Dua-Rencana Mama-Mama

2062 Words
“Gue anggap ini sebagai ucapan terima kasih, Dree,” bisik Dean. “Gue makasih banget lo balesnya pakai ini.” “Lepas, Dean!!” Dean menggeleng lalu memiringkan wajahnya mendekati wajah Audrey. Dia lalu mencium bibir yang terpoles lipstick merah itu. Dalam hati Dean tertawa puas melihat Audrey yang tak berkutik itu. Sekarang dia tahu bagaimana memberi pelajaran ke gadis keras kepala dan memiliki harga diri tinggi semacam Audrey. Cukup cium maka akan diam tak berkutik. Tak lama Dean lebih memilih menyudahi ciumannya. Dia cukup puas karena mengerjai Audrey. “Lo pinter ciuman juga,” ucapnya. Audrey mendongak melihat bibir Dean merah karena lipstiknya. Dia lalu memundurkan tubuhnya dari Dean. Bodoh!! Dia baru menyadari apa yang baru saja dia perbuat bersama Dean. “Dasar pemaksa!!” maki Audrey. Satu alis Dean terangkat. “Pemaksa apanya? Salah sendiri nggak mau ngucapin terima kasih.” “Anggep aja gue tadi khilaf,” ucap Audrey sambil turun dari mobil. Di dalam mobil, Dean terkekeh. Arah pandangnya mengikuti Audrey yang sekarang berjalan ke gerbang lalu hilang di balik gerbang tinggi hitam itu. “Bibir yang manis,” gumamnya sambil kembali menghadap kemudi. Mobil hitam itu lalu melaju menjauh dari perumahan Audrey. Sambil mengemudi, Dean berpikir tentang kehidupannya. Dia seperti lelaki pada umumnya: ambisius, memiliki ego tinggi dan mendambakan gadis baik-baik untuk dijadikan istri. Namun, sampai sekarang dia belum menemukan pasangan yang pas. Ah, bagaimana mau menemukan, hatinya saja masih terpatri pada satu nama. Sebenarnya dia tak mempermasalahkan hal itu—pasangan—toh targetnya menikah minimal usia 30 tahun dan maksimal 35 tahun. Dean masih ingin menikmati hidupnya yang bebas tanpa terikat dengan satu gadis. Namun, sayang dia selalu dibayang-bayangi ultimatum mamanya yang ingin dia menikah di usia 27 tahun, yang itu artinya satu tahun lagi. Karena keinginan mamanya itu, Dean terpaksa mencari perempuan yang setidaknya bisa dipamerkan di depan mamanya, bukan untuk diseriusi. Selain itu dia juga ingin memulai melupakan nama gadis yang selalu ada di hatinya. Gadis yang dia cintai diam-diam. Diam-diam mencintai itu lelah. Melihat dia bersama yang lain dan kau hanya menatap dengan hati teriris. Melihat dia tertawa bahagia dan kau ikut tertawa lalu selanjutnya bibirmu tertekuk ke bawah. Yah, itulah yang bertahun-tahun Dean alami. When I see you smile Dering ponsel di saku berbunyi membuyarkan lamunan Dean. Dia yang sedang mengemudi sontak mengurangi kecepatan mobilnya. Tangan kirinya merogoh ponsel dan melihat foto mamanya terpampang di layar. Dia menggeser layar itu, menekan loudspeaker lalu meletakkan ponselnya di dashboard. “Ya, Ma,” katanya sebagai salam pembuka. “Dean. Besok sore luangkan waktumu. Ikut mama arisan.” Seketika Dean menatap ponselnya dengan horor. Arisan? Tak biasanya mamanya mengajak arisan. Dia tahu setiap satu bulan sekali mamanya menghadiri arisan tapi tak pernah sampai mengajaknya. Dean lalu tersenyum miring, yakin pasti ada yang direncanakan mamanya. “Ma! Mama punya rencana apa?” tanyanya to the point. Terdengar helaan napas Jema. Dean membelokkan mobilnya ke sebuah kompleks perumahan, sambil sesekali matanya melirik ponsel. “Mama pengen ngenalin kamu ke teman mama, Dean.” “Ngenalin atau jodohin ke anaknya temen Mama?” “Ya sekalian jodohin sih. Udahlah, nanti kamu harus dateng. Kalau enggak tunggu apa yang bakal mama lakuin ke kamu!” Tut. Tut. Tut. Dean menatap ponselnya, lagi-lagi mamanya mengancam. Lagi-lagi mamanya mencarikannya jodoh. Dia merasa jadi bujang lapuk, padahal normal saja kalau diusianya dia belum menemukan tambatan hati.   ***   Audrey menutup pintu ruangan bosnya dengan senyum lega. Ternyata pagi ini Pak Jaya dalam keadaan mood baik, tak seperti kemarin. Tadi pagi saat berangkat, dia sempat ketar-ketir, takut mood Pak Jaya makin hancur daripada kemarin. Apalagi hari ini dia harus pulang lebih awal karena membantu sang mama. Dia tak bisa membayangkan kalau bosnya dalam mood buruk, mungkin dia tak diizinkan pulang lebih awal. Usai membacakan jadwal, Audrey biasa membuka email dan mencatat email yang berisi ajakan pertemuan untuk bosnya. Dia mulai mencatat ke notebook berwarna cokelat urut dengan hari dan kegiatan bosnya. “Bisa saya bertemu Pak Jaya?” Seketika Audrey menghentikan gerakan menulisnya. Dia mendongak ke suara lelaki yang ingin bertemu dengan bosnya itu. Saat menatap lelaki itu, matanya terbelalak lebar. “Ngapain lo?” tanya Audrey ke musuhnya itu. Dean terkekeh, tak menyangka akan bertemu Audrey. Jujur dia tak tahu di mana gadis itu bekerja. Ternyata gadis itu bekerja di client-nya kali ini. “Nggak nyangka ketemu lo di sini. Oh ya Pak Jaya ada?” tanya Dean ingat tujuan kedatangannya. Tangan Audrey terulur ke telepon di sebelah monitor. Dia menekan line satu yang tersambung ke telepon ruangan Pak Jaya. “Pak Jaya, ada Pak Dean mencari Anda. Oh baik, Pak.” Dean melihat Audrey sedang berbicara di telepon. Nada gadis itu berbeda saat berbicara dengannya. “Silakan masuk. Pak Jaya sudah menunggu,” ucap Audrey sedikit ketus. See? Ucapan Audrey kembali ketus. Dean masih berdiri di posisinya, menatap Audrey yang menekuk wajah dengan bibir mengerucut itu. “Bibirnya kenapa gitu? Pengen dicium kayak semalem?” Mau tak mau ingatan Audrey berkelana ke kejadian semalam. Kejadian yang sangat dia sesali. “Cih, lo ngomong apa? Kalau minta cium jangan sama gue!” Dean menegakkan tubuhnya lalu kedua tangannya terlipat di depan d**a. “Gue maunya sama lo. Gimana dong?” tanyanya jail. “Ck! Mending lo cepet masuk ke ruangan Pak Jaya. Beliau sudah menunggu Bapak Dean yang terhormat.” Audrey menjawab dengan pedas, kesal karena Dean mengingatkan kejadian semalam. Apalagi Dean tak kunjung ke ruangan Pak Jaya. Audrey takut saja yang kena amukan justru dirinya, bukan Dean. “Baiklah. Selamat bekerja Ibu Audrey yang jutek.” Mata Audrey melotot. Dia menatap lelaki yang sekarang berjalan masuk itu dengan tangan terkepal. Ingatkan Audrey untuk membalas jika mereka sudah di luar kantor, Dean perlu diberi pelajaran.   ***   “Ma. Audrey nggak nyaman pakai baju ini.” Audrey menatap gaun bermodel kemben berwarna orange yang sedang dia pakai. Dia pernah memakai baju orange, tapi tak pernah orange menyala seperti yang dia kenakan seperti sekarang ini. “Nggak apa-apa, ah. Biar kompakan sama Mama.” Ayumi menatap anaknya yang masih cemberut itu. Arah pandangannya lalu tertuju ke jam di dinding kamar Audrey, pukul tujuh. Sontak Ayumi menarik lengan anaknya agar ikut ke lantai bawah. “Tamu-tamu pasti sudah datang. Audrey senyum, jangan buat Mama malu.” Audrey menoleh ke Mamanya dan memaksakan sebuah senyuman. Yah, selama dua jam yang akan datang dia harus mempertahankan senyum palsu dan bertahan dengan dress menyala. Sebenarnya Audrey enggan turut serta di acara arisan, seperti yang papanya lakukan. Papanya lebih memilih tidur di rumah nenek Audrey daripada pulang ke rumah dan menjamu para ibu-ibu arisan. “Hai, Jeng. Gimana kabarnya? Oh ya itu siapa? Audrey?” Baru melangkah di lantai satu pertanyaan beruntun itu telah terdengar. Audrey yang merasa namanya disebut menoleh ke sumber suara. Dia melihat seorang wanita cantik dengan gaun biru laut. Audrey memaksakan sebuah senyuman lalu menjabat tangan wanita itu. “Iya ini Audrey, Tante,” jawabnya sopan. “Oh ya, mana anakmu yang tampan itu? Katanya dateng?” Audrey menghela napas, lelah mendengar pertanyaan Mamanya itu. Dia menebak kalau Mamanya akan mengenalkannya dengan seorang lelaki, pasti itu. Dia memang ingin mendapat pacar, tapi dia enggan jika dijodohkan dengan anak teman mamanya yang rata-rata rempong itu. “Sebentar lagi juga dateng. Katanya udah di depan kok tadi. Eh itu dia.” Audrey menunduk, rasanya ingin mengganti gaun orange dengan baju tidur lalu dia akan tidur. Daripada berdiri menjamu ibu-ibu arisan yang pasti banyak pamer itu. “Halo, Tante. Halo, Audrey.” Sikutan dari sang Mama membuat Audrey mendongak. Dia tersentak melihat lelaki dengan rambut disisir ke belakang berdiri di sebelah wanita bergaun biru itu. Ah, kesialan apa lagi ini? Ternyata wanita cantik itu Mama Dean. “Kalian saling kenal?” tanya Ayumi tak menutupi keterkejutannya. “Audrey teman kuliah saya, Tan,” jawab Dean apa adanya lalu memperhatikan wajah Audrey yang ditekuk lesu itu. Tatapan lelaki itu lalu tertuju ke gaun orange yang dikenakan Audrey. Gila, ini gaun atau lampu? Silau banget! “Nah kebetulan banget ya. Atau ini memang jodoh?” Jema—Mama Dean membuka suara. Sontak Audrey dan Dean menatap wanita berwajah lonjong itu dengan kaget. Sedangkan Jema yang ditatap seperti itu hanya mengedip memberi kode ke Ayumi. “Sebulan lalu, Mama sama Tante Ayumi punya rencana mau ngenalin kalian,” jelas Jema. “Eh ternyata kalian udah saling kenal. Ya udah tinggal jodohin aja.” “Iya bener. Lagian kalian sama-sama single, kan?” tanya Ayumi sambil menatap dua anak muda itu bergantian. Satu tangan Audrey terkepal di belakang pahanya. Dia yang dasarnya masih sebal makin sebal karena mamanya menjodohkannya dengan Dean. “Ma, nggak usah,” bisiknya memohon. Dean juga begitu, berbisik pelan ke Mamanya. “Nggak ada gadis lain apa?” “Audrey kurang apa?” “Kurang tiangnya, Ma. Bajunya nyolok banget kayak lampu,” bisik Dean sambil terkekeh. “Hus!!” Jema menatap anaknya sambil melotot. Dia tak ingin ucapan ngawur Dean didengar oleh Ayumi dan Audrey. Jema sudah lelah-lelah mencari calon untuk Dean. Saat melihat foto Audrey sebulan lalu dari Ayumi, Jema merasa Audrey cocok dijadikan mantu. “Mama sama Tante Jema udah ngerencanain ini,” ucap Ayumi saat tak ada percakapan. “Audrey nggak mau, Ma.” “Gue juga.” Sepersekian detik Audrey dan Dean saling bertatapan. Dua Mama itu malah tersenyum, gemas ke anak mereka yang sama-sama menolak. “Udah deh, jalanin aja dulu,” pinta Jema. “Iya. Dree, ajak Dean ngobrol deh. Kalau nyambung kan bisa ke tahap selanjutnya,” timpal Ayumi. Dua Mama itu lalu terkekeh pelan. Sangat kontras dengan dua anaknya yang menatap penuh permusuhan. Dijodohin sama Dean? Kayak nggak ada cowok lain aja! batin Audrey. Dean mendengus. Dijodohin sama Audrey? Kayak Tom ketemu Jerry.   ***   Dean melirik gadis bergaun orange yang duduk di depannya itu. Dia masih kaget mendapati kenyataan kalau arisan mamanya kali ini di rumah Audrey. Lebih parahnya, dia dijodohkan dengan Audrey. Dia tadi ingat mamanya berbisik, “Kenalin Audrey. Kalau udah klik langsung dilamar.” Ucapan mamanya membuat Dean bergidik. Dia yakin sampai kapanpun tak akan pernah akur dengan Audrey. Lagipula Audrey bukan tipe Dean. “Ngapain sih lo lirik-lirik, De? Mau gue colok mata lo?” Audrey menghadap Dean dan melihat penampilan lelaki itu. Rambut yang sekarang acak-acakan dengan kemeja putih yang masih sama dengan tadi pagi saat datang menemui Pak Jaya. Audrey geleng-geleng. Apa lelaki itu tak menyiapkan diri dulu? “Lo berani nyolok mata gue? Gue colok balik lah,” jawab Dean enteng. Dean membenarkan posisi duduknya. Lalu menatap wajah Audrey yang sedikit berbeda karena riasan make up yang cukup tebal itu. “Lo terima aja gitu dijodohin sama mama lo?” tanya Dean membahas kejadian beberapa menit yang lalu. Audrey menegakkan tubuhnya. Kedua tangannya terlipat di depan d**a lalu dia menunduk. “Ya enggaklah. Ya kali gue nerima.” “Ya sama. Gue yakin mama kita nggak serius.” Arah pandang Dean tertuju ke beberapa patung yang terpajang di teras samping rumah Audrey. “Jangan kasih tahu masalah ini ke sahabat gue.” Sontak Audrey menatap Dean tajam. “Lagian ngapain gue ngasih tahu mereka.” “Ya siapa tahu. Gue nggak tahu kan kalau dalem hati lo ternyata mau nerima perjodohan ini terus lo ngaku-ngaku di depan sahabat gue?” “Cih besar kepala lo!!” maki Audrey seraya berdiri. Berlama-lama dengan Dean membuatnya semakin sebal. Audrey heran mengapa hidupnya selalu menyebalkan seperti ini? “Jelas. Gue kan ganteng. Banyak yang ngaku jadi pacar gue,” jawab Dean masih di posisinya. Audrey yang baru melangkah menjauh sontak menoleh. “Cinta bukan dilihat dari cowok itu ganteng atau enggak. Kalau ganteng tapi nggak cinta juga nggak ada artinya.” “Lo ngatain gue jelek? Sini lo!” Dean seketika berdiri dan mengejar langkah Audrey. Merasa jiwanya akan terancam, Audrey berlari ke dalam rumah. Dean mengikuti hingga dia menarik pergelangan tangan gadis itu. “Sekarang gue pengen lo ngomong, Dean ganteng,” pinta Dean penuh ancaman. Audrey menggeleng tegas. Baginya ini permintaan aneh yang pernah dia dengar. Audrey lalu melepas cekalan itu. “Lo itu jelek! Ngaca deh! Tuh kaca!” ucapnya sambil menunjuk ke jendela kaca rumahnya. “Dree!!” pinta Dean sambil menyentuh pundak Audrey. Dean memajukan wajahnya dengan seulas senyum. Melihat wajah bersih Dean terlampau dekat dengannya Audrey seketika panik. Sedangkan Dean tersenyum penuh arti. “Ngomong atau...” bisik Dean menggantung. “Ehm!” Dehaman itu membuat dua orang itu menoleh. Mereka sama-sama kaget melihat siapa yang berdiri tak jauh dari mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD