Lily Carrington

1849 Words
Lily menghembuskan nafasnya untuk merilekskan dirinya sebelum mengangkat tangan untuk mengetuk pintu besar di hadapannya saat ini. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan Ben. Sejujurnya Lily khawatir Ben tidak akan terbiasa atau bahkan tidak suka dengannya. Sudah diasuh sejak kecil oleh seseorang pasti membuat Ben tidak terbiasa dengan orang baru sepertinya. Tapi Lily berharap semoga Ben akan menerimanya dengan baik. Menurut cerita ibunya dulu, anak yang diasuhnya adalah anak yang baik. Jadi sepertinya tidak ada yang harus dikhawatirkan. Tangan Lily terangkat untuk mengetuk pintu itu sebanyak tiga kali. Tidak butuh waktu lama, pintu terbuka memperlihatkan anak laki-laki yang sejak kecil sudah memperlihatkan aura ketampanannya membuat Lily tertegun sejenak. Lily langsung tersenyum ramah menyapanya. "Selamat sore tuan muda," sapa Lily masih tersenyum. Ben terlihat menautkan alisnya menatap wajah yang terasa asing baginya itu. Ia bahkan memperhatikan Lily dari ujung kaki hingga ujung kepala membuat Lily kikuk karena diperhatikan begitu detail oleh anak berusia 9 tahun seperti ini. "Perkenalkan, namaku Lilyanna Carrington. Tuan muda bisa memanggilku bibi Lily. Aku adalah pengasuh baru tuan muda menggantikan bibi Laurent, aku adalah anak bibi Laurent yang dulu mengasuh Tuan Muda," jelas Lily rinci untuk memperkenalkan dirinya sekaligus menjawab kebingungan yang terpampang jelas dari raut wajah Ben. Perlahan wajah bingungnya menghilang pertanda ia sudah mulai mengerti. Ben mengangguk-anggukan kepalanya kecil kemudian membuka pintu kamarnya mempersilahkan Lily masuk.  Dengan senyum yang belum pudar, Lily memasuki kamar Ben sembari membawa nampan yang sedari tadi ia pegang berisi s**u dan cookies sebagai cemilan sore Ben memasuki kamar. Saat melangkah masuk, Lily langsung mengedarkan pandangannya melihat ke sekeliling kamar Ben. Kamar ini sepertinya 3 kali lipat lebih luas dari kamarnya, padahal bagi Lily kamarnya saja sudah sangat luas. Desain kamar ini bahkan terlihat sangat klasik untuk dihuni anak berusia 9 tahun.  "Bibi, kau bisa tersandung jika berjalan seperti itu." Lily langsung tersadar dan menatap lurus ke depan saat berjalan  menyadari ia bahkan sibuk meneliti desain kamar hingga tidak berhati-hati dalam berjalan. "Ah ya maaf Tuan Muda. Kamarmu sangat bagus, aku sapai tercengang," jujur Lily. Ben tidak menjawab, ia kembali duduk melanjutkan aktivitas yang ia lakukan sebelum Lily datang tadi. "Wah, apa Tuan Muda suka melukis?" tanya Lily takjub. Meskipun kanvas itu belum sepenuhnya terisi, namun Lily sudah bisa melihat bahwa nantinya akan menjadi lukisan yang indah. "Apa itu gambar sebuah air terjun? ah bagimana bisa airnya seperti sugguhan seperti itu? apa tuan muda menggambar sketsanya terlebih dahulu?" "Apa Bibi memang selalu banyak bicara?" Lily sontak langsung menutup mulutnya saat menyadari sudah menghujani Ben dengan banyak pertanyaan. Ia tersenyum malu menyadari dirinya yang tidak menjaga sikap di hadapan tuan mudanya itu. Ah Lily memang banyak bicara, namun harusnya ia bisa menyesuaikan sikapnya dengan kondisi. Ia bahkan terkesan sok kenal cukup lama dengan Ben sekarang. "Maaf Tuan Muda, terkadang aku tidak bisa menahan diri dalam berekspresi." Tidak berminat menanggapi ucapan Lily membuat Ben memutuskan untuk mengambil kuas dan kembali melanjutkan lukisannya yang sudah ia kerjakan selama seminggu terakhir ini namun belum juga usai itu. Tidak ingin mengganggu Ben apalagi melihat wajah dingin Ben yang sepertinya sedang tidak ingin diganggu itu membuat Lily memutuskan untuk merapikan sesuatu yang bisa ia rapikan di kamar Ben. Meskipun tugasnya hanya untuk mengawasi Ben dan menyiapkan apapun yang Ben inginkan, namun tetap saja Lily harus berinsiatif sendiri. Ia melihat buku-buku yang berada di nakas tidak tertusun rapi, jadi Lily memutuskan untuk merapikannya sambil sesekali memperhatikan Ben yang sibuk dengan lukisannya. Lily tersenyum melihat Ben, sepertinya mengasuh Ben benar-benar tidak susah sama sekali. Baru beberapa menit yang lalu bertemu Ben, Lily sudah bisa menyimpulkan bahwa ia adalah anak yang baik ya meskipun agak sedikit ketus. Jika begini pekerjaan Lily akan sangat mudah. *** "Apa persiapan untuk pembukaan cabang club yang baru di Bristol lusa sudah selesai?" "Sudah Tuan." "Jam berapa penerbanganku be Bristol besok?" "Pukul 2 siang Tuan. Elinna memberitahu bahwa besok pagi Tuan masih memiliki pertemuan dengan investor yang ingin bekerja sama dalam penjualan lamborghini keluaran terbaru." Dean mengangguk paham.  "Baiklah, kau bisa pulang."   "Baik Tuan, selamat malam." Tanpa menjawab ucapan Harry lagi, Dean langsung bergegas memasuki mansionnya. Setelah Dean berlalu pergi, Harry langsung berlalu pula untuk kembali ke apartemennya sesuai titah Dean. Jika Elinna adalah sekretaris Dean di bisnis otomotifnya, Harry bisa dikatakan orang kepercayaan Dean dalam menjalankan bisnis clubnya selama ini. Harry benar-benar bisa diandalkan dan membantu pekerjaan Dean. Tidak hanya memiliki satu bisnis membuat Dean tidak mungkin bisa mengerjakan semuanya sendiri meskipun ia tetap memiliki peran penting dan memantau dengan serius bisnis-bisnis yang ia jalankan. Oleh karena itulah Dean memiliki para pekerja-pekerja yang sangat berkompeten di bidangnya dan memiliki kualitas sangat bagus termasuk Harry Johannes. Dean memasuki mansion sembari membuka dasinya yang terasa sudah mencekat lehernya seharian ini. Ia berjalan menuju lift yang akan mengantarkannya langsung ke lantai 3 dimana kamarnya berada. Dahi Dean mengernyit saat menekan tombol untuk membuka lift tapi tidak bisa. Biasanya lift ini akan langsung terbuka. Dahinya semakin mengernyit saat melihat ke atas menandakan bahwa lift sedang berjalan, apa ada seseorang yang menggunakan lift khususnya ini? bukankah seisi mansion sudah tahu jika lift ini hanya untuk Dean? bukankah mereka bisa menggunakan lift yang lain?  Tidak berapa lama lift berdenting dan pintunya terbuka memperlihatkan seorang wanita dengan tinggi kira-kira sedada Dean, alomod eye dengan bola mata hijau zambrud miliknya langsung bertemu dengan mata biru milik Dean. Keduanya terlihat sama-sama terkejut, tapi Dean berusaha tidak mengeluarkan eskpresi apapun meskipun sejujurnya ia juga kaget dengan sosok asing di hadapannya ini. Merasa terintimidasi dengan tatapan Dean membuat gadis yang tidak lain adalah Lily itu langsung membungkuk sopan dan berniat pergi. Ia yakin pria ini pasti Dean Davies. Ia tidak menyangka akan bertemu pemilik mansion mewah ini secepat ini.  "Siapa kau?" pertanyaan dari suara bariton itu menghentikan langkah Lily.  "Perkenalkan, saya Lilyanna Carrington Tuan. Saya adalah pengasuh baru tuan muda," kata Lily memperkenalkan diri. "Apa aku ada dibawahmu?" pertanyaan Dean itu sontak membuat Lily yang sedari tadi menundukkan pandangannya langsung mendongakkan kepalanya untuk memberanikan diri kembali menatap Dean. Mata biru nan dingin itu kembali mengintimidasinya, namun Lily berusaha untuk menatapnya.  "Lain kali jangan pernah menggunakan lift ini lagi. Lift ini khusus milikku." Pupil Lily membulat sempurna saat menyadari bahwa ia baru saja menggunakan sesuatu yang seharusnya hanya boleh digunakan oleh pemilik mansion ini.  "Ma.. maaf Tuan, saya benar-benar tidak tahu. Saya tidak akan mengulangnya lagi," sesal Lily. Tanpa menjawab ucapan Lily, Dean langsung berlalu memasuki lift hilang dari pandangan Lily. Lily merutuki dirinya yang dihari pertama kerja saja sudah melakukan kesalahan dan kesalahan itu dilihat langsung oleh pemilik mansion ini. Lily menyandarkan tubuhnya di dinding, tiba-tiba lututnya terasa lemas. Ia menghembuskan nafasnya panjang. Selain tertangkap basah melakukan kesalahan, lututnya juga merasa lemas karena baru saja berhadapan dengan Dean yang berwajah luar biasa tampan namun mengintimidasi itu. Tidak bisa dipungkiri, matanya mengintimidasi namun membuat siapa saja tidak bisa berkutik dan ingin terus menatap mata itu. "Semoga aku tidak bertemu dengan dia lagi. Bisa-bisa kakiku tidak hanya lemas tapi juga bisa lumpuh. Bagaimana bisa Tuhan menciptakan pria setampan dia, benar-benar tidak masuk akal," keluh Lily melanjutkan langkahnya berlalu ke pantry seperti tujuan awalnya. Ia ingin mengambil segelas teh untuk merilekskan dirinya sebelum kembali ke kamar untuk beristirahat usai bekerja di hari pertamanya ini.  *** Lily kembali mengecek isi tas sekolah Ben memastikan tidak ada satupun yang tertinggal. Ia juga sudah menyiapkan pakaian yang akan dipakai Ben hari ini ke sekolah. Ah ia seperti sedang berlatih mengurus seorang anak rasanya sekarang. Mungkin seperti inilah gambaran kesibukan Lily di pagi hari nanti saat dia memiliki keluarga kecil dan mengurus anaknya sendiri. "Semuanya sudah siap tuan muda. Tuan muda bisa bergegas, sepertinya tuan Dean sudah menunggu di ruang makan," kata Lily saat Ben keluar dari kamar mandi. "Ayah tidak mungkin menunggu," balasnya mengambil pakaian di tangan Lily kemudian kembali masuk ke dalam kamar mandi untuk mengenakan pakaiannya. Lily terpaku sesaat mendengar balasan Ben dan wajahnya yang mendadak sendu. Kenapa tidak mungkin? Bukankah biasanya ayah dan anak memang sarapan pagi bersama?  Tidak ingin terlalu ikut campur, akhirnya Lily memutuskan untuk menunggu Ben bersiap-siap saja. Ia akan mengantarkan Ben ke sekolah bersama supir pribadi Ben hari ini. Itu akan menjadi salah satu pekerjaan rutinnya sebagai pengasuh Ben. Sebenarnya Lily bingung mengapa anak seusia Ben yang memiliki sikap baik dan tidak macam-macam itu harus tetap memiliki pengasuh. Harusnya ayahnya saja sudah cukup. Tapi mengingat Dean adalah orang yang sibuk, sebenarnya wajar juga. Apalagi yang Lily dengar, ibu Ben sudah meninggal dunia. Jadi mungkin Dean masih membutuhkan pengasuh untuk mengasuh putranya. *** Ben keluar dari lift diikuti oleh Lily di belakangnya yang dengan setia membawakan tas Ben. Ben langsung bergegas ke ruang makan untuk sarapan. Meskipun ia tidak pernah mau makan makanan yang terbilang cukup berat saat sarapan, tapi setidaknya Ben selalu memakan sesuatu untuk mengisi perutnya di pagi hari dan akan makanan berat di siang hari yang sudah disiapkan untuknya. Langkah Ben melambat saat melihat ruang makan tidak kosong, disana masih ada seseorang yang tampak fokus dengan makanannya, Dean.  "Aku tidak sarapan pagi ini, kita langsung ke sekolah saja Bi," kata Ben menghentikan langkahnya membuat Lily menautkan dahinya heran. Lily melirik ke arah meja makan dimana ada Dean disana. Padahal ayahnya masih disana, tapi kenapa Ben malah tidak mau sarapan? "Tuan Muda harus tetap makan sesuatu agar bisa fokus belajar. Lagi pula tuan Dean masih disana, ayo," bujuk Lily. Ben diam mematung. Kejadian kemarin kembali berputar di pikirannya. Ia tidak ingin kehadirannya malah membuat Dean tidak enak hati. Apalagi Dean terlihat lahap menyantap sarapannya, tentu saja ia butuh banyak makan untuk bekerja hari ini. Ayahnya itu benar-benar pria yang sibuk dan pekerja keras. "Tolong ambilkan aku satu lembar roti dan s**u saja Bi, aku tunggu di mobil," katanya kemudian berlalu pergi berbalik menuju mobil yang sudah siap mengantarnya ke sekolah hari ini. Lily menatap kepergian Ben bingung. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi antara ayah dan anak ini. Ben bahkan terlihat dewasa melebihi umurnya dalam menghadapi hal yang sesungguhnya belum bisa Lily pahami.  Menghalau segala rasa bingung bercampur penasarannya, akhirnya Lily langsung bergegas mengambilkan roti dan s**u untuk Ben sesuai dengan permintaan anak itu. Ia menghela nafas sejenak berusaha untuk bersikap biasa saja meskipun kini harus menghampiri meja makan di mana Dean berada. Menyadari kehadiran seseorang membuat Dean mengangkat kepalanya dan menatap Lily. Ini untuk kedua kalinya ia bertemu dengan Lily. Ia sebenarnya cenderung tidak begitu mudah mengingat seseorang karena setiap harinya terlalu banyak orang-orang baru yang ia temui dalam pekerjaannya. Namun entah mengapa gadis bermata hijau zamrud dengan rambut coklat keemasan ini begitu mudah di ingat.  "Selamat pagi Tuan," sapa Lily dengan senyuman kecilnya. Dean diam tidak menjawab namun tetap tidak mengalihkan tatapannya dari Lily.  "Saya ingin mengambilkan sarapan untuk tuan muda. Tuan muda sedang ada kegiatan pagi tambahan di sekolah jadi ia harus buru-buru ke sekolah dan tidak sempat sarapan, jadi sa..." belum sempat Lily melanjutkan ucapannya, Dean bangkit dari duduknya dan berlalu begitu saja membuat Lily melongo. Bisa-bisanya pria itu pergi begitu saja tanpa menunggu Lily menyelesaikan ucapannya. "Tuhan ternyata benar-benar adil. Tuan Dean diberi kelebihan dibagian wajah, namun memiliki kekurangan dibagian sifat hormat menghormati," gerutu Lily kesal setelah tidak lagi melihat punggung Dean yang sudah berlalu pergi. Menghiraukan Dean mengabaikannya membuat Lily langsung bergegas mengambilkan sarapan untuk Ben.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD