahat sempurna itu terlihat mengeras membuat wajah tampannya dengan jelas memancarkan suasana hatinya yang memang sedang tidak baik itu. Ellena memejamkan matanya saat mendengar suara pintu yang ditutup dengan cara di banting membuat dadanya berdegup sangat cepat. Ia menghela nafas panjang, bekerja bersama Dean jika tidak menghadapi sifat dinginnya, harus siap menghadapi kemurkaannya seperti ini.  Merasa sudah cukup melakukan pekerjaan ekstrimnya pagi ini, Ellena langsung bergegas untuk keluar ruangan Dean. Hari ini sudah banyak pekerjaan yang menunggunya karena hari ini akan banyak mobil-mobil super car yang akan datang untuk kembali memenuhi showroom milik Dean. *** Suara pintu yang dibuka dengan cara dibanting membuat penghuni kamar langsung terlonjak kaget dan menatap ke arah pintu. Pemilik kamar yang sedari tadi sedang duduk bersandar di kepala ranjang sembari membaca buku langsung terkesiap saat melihat siapa yang datang, suatu kelangkaan melihat orang itu berada di kamarnya seperti ini.  "Bisakah hidup tanpa membuat masalah?!" tanyanya dengan suara yang begitu nyaring memenuhi sudut ruangan.  "Kau taukan betapa sibuknya aku? aku tidak punya waktu untuk mengurusi hal-hal tidak berguna. Ini pertama dan terakhir kalinya aku akan datang ke sekolahmu," katanya penuh peringatan. "Ayah, tapi Ben benar-benar tidak sengaja mendorong Jaiden.. di..." ucapannya terhenti saat Dean, ayahnya pergi begitu saja keluar dari kamar tanpa menunggu penjelasan dari Ben membuat anak laki-laki berusia 9 tahun itu menatap nanar ke arah ambang pintu dimana ayahnya berdiri tadi.  Ben menunduk sedih, ditutupnya buku yang tadi ia buka kemudian meletakannya di nakas. Ia tidak memiliki semangat lagi untuk membaca buku cerita kesukaannya itu setelah peristiwa yang baru saja terjadi. Sejujurnya Ben senang ayahnya mau datang ke kamarnya, karena bisa dikatakan, ayahnya tidak pernah datang sebelumnya menemui Ben secara sengaja di kamar. Selama ini Ben hanya bertemu secara tidak sengaja di ruang makan saat sedang sarapan. Itu pun setiap kali Ben datang, ayahnya selalu terkesan buru-buru menyudahi makannya dan segera pergi berangkat kerja.  Kali ini, setelah menunggu sekian lama, akhirnya ayahnya datang ke kamarnya. Namun yang terjadi malah hal seperti ini. Ia datang untuk memarahi Ben dan memperingatinya atas kejadian yang terjadi tempo hari saat Ben tidak sengaja membuat teman sekelasnya terjatuh hingga kepalanya terbentur meja di kelas hingga mengalami koma. Ben sangat menyesali hal itu, seharusnya ia lebih hati-hati. Ben mendengus kecewa, pasti setelah ini ayahnya akan semakin tidak suka padanya. Ben memukul kepalanya pelan karena kecerobohannya, padahal selama ini ia sudah berusaha menjadi anak yang baik dan berprestasi agar ayahnya menyukainya. Namun karena kejadian ini, Ben merasa akan semakin dibenci.  Ben membaringkan tubuhnya di ranjang kemudian menutup seluruh tubuhnya dengan selimut hingga tertutup sempurna. Dari balik selimut bisa terlihat tubuh Ben bergetar. Anak manis berwajah tampan itu menangis dalam diam menyesali perbuatannya. Ia tidak seharusnya menjadi anak yang nakal. Tapi terkadang pikiran anak-anak Ben berpikir, teman-temannya yang lain pasti juga sering melakukan kesalahan, tapi orang tua mereka terlihat begitu mudah memaafkan dan melupakan kesalahan anak-anaknya. Tapi kenapa hal itu tidak bisa terjadi pada Ben? bukankah kesalahan Ben hanya satu? lahir untuk hadir kedunia namun membuat seseorang pergi dari dunia untuk selama-lamanya, ibunya. *** Suara langkah kaki dua orang yang seolah sedang bersahut-sahutan mengisi kesunyian mansion mewah yang sangat luas ini. Meskipun banyak pelayan yang bekerja, namun tetap saja terkesan sepi karena sangat luas dan membuat tidak mudah bertemu satu sama lainnya apalagi setiap pelayan sudah memiliki tugasnya masing-masing.  "Ini kamarmu, beristirahatlah sambil menunggu tuan muda pulang dari sekolah," ucap seorang pelayan saat sudah sapai di sebuah kamar yang sudah dipersiapkan untuk pengasuh baru Ben.   "Terima kasih," balasnya tersenyum ramah. Setelah menjalankan tugasnya, pelayan itu langsung bergegas pergi untuk melanjutkan pekerjaannya meninggalkan Lily yang sudah mendapati kamar yang akan ia tempati selama ia bekerja disini. Lilyanna Carrington adalah seorang gadis berusia 26  tahun. Gadis yang memiliki darah campuran Irlandia dan Amerika itu memiliki paras yang cantik. Yang membuatnya terlihat menarik adalah bola mata berwarna hijau zamrud miliknya yang cukup jarang dimiliki orang-orang. Rambut cooklat keemasannya juga menjadi salah satu daya tariknya. Lily sadar bahwa ia menarik karena semasa kuliah begitu banyak pria-pria yang berusaha mendekatinya. Namun bagi Lily memiliki kekasih bukanlah prioritasnya saat itu karena yang ia inginkan hanya fokus pada pendidikannya. Lily meletakkan kopernya di samping ranjang, kemudian menghempaskan tubuhnya di atas ranjang empuk itu. Bahkan untuk pengasuh saja mansion ini menyiapkan kamar yang sangat bagus dan nyaman. Lily menghembuskan nafasnya kasar sembari menatap langit-langit kamar. Seperti inilah ternyata hidup yang harus ia lalui. Berkuliah di Boston hingga mendapat gelar master ternyata tidak menjamin ia bisa kerja duduk manis menyandang sebuah pangkat di perusahaan besar. New York sepertinya bukan tempat yang tepat untuk ia mengadu nasib dengan moda pendidikan yang sudah ia tempuh. Anak seorang pengasuh seperti ia sepertinya memang harus menerima untuk menjadi pengasuh saja melanjutkan pekerjaan mendiang ibunya yang seminggu yang lalu meninggal dunia. Llily adalah putri satu-satunya di keluarga mereka. Ayahnya meninggal saat ia berusia 2 bulan sehingga ia harus tumbuh besar hanya berdua dengan ibunya saja. Ibunya bekerja apa saja untuk mencukupi kebutuhan mereka saat mereka masih tingga di Chichago. Namun sejak 9 tahun yang lalu mereka pindah ke New York dan ibunya bekerja sebagai pengasuh di mansion keluarga Davies. Sementara ibunya bekerja, Lily fokus pada pendidikannya di Boston sejak sekolah menengah hingga mendapat gelar master. Gaji yang di dapat ibunya selaa bekerja di mansion keluarga Davies benar-benar mencukupi kehidupan mereka hingga membuat Lily bisa berkuliah di salah satu Universitas terkenal di Boston. Sayangnya setelah Lily menyelesaikan kuliahnya, ibunya meninggal dunia. Padahal alasan Lily bersungguh-sungguh untuk bersekolah agar ia mendapatkan pekerjaan yang layak dan bisa membuat ibunya berhenti bekerja dan beganti untuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Lily sudah berusaha mencari pekerjaan dan mendaftarkan diri di beberapa perusahaan, namun tidak satupun yang diterima. Akhirnya ia menerima tawaran kepala pelayan di mansion untuk menggantikan ibunya menjadi pengasuh Benka Atkinson, putra satu-satunya Dean Davies. Meskipun ibunya sudah bekerja 9 tahun dengan keluarga Davies, sejujurnya Lily belum pernah datang ke mansion ini. Inilah kali pertama ia datang dan langsung menyandang status baru sebagai pengasuh. Tapi tidak apa, jika dipikir-pikir menjadi pengasuh apalagi di keluarga yang kaya raya dan terpandang ini tidak begitu buruk. Lagi pula sepertinya pekerjaannya tidak begitu sulit, buktinya ibunya terlihat sangat betah dan tidak pernah mengeluh sedikitpun selama ini.  Lily bangkit dari ranjang kemudian berjalan ke arah jendela besar untuk melihat keluar. Ia berdecak kagum melihat pemandangan yang langsung mengarah pada taman belakang mansion yang dipenuhi oleh beberapa tanaman yang menyejukkan mata. Ternyata mansion-mansion seperti ini benar-benar ada. Pasti rasanya sangat menyenangkan memiliki mansion sebesar ini. Lily tidak bisa membayangkan harus menabung berapa lama untuk bisa membangunkannya. Tentu saja seumur hidupnya sekalipun tidak akan cukup. Lily terkekeh sendiri menyadari apa yang sedang ia pikirkan. Seperti orang-orang dengan perekonomian yang biasa-biasa saja bahkan terkesan pas-pasan pasti hidup berkecukupan menjadi sebuah impian.  Puas memandangi halaman belakang mansion, Lily beranjak mengambil seragam khusus pengasuh miliknya kemudian berdiri di depan cermin besar yang berada di dalam kamarnya. Ia melekatkan seragam itu ditubuhnya tanpa memakainya, seragamnya tidak begitu buruk bahkan terbilang bagus untuk seorang pengasuh.  "Baiklah Lily, ini adalah langkah awal dalam hidupmu. Tidak masalah menjadi pengasuh, ibumu membesarkanmu dari pekerjaan ini. Dia pasti akan senang jika melihatmu bisa melakukan sesuatu lebih baik darinya," kata Lily menghibur diri tersenyum menatap pantulan dirinya di depan cermin. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menerima takdir yang sudah dituliskan untuknya termasuk menerima bahwa ia sudah benar-benar tidak memiliki kedua orang tua lagi sekarang dan benar-benar membuatnya sendiri. Hidup akan selalu seperti itu, mendatangkan seseorang sesukanya, dan menghilangkan seseorang sesukanya juga. Setidak adil apapun hidup, kehidupan akan terus berjalan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD