Tiga-Tentang Cinta yang Terasa

2246 Words
“Ehm!” Dehaman itu membuat dua orang itu menoleh. Mereka sama-sama kaget melihat siapa yang berdiri tak jauh dari mereka. Sedangkan Jema tersenyum penuh arti ke dua orang yang sedang bercanda hingga tak peduli situasi itu. “Ternyata kalian di sini. Mama cariin,” ucap Jema. “Iya, Tan.” Audrey tersenyum tak enak. Dia menunduk malu karena pertengkarannya dengan Dean dilihat oleh Jema. Pasti mamanya Dean ngira gue kayak anak-anak. “Ada apa, Ma nyariin?” tanya Dean saat tak ada lagi percakapan. Hanya Mamanya yang terus menatap Audrey dengan seulas senyum. “Enggak cuma mastiin aja. Ya udah Mama kumpul dulu sama temen, Mama. Jangan ngilang,” kata Jema berpesan. Setelah mengucapkan itu dia berjalan kembali ke tengah ruangan. Jema langsung menarik tangan Ayumi mendekat. “Ada apa?” tanya Ayumi kaget karena Jema tiba-tiba menariknya. Senyum Jema mengembang. Dia menoleh ke tempat makan, melihat anaknya sedang duduk di samping Audrey. “Aku berharap sama hubungan mereka,” katanya. “Audrey sama Dean maksudnya?” Ayumi mengedarkan pandangan hingga melihat anaknya sedang duduk bersama Dean. Senyum Ayumi lantas mengembang. “Mereka kelihatan akrab. Semoga perjodohan ini seterusnya deh.” “Iya. Capek jodohin Dean ke anaknya temenku,” cerita Jema, ingat bagaimana susahnya Dean untuk berkenalan dengan anak temannya. Jika tidak dengan ancaman Dean tak akan mau ikut ke acara arisan yang berujung dengan perjodohan seperti ini. “Oh ya, Dean beneran nggak punya pacar? Sempurna kayak gitu,” ucap Ayumi ingat dengan paras Dean yang tampan dengan rahang tegas. Pandangan Jema sepenuhnya tertuju ke Ayumi. Wanita bergaun biru dongker itu menghela napas panjang lalu menggeleng. “Yang fisiknya sempurna belum tentu kan hubungan asmaranya ikutan sempurna?” tanya Jema. “Iya juga sih. Lalu gimana?” “Cuma deket sama cewek, tapi nggak pernah sampai hubungan serius,” ceritanya. “Kalau Audrey gimana?” “Terakhir pacaran pas SMA kayaknya. Habis itu jarang cerita soal cowok,” jawab Ayumi. “Awalnya sih seneng Audrey nggak ngurusin tentang cowok. Tapi lama-lama takut dia kenapa-napa.” “Iyalah. Seusia Audrey harusnya emang mulai mikirin soal pasangan,” Jema mengusap pundak Ayumi. Sebagai seorang ibu yang hanya memiliki satu anak, dua mama itu ingin yang terbaik untuk anaknya. Ayumi ingin Audrey mendapat lelaki baik-baik, tak seperti mantan Audrey dulu. Sedangkan Jema ingin Dean bersama gadis yang bisa menerima segala kekeraskepalaan anaknya itu. “Emang Audrey dulu putusnya gimana?” tanya Jema ingin tahu. Ayumi melirik kanan-kiri. Dia melihat beberapa teman arisannya sedang menyantap kue kering. Ayumi lalu menarik Jema sedikit menjauh dari kerumunan. “Mantannya dulu nggak setia. Sampai bikin Audrey nggak mau deket-deket sama cowok. Makanya aku takut Audrey trauma.” Mendengar cerita itu Jema bergidik. Dia berharap gadis secantik Audrey tak salah jalan bahkan sampai trauma. “Semoga perjodohan ini berlanjut ya. Sekarang kita lihat kedekatan mereka dulu. Kalau udah sama-sama klik tunggu aku sama suami ke rumah Jeng Ayumi.” Kalimat itu membuat Ayumi tersenyum manis. Ibu mana yang tak senang melihat anaknya akan dilamar? Ayumi juga mengidamkan itu. Dia tak ingin kisah remaja Audrey sampai menghambat hubungan percintaan gadis itu.   ***   Audrey memilih menyantap es manado di pojok ruangan daripada menemani Dean. Dinginnya es bercampur sirsak dan s**u membuat tenggorokannya ikutan dingin. Jangan lupakan dengan emosinya yang perlahan turun karena memakan es manado semangkuk itu. “Dicariin ke mana-mana lo malah di sini!” Saat menyendok suapan terakhir, Audrey merasa ketenangannya terusik. Dia mendongak dan mendapati lelaki yang berdiri sambil bersedekap. Audrey berdiri lalu meletakkan mangkuk kosong ke meja khusus piring kotor. Sejak pulang dari kantor, dia belum sempat mengisi perutnya dengan nasi. Membuatnya sangat kelarapan, apalagi energinya terkuras habis karena perdebatan singkatnya dengan Dean. Sampai di depan meja makan, mata Audrey berbinar melihat d**a ayam bumbu bali, makanan favoritnya. Dia mengambil piring, mengisinya dengan nasi setelah itu mengambil d**a ayam. Tak lupa dia mengambil sambal dan kerupuk. “Makanan lo kayak gini?” Audrey memejamkan mata sejenak. Dia harus bisa mengatur emosinya. Setelahnya dia balik badan, tanpa menjawab ucapan Dean dan kembali ke tempat duduk semula. Melihat kepergian Audrey, Dean tersenyum miring. Sebenarnya dia sudah tak betah di rumah bernuansa kayu-kayuan ini dan bertemu dengan ibu-ibu arisan. Namun, Dean mencoba bertahan daripada kena omelan mamanya. Pilihan Dean kali ini hanya satu, menggoda dan menjaili Audrey agar tak bosan. Dean lalu mendekat dan duduk di samping gadis yang sedang makan itu. Dia menatap Audrey saksama. Tatapan itu justru membuat kegiatan makan Audrey terganggu. Dia menghentikan makannya lalu menatap lelaki itu sebal. “Ngapain lo? Nggak pernah lihat orang makan?” Senyum Dean tersunging, membuat Audrey bingung. Dia sengaja ketus ke Dean agar lelaki itu pergi, tapi bukannya pergi yang didapat malah senyuman. “Dree, malem ini tolongin gue lah.” “Gue bukan tim SAR yang bisa dimintai tolong!” “Haha!!” Dean terbahak mendengar jawaban itu. Ternyata Audrey memiliki selera humor yang cukup bagus. Dean mengira jika yang berhubungan dengan Audrey hanyalah jutek, judes dan sebangsanya. Ternyata tidak juga. “De. Jangan ganggu gue dong. Ini semua demi kebaikan jalannya acara arisan,” kata Audrey setelah menyelesaikan makan malamnya. Dia meminum air mineral sambil menatap Dean. Sedangkan lelaki itu, tersenyum penuh arti. “Kalau gitu temenin gue di sini,” jawabnya. “Ogah!!” “Ya udah kalau lo nggak mau. Kalau kita terus berdebat dan orang lain tahu, bisa kacau acara arisan.” Mendengar hal itu Audrey menghela napas panjang. Kalau acara arisan tak berlangsung lancar, dia bisa kena amuk sang mama. Audrey meletakkan air mineral di bawah kursi yang dia duduki lalu menatap Dean dengan berat hati. “Oke, deh. Tapi lo jangan mancing emosi gue.” Dean menggeleng pelan. “Kalau mancing nafsu lo boleh?” Mata Audrey melotot. Baru saja dia meminta agar lelaki itu tak memancing emosinya sekarang sudah kejadian. “De. Jangan mancing emosi.” “Siapa yang mancing emosi? Nafsu makan lo maksudnya. Siapa tahu lo mau nambah sepiring,” jawab Dean sambil melirik piring kosong di samping kursi Audrey. Melihat lawan bicaranya itu melotot, Dean memilih mengakhiri topik tak jelas ini. “Oke deh gimana kalau kita bahas masa lalu?” usulnya. “Gue bukan guru sejarah yang suka ngomongin masa lalu.” “Audrey, please!!” Sekarang Dean yang naik darah. Dia sudah berusaha mencari topik pembicaraan malah Audrey menjawab seperti itu. “Please dong, Dree. Kalau bukan karena mama gue, gue udah pulang dari tadi. Sekarang gue cuma butuh temen ngobrol buat bunuh waktu.” Audrey menarik napas panjang lalu mengangguk pelan. Sekarang dia juga butuh itu. Yah, meski dia sebenarnya enggan sekali mengobrol dengan Dean. “Oke. Kalau gitu kita bahas apa?” tanya Audrey membuat Dean bernapas lega. “Lo udah lama kerja di kantor Pak Jaya?”  “Iya. Pak Jaya itu temen SMA bokap gue. Waktu gue lulus, Pak Jaya lagi butuh sekretaris. Terus gue disuruh bokap kerja di sana.” “Terus diterima?” “Lo tahu sendiri gimana.” Dean mengangguk ingat pertemuannya dengan Audrey tadi pagi. Di mana biasanya sang sekretaris sopan santun, tapi sekretaris yang dia temui tadi sangat berbanding terbalik. “Lo sendiri gimana, De? Kata anak-anak lo sibuk bikin usaha?” Mendengar pertanyaan itu Dean tersenyum penuh arti. Membuat Audrey melotot, tahu kalau pertanyaannya membuat lelaki berhidung mancung itu besar kepala. “Ternyata lo penasaran juga ya sama hidup gue.” “Mulai deh, mulai.” Audrey memutar bola matanya malas. Dia mengalihkan tatapannya ke arah lain, masih belum terlihat tanda-tanda ibu-ibu arisan itu meninggalkan rumahnya. “Gue lanjut magistra sama usaha, Dree. Makanya gue keliatan sibuk.” Sekarang arah pandang Audrey tertuju ke Dean. Dia tak menyangka lelaki itu masih lanjut kuliah. Dia pikir, Dean lebih suka senang-senang dan mengganggu gadis-gadis lain daripada buku dan tugas. “Kenapa natap gue kayak gitu?” tanya Dean melihat tatapan heran dari lawan bicaranya. Audrey menggeleng pelan. “Gak nyangka aja lo lanjut magistra. Gue kira setelah lulus lo cuma mainin cewek.” Dean tak kaget mendengar kalimat heran yang sering dia dengar dari mulut orang di sekitarnya, padahal dia menilai dirinya tak seperti itu. “Oh ya lo masih sering ketemu anak-anak?” Dean memilih mengalihkan topik. Tatapan Audrey menerawang ke depan. Sejak lulus kuliah, dia tak lagi bertemu teman-temannya. Hanya Kina yang masih bertemu, itupun bukan teman satu jurusan. “Jarang.” “Gue juga jarang ketemu mereka. Gue jadi kangen waktu kuliah. Terus--,” Dean menggantungkan kalimatnya. “Terus?” Audrey menatap dengan sorot mata tajam. “Terus ngerjain lo!!” “Please, De! Jangan bahas itu! Dari dulu lo itu emang nyebelin.” Audrey hendak meninggalkan tapi belum sempat melangkah, Dean mencekal pergelangan tangannya. “Mau ke mana?” “Tuh. Orang-orang udah mau pulang. Gue harus ke sana.” Dean mengalihkan tatapannya dan melihat ibu-ibu arisan mulai berjalan keluar. Dia melepas cekalannya dan membiarkan Audrey pergi. Bukannya mengikuti dia hanya duduk di posisinya menatap Audrey.   ***   “Gimana tadi sama Audrey? Ngobrolin apa?” Dean melirik Mamanya yang duduk di kursi penumpang itu. Tatapannya lalu kembali ke depan dan fokus mengemudi. Jika mengingat beberapa saat yang lalu, mungkin percakapannya dengan Audrey tidak termasuk dalam mengobrol. Lebih tepatnya banyak berdebat. “Rahasia dong, Ma,” jawab Dean sekenanya. Jema mengubah posisi duduknya hingga miring ke arah Dean. “Audrey itu cantik ya, De.” Satu alis Dean terangkat. Sejak kuliah sampai sekarang, dia tak merasa Audrey itu cantik. Menurutnya Audrey itu standart, gadis yang selalu ada di hatinya jauh lebih cantik. “Biasa aja, Ma,” jawab Dean membuat Jema menggeleng tak setuju. “Cantik kayak gitu kok kamu bilang biasa saja. Kamu normal kan, De?” “Cantik menurut orang lain sama menurut diri sendiri beda kan, Ma?” Jema menggangguk pelan, setuju dengan ucapan anaknya. Namun, rasanya dia berat hati kalau Audrey dinilai biasa saja. Jema tahu bagaimana lingkup pergaulan Dean, selalu di kelilingi oleh gadis dengan cantik buatan. Berbeda dengan Audrey, alis gadis itu tak disulam bahkan tadi sama sekali tak memakai pensil alis. Hanya memperlihatkan alis tebal alami. “Menurut Mama Audrey itu cantik, De. Dia emang dasarnya cantik. Bukan cantik karena krim pemutih apalagi operasi.” “Mama kayak kenal aja sama Audrey,” jawab Dean heran. Telinganya terasa panas mendengar Mamanya itu terus memuji Audrey. Dean lalu membelokkan mobilnya ke rumah megah milik papanya dan memakirkan mobil tepat di teras depan. “Udah sampai, Ma.” Jema melepas sabuk pengaman. Saat itulah dia sadar kalau Dean masih diam tak berkutik. “Kamu nggak ikut turun?” Dean menggeleng pelan lalu menoleh ke Mamanya meminta pengertian. “Pulang ke rumah Dean sendiri, Ma.” “Udah malem, De.” “Nggak apa-apa. Jarak dari kantor ke rumah Dean lebih deket daripada rumah. Dean besok nggak mau terlambat. Ada meeting penting.” Mau tak mau Jema mengalah. Dia mendekat dan memeluk anaknya itu. “Mama berharap kamu mau nerima perjodohan ini, De.” Setelah mengucapkan itu Mamanya keluar dari mobil, meninggalkan Dean yang diam terpaku. Bisikan lembut itu membuat Dean seolah ingin menuruti ucapan mamanya. Bisa dibilang mamanya jarang menuntut sesuatu kepadanya. Hanya urusan perjodohan saja yang mamanya sering memaksakan kehendak. Dean membuang napas panjang lalu memanuver mobilnya keluar dari halaman luas rumahnya. Andai kehidupannya tak rumit, mungkin Dean sudah dari dulu melamar gadis yang dia cintai. Kadang untuk bisa bersama tak semudah suka sama suka lalu memutuskan bersama. Kadang untuk bisa bersama terhalang kondisi dan situasi yang tak biasa. Membuat cinta itu tak bisa mekar sempurna karena realita.   ***   Usai ibu-ibu arisan pulang, Audrey buru-buru mengganti pakaiannya. Dia tak tahan memakai dress orange ketat yang menyiksa tubuhnya. Sekarang, dia mulai sibuk menghapus make up tebal di wajahnya itu. Saat sedang membersihkan make up, Audrey dikejutkan dengan kedatangan sang Mama. “Mama kok belum ganti baju?” tanyanya saat melihat sang Mama masih mengenakan dress. “Bentar lagi Mama ganti.” “Pasti Mama bantu beres-beres dulu, ya? Ma, beres-beres biar dikerjain bibik. Mama udah capek nyiapin dari pagi tadi,” kata Audrey sambil memutar tubuhnya menghadap sang Mama. Ayumi tersenyum mendengar kalimat perhatian itu. Kedua tangannya lalu menyentuh pundak Audrey dan mengusapnya pelan. “Gimana tadi ngobrol sama Dean?” Seketika Audrey balik badan dan kembali mengusap kapas ke wajahnya. “Cerita dong ke Mama.” “Nggak ada yang spesial, Ma. Biasa aja,” jawab Audrey apa-adanya. Ayumi mengartikan jawaban itu sebaliknya. Dia menatap Audrey dari kaca dengan senyum menggoda. “Kalau nggak ada yang spesial kenapa dari tadi mojok aja?” “Cuma duduk, Ma. Kebetulan aja duduknya di pojok.” “Dean itu lelaki idaman deh, Dree. Udah ganteng, kerjaannya mapan pula.” “Tapi nyebelin. Pokok nggak sebaik yang mama kira.” Dengan cepat Audrey menyela. Telinganya panas mendengar kalimat pujian yang ditujukan untuk Dean. Beruntung Dean sudah tidak ada, kalau lelaki itu ada, Audrey yakin lelaki itu akan besar kepala.  “Tumben-tumbenan Mama muji cowok lain. Dulu kalau ngomongin cowok dikit aja Mama langsung sewot.” Ayumi menepuk lengan anaknya pelan. “Nggak gitu, ah.” Audrey memutar bola matanya. Kedua orangtuanya memang selektif dalam memilih pasangan untuknya. “Gimana? Mau kan dijodohin sama Dean? Saling kenal satu sama lain dulu. Baru mikir selanjutnya.” “Tapi dia playboy, Ma,” kata Audrey mencari alasan. Ah nggak juga, Dean sama sahabatnya emang seneng main sama cewek, batinnya meyakinkan diri. “Mama rasa enggak. Kamu jangan anggap semua cowok yang gonta-ganti pasangan itu playboy. Belum tentu mereka ada hubungan,” kata Ayumi menasihati. “Jangan bilang kalau kamu masih cinta sama James?” Seketika tubuh Audrey membeku. James!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD