Ayahku Berbeda

1981 Words
Sesuai dugaan, cabang baru dari club milik Dean yang baru saja di buka hari ini di Bristol sudah ramai di datangi orang-orang yang penasaran dengan salah satu club terbaik di Amerika bernama Vies Club milik Dean Davies itu. Nuansanya benar-benar sangat pas untuk pecinta tempat hiburan malam kelas atas serta minuman yang di sediakan juga memiliki kualitas terbaik dan ciri khas tersendiri. Tempat yang paling tepat untuk orang-orang bersenang-senang menghabiskan sepanjang malam. Selama ini Dean sudah menngamati kota-kota mana saja yang akan berpontesi untuk usaha bisnisnya yang sedang pesat ini dan akhirnya Bristol lah yang menjadi pilihannya. Baru sampai Bristol, ia langsung menuju club-nya untuk memantau keadaan disana. Dean tidak selalu datang ke club-club miliknya, apalagi sudah begitu banyak cabang yang ia miliki. Biasanya ia akan hanya memantau dari New York melalui laporan yang ia dapat dari tiap-tiap kepala setiap cabang yang sudah ia pilih. Namun kali ini karena ini merupakan pembukannya jadi Dean terbang langsung ke Bristol. Lagi pula ia memiliki beberapa kenalan di Bristol yang sengaja ia undang untuk datang ke pembukaan club-nya malam ini untuk minum bersama. "Setelah Bristol, kota apa lagi?" tanya William, salah satu teman Dean yang hadir malam ini. Dean hanya menaikkan bahunya sembari menggeleng pelan pertanda bahwa ia belum memikirkannya. Ia merasa sejauh ini sudah cukup dulu cabang yang ia buka. Mungkin ia akan memikirkannya lagi beberapa tahun ke depan. Sejujurnya pemasukan yang banyak ia dapati adalah dari bisnis otomotifnya, meskipun pundi-pundi dolar dari usaha club-nya sebenarnya tidak kalah banyak juga. Entahlah, Dean terkadang berpikir bisnis adalah salah satu cara ia menyibukkan diri hingga ia tidak begitu memikirkan berapa banyak dolar yang masuk ke dalam rekeningnya setiap hari. "Ah kau seperti tidak kenal Dean saja. Meskipun ia terlihat akan cukup disini, namun pasti nanti tiba-tiba dia akan mengeluarkan sesuatu yang baru lagi," sahut yang lainnya. Dean meneguk vodka-nya dengan sekali tegukan terlihat tidak mengacuhkan ucapan teman-temannya yang sedang menggodanya itu. "Ngomong-ngomong aku butuh sebuah Bugatti Chiron untuk properti iklan perusahaanku. Apakah kau memiliki yang siap di pakai dalam waktu dekat ini? Kebetulan pengambilan gambarnya akan dilakukan di New York," kata William mengingat salah satu tujuannya ingin datang bertemu Dean malam ini. Ia paham betul jika hal-hal seperti ini sudah paling tepat untuk menyakannya pada Dean. "Aku bahkan baru mengambil 20 lagi. Kau ingin yang warna apa?" "Kau selalu bisa di andalkan. Aku ingin yang hitam." "Baiklah." Bahkan saat duduk seperti ini aja bersama teman-teman sesama pengusaha dari berbagai bidang seperti ini Dean tetap bisa menghasilkan dolar. Membangun relasi yang baik seperti ini adalah salah satu hal yang penting dalam dunia bisnis bagi Dean apalagi konteksnya ia menjual sebuah barang. Beruntung karena kenalannya dari kalangan atas, ia tidak perlu susah-susah untuk memasarkan barangnya karena mereka sendiri yang akan datang pada Dean. Setelah beberapa lama berada di club, ja pun sudah menunjukkan pukul 3 malam, Dean langsung bergegas menuju hotel yang sudah di siapkan oleh Harry karena besok ia harus kembali ke New York. Tentu saja ia tidak bisa berlama-lama di Bristol karena kepentingannya sudah usai sementara pekerjaannya masih banyak yang menunggu. *** Lily membungkuk sopan pada guru piano Ben sebelum wanita itu berlalu pergi. Setelah memastikan guru Ben benar-benar pergi, Lily langsung menghampiri Ben yang masih duduk di dekat pianonya.  "Masih ada waktu satu jam sebelum Tuan muda harus berangkat untuk latihan berkuda. Apa Tuan muda ingin istirahat dulu atau makan cemilan dan bersantai?" tanya Lily. "Tidak, aku akan menyelesaikan lukisanku. Bibi bisa panggil aku jika aku sudah harus berangkat nanti." "Oh begitukah? baiklah Tuan muda." Ben berlalu dari ruangan latihannya dan bergegas menuju kamarnya. Seperti yang ia katakan, ia akan menyelesaikan lukisannya yang tidak lama lagi akan selesai.  Lily menghela nafas panjang melihat kepergian Ben. Padahal Ben yang banyak beraktivitas, tapi mengapa ia yang malah merasa kelelahan? Padahal ini adalah akhir pekan, tapi aktivitas anak itu masih saja padat diisi dengan berbagai kegiatan. Lily bahkan sampai tidak tahu apa bakat Ben yang paling mencolok karena ia pandai dalam segala hal. Biasanya bagi anak-anak seusia Ben, akhir pekan ini pasti digunakan untuk menyegarkan diri dan pikiran bersama keluarganya. Namun sepertinya hal itu tidak berlaku bagi keluarga ini. Ben terlihat sibuk dengan kegiatannya, sementara ayahnya bahkan sedang pergi keluar kota di akhir pekan ini. Lily dengar-dengar dari pelayan yang lain, Dean sedang berada di Bristol sejak kemarin. Lily menggelengkan kepalanya menghalau pikirannya yang belakangan ini lebih fokus memikirkan keluarga yang hubungannya aneh ini dari pada memikirkan tentang kehidupannya sendiri. Ia langsung bergegas untuk mengambilkan cemilan untuk Ben serta vitamin untuknya. Meskipun Ben menolak, namun Lily sudah cukup hafal sifatnya. Jika sudah ada cookies dan s**u di hadapannya, tetap saja anak itu tidak akan menolak. *** "Tuan muda, bangunlah, kita sudah sampai." Lily sebenarnya merasa tidak enak membangunkan Ben yang terlelap di dalam mobil saat perjalanan pulang menuju mansion usai berkuda. Ia pasti sangat kelelahan.  Perlahan Ben mengerjapkan matanya dan menggeliat kecil. Saat matanya terbuka sempurna, ia baru tersadar bahwa ia ternyata ketiduran selama di perjalanan. Ia langsung keluar dari mobil diikuti Lily yang membawa beberapa barang-barang Ben. Langkah Lily ikut memelan saat langkah Ben di hadapannya juga melambat. Manik mata Lily langsung menangkap apa yang tengah di perhatikan Ben. Ternyata Dean sudah pulang, ia terlihat sedang membicarakan sesuatu dengan Harry di salah satu ruangan yang dekat dengan lift yang biasa Ben pakai untuk ke kamarnya.  Tidak hanya Ben dan Lily, sepertinya Dean dan Harry juga menyadari kehadiran mereka. Rasa kantuk yang sedari tadi menjalar tiba-tiba hilang seketika. Ben lega ayahnya sudah pulag dari luar kota dalam keadaan sehat. Setiap kali Dean keluar kota atau keluar negri menggunakan pesawat, Ben sering kali risau. Ia takut sesuatu hal yang buruk terjadi pada Dean selama di perjalanan. Tapi setiap kali melihat Dean pulang, ia merasa lega meskipun ia harus mencari tahu sendiri kapan Dean pulang karena Dean tidak akan pernah mengabarinya.  Dean hanya menoleh pada Ben dan Lily sepersekian detik sebelum akhirnya kembali pada obrolannya dengan Harry. Melihat Dean yang membuang muka membuat Ben langsung bergegas memasuki lift diikuti Lily di belakangnya. Lily perlahan mulai terbiasa dengan situasi seperti ini. Dari tatapan mata Ben ia bisa melihat kerinduan disana, matanya selalu saja sendu setiap kali menatap Dean. Tapi Dean seolah tidak pernah mau membalas tatapan itu. Lily yang bukan siapa-siapa Ben saja selalu dibuat luluh oleh tatapan tulusnya. Bagaimana bisa Dean menahan tatapan polos anak-anak seperti Ben ini? sangat aneh sekali. Ia pasti sangat rugi karena tidak pernah menghabiskan waktunya dengan anak selucu Ben, pikir Lily. Sesampai di kamarnya, tanpa mengatakan apapun Ben langsung bergegas untuk membersihkan dirinya. Anak itu benar-benar sangat pintar. Ia bahkan sudah mengerti apa yang harus ia lakukan untuk dirinya sendiri tanpa pengasuhnya harus susah-susah mengarahkannya. Sementara menunggu Ben mandi, Lily menata kembali barang-barang bawaannya tadi di tempatnya. Setelah itu ia hanya tinggal menunggu Ben keluar dari kamar mandi dan memastikan Ben tidak memerlukan apapun lagi sebelum anak itu tidur untuk beristirahat. Setelah menunggu beberapa saat, Ben keluar dari kamar mandi sudah siap dengan piyama tidur miliknya. Tadi sebelum Ben pulang ke mansion ia meminta pada Lily untuk singgah di salah satu tempat burger kesukaannya, jadi malam ini ia akan langsung tidur karena sudah makan malam. "Apa Tuan Muda membutuhkan sesuatu lagi sebelum tidur?" tanya Lily memastikan. "Tidak," balasnya sembari menaiki ranjangnya. Ia sepertinya hanya butuh istirahat karena sejujurnya ia sangat lelah hari ini. Tubuh kecilnya terlalu aktif hari ini melakukan berbagai kegiatan. "Baiklah kalau begitu Tuan Muda bisa istirahat sekarang. Apa butuh bibi bacakan dongeng? ingin dongeng kancil dan harimau? atau pangeran naga? atau si itik buruk rupa?" "Aku bukan anak kecil lagi Bibi," protes Ben yang membuat Lily terkekeh. Bukankah 9 tahun masih dikatakan anak-anak? ia bahkan berkata seolah-olah sudah sangat dewasa dengan ekspresi seriusnya membuat Lily semakin terkekeh geli. "Baiklah anak besar, selamat istirahat." Lily tersenyum tulus. Ia membantu menutupi tubuh Ben dengan selimut tebal yang pasti terasa sangat nyaman itu. "Bibi," panggil Ben.  "Iya Tuan Muda?" "Aku sebenarnya belum terlalu mengantuk. Apakah kita bisa berbincang sebentar?" "Tentu saja, mengobrol adalah keahlian bibi. Jadi Tuan muda ingin bercerita tentang apa?" Lily menarik salah satu kursi yang dekat dengannya agar terlihat lebih nyaman.  "Seingatku bibi Laurent mengatakan bahwa ia hanya tinggal berdua dengan putrinya. Itu artinya sekarang Bibi hanya tinggal sendiri?" tanya Ben. Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang dan duduk dengan nyaman. "Benar, kedua orang tua bibi sudah meninggal, itu artinya hanya tinggal tersisa bibi sendiri," balas Lily sembari tersenyum. Ia sejujurnya cukup terkejut karena Ben tiba-tiba membicarakan tentang ini. "Tapi kenapa Bibi terlihat baik-baik saja?" Lily kembali tersenyum mendengar pertanyaan Ben. Anak ini memiliki cara berpikir yang beda dengan anak-anak seusianya. Ia bahkan ingin tahu banyak hal dari sudut pandang yang berbeda. "Lantas memangnya bibi harus seperti apa? menyalahkan keadaan yang membuat bibi hanya tinggal sendiri? lalu jika bibi melakukannya, apakah orang tua bibi akan kembali?" Ben diam. Wajahnya terlihat seolah sedang berpikir.  "Tuan Muda, jika kita kehilangan seseorang, itu artinya urusan kita dengan orang itu sudah selesai. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain mendoakannya dan melanjutkan hidup kita. Menyesali apapun tidak ada gunanya, hidup akan terus berjalan meskipun dunia kita runtuh sekalipun." "Andai ayah memiliki pemikiran yang sama dengan Bibi," Ben berkata dengan pandangan lurus menerawang ke depan. Lily memicingkan matanya tidak mengerti arah pembicaraan Ben. Mengapa ia malah menyebut ayahnya? "Tuan? memangnya apa yang dipikirkan tuan?" "Entahlah, tapi sepertinya ayah masih belum bisa menerima kepergian ibu. Bibi Ellianor bilang ibu meninggal saat melahirkanku. Sepertinya ayah marah padaku karena ibu harus meninggal saat melahirkanku. Padahal aku tidak bermaksud membuat ibu pergi." Nafas Lily tercekat, ia dibuat membisu tidak tahu harus mengatakan apa mendengar ungkapan tulus dari anak itu. Wajahnya terlihat sendu, nadanya juga terdengar memelas. Bagaimana bisa ia memiliki pemikiran seperti itu di usianya yang masih begitu kecil? "Kenapa Tuan Muda berpikiran seperti itu? mana mungkin tuan Dean menyalahkan Tuan Muda atas kepergian istrinya. Tuan Dean pasti merasa sangat bersyukur karena meskipun istrinya pergi, tapi tetap ada tuan muda disisinya." "Jika benar begitu, kenapa ayah tidak pernah mau bicara padaku Bi?" kini ia menatap Lily dengan mata yang berkaca-kaca. Sungguh hati Lily sangat hancur melihatnya. Sejujurnya Lily juga tidak paham apa yang sedang terjadi. Tapi bagi Lily, Ben sama sekali tidak seharusnya mengalami ini. "Jika ayah tidak benci padaku, harusnya ayah menyayangi aku seperti ayah temanku yang lainnya." "Tentu saja tuan Dean menyayangi tuan muda. Jika tidak sayang, tidak mungkin tuan muda tumbuh sebesar ini. Lihat, tuan muda tumbuh menjadi anak yang cerdas dan sangat tampan. Mungkin selama ini tuan Dean hanya terlalu sibuk bekerja. Ia hanya ingin mencari uang yang banyak agar Tuan Muda tidak kekurangan apapun. Saat uangnya sudah sangat banyak nanti, barulah ia akan menghabiskan waktunya dengan Tuan Muda selamanya." Lily berusaha sebisa mungkin menenangkan Ben dan menanamkan pikiran positif untuk anak itu. Ia tidak ingin Ben terus berpikir bahwa semua adalah kesalahannya dan ayahnya benar-benar membencinya. "Bibi yakin, suatu hari nanti tuan Dean akan menjadi ayah yang sangat menyayangi Tuan Muda melebihi dari ayah-ayah teman tuan muda lainnya." Lily memberikan senyuman terbaiknya sebagai penenang meskipun ia tidak tahu apakah akan berhasil atau tidak. "Benarkah Bibi?" "Tentu saja. Selama Tuan muda menjadi anak yang baik." Perlahan senyuman kecil terbentuk dari bibir kecil berwarna merah alami milik Ben. Ia terlihat jauh lebih baik sekarang. Raut wajahnya bahkan tidak sesendu saat bercerita tadi. "Baiklah, sekarang sudah waktunya Tuan muda tidur." "Terima kasih Bi," ucapnya tulus membuat perasaan Lily menghangat. Bagaimana bisa Dean bersikap dingin pada anak yang sangat manis seperti Ben ini? jika tidak memikirkan posisinya yang seorang pengasuh Ben dan tidak ingin bersikap lancang dan membuat Ben merasa tidak nyaman, ingin sekali rasanya Lily memeluk anak tampan ini dan menghujaminya dengan ciuman di pipinya yang agak gembil itu. "Sama-sama Tuan Muda, kita bisa mengobrol kapanpun." Lily mengedipkan sebelah matanya membuat Ben tersenyum kecil. Ia kembali membaringkan tubuhnya di ranjang. "Selamat malam Tuan Muda." "Selamat malam Bi." Setelah dirasa Ben benar-benar sudah siap untuk tidur, Lily langsung berlalu keluar dari kamar Ben. Ia juga butuh istirahat malam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD